Selasa, 02 September 2014

Solar Nelayan Susut 10 KL


Dari 60 KL Menjadi 50 KL Per Bulan


Nazamuddin
BONTANG – Regulasi pembatasan distribusi Solar bersubsidi oleh pemerintah pusat, melalui surat edaran Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) mulai diberlakukan di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN) Tanjung Limau, Kecamatan Bontang Utara. 
Tepatnya, dalam poin ke-4 SE No. 937/07/Ka BPH/2014 perihal Edaran Pengendalian Jenis BBM Tertentu Tahun 2014 menyebut, penyesuaian alokasi BBM tertentu jenis minyak solar (gas oil) di lembaga penyalur nelayan harus menekan volume sebesar 20 persen sejak Senin (4/8) lalu.
Kebijakan ini berlaku untuk Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBB), Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN), SPBN dan Agen Premium dan Solar (APMS) dengan mengkoordinasikannya dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait. Dalam penyalurannya, surat edaran itu menekankan untuk me ngutamakan kapal nelayan berukuran di bawah 30  Gross Ton (GT).
Namun demikian, dalam realisasinya, kebijakan tersebut rupanya tidak diterapkan secara kaku di Kota Taman. Sebab jika mengacu pada perhitungan menekan volume sebesar 20 persen dari kuota awal; 60 KL per bulan, mestinya, jatah solar nelayan di SPBN tersebut, tinggal 48 KL per bulan. Namun realisasinya, kuota solar di SPBN tersebut, masih mencapai 50 KL per bulan.
“Kami memang dapat pengurangan kuota dari sebelumnya. Karena kami terima 50 KL per bulan. Artinya, yang hilang 10 KL. Padahal kalau mengacu pada aturan menekan hingga 20 persen dari kuota awal, pasti yang susut sampai 12 KL. Dengan kata lain, kuota per bulan tinggal 48 KL,” beber Nazamuddin, Direktur SPBN Tanjung Limau, kemarin (1/9).
Meski demikian, ditegaskan Nazamuddin, pengurangan kuota tersebut, jelas berpengaruh dengan aktivitas para nelayan Bontang berjumlah 2.178 nelayan yang terdiri atas 144 kelompok nelayan berdasarkan data dilansir Dinas Perikanan, Kelautan dan Pertanian (DPKP) Bontang pada 2010 lalu. Bahkan tak menutup kemungkinan, banyak nelayan tidak bisa melaut gara-gara kehabisan bahan bakar. Atau kemungkinan lain, mereka harus membeli solar, di pedagang eceran dengan harga jual di atas Rp 5.500 per liter.
“Kemungkinan itu bisa saja. Karena solar memang bahan bakar utama nelayan. Di samping BBM premium. Tapi itulah, namanya kebijakan pemerintah. Kami ikut saja,” imbuhnya.
Dijelaskan Nazamuddin, sebelum 2013 lalu, pembelian solar bersubsidi masih bisa dilakukan di Agen Pengisian Minyak Solar (APMS) Koperasi Bolumbuen di Jalan KS Tubun. Saat itu, para nelayan cukup membekali diri dengan surat rekomendasi dari DPKP Bontang serta Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) dan UMKM Bontang.
Mekanisme pembeliannya, para nelayan tersebut cukup menunjukan surat rekomendasi tersebut pada petugas yang menjaga APMS.
Namun kata Nazamuddin, kebijakan itu tidak berlangsung lama. Sebab Maret 2013 lalu, APMS tersebut secara resmi tak lagi menjual solar bersubsidi. Sehingga pelayanan pendistribusian solar nelayan terpusat di SPBN dipimpinnya itu.
“Dari data pelanggan nelayan di APMS Bolumbuen sendiri, dalam sehari mampu menghabiskan 19.501 liter per hari. Sementara pelanggan tetap kami tercatat di Dinas Perikanan Bontang, jauh lebih banyak. Maka itulah, kami meminta kuota ditambah,” bebernya.
Namun demikian, Nazamuddin mengakui, kebijakan itu tidak bisa disangkal lagi. Sebab, keputusan tersebut sudah final. Sehingga harus tetap dijalankan apapun respon masyarakat.  “Kami sih bersyukur, karena nelayan Bontang bisa lebih baik menyikapi kebijakan ini. Tidak sama dengan nelayan di daerah lain bisa berujung demo,” tandasnya. (in).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar