Jumat, 26 September 2014

Belenggu Tabir Kepalsuan




Jejak hujan masih membekas remang di antara rumput dan dedaunan. Helai daun yang gugur menyimpan sajak-sajak kepedihan. Nyiur melambai masih menyisakan gerimis di daun jendela. Menyingkap resah dalam hulu jantung Alona. Saat senja mengawang di angkasa percikan api amarahnya mulai membara. Membius sukma yang kian merana. Kebisingan mulai menyesakkan dada. Seketika rasa benci menyelimuti kalbunya. Hembusan angin dari daun jendela mulai menguliti tubuhnya. Membelai mesra membiaskan amarahnya. Matanya mulai mengintai, dan telinganya mulai merekam kebisingan yang tak henti-hentinya ia dengarkan.
“Biadab, aturan macam apa ini?” Gumam Kardiman dengan mata memelototi perempuan yang ada di depannya.
“Seharusnya kau sadar, kau sudah tua, seharusnya kau punya malu dijamu wanita yang lebih muda di ranjangmu.”
Wiji menatap tajam wajah Kardiman. Bara api semakin nampak di wajahnya. Mulutnya mencaci maki dengan beberapa kata-kata kotor. Tak ada hembusan angin yang bisa menghalangi amarahnya. Alona yang menyaksikan dua wayang bergelut di bawah bisikan setan hanya diam membisu menahan pilu. Tak ada kata-kata yang bisa dieja selain lara yang mendekap hangat tubuhnya.
Di luar sana langit kembali mendung seolah mengekalkan kebisingan. Tak henti-hentinya Kardiman menghantam Wiji dengan perkataan yang hina. Hujatannya mampu menelanjangi malam tanpa bintang. Setidaknya membuat Wiji semakin ternoda akan kefanaan dunia yang penuh dengan sandiwara. Bagi perempuan itu tak ada jalan setapak yang bisa dijamahnya. Ia hanya merong-rong mengais asa yang tersisa di saat malam menyapanya.
Hening semakin merasuki malam. Nyiur melambai ke arah kebisingan yang kian menderu. Angin berhembus tanpa jeda yang bisa meredam amarah perempuan itu. Bara api amarahnya semakin membabi buta. Wiji keluar rumah mencari pelampiasan amarahnya dengan membawa sebotol air haram lalu meminumnya di hadapan Kardiman yang sedari tadi berdiri kukuh di depan pintu. Celoteh hina kembali keluar dari mulut mereka. Tak hanya itu, Wiji menyeret Alona yang sedari tadi menyaksikan kejadian hina yang diperbuatnya. Ia memaksa gadis itu untuk menuruti keinginannya. Sedangkan Kardiman hanya berdiam diri tanpa langkah yang pasti.
“Cepat, pakai baju ini!” Kata Wiji pada Alona yang tengah menunduk ketakutan. Perempuan yang tengah berjalan dengan tubuh lunglai itu terus menyeret anak semata wayangnya keluar dari kamarnya. Hampir setiap hari ia memperlakukan anaknya seperti itu. Tak ada seorang pun yang bisa menghalangi langkah kejinya, termasuk Kardiman.
Ketika Senja merangkak malam. Lampu jalanan mulai menyala. Perempuan yang berdandan menor itu mengajak Alona terus berjalan menyelusuri gang kecil. Entah ke mana badan hendak dibawa, ia tak pernah memberi tahu Alona. Malam baru dimulai. Lampu disko menyala berkelap-kelip menerangi pakaian mini yang melekat pada tubuh Alona. Sedangkan di sudut ruangan itu Wiji nampak tertawa lepas bersama lelaki di tangan kananya dan segenggam uang di tangan kirinya. Alona terbang melayang bagai kupu-kupu yang kehausan madu. Menodai kesuciannya pada sosok lelaki yang tak dikenalnya. Terdiam meski diri ingin berlari. Mencoba mengelak meski sudah tak kuat lagi. Tubuh mungil Alona semakin tersayat oleh noda-noda yang tak berakhlak. Dihujat dan dibuat mainan sampai pagi menjelang. Perempuan itu tak sedikit pun peduli kepada anaknya, dia berbalik tertawa dan membiarkan kesucian anaknya dinodai oleh lelaki-lelaki itu.
“Dasar tak tau diuntung, untuk apa kau hidup jika tak menuruti perkataanku?” Alona menatap geram wajah perempuan yang telah melahirkan dia dari rahimnya. Mendengar ucapan itu mulai terasa sesak di dadanya. Air mata hina kembali membasahi pipinya, hingga tak bisa diseka lagi. Dengan segala daya ia mencoba melawan ibunya. Tatapannya kepada perempuan yang telah melahirkannya itu semakin tajam. Mulutnya terbata-bata ingin mengatakan sesuatu, namun belum juga ia berkata Wiji lebih dulu menghujatnya dengan kata-kata hina yang tak sepantasnya ia dengar. Alona hanya terdiam dalam dekap linangan air mata yang semakin menetes deras. Dia tak sedikitpun bisa melawan hujatan ibunya, baginya dia adalah perempuan yang berjasa dalam hidupnya karena surga ada di bawah telapak kakinya. Mungkin sisa luka yang dialaminya perlahan akan hanyut bersama hembusan angin yang menggugurkan daun-daun kering itu.
Dentuman suara jam dinding menyaksikan kepedihan Alona. Membiaskan segala harapannya untuk mempercepat jarum yang melekat di antara angka-angka itu. Berharap pagi mampu melepaskan jeratan luka yang ia alami ketika senja meninggalkan dunia. Di bawah sinar mentari Alona berjalan tergopoh-gopoh menuju rumahnya. Muka yang lusuh dan pucat pasi nampak jelas terlihat dari wajah mulusnya. Kerutan kecil mulai menyebar di atas dahinya, di kedalaman matanya nampak kebencian yang besar pada seorang yang telah membuat hancur hidupnya.
“Berhenti! Jangan, kau lanjutkan langkahmu itu, anak hina” Kata Sulastri yang sedari tadi berdiri tegap di depan pintu.
“Kau tak ada hak melarangku masuk?”
“Tubuhmu yang hina itu akan mengotori rumah ini.”
Tak kuasa mendengar hujatannya, Alona langsung mengangkat tangan kanannya kemudian menyambarkan ke wajah Sulastri. Saat Sulastri ingin membalas tamparanya Kardiman datang dan menghalangi tangan Sulasrti. Sulastri terus bersikeras untuk menghakimi Alona, tapi Kardiman mencoba menghalanginya.
“Tak usah kau membelaku”
Kardiman tertunduk malu mendengar perkataan Alona lalu melepaskan tangan istri keduanya. Tak pernah ia mendengar sepatah kata dari mulut anaknya, hingga wajahnya memerah ketika Alona menyentaknya. Mata kardiman sempat memerah, guratan-guratan uratnya juga nampak, bara api semakin membakar dirinya. Sesekali ia menatap paras cantik Alona, perlahan amarahnya yang sempat membakar dirinya menjelma menjadi rasa iba. Namun Kardiman tak lekas berbuat apa-apa. Ia hanya terdiam membisu terpasung oleh rasa malu. Hingga Sulastri menyeret hidup-hidup gadis itu ia hanya berdiri tegap bak patung.
Ranjang beralaskan putih itu merasakan kepedihan Alona yang masih menganga. Bayangan semu perlakuan Sulastri kepadanya masih membekas nyata di palung hatinya. Cermin yang terpasung kuat di antara dinding itu menjadi saksi mata yang merekam segala hujatan hinanya. Di sudut itu Sulastri menelanjangi tubuh mungil Alona yang masih membekas darah segar akibat hantaman lelaki yang tak bermoral semalam. Ia memukul dan mencambuk tubuh itu dengan pecut. Tangan kananya mengeret rambut ikal Alona lalu digunting-gunting menjadi pletas tak beraturan. Alona mencoba melawan hantaman itu tapi ia tak berdaya untuk melawannya. Dia hanya bisa menangis terisak-isak dan teriak hingga teriakannya terdengar di seluruh penjuru gang rumahnya. Sulastri tak lekas menghentikan tindak kejinya, ia tetap saja menghakimi Alona hingga senja meramu jingga.
Saat bulan disimpan awan. Sulastri pun masih menyiksa Alona. Gadis itu sesekali merintih kesakitan. Rintihannya terdengar sampai di pelataran surga. Hingga Tuhan menjatuhkan hujan yang mungkin bisa mendinginkan hatinya. Perlahan angin menyapa rerumputan, tanyanya mulai mengambang di antara rerumputan yang bergoyang, menyudutkan dirinya pada kepasrahan. Permasalahan itu semakin meruncing. Menusuk palung hati menembus sukma. Dirinya bingung menyingkap semua itu. Dirinya atau perempuan itu yang hina. Bayangan jawaban itu nampak remang melayang-layang di antara tetes air hujan yang berjatuhan.
“Bangun!!!”
Mendengarkan ucapan itu Alona hanya terdiam, bahkan mengabaikan ocehan Sulastri. Ia kembali merintih kesakitan, karena tubuhnya memar penuh luka bekas pukulan cambuk yang liar. Sedangkan Kardiman hanya mematung menyaksikan kejadian brutal itu. Rasa iba yang ada pada dirinya tak dibubuhkan langsung untuk mengobati sedikit lara yang dialami Alona. Ia hanya terjerat dengan rasa bersalahnya dan tidak berdiri untuk menjalankan kewajibannya. Perlahan kenop pintu terbuka. Sejenak Sulastri menghentikan tindak brutalnya. Ia takut sekawanan polisi datang untuk menghukumnya. Seketika matanya melotot tak percaya. Seorang perempuan dengan wajah geram, mata memerah, dan guratan-guratan uratnya yang nampak membesar, menghampiri dirinya. Perempuan itu tak lain adalah Wiji.
“Dasar, wanita tak tau diri, bisa-bisanya kau lakukan ini pada anakku.”
“Itu memang pantas untuk anak, pel*cur seperti kamu”
“Tutup mulutmu wanita hina.”
Hujan semakin deras membasahi bumi. Kedua wanita itu bergelut dia atas ranjang yang sama. Sedangkan Alona duduk di sudut ruangan dengan membawa pakaian yang telah disobek-sobek oleh Sulastri. Melihat kondisi anaknya, Wiji merasa bersalah dan semakin menampakkan amarahnya. Ia kembali menghampiri Sulastri lalu melakukan hal yang sama dengan apa yang telah diperbuat pada anaknya. Tanpa berfikir panjang Wiji menel*njangi Sulastri di hadapan Kardiman dan Alona. Wiji juga mencambuk bahkan menyanyat tubuh Sulastri dengan sebilah pisau yang diambilnya dari rak meja di kamar itu. Peperangan itu sontak terhenti sejenak setelah terdengar dengingan suara sentakan Kardiman.
“Hentikan!!!”
Kata Kardiman dengan tegas. Kedua perempuan itu terus bergelut mesra di bawah bisikan setan. Kata-kata Kardiman dibiarkan berlalu diterpa hembusan angin. Kardiman perlahan melangkah menuju tempat itu bermaksud untuk menjadi penengah di antara peperangan dua istrinya. Tapi langkah kakinya terhenti, setelah melihat darah mengucur deras dari ranjang itu. Sebilah pisau telah berhasil menewaskan Sulastri. Dengan langkah yang tak pasti ia mendekati kedua istrinya. Belum sampai ia di hadapannya istri-istrinya, Wiji dengan liar menyeret Kardiman dengan amarah setannya. Ia tak sewajarnya seorang Istri. Hari itu ia benar-benar dirasuki setan. Dengan tubuh yang tegap Wiji kembali menodongkan sebilah pisau tepat di depan pusar Kardiman. Kardiman dihantam habis-habisan oleh perempuan yang berada di bawah naungan setan itu. Luapan emosinya semakin membabi buta.
“Lelaki macam apa kau, bisa-bisanya kau diam melihat anakmu kesakitan”
Kardiman hanya terdiam mendengarkan celoteh istrinya. Ia mencoba meredam emosi yang kian merasuki tubuh Wiji. Namun sayang Kardiman tak berhasil memadamkan api amarahnya. Wiji sesekali mengancam geram Kardiman dengan menodongkan sebilah pisau di tangannya. Kardiman bersikeras menahan pisau untuk dijauhkan dari hadapannya, karena ketahanan tubuh yang kuat Kardiman berhasil mendorong Wiji, namun naas sebilah pisau yang ia singkirkan itu menancap di perut Wiji.
“Kenapa kau senekat itu” Kata Kardiman
“Ibu, jangan tinggalkan aku”
“Maafkan Ibu.”
Alona yang menyaksikan pertumpahan darah itu langsung bergegas menghampiri ibunya yang sekarat. Ia mendekap dan mencium kening Ibunya untuk yang terakhir kali. Ia menangis terisak-isak. Belum sempat ia mencium kaki Ibunya maut terlebih dulu merenggut nyawanya. Namun di sisa hela nafas terakhirnya Wiji sempat menyerahkan sepucuk kertas pada Alona. Tertulis jelas di kertas itu bahwa Kardiman yang dianggap nya ayah sejak kecil, bukan peluh yang menjadikanya hadir di dunia ini. Mengetahui pernyataan itu seketika jantung Alona terhenti. Tapi bukan mati. Alona perlahan-lahan merangkak meninggalkan Kardiman. Namun Kardiman tidak tinggal Diam. Ia bersikeras meraih dan mendekap Tubuh mungil Alona. Rona keindahan yang melekat pada tubuh Alona sudah diciumnya sedari tadi. Peperangan di atas ranjang kembali terulang. Kardiman dengan bejat membaringkan tubuh Alona yang lemah untuk memenuhi nafsu birahinya. Ia sesekali mendekap Alona dengan jeratan nafsu setan yang semakin merasuki tubuhnya. Kardiman tak henti-hentinya memuaskan nafsunya. Dia tak sedikit pun mempedulikan kedua wanita yang telah terbujur kaku di dekatnya. Yang ada di fikirannya hanya buaian mesra dari seorang wanita.
Dikala zeus memukul-mukul genderangnya, Kardiman baru saja memulai peperangannya. Alona terkampar lesu tak kuasa mengehentikan tindak kejinya. Ia sesekali mengeluh kesakitan, karena tubuh Kardiman yang terpasung kuat di hadapnnya. Saat Kardiman sampai di ujung nafsunya, ia tak hendak melepaskan dekapannya. Detak jantungnya sudah tak terdengar lagi, denyut nadinya seketika terhenti. Wajahnya menjadi pucat pasi, aliran darahnya sudah tak terasa lagi. Tiba-tiba suara burung gagak hitam bernyanyi-nyanyi di tengah malam yang sunyi. Tak nyana Kardiman terbujur kaku.
Petir menyambar membiaskan ingatannya pada kejadian yang menyanyat rapi hidupnya. Di bawah lindungan pohon akasia ia merana, mengais asa yang meronta. Hatinya tak bisa menafsir mimpi dan menghempas sepi. Ia hanya bisa merebahkan dada demi buliran asa. Lorong-lorong kecil yang menjadi umpatan laranya kini membelenggu bersama waktu. Kegelapan semakin pekat menyelimuti sukmanya. Hingga tak ada lagi celah yang bisa menerangi kegelapan hatinya yang penuh goresan lara.
Di bawah pohon Akasia Alona terus memandangi rumahnya. Alona tidak beranjak pergi dari tempat itu. Kakinya terpasung kuat di tahan ranting-ranting pohon. Angannya berlari mengejar memori yang menggores relung hati. Kini ia mulai kembali teringat saat Ibunya mengajak ia menikmati keindahan malam yang kelam, berdandan menor, dan menemani sejumlah lelaki yang tak dikenal. Dingin kasihnya jelas nyata. Alona hanya menjadi sasaran dikala bara api membakar sukmanya. Tak pernah ia menjemputnya ke dunia nyata untuk menikmati surga di bawah telapak kakinya. Yang ada hanya sayatan lara yang merajam lembut hatinya. Hingga malaikat Izrail mencabut nyawanya Ia tak sempat mengabarkan siapa ayah kandungnya. Melintas sejenak memori itu Alona teringat saat orang yang dianggapnya ayah menodai mawarnya. Ia tak pernah menyangka mengapa nafsu bejat melintas di otaknya. Hingga ia sempurnakan pada wanita yang tak berdaya. Tanyanya mengambang di antara cahaya remang lampu di depannya. Alona perlahan berdiri dan meninggalkan rumah itu. Alona kembali berkelana mencari jalan setapak yang mampu membalut segenggam lara yang dideritanya. Namun tak ada lagi ruang-ruang kosong yang menerima dirinya. Sembilu lebih tajam dari belati. Kini hidupnya sempurna nelangsa. Tak ada embun yang menyiram lembut tubuhnya. Tak ada senja yang berhiaskan mega untuk menorehkan asanya, tak ada rembulan yang menghangatkan malamnya. Yang ada hanya kubangan luka yang merajam kuat di sukmanya. Di bukit batas senja ia menyaksikan bahwa langit itu sama, merasakan luka yang mendekap hangat tubuhnya.

Cerpen Karangan: Binti Afifah
Facebook: ifa_haw[-at-]yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar