Sabtu, 13 September 2014

Manusia Kaleng



Angin panas berhembus kencang menyebabkan daun jendela menabrak tembok dengan keras. Fela berdiri dari duduknya, bergerak menuju jendela dan menutup daunnya. Memandang sejenak ke luar, ia melihat riuh ramainya pasar di siang hari.
“Apa yang kau pikirkan? Kita harus melakukannya”, ujar Soni dengan kepalan tangan menggebrak meja yang hampir koyak.
Awan terdiam di kursi tengah paling ujung, menatap jari-jarinya yang saling terkait erat. Mendengus pasrah setengah berdoa setengah berpikir.
“Apakah harus?”, tanyanya balik.
Soni melempar pandangan pada Fela. Fela mengangguk dan tersenyum padanya.
“Kau tahu kan, kau adalah satu-satunya pewaris pabrik ini. Pabrik makanan kaleng. Pabrik yang didirikan oleh Kakek dan Ayahmu dengan usaha keras mereka. Pabrik yang tak punya sejarah masa kejayaan dan teknologi rendahan, yang kau pikir tak punya masa depan”, Fela menuju tempat duduknya disamping Awan.
“Mungkin kau pikir kami semua gila, tapi ini adalah ide terbaik untuk mewujudkan impian Kakek dan Ayahmu”, Fela menggenggam tangan Awan, “Tapi ini adalah pabrik milikmu, kau yang berhak memutuskannya”.
Awan melihat jernihnya kedua bola mata Fela. Melihat seberkas keindahan, keanggunan, dan kelicikan di dalamnya. Ia melepas genggaman tangan Fela darinya. “Baiklah. Aku putuskan untuk mengikuti pemikiran kalian”. Terlihat senyum mengembang dari wajah Soni dan Fela. Sedangkan Guntur memandangnya tanpa ekspresi.
Awan berdiri dan berjalan keluar ruangan, “Semoga keputusan yang ku buat ini benar”, ia membatin.

Sudah seminggu pabrik itu beroperasi. Melakukan perbaikan dimana-mana. Seluruh mesin telah diganti versi terbaru di tahun 2030 yang menyebabkan pemecatan karyawan besar-besaran. Semua bagian gedung di dalam pabrik kini tak ada lagi yang rusak ataupun koyak. Dindingnya terbuat dari besi kuat dan tak bisa ditembus oleh siapapun.
Seperti yang terlihat di luar, massa berdatangan dari segala penjuru arah mata angin, mengepung pabrik. Mereka adalah mantan karyawan yang telah dipecat secara paksa tanpa alasan. Awan memandangi mereka dari beberapa kamera pengawas. Banyak yang berteriak keras seperti kesetanan, banyak yang membawa spanduk penuh dengan kata cacian dan hinaan, banyak yang membawa anak-anak mereka yang menangis karena kelaparan, banyak yang melemparkan segala jenis makanan busuk.
Tetapi dinding pabrik ini adalah dinding yang paling kuat sedunia. Tahan terhadap makanan busuk, tahan terhadap hinaan dan cacian, tahan terhadap tangisan manusia-manusia kelaparan. Awan berkaca-kaca dan mengusap keringat dinginnya yang menetes dari dahi lebarnya.
“Kau harus bisa tahan dengan semuanya”, ujar Soni menepuk pelan bahu Awan. “Karena kesuksesan hanya didapat dari keringat dan darah”.
Awan meninggalkan Soni tanpa berkata-kata, ia masuk ke dalam ruangan bertuliskan Pimpinan di atas daun pintunya, menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Bau sofa baru memenuhi ruangan, Awan berbaring diatasnya. Memandangi langit-langit yang berwarna putih seakan-akan membentuk wajah Ayahnya.

“Untuk apa Ayah membuang uang hanya untuk membeli pabrik besar dengan masa depan tak jelas seperti ini?”, Ayah berteriak marah pada Kakek.
“Kau jelas bukan pemuda inovatif modern. Apa kau tak bisa melihat keadaan bumi sekarang? Lambat laun tak akan ada makanan segar seperti ini!”, Kakek mengangkat seikat bayam dan melemparnya ke wajah Ayah. “Beberapa tahun lagi semua yang bisa masuk ke dalam perutmu itu pasti sesuatu yang di dapatkan dari kaleng bekas yang biasa kau pungut setiap hari dari sampah-sampah kotor. Aku hanya berusaha untuk menolong dan membuat kemajuan dari usahamu”.
“Apa? Ayah bilang menolong?”, Ayah mengernyitkan dahi, “Seumur hidup aku berusaha untuk menjadi relawan menyelamatkan bumi dari kemusnahan yang diakibatkan oleh perlakuan manusia-manusia bejat yang selalu merusak alam. Aku menanami tanah dengan pohon-pohon untuk membuat bumi hidup kembali, aku menyosialisasikan penghematan air kepada semua orang, sampai aku mengambil sampah-sampah dan mendaur ulangnya agar bisa diterima oleh bumi. Lalu kini ku dapati Ayahku sendiri tega membeli pabrik yang bermasalah dan tak ramah lingkungan. Tak akan ku biarkan Ayah mengotori bumi”, balas Ayah marah.
“Makanan kaleng bukan sesuatu yang jelek dan merusak bumi. Kau saja yang terlalu mendramatisir masalah ini tanpa kepala dingin. Salah Ibumu yang tak sukses mendidikmu menjadi manusia berguna”, Kakek selalu saja menyangkut pautkan semua masalah Ayah dengan perceraiannya.
“Jangan salahkan Ibu, ia tak pernah salah mendidikku. Kenapa tak kau salahkan saja dirimu sendiri?”, ujar Ayah.
“Beraninya kau …”, Kakek tak bisa meneruskan kata-katanya. Mukanya merah padam terbakar emosi.
Awan terdiam di ambang pintu, melihat pertengkaran Ayah dengan Kakeknya. Sengaja ia terus berdiri disana, ingin meminta ijin kepada Ayahnya untuk tak ikut acara penggalangan dana untuk reboisasi hutan hujan karena sebetulnya ia malas sekali mengikuti kegiatan-kegiatan yang Ayah buat untuk masyarakat.
“Ayah, bolehkah aku tidak mengikuti kegiatan itu? Aku harus mengerjakan pekerjaan rumah”, kata Awan ketika Ayah hampir sampai di dekat pintu.
Ayah melemparkan seikat bayam pada Awan sama persis seperti yang Kakek lakukan padanya. “Terserah padamu. Ikuti saja kemauanmu dan kemauan Kakekmu, Ayah tak peduli”, ubun-ubunnya panas hampir pecah.

Awan mengehela napas panjang. Baju lusuhnya dibanjiri keringat. Sudah sepuluh kali ia memikul kantong-kantong beras bolak-balik dari truk ke gudang. Ia bersandar di emperan toko yang tutup karena bangkrut. Ia mengayun-ayunkan sobekan koran di depan lehernya, semilir angin panas bergerak ke arahnya.
Wanita gendut bermata sipit dengan gelang-gelang emas di tangan kirinya tengah membagi-bagikan upah pada beberapa kuli angkut. Bau uang-uang lusuh bekas ikan asin membuat kuli angkut bersemangat. Semua berdesakan ingin mendapat bagian pertama. Belum sempat berdiri, Awan terkejut melihat Fela datang tergesa-gesa.
“Ayahmu .. Ayahmu ..”, Fela kehabisan napasnya.
“Ada apa dengan Ayahku?”, sobekan kertas itu dijatuhkan ke tanah.
“Penyakitnya .. kambuh”.

Pintu diketuk dari luar. Awan sedikit terkejut dan langsung berdiri dari atas sofa dan membuka kuncian pintunya. Ia mendapati seorang wanita cantik dengan lipstik merah menyala di bibirnya.
“Silahkan masuk, Fel”.
Fela masuk ke dalam ruangan dengan membawa beberapa gelas kaca bening.
“Jelaskan apa yang membuat profesor makanan datang ke ruanganku?”, Awan tersenyum. Ia mampu menduga Fela sengaja datang kesana dengan maksud dan tujuan tertentu. Secara Fela akhir-akhir ini tak dapat ditemui karena kesibukannya meneliti di laboratorium.
“Aku membawa beberapa sampel makanan baru yang bisa dikeluarkan ke pasaran tahun depan”.
Awan mengamati beberapa diantaranya.
“Beras?”, tanyanya dengan heran.
“Ya”.
Alisnya terangkat, ia tak tahu apa manfaatnya. Produk-produk pabriknya sebelumnya kebanyakan mengangkat tema lauk-pauk seperti ikan sarden, kacang-kacangan, sayur-sayuran, buah-buahan, daging asap yang semuanya dimasukkan ke dalam kaleng. Sekarang Fela datang membawa bahan lain untuk dimasukkan ke dalam kaleng, yaitu beras. Awan menggeleng tak paham.
Fela tersenyum, “Kita bisa meningkatkan profit untuk pabrik ini dengan mengeluarkan produk baru yaitu beras”.
Ia berjalan menuju jendela, melihat massa yang tak kunjung hilang. “Aku tak suka kerumunan ramai seperti itu, seperti pasar yang tak jelas kapan matinya”, kata Fela kesal.
“Maka dari itu aku ingin membuat kerumunan itu hilang dan pasar menjadi sepi”.
Awan melihat kejanggalan senyum di bibir Fela.
“Dengan beras dalam kaleng akan lebih memudahkan konsumen untuk tidak menggotong-gotong karung-karung beras yang kotor, memudahkan konsumen untuk tak lagi repot mencuci dan memasak beras hingga menghabiskan air dan gas rumah mereka. Beras dalam kaleng, makanan instan untuk konsumen modern”, Fela memperlihatkan sampel di dalam gelas kaca bening.
Awan tersenyum, ia duduk di kursi kepemimpinannya. “Harga beras di pasar sangat stabil. Tak mungkin kita membelinya dengan harga mahal dan menjualnya tetap seperti harga beli. Kau akan merugikan perusahaan”.
“Kita tak akan pernah rugi jika kita berani mengambil resiko”, Fela duduk di meja dan berhadapan dengan Awan. “Kita beli semua beras yang ada di bumi ini, mengolahnya dan karena hanya kita yang memiliki simpanan beras maka kita bisa menjual dengan harga tinggi”.
“Karena orang-orang sangat membutuhkannya”, Fela berbisik di telinga dan mengecup pipi Awan mesra.

Awan pergi ke luar rumah dengan membawa seikat bayam yang Ayah lemparkan tepat di wajahnya. Ia berjalan tak tentu arah, yang pasti ia tak mau kembali ke rumah dulu sebelum keadaan Ayah dan Kakeknya membaik.
Tak sengaja kakinya mengarahkannya ke tengah pasar. Ia melihat gadis seumurannya terdiam duduk di pojok warung yang tutup.
“Sedang apa kau disini?”, tanya Awan melihat gadis kecil di depannya dengan muka yang dipalingkan darinya.
“Menunggu seseorang”, jawabnya singkat.
“Sudah berapa lama kau ada disini?”.
“Bukan urusanmu”, ia masih memalingkan wajahnya. Namun Awan tahu bahwa gadis itu telah berjam-jam berada disana, dilihat dari kulitnya yang gosong mungkin sejak pagi hingga sore ini ia menunggu.
Awan tertawa, “Menunggu ataukah sengaja dibuang?”.
“Apa maksudmu?”.
“Aku bertemu dengan seorang anak laki-laki seumuranku minggu lalu disini. Sama sepertimu, ia mengaku tengah menunggu Ibunya. Seminggu ia mencarinya tapi Ibunya tak kunjung datang. Ibunya tak akan datang. Karena ia sengaja dibuang”.
“Teganya kau berkata seperti itu padaku”, mata gadis kecil itu berkaca-kaca. “Aku tidak dibuang”.
Awan mengangkat bahunya, “Oke. Selamat menunggu. Sampaikan salamku pada Ibumu jika kau bertemu dengannya”.
Awan pergi meninggalkannya sendirian disana. Namun tatapan gadis kecil itu masih tak berpaling. Ia melihat punggung Awan berjalan menjauhinya.
Gadis kecil itu kembali duduk dalam bisunya. Ia menyembunyikan dirinya sendiri membaur dengan usangnya barang-barang warung yang tak laku. Ia terkejut karena Awan kembali tiba-tiba.
“Apakah kau tahu apa yang bisa ku lakukan dengan sayuran ini?”, tanya Awan dengan seikat bayam di tangannya.
“Masaklah di dalam air mendidih dengan sedikit garam dan bawang putih”.
“Maukah kau memasaknya untukku?”.
Gadis kecil itu melihatnya, “Apakah benar bahwa aku dibuang?”.
Awan berbalik melihat dan duduk disampingnya, “Aku akan tetap disini menemanimu menunggu kedatangan orang itu”.
Lampu-lampu pasar dinyalakan untuk menghidupkan langit gelap. Keadaan tak berubah walaupun malan, pasar tetap ramai oleh penjual dan pembeli. Dua anak kecil masih duduk menunggu di tengah temaram lampu kuning yang menyala seperti lampu disko.
“Ayo kita masak sayur ini di rumahku”, ajak Awan.
Gadis itu tak beranjak dari tempat duduknya. “Tunggu sampai mereka semua pergi. Karena aku benci keramaian pasar”.

Ayahnya girap-girap tak karuan. Memukul-mukul meja sampai roboh. Dulu beberapa karyawan yang mencoba mendekatinya mendapat luka-luka akibat hantaman kayu. Kapok. Tak ada lagi yang berani mendekatinya
Awan berlari masuk dan melemparkan seikat bayam ke wajah sang Ayah. Ayah terkejut seperti kuntilanak yang dicopot pakunya. Ia lunglai dan kemudian terjatuh di atas lantai cokelat yang tak pernah disapu. Awan dan beberapa orang membantu membopong Ayahnya masuk kamar. Fela mengikutinya dari belakang dengan seember air dingin.
“Ada apa ini? Ada apa ini?”, tanya Ayahnya ketika siuman.
“Ayah tidur saja”, ucap Awan diiringi anggukan Fela yang tengah menyeka dahi Ayah.
Awan tak tahu apa yang terjadi pada Ayahnya. Setelah kejadian pertengkaran dengan Kakek dulu, Ayahnya semakin jarang pulang ke rumah. Ia tinggal bersama Kakeknya yang sibuk bekerja sampai-sampai tak pernah ada lagi waktu untuk menemaninya belajar. Kakeknya meninggal ketika ia lulus SMP. Beliau mewariskan pabrik yang tak sukses dan penuh hutang. Ayahnya tiba-tiba muncul minta makan dengan penampilan seperti pengemis. Hartanya hilang untuk kepentingan donasi hingga ia lupa untuk mengurus kehidupannya sendiri. Seorang pecinta lingkungan itu kini termakan omongannya sendiri ketika memutuskan untuk meneruskan pabrik Kakek demi kelangsungan hidup keluarga. Sejak itulah ia sadar bahwa Ayahnya menjadi sedikit gila. Begitu pula Awan yang tak bisa meneruskan pendidikannya dan harus bekerja serabutan menjadi kuli panggul di pasar.
Setiap kali penyakit Ayah kambuh, Fela selalu nekat berlari-lari ke tengah ramainya pasar yang dibencinya, memanggil Awan untuk mengobati dengan melempar seikat bayam tepat di wajah Ayahnya. Ketika siuman Ayahnya benar-benar tak tahu apa yang telah terjadi pada dirinya.
“Aku ke pasar dulu”, pamit Awan kepada Fela.
“Lagi?”, Fela membuang sisa air dari ember ke selokan.
Awan berlari menjauhinya, “Aku belum mengambil upahku!”.

Riuh gemuruh tepuk tangan penonton memenuhi ruang aula ketika Awan memotong pita. Hari ini launching makanan kaleng terbaru produksi pabrik. Seluruh undangan dari berbagai macam belahan bumi datang untuk menyaksikannya. Tamu-tamu konglomerat yang mau mendanai sebagian saham di pabrik duduk rapi dengan perut membuncit seperti busung lapar yang kekenyangan. Iklan-iklan di televisi juga sudah menayangkan iklan produk beras kaleng tiga kali tayang setiap lima menit. Tak ada seorang pun di dunia ini yang tak mengetahui Awan dan pabriknya. Semua orang tahu kecuali Ayah dan Kakeknya.
Awan berdiri di tengah podium dengan jas hitam yang membuatnya tampak pintar dan gagah. Sedikit berkomentar dengan mengucapkan kata pengantar juga terima kasih. Para undangan tak henti-hentinya bertepuk tangan untuk kesuksesannya. Awan telah berhasil meraih mimpi dan citacita yang diidamkan Kakeknya. Membuat makanan sejuta umat dengan harga sejuta-juta.

“Sedang apa kau disini?”, tanya Kakek.
“Menunggu Ayah”, Awan memeluk seikat bayam di dadanya.
“Ia tak akan datang”.
Awan tak beranjak dari duduknya. Ia tetap berada di tengah pintu menanti kedatangan Ayahnya yang tak kunjung pulang dari seminggu kemarin.
“Kenapa Kakek bersikeras untuk membuka pabrik itu?”, tanya Awan.
Kakek kemudian duduk di samping Awan dan merebut pelan seikat bayam dari tangan Awan. “Karena teknologi”.
Alis Awan mengkerut. Anak kecil sepertinya tak cepat tanggap mencerna kata-kata pria tua. Kakek tersenyum, matanya memandang awan di langit.
“Apakah kau yakin seribu tahun lagi kau akan memandang langit yang sama?”, pandangannya mengikuti kumpulan awan yang berarak menuju utara.
“Mungkin saja”, jawab Awan. “Mana aku tahu, Kakek juga pasti tidak tahu. Karena Kakek tak akan hidup sampai seribu tahun”.
Kakek tertawa-tawa. Diberikannya seikat bayam itu kepada Awan. “Jawabannya tidak”, timpal Kakeknya. “Karena langit hari ini tak akan pernah sama dengan langit di keesokan hari. Semua bisa berubah dan tak akan pernah sama. Apa yang kau lihat sekarang belum tentu kau dapat melihatnya lagi besok. Apa yang kau makan sekarang belum tentu dapat kau makan lagi besok”.
Awan melihat seikat bayam itu dengan cermat. “Itu berarti seribu tahun lagi sayur ini tak lagi ada seperti yang ku lihat saat ini”. Ia mendesah, “Itu juga berarti aku belum tentu dapat melihat Ayah datang besok”.
Kakek menepuk-nepuk punggung Awan, “Dengan mengolahnya bersama kemajuan teknologi maka makanan-makanan akan lebih tahan lama”. Kakek berdiri masuk ke dalam rumah, “Kau tak mau merayakan ulang tahunmu? Fela dan Guntur sudah siap di meja makan”.
Awan masih melihat langit, “Jika Ayah tiba, aku akan memasukkannya ke dalam kaleng agar ia dapat ku temui setiap hari sampai seribu tahun lagi”.

Awan berlalu dari sorak sorai tepuk tangan. Meninggalkan aula dan ia kembali ke pabriknya. Karena keadaan manusia-manusia kelas rendah yang sering mengamuk di sekitar pabriknya, Awan tak lagi menggunakan transportasi darat. Oleh Soni, ia disarankan untuk selalu menggunakan helikopter pribadi sebagai transportasi.
Pabriknya yang terlapisi lapisan kaleng bersinar-sinar jika dilihat dari atas. Menyala-nyala begitu terang ketika ditimpa matahari. Membuat pupil mata mengecil ketika memandangnya. “Pabrikku bersinar”, batin Awan.
Di bawah helikopternya, ia tak melihat seorang pun massa berdatangan. Pasar disamping pabrik pun tak lagi ramai. Yang tersisa hanyalah puing-puing bekas kerusuhan. Awan bertanya-tanya, “Apa yang terjadi? Kemana semua orang?”.
Awan segera berlari menuju laboratorium setibanya ia disana. Fela tak ada disana. Ia berlari menuju ruang pengawas. Tak ada Soni disana. “Oh iya!”, Awan tersentak dalam ingatannya. Ia lupa bahwa mereka berdua masih berada di aula.
Suara mesin terdengar menderu-deru. Awan masuk ke dalamnya. Sebuah ruangan kotor dengan dinding penuh cipratan darah. Bau anyirnya melekat di udara. Awan sangat terkejut melihat Guntur tiba-tiba muncul dibalik bongkahan daging yang diikat terbalik.
“Kau mengagetkanku”, kata Awan menepuk pundak Guntur.
Guntur tersenyum tanpa berkata-kata. Kedua tangannya memegang bilah pisau yang panjang dan tajam. Membelakangi Awan, Guntur menyelesaikan pekerjaannya.
Hidung Awan menjadi kaku karena bau anyir yang semakin melekat pada indera penciumannya. “Aku jarang masuk ke tempat ini. Namun aku merasa ada yang berbeda dari bau darahnya”.
Guntur tetap diam dalam ucap, tangannya masih mengayun-ayun lembut memotongi daging menjadi bongkahan-bongkahan yang lebih kecil.
Awan menghirup kuat-kuat udara di sekitarnya sampai hisapan hidungnya berbunyi, “Aku mencium bau darah manusia disini”.
Guntur membeku sekitar sepuluh detik dalam diamnya. Bola matanya bergerak-gerak ketakutan. Awan curiga padanya.
“Apakah kau yang terluka?”.
Guntur menggeleng, mulutnya terbuka lalu tertutup lagi. Seperti ingin mengucapkan sesuatu namun tidak jadi.
“Jangan katakan bahwa kau menggunakannya lagi”.
Guntur dan Awan saling bertatapan. Tak ada yang berbicara. Semuanya membisu kecuali semerbak bau anyir darah yang menetes dari daging segar. Lambat laun baunya menyerupai bau anyir darah manusia.

“Kapan kau akan berbicara?”, Awan bertanya kepada anak laki-laki seumurannya yang duduk di meja makan dengan mulut penuh makanan. Ia tak menjawab. Hanya pundaknya bergerak naik-turun tanda tak tahu.
Awan melihatnya rakus melahap semua makanan, “Kau terlihat sangat kelaparan sekali”. Anak laki-laki itu mengangguk.
“Siapa namamu?”, tanya Awan untuk yang ke dua belas kalinya.
Tangan anak laki-laki itu bergerak-gerak menyimbolkan susunan huruf-huruf. Alis Awan mengkerut, “Aku tak bisa membaca bahasa isyaratmu”.
Awan keluar dari dapur dan membawa pensil dan selembar kertas sekembalinya. Ia menaruhnya di meja tepat di hadapan anak laki-laki itu. “Tulis namamu disini”. Anak laki-laki itu mulai menulis satu-satu abjad dengan menggunakan tangan kirinya.
“Jadi namamu Guntur?”, pertanyaan Awan setelah membaca tulisan cakar ayam itu diiringi anggukan anak laki-laki di depannya.
“Aku melihat kau bisa mendengar. Ku rasa kau tak bisu. Karena orang yang bisu biasanya juga tuli”, Awan duduk di bangku yang berseberangan dengan Guntur. “Katakan mengapa kau tak mau berbicara?”.
Bola mata Guntur berputar dua ratus tujuh puluh derajat. Mulutnya terbuka lalu tertutup lagi. Seperti ingin mengucapkan sesuatu namun tidak jadi. Kemudian ia terdiam.

Pandangan Ayah kosong. Matanya melihat langit yang gelap, tak berkedip. Entah menghitung banyaknya bintang atau tengah menerawang rasi bintang. Angin malam bertiup menerbangkan daun-daun kering dan membuat bunyi berisik dari onggokan rongsokan di halaman. Awan datang memakaikan selimut pada Ayah yang terduduk di kursi goyang. Guntur duduk di sampingnya.
“Apa kalimat terakhir yang Kakek ucapkan padamu?”, tanya Ayah.
Awan menundukkan kepalanya, menatap tanah kering retak-retak.
“Sampai kapan kau merahasiakan semua ini dariku?”, tanya Ayah lagi.
Awan masih memandang bawah. Menelan ludah. Ia tak berani mengatakannya.
“Jangan lagi membahas hal itu”, pinta Awan.
Ayah menghela napas panjang. Matanya masih memandang ke langit. Kursinya bergoyang-goyang ditiup angin. Rintik-rintik hujan menetes berlahan-lahan.
“Aku harus pergi”, ucap Awan melihat gerimis yang akan berubah menjadi hujan lebat, ia menuju halaman belakang membereskan sisa daging dari pabrik yang dijemur untuk lauk esok pagi.
Ayah menatap Guntur yang masih berada di sampingnya, “Kau juga tak mau mengatakannya?”.
Guntur membuka mulutnya, lalu tertutup lagi.
“Apakah hal itu tentang bahan utama yang membuat pabrik kita berjaya?”, tanya Ayah sambil melihat langit. Ia tak melihat Guntur mengangguk perlahan.
“Kalian harus melakukannya”.
Guntur memandang Ayah yang masih menengadah melihat langit.
“Tapi setelah aku mati”, ucap Ayah diiringi anggukan Guntur.
Langit menderu-deru. Rintikan hujannya semakin lebat. Angin bertiup kencang hanya sekali, kemudian mendadak hujan berhenti dan langit menjadi cerah. Guntur masih berada disamping Ayah.
Kursi Ayah berhenti bergoyang. Ayah masih menatap langit tak berkedip. Ia tak bernapas.

Keadaan berubah kacau ketika seluruh siaran di televisi mengabarkan bahwa pelanggan-pelanggan makanan kaleng banyak yang meninggal akibat keracunan. Satu tahun tepat setelah acara peluncuran produk terbaru. Pabrik dikepung kawanan massa yang mengamuk dan pencari berita yang haus akan berita teranyar.
Keempat pemuda-pemudi itu berkumpul di ruang rapat. Fela terlihat pusing melihat keramaian orang-orang yang berkumpul di gerbang depan. Soni tak bersuara, tangannya dingin gemetaran. Awan tertunduk di lantai, disampingnya ada Guntur yang memandangi mereka satu per satu dengan seksama. Sebentar lagi satuan polisi akan menangkap mereka.
Terobosan baru makanan yang mereka buat dengan teknologi tercanggih, bertujuan untuk membantu kehidupan umat manusia yang tengah dilanda krisis makanan di berbagai belahan negara di dunia. Sejak tak ada lahan di bumi yang mampu ditanami, semua pabrik makanan berlomba-lomba untuk membuat makanan sintesis yang aman untuk dikonsumsi. Menghalalkan segala cara demi terpenuhinya isi perut manusia.
“Kita telah melakukan kesalahan”, kata Awan. Ia memandangi Fela, Soni, dan Guntur bergantian.
“Apa kau bilang? Kita?”, Fela berteriak. “Semua ini salahmu. Kau yang tak becus jadi pemimpin!”.
Awan menatap Fela, “Jadi sekarang kau menyalahkan aku? Tidakkah kau ingat, kau lah yang merumuskan semuanya. Kau juga!”, bentaknya pada Soni yang masih tak bersuara. “Kalian yang memanfaatkanku”.
Fela tertawa, “Sadarkah kau bahwa orang yang telah dimanfaatkan adalah orang yang bodoh, yang tak pernah mengerti dirinya sendiri, yang tak pernah mau menggunakan otaknya untuk berpikir”.
Awan terdiam memendam amarah.
“Kau hanyalah manusia kaleng. Tak berisi, hanya pintar berbunyi. Tak punya otak, hanya pintar untuk mengiyakan pendapat orang lain. Kau dan makananmu sama saja!”, teriakan Fela menggema di seluruh ruangan.
Raungan sirine berbunyi berulang-ulang kali. Teriakan massa terdengar tak ada habisnya. Kemarahan Awan memuncak namun ia tak bisa berbuat apa-apa. Matanya terpejam, berharap ia bisa kembali ke suatu hari tepat di sepuluh tahun yang lalu. Hari dimana ia bebas untuk mengutarakan pendapatnya sendiri.
Setelah membuka mata, yang ia tahu tubuh Soni dan Fela terjatuh tepat di hadapannya dengan darah segar membanjiri sepatu kulitnya. Kedua pasang mata mereka menatap lekat ke arah Awan seakan ingin mengucapkan satu kalimat terakhir. Guntur berdiri tepat di belakang mereka, membawa dua bilah pisau panjang yang berlumuran darah.
“Maafkan aku”, Awan mendengar Guntur berucap untuk yang pertama kalinya.

Malam itu, malam ulang tahun kelima kalinya tanpa Ayah, Kakek masuk ke dalam kamar Awan. Awan meringkuk di bawah selimut usangnya. Berpura-pura tidur. Kakek mengusap rambutnya lembut.
“Kakek tahu, kau telah mendengarnya tadi”.
Dengan mata terpejam, Awan menelan ludahnya. Ia ketahuan telah menguping pembicaraan Kakek dengan Guntur tadi siang. Pembicaraan Kakek tentang tujuannya membeli pabrik dan mengolah sesuatu menjadi sesuatu yang bisa dimakan dan dimasukkan ke dalam kaleng yang bisa bertahan lama.
“Ketika orang tua seperti Kakek ingin membangun masyarakat untuk lebih peduli pada makanan, apa yang terjadi? Semua orang pasti menghiraukannya karena orang tua seperti Kakek tak punya inovasi untuk berkembang. Semua pasti mencibir bahwa pemikiran orang tua hanyalah pemikiran usang dan hanya impian semata yang tak pernah bisa untuk diwujudkan”.
Di dalam angannya, Awan mengingat-ingat apa yang Kakek katakan tadi. Kakek berkata bahwa dengan dihasilkannya makanan kaleng itu maka Kakek berharap agar manusia menjadi lebih sadar untuk memanfaatkan makanan segar dengan tepat dan efektif sehingga manusia bisa menjaga kelangsungan hidup makanan segar dengan membudidayakannya secara intensif.
Karena manusia tak akan pernah tersadar bahayanya jika seluruh makanan segar di dunia ini habis jika mereka belum mengalaminya. Maka dari itu Awan tahu mengapa pabrik Kakeknya tak pernah sukses di pasaran, karena Kakek tak menginginkan keuntungan. Ia hanya ingin menyadarkan manusia bahwa makanan segar itu lebih enak dan sehat daripada makanan kaleng.
“Ketika pemuda-pemuda seperti dirimu membangun masyarakat, apa yang terjadi? Sebuah kekreatifitasan bercampur dengan inovasi dan teknologi, maka akan menghasilkan suatu perubahan signifikan di dunia”.
Kakek memandangi Awan yang berpura-pura tertidur, “Namun ketika mereka berinovasi terlalu jauh tanpa memperhatikan pemikiran orang tua, budaya masyarakat, dan alam semesta, yang terjadi adalah musnahnya tatanan kehidupan di dunia”.
Kakek beranjak dari duduknya menuju pintu. Sebelum keluar, ia memalingkan pandangannya sejenak pada Awan yang masih meringkuk, “Fela berusaha untuk meyakinkan Kakek tentang temuan terbarunya yang bisa membuat pabrik kita sukses dan untung besar. Awalnya Kakek berkeinginan seperti itu, tapi Guntur mencegahnya”.
“Kakek tidak tahu apa yang berada di dalam pikirannya. Ia pemuda yang juga ingin mengubah dunia, tapi ia memiliki cara yang berbeda. Menjadi berbeda bukan hanya bisa menjadi lebih baik, malah mungkin akan semakin memperburuk keadaan. Kakek tidak ingin kau menyesali perbuatanmu di suatu saat nanti. Selalu pikirkan masak-masak sebelum melakukannya. Kakek yakin, kau bisa bertindak lebih dewasa dan bijaksana dalam mengambil keputusan”.
Awan membuka matanya dalam kegelapan, melihat Kakek di ujung pintu.
“Yang kau dengar itu benar. Untuk membuat pabrik kita sukses adalah menambahkan daging manusia sebagai bumbu perasanya”, Kakek pun berjalan menghilang jauh dari padangan Awan.

(Juara Ketiga Lomba Cerpen Se-Universitas Negeri Malang Tahun 2012 yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar