Barangkali
kau masih belum tahu tentang kisah ini:
Pagi
itu, selepas mengibarkan bendera merah putih pada tiang bambu yang dibuat
sehari sebelumnya, ia duduk termangu dengan berselonjor kaki di atas dingklik
teras rumah. Menyulut rok*k kretek kesukaannya lalu menyeruput kopi yang setiap
pagi kubuat khusus untuknya.
Sebagai
seorang istri, tentu aku harus selalu berusaha melayaninya: membuatkan kopi
hangat saat gigil pagi masih berkuasa, memberi kehangatan di setiap malam-malam
kami yang begitu berharga, juga berusaha mengerti setiap keinginannya, termasuk
saat ia bersikeras ingin mengibarkan bendera meski hal itu teramat beresiko
untuknya.
Ya,
sejauh yang kutahu, ia masih tetap memiliki semangat nasionalisme yang tinggi.
Sebab itu, tak jarang kutemui ia mendatangi para pemuda untuk kembali bersatu
mengoarkan satu suara seperti yang dilakukan para pahlawan seabad yang lalu.
Namun seperti yang kau tahu, tak semudah itu menyatukan para pemuda dengan
egoisme yang berbeda-beda: ada yang hanya mementingkan diri sendiri; ada yang
sibuk menenteng gadget ke sana ke mari; ada yang berjalan tak tentu arah dengan
pakaian minim seolah mengumbar bir*hi. Tak ada lagi perbedaan antara kota dan
desa, semuanya sama; runyam dan berantakan. Bukankah begitu dunia kita saat
ini?
Aku
menghampirinya yang hanya menghabiskan waktu dengan duduk termangu di pagi itu.
Ia mengernyitkan dahi seolah tengah memikirkan sesuatu sebelum tersenyum lalu
menoleh ke arahku.
“Bu,
tolong ambilkan peralatan lukis bapak,” ia berucap dengan senyum yang terus
mengembang seperti saat merayuku di awal-awal kami bertemu. Lalu aku beranjak
menuruti permintaannya dengan sesungging senyum, meski ada kekhawatiran yang
perlahan menjalar di hatiku.
Ia
masih tetap gemar melukis seperti dulu, dan kau mungkin tak pernah tahu, betapa
di awal-awal pertemuan kami, ia seringkali melukiskan wajahku di antara
berbagai macam keindahan: cahaya rembulan, taburan gemintang, senja yang
kemerah-merahan, serta terkadang diantara binglala yang muncul setelah guyuran
hujan. Lalu aku akan berlagak manyun, cemberut, atau bahkan bermuka masam untuk
mengganggunya melukis. Tapi seperti yang sudah-sudah, ia hanya tersenyum lantas
memperlihatkan hasil lukisannya padaku. Hal itu mampu membuatku terperangah,
tercekat oleh keindahannya.
Ia
cenderung memiliki perangai yang sangat lembut dan sungguh luar biasa sebagai
seorang keturunan asli pulau garam. Tak seperti kebanyakan orang yang terkenal
sangar dengan parang dan celurit yang tergenggam erat di tangan. Ia juga
tergolong lelaki yang romantis. Tak jarang ia memberiku kejutan tak terduga yang
makin membuatku tak ingin kehilangannya.
Dulu,
seringkali ia mengajakku bermain hujan. Dan ketika rintik hujan mulai reda
berganti gerimis, kami akan sama-sama mengingat satu hal; perihal awal
pertemuan kami yang tak disengaja saat kami berdemo di antara rintik hujan yang
masih berlarik dari angkasa. Memang saat kuliah, kami aktif di pergerakan
mahasiswa yang sering terjun langsung untuk memeperjuangkan suara yang selama
ini tak didengarkan: tentang harga kebutuhan pokok yang semakin mencekik,
keutuhan negara yang makin keropos, serta ketidakadilan yang kian meluber
dimana-mana. Di saat-saat itulah kami seringkali bersitatap tak sengaja. Ia
semakin memperhatikanku yang pada akhirnya membuat kami semakin akrab lalu
mengambil keputusan besar; pernikahan.
Ah,
sudahlah. Aku tak bisa melanjutkan ingatanku tentangnya. Aku belum mampu
menerima kenyataaan bahwa ia tak lagi di sampingku. Menutup segalanya. Aku
hanya ingin melanjutkan kisah yang memang dan sengaja akan kuceritakan padamu
seutuhnya:
Di
antara mentari yang mulai meninggi, tangannya yang lincah mulai memolesi kanvas
itu dengan warna beragam. Saat itu, aku sudah dapat menyangka ia akan kembali
melukiskan kesedihan. Ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah, fanatisme
golongan, serta terlalu longgarnya otonomi daerah yang menjadi awal segalanya
berubah, membuatnya tak lagi melukiskan berbagai macam keindahan seperti dulu.
Dan
lihatlah, terkadang ia menangis di saat melukis. Tangisan panjang yang teramat
memilukan dengan isak tertahan. Ia tak ingin orang lain tahu bahwa ia sedang
bersedih. Sebab ia paham, kesedihan bukan hanya untuk diketahui, melainkan
untuk diperhatikan dan ditanggapi. Dan mungkin kau pun takkan tahu jika tak
kuceritakan hal ini padamu. Tentu kau hanya bisa menyaksikan gerakan tangannya
yang gemulai memoles kanvas itu dengan warna beragam. Berbeda denganku yang
jauh lebih tahu dan mengerti keinginan, perasaan, juga setiap hal yang ada
padanya.
Ia
tetap khusuk memoles kanvas itu di antara asap rok*k yang tak henti ia
kepulkan. Mentari makin meninggi, menebarkan nuansa begitu panas di musim
kemarau ini. Tapi ia tetap tak beranjak. Memang begitu. Ia tak pernah bergeming
sebelum kanvas di depannya menggambarkan sesuatu yang seolah nyata. Tanpa kenal
lelah. Tak peduli pada apa pun.
“Sedikit
lagi,” ia berucap lirih saat aku mengusap keringat yang telah bercampur air
matanya. Dan seperti biasa, ia selalu mencantumkan tempat, tanggal, bulan,
tahun, serta sepetik kalimat sebagai akhir lukisan. Setelah itu, ia baru akan
tersenyum puas meski jauh di kedalaman hatinya, ia menyimpan kesedihan yang
luar biasa.
Baru
saja lukisan itu selesai, tiba-tiba hal yang paling kutakutkan selama ini
benar-benar terjadi. Asmoni bersama teman sejawatnya: Pukat, Muhala dan Bahri
mendatangi rumahku. Tak hanya itu, orang-orang yang sepaham dengan mereka mulai
berdatangan dengan celurit yang tergenggam di tangan.
Ada
kekhawatiran yang perlahan hinggap di hatiku. Seolah mengisyaratkan sesuatu
yang jauh lebih dahsyat dari yang tak kuinginkan selama ini. Kutatap wajah
suamiku, tampak ia tenang saja seolah bisa membayangkan takkan pernah terjadi
apa-apa. Ia hanya tersenyum ke arahku lantas berucap, “Bu, bawa lukisan ini ke
dalam. Simpan di tempat yang aman.” Kembali ia tersenyum tenang seolah tengah
merasakan sebuah kedamaian.
Aku
menuruti perintahnya, beranjak ke dalam rumah dengan membawa serta lukisan itu.
Tiba-tiba terdengar sebuah suara terlontar keras.
“Dasar
penghianat! Berani-beraninya kau mengibarkan bendera taik kucing itu di sini.
Sok jadi pahlawan kamu?” Asmoni berucap geram. Kulitnya yang hitam, perut
buncit, serta jambang yang tumbuh lebat membuatnya pantas menjadi seorang
preman bajingan.
Aku
terus beranjak ke dalam rumah untuk meletakkan lukisan itu di tempat yang aman
sembari merapalkan sebuah harapan; semoga tak terjadi apa-apa pada suamiku di
luar.
Dari
dalam rumah kudengar suara semakin gaduh diikuti teriak seseorang kemudian. Ada
detak kekhawatiran di hatiku. Aku segera beranjak keluar. Dari ambang pintu
rumah kulihat suamiku, orang yang amat kucintai sepenuhnya, diseret seperti
binatang buruan yang tak lagi berdaya. Tubuhku tiba-tiba lunglai. Ingin sekali
aku menjerit, menangis, dan menghampiri suamiku yang tak lagi berdaya itu. Tapi
sayang aku tak bisa. Aku seperti tak lagi memiliki tenaga.
Ada
sebersit harapan muncul saat para pemuda yang sepaham dengan suamiku, meredakan
suasana dan berusaha menolongnya. Tapi sayang mereka kalah jumlah yang pada
akhirnya suamiku tetap diarak dan diperlakukan tak wajar, tanpa belas kasihan.
Maaf,
aku tak bisa menceritakan kelanjutan kisah ini padamu, sebab saat itu kepalaku
pening, tubuhku semakin lunglai dan kemudian tak ingat apa-apa lagi.
Saat
ini, setelah tiga bulan kurang seminggu dari peristiwa itu, aku hanya bisa
termangu di balik jendela. Menyaksikan hujan turun untuk kali pertama di bulan
November ini, sembari mengenang segala kisah yang pernah tercipta di antara
kami.
Pagi
ini, di saat harusnya perayaan hari pahlawan dilangsungkan, aku ingin
menyampaikan sebuah harapan yang terpendam padamu; suatu saat nanti, bila
segalanya telah bersatu kembali, aku ingin di depan rumahku, tempat suamiku
diperlakukan layaknya binatang buruan, dibuat sebuah tugu berbentuk tiang
bendera dari bambu dengan bendera merah putih yang berkibar setengah tiang.
Sebagai sedikit penghargaan, juga kenangan bagi mendiang suamiku yang begitu
tulus memperjuangan negeri ini agar kembali bersatu.
Sementara
itu, di samping tempat tidur, di atas bufet, terpampang sebuah lukisan terakhir
suamiku. Jika kau perhatikan dengan seksama lukisan itu, maka kau akan melihat
potret kenangan negeri kita yang sejatinya sangat kaya-raya namun dipenuhi
kesedihan yang luar biasa; jalanan dibiarkan berlubang, anak-anak kecil di
bawah kolong jembatan yang dibiarkan penuh borok dan kusta dengan seorang ibu
yang pontang-panting demi memberi sesuap nasi bagi anaknya. Kau juga akan temui
guru-guru sekolah yang kebingungan sebab atap sekolah yang bocor di setiap kali
musim penghujan dengan disaksikan arwah-arwah para pahlawan kemerdekaan yang
menitikkan air mata. Lalu tengoklah pojok kiri bawah dari lukisan itu, maka kau
akan menemui sebuah tulisan:
Aku
ingin negeri ini bersatu kembali, tanpa luka lagi.
Republik
Madura, 17 Agustus 2045
Potret
kenangan negeri kami yang penuh luka, Indonesia…
Cerpen
Karangan: Fairuz Zakyal “Ibad
Facebook:
Fairuz Zakyal Ibad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar