Angin
panas berhembus kencang menyebabkan daun jendela menabrak tembok dengan keras.
Fela berdiri dari duduknya, bergerak menuju jendela dan menutup daunnya.
Memandang sejenak ke luar, ia melihat riuh ramainya pasar di siang hari.
“Apa yang
kau pikirkan? Kita harus melakukannya”, ujar Soni dengan kepalan tangan
menggebrak meja yang hampir koyak.
Awan
terdiam di kursi tengah paling ujung, menatap jari-jarinya yang saling terkait
erat. Mendengus pasrah setengah berdoa setengah berpikir.
“Apakah
harus?”, tanyanya balik.
Soni
melempar pandangan pada Fela. Fela mengangguk dan tersenyum padanya.
“Kau tahu
kan, kau adalah satu-satunya pewaris pabrik ini. Pabrik makanan kaleng. Pabrik
yang didirikan oleh Kakek dan Ayahmu dengan usaha keras mereka. Pabrik yang tak
punya sejarah masa kejayaan dan teknologi rendahan, yang kau pikir tak punya
masa depan”, Fela menuju tempat duduknya disamping Awan.
“Mungkin
kau pikir kami semua gila, tapi ini adalah ide terbaik untuk mewujudkan impian
Kakek dan Ayahmu”, Fela menggenggam tangan Awan, “Tapi ini adalah pabrik
milikmu, kau yang berhak memutuskannya”.
Awan melihat jernihnya kedua bola mata Fela. Melihat
seberkas keindahan, keanggunan, dan kelicikan di dalamnya. Ia melepas genggaman
tangan Fela darinya. “Baiklah. Aku putuskan untuk mengikuti pemikiran kalian”.
Terlihat senyum mengembang dari wajah Soni dan Fela. Sedangkan Guntur
memandangnya tanpa ekspresi.
Awan
berdiri dan berjalan keluar ruangan, “Semoga keputusan yang ku buat ini benar”,
ia membatin.
Sudah
seminggu pabrik itu beroperasi. Melakukan perbaikan dimana-mana. Seluruh mesin
telah diganti versi terbaru di tahun 2030 yang menyebabkan pemecatan karyawan
besar-besaran. Semua bagian gedung di dalam pabrik kini tak ada lagi yang rusak
ataupun koyak. Dindingnya terbuat dari besi kuat dan tak bisa ditembus oleh
siapapun.
Seperti
yang terlihat di luar, massa berdatangan dari segala penjuru arah mata angin,
mengepung pabrik. Mereka adalah mantan karyawan yang telah dipecat secara paksa
tanpa alasan. Awan memandangi mereka dari beberapa kamera pengawas. Banyak yang
berteriak keras seperti kesetanan, banyak yang membawa spanduk penuh dengan
kata cacian dan hinaan, banyak yang membawa anak-anak mereka yang menangis
karena kelaparan, banyak yang melemparkan segala jenis makanan busuk.
Tetapi
dinding pabrik ini adalah dinding yang paling kuat sedunia. Tahan terhadap
makanan busuk, tahan terhadap hinaan dan cacian, tahan terhadap tangisan
manusia-manusia kelaparan. Awan berkaca-kaca dan mengusap keringat dinginnya
yang menetes dari dahi lebarnya.
“Kau
harus bisa tahan dengan semuanya”, ujar Soni menepuk pelan bahu Awan. “Karena
kesuksesan hanya didapat dari keringat dan darah”.
Awan
meninggalkan Soni tanpa berkata-kata, ia masuk ke dalam ruangan bertuliskan Pimpinan
di atas daun pintunya, menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Bau sofa baru
memenuhi ruangan, Awan berbaring diatasnya. Memandangi langit-langit yang
berwarna putih seakan-akan membentuk wajah Ayahnya.
“Untuk
apa Ayah membuang uang hanya untuk membeli pabrik besar dengan masa depan tak
jelas seperti ini?”, Ayah berteriak marah pada Kakek.
“Kau
jelas bukan pemuda inovatif modern. Apa kau tak bisa melihat keadaan bumi
sekarang? Lambat laun tak akan ada makanan segar seperti ini!”, Kakek
mengangkat seikat bayam dan melemparnya ke wajah Ayah. “Beberapa tahun lagi
semua yang bisa masuk ke dalam perutmu itu pasti sesuatu yang di dapatkan dari
kaleng bekas yang biasa kau pungut setiap hari dari sampah-sampah kotor. Aku
hanya berusaha untuk menolong dan membuat kemajuan dari usahamu”.
“Apa?
Ayah bilang menolong?”, Ayah mengernyitkan dahi, “Seumur hidup aku berusaha
untuk menjadi relawan menyelamatkan bumi dari kemusnahan yang diakibatkan oleh
perlakuan manusia-manusia bejat yang selalu merusak alam. Aku menanami tanah
dengan pohon-pohon untuk membuat bumi hidup kembali, aku menyosialisasikan
penghematan air kepada semua orang, sampai aku mengambil sampah-sampah dan
mendaur ulangnya agar bisa diterima oleh bumi. Lalu kini ku dapati Ayahku
sendiri tega membeli pabrik yang bermasalah dan tak ramah lingkungan. Tak akan
ku biarkan Ayah mengotori bumi”, balas Ayah marah.
“Makanan
kaleng bukan sesuatu yang jelek dan merusak bumi. Kau saja yang terlalu
mendramatisir masalah ini tanpa kepala dingin. Salah Ibumu yang tak sukses
mendidikmu menjadi manusia berguna”, Kakek selalu saja menyangkut pautkan semua
masalah Ayah dengan perceraiannya.
“Jangan
salahkan Ibu, ia tak pernah salah mendidikku. Kenapa tak kau salahkan saja
dirimu sendiri?”, ujar Ayah.
“Beraninya
kau …”, Kakek tak bisa meneruskan kata-katanya. Mukanya merah padam terbakar
emosi.
Awan
terdiam di ambang pintu, melihat pertengkaran Ayah dengan Kakeknya. Sengaja ia
terus berdiri disana, ingin meminta ijin kepada Ayahnya untuk tak ikut acara
penggalangan dana untuk reboisasi hutan hujan karena sebetulnya ia malas sekali
mengikuti kegiatan-kegiatan yang Ayah buat untuk masyarakat.
“Ayah,
bolehkah aku tidak mengikuti kegiatan itu? Aku harus mengerjakan pekerjaan
rumah”, kata Awan ketika Ayah hampir sampai di dekat pintu.
Ayah
melemparkan seikat bayam pada Awan sama persis seperti yang Kakek lakukan
padanya. “Terserah padamu. Ikuti saja kemauanmu dan kemauan Kakekmu, Ayah tak
peduli”, ubun-ubunnya panas hampir pecah.
Awan
mengehela napas panjang. Baju lusuhnya dibanjiri keringat. Sudah sepuluh kali
ia memikul kantong-kantong beras bolak-balik dari truk ke gudang. Ia bersandar
di emperan toko yang tutup karena bangkrut. Ia mengayun-ayunkan sobekan koran
di depan lehernya, semilir angin panas bergerak ke arahnya.
Wanita
gendut bermata sipit dengan gelang-gelang emas di tangan kirinya tengah
membagi-bagikan upah pada beberapa kuli angkut. Bau uang-uang lusuh bekas ikan
asin membuat kuli angkut bersemangat. Semua berdesakan ingin mendapat bagian
pertama. Belum sempat berdiri, Awan terkejut melihat Fela datang tergesa-gesa.
“Ayahmu
.. Ayahmu ..”, Fela kehabisan napasnya.
“Ada apa
dengan Ayahku?”, sobekan kertas itu dijatuhkan ke tanah.
“Penyakitnya
.. kambuh”.
Pintu
diketuk dari luar. Awan sedikit terkejut dan langsung berdiri dari atas sofa
dan membuka kuncian pintunya. Ia mendapati seorang wanita cantik dengan lipstik
merah menyala di bibirnya.
“Silahkan
masuk, Fel”.
Fela
masuk ke dalam ruangan dengan membawa beberapa gelas kaca bening.
“Jelaskan
apa yang membuat profesor makanan datang ke ruanganku?”, Awan tersenyum. Ia
mampu menduga Fela sengaja datang kesana dengan maksud dan tujuan tertentu.
Secara Fela akhir-akhir ini tak dapat ditemui karena kesibukannya meneliti di
laboratorium.
“Aku
membawa beberapa sampel makanan baru yang bisa dikeluarkan ke pasaran tahun
depan”.
Awan
mengamati beberapa diantaranya.
“Beras?”,
tanyanya dengan heran.
“Ya”.
Alisnya
terangkat, ia tak tahu apa manfaatnya. Produk-produk pabriknya sebelumnya
kebanyakan mengangkat tema lauk-pauk seperti ikan sarden, kacang-kacangan,
sayur-sayuran, buah-buahan, daging asap yang semuanya dimasukkan ke dalam
kaleng. Sekarang Fela datang membawa bahan lain untuk dimasukkan ke dalam
kaleng, yaitu beras. Awan menggeleng tak paham.
Fela
tersenyum, “Kita bisa meningkatkan profit untuk pabrik ini dengan mengeluarkan
produk baru yaitu beras”.
Ia
berjalan menuju jendela, melihat massa yang tak kunjung hilang. “Aku tak suka
kerumunan ramai seperti itu, seperti pasar yang tak jelas kapan matinya”, kata
Fela kesal.
“Maka
dari itu aku ingin membuat kerumunan itu hilang dan pasar menjadi sepi”.
Awan
melihat kejanggalan senyum di bibir Fela.
“Dengan
beras dalam kaleng akan lebih memudahkan konsumen untuk tidak menggotong-gotong
karung-karung beras yang kotor, memudahkan konsumen untuk tak lagi repot
mencuci dan memasak beras hingga menghabiskan air dan gas rumah mereka. Beras
dalam kaleng, makanan instan untuk konsumen modern”, Fela memperlihatkan sampel
di dalam gelas kaca bening.
Awan
tersenyum, ia duduk di kursi kepemimpinannya. “Harga
beras di pasar sangat stabil. Tak
mungkin kita membelinya dengan harga mahal dan menjualnya tetap seperti harga
beli. Kau akan merugikan perusahaan”.
“Kita tak akan pernah rugi jika kita berani mengambil resiko”,
Fela duduk di meja dan berhadapan dengan Awan. “Kita beli semua beras yang ada
di bumi ini, mengolahnya dan karena hanya kita yang memiliki simpanan beras
maka kita bisa menjual dengan harga tinggi”.
“Karena
orang-orang sangat membutuhkannya”, Fela berbisik di telinga dan mengecup pipi
Awan mesra.
Awan
pergi ke luar rumah dengan membawa seikat bayam yang Ayah lemparkan tepat di
wajahnya. Ia berjalan tak tentu arah, yang pasti ia tak mau kembali ke rumah
dulu sebelum keadaan Ayah dan Kakeknya membaik.
Tak
sengaja kakinya mengarahkannya ke tengah pasar. Ia melihat gadis seumurannya
terdiam duduk di pojok warung yang tutup.
“Sedang
apa kau disini?”, tanya Awan melihat gadis kecil di depannya dengan muka yang
dipalingkan darinya.
“Menunggu
seseorang”, jawabnya singkat.
“Sudah
berapa lama kau ada disini?”.
“Bukan urusanmu”, ia masih memalingkan wajahnya. Namun Awan tahu
bahwa gadis itu telah berjam-jam berada disana, dilihat dari kulitnya yang
gosong mungkin sejak pagi hingga sore ini ia menunggu.
Awan
tertawa, “Menunggu ataukah sengaja dibuang?”.
“Apa
maksudmu?”.
“Aku
bertemu dengan seorang anak laki-laki seumuranku minggu lalu disini. Sama
sepertimu, ia mengaku tengah menunggu Ibunya. Seminggu ia mencarinya tapi
Ibunya tak kunjung datang. Ibunya tak akan datang. Karena ia sengaja dibuang”.
“Teganya
kau berkata seperti itu padaku”, mata gadis kecil itu berkaca-kaca. “Aku tidak
dibuang”.
Awan
mengangkat bahunya, “Oke. Selamat menunggu. Sampaikan salamku pada Ibumu jika
kau bertemu dengannya”.
Awan
pergi meninggalkannya sendirian disana. Namun tatapan gadis kecil itu masih tak
berpaling. Ia melihat punggung Awan berjalan menjauhinya.
Gadis kecil
itu kembali duduk dalam bisunya. Ia menyembunyikan dirinya sendiri membaur
dengan usangnya barang-barang warung yang tak laku. Ia terkejut karena Awan
kembali tiba-tiba.
“Apakah
kau tahu apa yang bisa ku lakukan dengan sayuran ini?”, tanya Awan dengan
seikat bayam di tangannya.
“Masaklah
di dalam air mendidih dengan sedikit garam dan bawang putih”.
“Maukah
kau memasaknya untukku?”.
Gadis
kecil itu melihatnya, “Apakah benar bahwa aku dibuang?”.
Awan
berbalik melihat dan duduk disampingnya, “Aku akan tetap disini menemanimu
menunggu kedatangan orang itu”.
Lampu-lampu
pasar dinyalakan untuk menghidupkan langit gelap. Keadaan tak berubah walaupun
malan, pasar tetap ramai oleh penjual dan pembeli. Dua anak kecil masih duduk
menunggu di tengah temaram lampu kuning yang menyala seperti lampu disko.
“Ayo kita masak sayur ini di rumahku”, ajak Awan.
Gadis itu tak beranjak dari tempat duduknya. “Tunggu sampai mereka
semua pergi. Karena aku benci keramaian pasar”.
Ayahnya girap-girap tak karuan. Memukul-mukul meja sampai roboh.
Dulu beberapa karyawan yang mencoba mendekatinya mendapat luka-luka akibat
hantaman kayu. Kapok. Tak ada lagi yang berani mendekatinya
Awan berlari masuk dan melemparkan seikat bayam ke wajah sang
Ayah. Ayah terkejut seperti kuntilanak yang dicopot pakunya. Ia lunglai dan
kemudian terjatuh di atas lantai cokelat yang tak pernah disapu. Awan dan
beberapa orang membantu membopong Ayahnya masuk kamar. Fela mengikutinya dari
belakang dengan seember air dingin.
“Ada apa
ini? Ada apa ini?”, tanya Ayahnya ketika siuman.
“Ayah
tidur saja”, ucap Awan diiringi anggukan Fela yang tengah menyeka dahi Ayah.
Awan tak
tahu apa yang terjadi pada Ayahnya. Setelah kejadian pertengkaran dengan Kakek
dulu, Ayahnya semakin jarang pulang ke rumah. Ia tinggal bersama Kakeknya yang
sibuk bekerja sampai-sampai tak pernah ada lagi waktu untuk menemaninya
belajar. Kakeknya meninggal ketika ia lulus SMP. Beliau mewariskan pabrik yang
tak sukses dan penuh hutang. Ayahnya
tiba-tiba muncul minta makan dengan penampilan seperti pengemis. Hartanya
hilang untuk kepentingan donasi hingga ia lupa untuk mengurus kehidupannya
sendiri. Seorang pecinta lingkungan itu kini termakan omongannya sendiri ketika
memutuskan untuk meneruskan pabrik Kakek demi kelangsungan hidup keluarga. Sejak
itulah ia sadar bahwa Ayahnya menjadi sedikit gila. Begitu pula Awan yang tak
bisa meneruskan pendidikannya dan harus bekerja serabutan menjadi kuli panggul
di pasar.
Setiap kali penyakit Ayah kambuh, Fela selalu nekat berlari-lari
ke tengah ramainya pasar yang dibencinya, memanggil Awan untuk mengobati dengan
melempar seikat bayam tepat di wajah Ayahnya. Ketika siuman Ayahnya benar-benar
tak tahu apa yang telah terjadi pada dirinya.
“Aku ke pasar dulu”, pamit Awan kepada Fela.
“Lagi?”, Fela membuang sisa air dari ember ke selokan.
Awan berlari menjauhinya, “Aku belum mengambil upahku!”.
Riuh gemuruh tepuk tangan penonton memenuhi ruang aula ketika Awan
memotong pita. Hari ini launching makanan kaleng terbaru produksi pabrik.
Seluruh undangan dari berbagai macam belahan bumi datang untuk menyaksikannya.
Tamu-tamu konglomerat yang mau mendanai sebagian saham di pabrik duduk rapi
dengan perut membuncit seperti busung lapar yang kekenyangan. Iklan-iklan di
televisi juga sudah menayangkan iklan produk beras kaleng tiga kali tayang
setiap lima menit. Tak ada seorang pun di dunia ini yang tak mengetahui Awan
dan pabriknya. Semua orang tahu kecuali Ayah dan Kakeknya.
Awan berdiri di tengah podium dengan jas hitam yang membuatnya
tampak pintar dan gagah. Sedikit berkomentar dengan mengucapkan kata pengantar
juga terima kasih. Para undangan tak henti-hentinya bertepuk tangan untuk
kesuksesannya. Awan telah berhasil meraih mimpi dan citacita yang diidamkan
Kakeknya. Membuat makanan sejuta umat dengan harga sejuta-juta.
“Sedang apa kau disini?”, tanya Kakek.
“Menunggu Ayah”, Awan memeluk seikat bayam di dadanya.
“Ia tak akan datang”.
Awan tak beranjak dari duduknya. Ia tetap berada di tengah pintu
menanti kedatangan Ayahnya yang tak kunjung pulang dari seminggu kemarin.
“Kenapa Kakek bersikeras untuk membuka pabrik itu?”, tanya Awan.
Kakek kemudian duduk di samping Awan dan merebut pelan seikat
bayam dari tangan Awan. “Karena teknologi”.
Alis Awan mengkerut. Anak kecil sepertinya tak cepat tanggap
mencerna kata-kata pria tua. Kakek tersenyum, matanya memandang awan di langit.
“Apakah kau yakin seribu tahun lagi kau akan memandang langit yang
sama?”, pandangannya mengikuti kumpulan awan yang berarak menuju utara.
“Mungkin saja”, jawab Awan. “Mana aku tahu, Kakek juga pasti tidak
tahu. Karena Kakek tak akan hidup sampai seribu tahun”.
Kakek tertawa-tawa. Diberikannya seikat bayam itu kepada Awan.
“Jawabannya tidak”, timpal Kakeknya. “Karena langit hari ini tak akan pernah
sama dengan langit di keesokan hari. Semua bisa berubah dan tak akan pernah
sama. Apa yang kau lihat sekarang belum tentu kau dapat melihatnya lagi besok.
Apa yang kau makan sekarang belum tentu dapat kau makan lagi besok”.
Awan
melihat seikat bayam itu dengan cermat. “Itu berarti seribu tahun lagi sayur
ini tak lagi ada seperti yang ku lihat saat ini”. Ia mendesah, “Itu juga
berarti aku belum tentu dapat melihat Ayah datang besok”.
Kakek
menepuk-nepuk punggung Awan, “Dengan mengolahnya bersama kemajuan teknologi
maka makanan-makanan akan lebih tahan lama”. Kakek berdiri masuk ke dalam
rumah, “Kau tak mau merayakan ulang tahunmu? Fela dan Guntur sudah siap di meja
makan”.
Awan
masih melihat langit, “Jika Ayah tiba, aku akan memasukkannya ke dalam kaleng
agar ia dapat ku temui setiap hari sampai seribu tahun lagi”.
Awan
berlalu dari sorak sorai tepuk tangan. Meninggalkan aula dan ia kembali ke
pabriknya. Karena keadaan manusia-manusia kelas rendah yang sering mengamuk di
sekitar pabriknya, Awan tak lagi menggunakan transportasi darat. Oleh Soni, ia
disarankan untuk selalu menggunakan helikopter pribadi sebagai transportasi.
Pabriknya
yang terlapisi lapisan kaleng bersinar-sinar jika dilihat dari atas.
Menyala-nyala begitu terang ketika ditimpa matahari. Membuat pupil mata
mengecil ketika memandangnya. “Pabrikku bersinar”, batin Awan.
Di bawah
helikopternya, ia tak melihat seorang pun massa berdatangan. Pasar disamping
pabrik pun tak lagi ramai. Yang tersisa hanyalah puing-puing bekas kerusuhan.
Awan bertanya-tanya, “Apa yang terjadi? Kemana semua orang?”.
Awan segera berlari menuju laboratorium setibanya ia disana. Fela
tak ada disana. Ia berlari menuju ruang pengawas. Tak ada Soni disana. “Oh
iya!”, Awan tersentak dalam ingatannya. Ia lupa bahwa mereka berdua masih
berada di aula.
Suara
mesin terdengar menderu-deru. Awan masuk ke dalamnya. Sebuah ruangan kotor
dengan dinding penuh cipratan darah. Bau anyirnya melekat di udara. Awan sangat
terkejut melihat Guntur tiba-tiba muncul dibalik bongkahan daging yang diikat
terbalik.
“Kau
mengagetkanku”, kata Awan menepuk pundak Guntur.
Guntur
tersenyum tanpa berkata-kata. Kedua tangannya memegang bilah pisau yang panjang
dan tajam. Membelakangi Awan, Guntur menyelesaikan pekerjaannya.
Hidung
Awan menjadi kaku karena bau anyir yang semakin melekat pada indera
penciumannya. “Aku jarang masuk ke tempat ini. Namun aku merasa ada yang
berbeda dari bau darahnya”.
Guntur
tetap diam dalam ucap, tangannya masih mengayun-ayun lembut memotongi daging
menjadi bongkahan-bongkahan yang lebih kecil.
Awan
menghirup kuat-kuat udara di sekitarnya sampai hisapan hidungnya berbunyi, “Aku
mencium bau darah manusia disini”.
Guntur
membeku sekitar sepuluh detik dalam diamnya. Bola matanya bergerak-gerak
ketakutan. Awan curiga padanya.
“Apakah
kau yang terluka?”.
Guntur
menggeleng, mulutnya terbuka lalu tertutup lagi. Seperti ingin mengucapkan
sesuatu namun tidak jadi.
“Jangan
katakan bahwa kau menggunakannya lagi”.
Guntur
dan Awan saling bertatapan. Tak ada yang berbicara. Semuanya membisu kecuali
semerbak bau anyir darah yang menetes dari daging segar. Lambat laun baunya
menyerupai bau anyir darah manusia.
“Kapan
kau akan berbicara?”, Awan bertanya kepada anak laki-laki seumurannya yang
duduk di meja makan dengan mulut penuh makanan. Ia tak menjawab. Hanya
pundaknya bergerak naik-turun tanda tak tahu.
Awan
melihatnya rakus melahap semua makanan, “Kau terlihat sangat kelaparan sekali”.
Anak laki-laki itu mengangguk.
“Siapa
namamu?”, tanya Awan untuk yang ke dua belas kalinya.
Tangan
anak laki-laki itu bergerak-gerak menyimbolkan susunan huruf-huruf. Alis Awan
mengkerut, “Aku tak bisa membaca bahasa isyaratmu”.
Awan
keluar dari dapur dan membawa pensil dan selembar kertas sekembalinya. Ia
menaruhnya di meja tepat di hadapan anak laki-laki itu. “Tulis namamu disini”.
Anak laki-laki itu mulai menulis satu-satu abjad dengan menggunakan tangan
kirinya.
“Jadi
namamu Guntur?”, pertanyaan Awan setelah membaca tulisan cakar ayam itu
diiringi anggukan anak laki-laki di depannya.
“Aku
melihat kau bisa mendengar. Ku rasa kau tak bisu. Karena orang yang bisu
biasanya juga tuli”, Awan duduk di bangku yang berseberangan dengan Guntur.
“Katakan mengapa kau tak mau berbicara?”.
Bola mata
Guntur berputar dua ratus tujuh puluh derajat. Mulutnya terbuka lalu tertutup
lagi. Seperti ingin mengucapkan sesuatu namun tidak jadi. Kemudian ia terdiam.
Pandangan
Ayah kosong. Matanya melihat langit yang gelap, tak berkedip. Entah menghitung
banyaknya bintang atau tengah menerawang rasi bintang. Angin malam bertiup
menerbangkan daun-daun kering dan membuat bunyi berisik dari onggokan rongsokan
di halaman. Awan datang memakaikan selimut pada Ayah yang terduduk di kursi
goyang. Guntur duduk di sampingnya.
“Apa
kalimat terakhir yang Kakek ucapkan padamu?”, tanya Ayah.
Awan menundukkan kepalanya, menatap tanah kering retak-retak.
“Sampai kapan kau merahasiakan semua ini dariku?”, tanya Ayah
lagi.
Awan masih memandang bawah. Menelan ludah. Ia tak berani
mengatakannya.
“Jangan lagi membahas hal itu”, pinta Awan.
Ayah menghela napas panjang. Matanya masih memandang ke langit.
Kursinya bergoyang-goyang ditiup angin. Rintik-rintik hujan menetes berlahan-lahan.
“Aku harus pergi”, ucap Awan melihat gerimis yang akan berubah
menjadi hujan lebat, ia menuju halaman belakang membereskan sisa daging dari
pabrik yang dijemur untuk lauk esok pagi.
Ayah menatap Guntur yang masih berada di sampingnya, “Kau juga tak
mau mengatakannya?”.
Guntur membuka mulutnya, lalu tertutup lagi.
“Apakah hal itu tentang bahan utama yang membuat pabrik kita
berjaya?”, tanya Ayah sambil melihat langit. Ia tak melihat Guntur mengangguk
perlahan.
“Kalian harus melakukannya”.
Guntur memandang Ayah yang masih menengadah melihat langit.
“Tapi setelah aku mati”, ucap Ayah diiringi anggukan Guntur.
Langit
menderu-deru. Rintikan hujannya semakin lebat. Angin bertiup kencang hanya
sekali, kemudian mendadak hujan berhenti dan langit menjadi cerah. Guntur masih
berada disamping Ayah.
Kursi
Ayah berhenti bergoyang. Ayah masih menatap langit tak berkedip. Ia tak
bernapas.
Keadaan
berubah kacau ketika seluruh siaran di televisi mengabarkan bahwa
pelanggan-pelanggan makanan kaleng banyak yang meninggal akibat keracunan. Satu
tahun tepat setelah acara peluncuran produk terbaru. Pabrik dikepung kawanan
massa yang mengamuk dan pencari berita yang haus akan berita teranyar.
Keempat
pemuda-pemudi itu berkumpul di ruang rapat. Fela
terlihat pusing melihat keramaian orang-orang yang berkumpul di gerbang depan.
Soni tak bersuara, tangannya dingin gemetaran. Awan tertunduk di lantai,
disampingnya ada Guntur yang memandangi mereka satu per satu dengan seksama.
Sebentar lagi satuan polisi akan menangkap mereka.
Terobosan
baru makanan yang mereka buat dengan teknologi tercanggih, bertujuan untuk
membantu kehidupan umat manusia yang tengah dilanda krisis makanan di berbagai
belahan negara di dunia. Sejak tak ada lahan di bumi yang mampu ditanami, semua
pabrik makanan berlomba-lomba untuk membuat makanan sintesis yang aman untuk
dikonsumsi. Menghalalkan segala cara demi terpenuhinya isi perut manusia.
“Kita
telah melakukan kesalahan”, kata Awan. Ia memandangi Fela, Soni, dan Guntur
bergantian.
“Apa kau
bilang? Kita?”, Fela berteriak. “Semua ini salahmu. Kau yang tak becus jadi
pemimpin!”.
Awan
menatap Fela, “Jadi sekarang kau menyalahkan aku? Tidakkah kau ingat, kau lah
yang merumuskan semuanya. Kau juga!”, bentaknya pada Soni yang masih tak
bersuara. “Kalian yang memanfaatkanku”.
Fela
tertawa, “Sadarkah kau bahwa orang yang telah dimanfaatkan adalah orang yang
bodoh, yang tak pernah mengerti dirinya sendiri, yang tak pernah mau
menggunakan otaknya untuk berpikir”.
Awan
terdiam memendam amarah.
“Kau
hanyalah manusia kaleng. Tak berisi, hanya pintar berbunyi. Tak punya otak,
hanya pintar untuk mengiyakan pendapat orang lain. Kau dan makananmu sama
saja!”, teriakan Fela menggema di seluruh ruangan.
Raungan
sirine berbunyi berulang-ulang kali. Teriakan massa terdengar tak ada habisnya.
Kemarahan Awan memuncak namun ia tak bisa berbuat apa-apa. Matanya terpejam,
berharap ia bisa kembali ke suatu hari tepat di sepuluh tahun yang lalu. Hari
dimana ia bebas untuk mengutarakan pendapatnya sendiri.
Setelah
membuka mata, yang ia tahu tubuh Soni dan Fela terjatuh tepat di hadapannya
dengan darah segar membanjiri sepatu kulitnya. Kedua pasang mata mereka menatap
lekat ke arah Awan seakan ingin mengucapkan satu kalimat terakhir. Guntur
berdiri tepat di belakang mereka, membawa dua bilah pisau panjang yang
berlumuran darah.
“Maafkan
aku”, Awan mendengar Guntur berucap untuk yang pertama kalinya.
Malam
itu, malam ulang tahun kelima kalinya tanpa Ayah, Kakek masuk ke dalam kamar
Awan. Awan meringkuk di bawah selimut usangnya. Berpura-pura tidur. Kakek
mengusap rambutnya lembut.
“Kakek
tahu, kau telah mendengarnya tadi”.
Dengan
mata terpejam, Awan menelan ludahnya. Ia ketahuan telah menguping pembicaraan
Kakek dengan Guntur tadi siang. Pembicaraan Kakek tentang tujuannya membeli
pabrik dan mengolah sesuatu menjadi sesuatu yang bisa dimakan dan dimasukkan ke
dalam kaleng yang bisa bertahan lama.
“Ketika
orang tua seperti Kakek ingin membangun masyarakat untuk lebih peduli pada
makanan, apa yang terjadi? Semua orang pasti menghiraukannya karena orang tua
seperti Kakek tak punya inovasi untuk berkembang. Semua pasti mencibir bahwa
pemikiran orang tua hanyalah pemikiran usang dan hanya impian semata yang tak
pernah bisa untuk diwujudkan”.
Di dalam
angannya, Awan mengingat-ingat apa yang Kakek katakan tadi. Kakek berkata bahwa
dengan dihasilkannya makanan kaleng itu maka Kakek berharap agar manusia
menjadi lebih sadar untuk memanfaatkan makanan segar dengan tepat dan efektif
sehingga manusia bisa menjaga kelangsungan hidup makanan segar dengan
membudidayakannya secara intensif.
Karena
manusia tak akan pernah tersadar bahayanya jika seluruh makanan segar di dunia
ini habis jika mereka belum mengalaminya. Maka dari itu Awan tahu mengapa
pabrik Kakeknya tak pernah sukses di pasaran, karena Kakek tak menginginkan
keuntungan. Ia hanya ingin menyadarkan manusia bahwa makanan segar itu lebih
enak dan sehat daripada makanan kaleng.
“Ketika
pemuda-pemuda seperti dirimu membangun masyarakat, apa yang terjadi? Sebuah
kekreatifitasan bercampur dengan inovasi dan teknologi, maka akan menghasilkan
suatu perubahan signifikan di dunia”.
Kakek
memandangi Awan yang berpura-pura tertidur, “Namun ketika mereka berinovasi
terlalu jauh tanpa memperhatikan pemikiran orang tua, budaya masyarakat, dan
alam semesta, yang terjadi adalah musnahnya tatanan kehidupan di dunia”.
Kakek
beranjak dari duduknya menuju pintu. Sebelum keluar, ia memalingkan
pandangannya sejenak pada Awan yang masih meringkuk, “Fela berusaha untuk
meyakinkan Kakek tentang temuan terbarunya yang bisa membuat pabrik kita sukses
dan untung besar. Awalnya Kakek berkeinginan seperti itu, tapi Guntur
mencegahnya”.
“Kakek
tidak tahu apa yang berada di dalam pikirannya. Ia pemuda yang juga ingin
mengubah dunia, tapi ia memiliki cara yang berbeda. Menjadi berbeda bukan hanya
bisa menjadi lebih baik, malah mungkin akan semakin memperburuk keadaan. Kakek
tidak ingin kau menyesali perbuatanmu di suatu saat nanti. Selalu pikirkan
masak-masak sebelum melakukannya. Kakek yakin, kau bisa bertindak lebih dewasa
dan bijaksana dalam mengambil keputusan”.
Awan
membuka matanya dalam kegelapan, melihat Kakek di ujung pintu.
“Yang kau
dengar itu benar. Untuk membuat pabrik kita sukses adalah menambahkan daging
manusia sebagai bumbu perasanya”, Kakek pun berjalan menghilang jauh dari
padangan Awan.
(Juara Ketiga Lomba Cerpen Se-Universitas Negeri Malang Tahun 2012 yang
diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri
Malang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar