Sabtu, 06 September 2014

Pasca Episode "Negeri Tanpa Telinga"




RAKYAT sudah sangat lelah dan tidak butuh akrobat politik. Rakyat telah berkorban dalam pemilu presiden. Kini saatnya mereka menyodorkan rekening tagihan kepada presiden terpilih untuk mewujudkan semua janjinya saat kampanye.
Rakyat berharap, dengan kabinetnya yang profesional dan berkapasitas negarawan, presiden terpilih memiliki telinga yang peka untuk mendengarkan sekaligus meresapi tangisan rakyat.
Selama ini, rakyat—warga negara tanpa kekuasaan—hidup dalam ”negeri tanpa telinga”, seperti dalam film berjudul sama, garapan sineas Lola Amaria. Film produksi tahun 2014 itu berkisah tentang para penyelenggara negara dan politisi yang kehilangan telinga batin sehingga tak mampu menangkap, apalagi meresapi suara rakyat. Mereka justru asyik masyuk dengan kekuasaan yang dieksploitasi melalui korupsi. Tak hanya itu, mereka juga mengumbar skandal seks.
Rakyat tidak ingin kekuasaan kleptokrasi-hedonistik atau "rezim yang culas dan cabul" itu datang lagi. Rakyat berharap setelah episode "negeri tanpa telinga" akan muncul rezim yang bersih, berbudaya, dan betelinga tajam/peka. Rakyat pun telah jera dan traumatik dipimpin "rezim narsistik" yang sibuk bergincu memamerkan keelokan fisik, tetapi gagap dan gugup ketika bertarung dengan persoalan-persoalan riil, di mana nasib rakyat dipertaruhkan.
"Rezim narsistik" tak lebih dari manekin-manekin yang nangkring di etalase mal kekuasaan dan tidak pernah mencium ”harum” aroma penderitaan rakyat. Mereka hanya pamer gebyar cahaya pasar, sementara rakyat hidup tersuruk dalam kegelapan tanpa masa depan.

Kangen perubahan

Ketika parpol-parpol tak serius bekerja, subyek penting dalam pemenangan presiden terpilih adalah rakyat. Rakyat ikhlas menjadi relawan yang bekerja total, baik di dunia nyata maupun di jagat virtual. Karena kangen perubahan secara mendasar dan signifikan, jutaan galon energi mereka tumpahkan.
Mereka dengan gagah berani menghadang politik uang, intimidasi, dan rekayasa politik. Mereka tidak sedang melakukan mitologisasi atas tokoh, tetapi memperjuangkan nilai kebaikan yang makin kabur di negeri tanpa telinga ini.
Tentu dukungan masyarakat simpatisan dan partisipan atas tokoh yang terpilih menjadi presiden bukan tanpa reserve. Para relawan itu akan kembali ke jalan, membentuk parlemen merdeka untuk menyikapi secara kritis rezim yang berkuasa.
Artinya, presiden terpilih tak bisa "gede rasa" menganggap kecintaan rakyat atas dirinya tanpa batas dan tanpa revisi. Rakyat yang cerdas punya prinsip, sebuah pemerintahan akan bersih, menyejahterakan (pro publik), dan dicintai jika sanggup dikoreksi dan direvisi. Koreksi dan revisi menghindarkan kekuasaan lepas dari rel konstitusi.
Untuk itu, rezim yang terbentuk jangan berharap akan bisa leluasa mengeksploitasi kekuasaan demi melampiaskan dendam atas ”kelaparan” setelah lama berpuasa. Tugas suci dan pokok memimpin pemerintahan adalah mendistribusi kesejahteraan bagi publik, bukan menumpuk-numpuk kekayaan di gudang ambisi pribadi dan kelompok. Rezim yang berperilaku gandrung kekayaan terbukti jebol dihantam air bah kritisisme rakyat. Jadi, belajarlah pada sejarah Orde Baru.
Dalam sistem demokratis, pemerintahan bukan gedung tertutup dengan tembok masif tanpa jendela dan pintu, melainkan rumah kaca tembus pandang. Rakyat bisa mengamati dan menandai perilaku aktor-aktor rezim. Rakyat akan tahu siapa yang bekerja dan siapa yang hanya duduk manis sambil menghitung uang dan keuntungan.
Rakyat akan protes terhadap setiap upaya untuk memasang gorden atau tabir pemerintahan. Protes itu juga akan berbuncah ketika sebuah rezim ramai-ramai menyumpali telinganya dengan kapas atau gabus. Penderitaan rakyat pun akan lebih nyaring terdengar, menjelma gelombang energi yang menjebol sumpalan telinga itu.
Dalam memerintah berkontrak lima tahun, mestinya presiden terpilih menjadikan kesempatan sebagai momentum emas untuk memberi makna atas kerja politiknya. Makna itu bisa diwujudkan melalui kabinet yang bekerja penuh passion, sarat semangat profetik dengan kecerdasan akal-budi, keterampilan manajerial, serta ketajaman mata dan telinga. Kelak, rezim macam itu akan terasa indah dikenang rakyat. Saatnya diakhiri episode ”negeri tanpa telinga” agar rakyat kembali menemukan rumah kedaulatannya.

Oleh:
Indra Tranggono
Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar