Dari 60 KL Menjadi 50 KL Per Bulan
Nazamuddin |
BONTANG – Regulasi pembatasan distribusi Solar
bersubsidi oleh pemerintah pusat, melalui surat edaran Badan Pengatur Hilir
Minyak dan Gas (BPH Migas) mulai diberlakukan di Stasiun Pengisian Bahan Bakar
Nelayan (SPBN) Tanjung Limau, Kecamatan Bontang Utara.
Tepatnya, dalam poin ke-4 SE No. 937/07/Ka BPH/2014 perihal Edaran
Pengendalian Jenis BBM Tertentu Tahun 2014 menyebut, penyesuaian alokasi BBM
tertentu jenis minyak solar (gas oil) di lembaga penyalur nelayan harus menekan
volume sebesar 20 persen sejak Senin (4/8) lalu.
Kebijakan
ini berlaku untuk Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBB), Solar Packed Dealer
Nelayan (SPDN), SPBN dan Agen Premium dan Solar (APMS) dengan
mengkoordinasikannya dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait. Dalam
penyalurannya, surat edaran itu menekankan untuk me ngutamakan kapal nelayan
berukuran di bawah 30 Gross Ton (GT).
Namun
demikian, dalam realisasinya, kebijakan tersebut rupanya tidak diterapkan
secara kaku di Kota Taman. Sebab jika
mengacu pada perhitungan menekan volume sebesar 20 persen dari kuota awal; 60
KL per bulan, mestinya, jatah solar nelayan di SPBN tersebut, tinggal 48 KL per
bulan. Namun realisasinya, kuota solar di SPBN tersebut, masih mencapai 50 KL
per bulan.
“Kami memang
dapat pengurangan kuota dari sebelumnya. Karena kami terima 50 KL per bulan.
Artinya, yang hilang 10 KL. Padahal kalau mengacu pada aturan menekan hingga 20
persen dari kuota awal, pasti yang susut sampai 12 KL. Dengan kata lain, kuota
per bulan tinggal 48 KL,” beber Nazamuddin, Direktur SPBN Tanjung Limau,
kemarin (1/9).
Meski
demikian, ditegaskan Nazamuddin, pengurangan kuota tersebut, jelas berpengaruh
dengan aktivitas para nelayan Bontang berjumlah 2.178 nelayan yang terdiri atas
144 kelompok nelayan berdasarkan data dilansir Dinas Perikanan, Kelautan dan
Pertanian (DPKP) Bontang pada 2010 lalu. Bahkan tak menutup kemungkinan, banyak
nelayan tidak bisa melaut gara-gara kehabisan bahan bakar. Atau kemungkinan
lain, mereka harus membeli solar, di pedagang eceran dengan harga jual di atas
Rp 5.500 per liter.
“Kemungkinan
itu bisa saja. Karena solar memang bahan bakar utama nelayan. Di samping BBM
premium. Tapi itulah, namanya kebijakan pemerintah. Kami ikut saja,” imbuhnya.
Dijelaskan
Nazamuddin, sebelum 2013 lalu, pembelian solar bersubsidi masih bisa dilakukan
di Agen Pengisian Minyak Solar (APMS) Koperasi Bolumbuen di Jalan KS Tubun.
Saat itu, para nelayan cukup membekali diri dengan surat rekomendasi dari DPKP
Bontang serta Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop)
dan UMKM Bontang.
Mekanisme
pembeliannya, para nelayan tersebut cukup menunjukan surat rekomendasi tersebut
pada petugas yang menjaga APMS.
Namun kata
Nazamuddin, kebijakan itu tidak berlangsung lama. Sebab Maret 2013 lalu, APMS tersebut secara resmi tak lagi
menjual solar bersubsidi. Sehingga pelayanan pendistribusian solar nelayan
terpusat di SPBN dipimpinnya itu.
“Dari data pelanggan nelayan di APMS
Bolumbuen sendiri, dalam sehari mampu menghabiskan 19.501 liter per hari.
Sementara pelanggan tetap kami tercatat di Dinas Perikanan Bontang, jauh lebih
banyak. Maka itulah, kami meminta kuota ditambah,” bebernya.
Namun demikian, Nazamuddin mengakui,
kebijakan itu tidak bisa disangkal lagi. Sebab, keputusan tersebut sudah final.
Sehingga harus tetap dijalankan apapun respon masyarakat. “Kami sih
bersyukur, karena nelayan Bontang bisa lebih baik menyikapi kebijakan ini.
Tidak sama dengan nelayan di daerah lain bisa berujung demo,” tandasnya. (in).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar