RAKYAT sudah sangat lelah dan tidak
butuh akrobat politik. Rakyat telah berkorban dalam pemilu presiden. Kini
saatnya mereka menyodorkan rekening tagihan kepada presiden terpilih untuk
mewujudkan semua janjinya saat kampanye.
Rakyat berharap, dengan kabinetnya yang profesional
dan berkapasitas negarawan, presiden terpilih memiliki telinga yang peka untuk
mendengarkan sekaligus meresapi tangisan rakyat.
Selama ini, rakyat—warga negara tanpa
kekuasaan—hidup dalam ”negeri tanpa telinga”, seperti dalam film berjudul sama,
garapan sineas Lola Amaria. Film produksi tahun 2014 itu berkisah tentang para
penyelenggara negara dan politisi yang kehilangan telinga batin sehingga tak
mampu menangkap, apalagi meresapi suara rakyat. Mereka justru asyik masyuk
dengan kekuasaan yang dieksploitasi melalui korupsi. Tak hanya itu, mereka juga
mengumbar skandal seks.
Rakyat tidak ingin kekuasaan kleptokrasi-hedonistik
atau "rezim yang culas dan cabul" itu datang lagi. Rakyat berharap
setelah episode "negeri tanpa telinga" akan muncul rezim yang bersih,
berbudaya, dan betelinga tajam/peka. Rakyat pun telah jera dan traumatik
dipimpin "rezim narsistik" yang sibuk bergincu memamerkan keelokan
fisik, tetapi gagap dan gugup ketika bertarung dengan persoalan-persoalan riil,
di mana nasib rakyat dipertaruhkan.
"Rezim narsistik" tak lebih dari
manekin-manekin yang nangkring di etalase mal kekuasaan dan tidak pernah
mencium ”harum” aroma penderitaan rakyat. Mereka hanya pamer gebyar cahaya
pasar, sementara rakyat hidup tersuruk dalam kegelapan tanpa masa depan.
Kangen
perubahan
Ketika parpol-parpol tak serius bekerja, subyek
penting dalam pemenangan presiden terpilih adalah rakyat. Rakyat ikhlas menjadi
relawan yang bekerja total, baik di dunia nyata maupun di jagat virtual. Karena
kangen perubahan secara mendasar dan signifikan, jutaan galon energi mereka
tumpahkan.
Mereka dengan gagah berani menghadang politik uang,
intimidasi, dan rekayasa politik. Mereka tidak sedang melakukan mitologisasi
atas tokoh, tetapi memperjuangkan nilai kebaikan yang makin kabur di negeri
tanpa telinga ini.
Tentu dukungan masyarakat simpatisan dan partisipan
atas tokoh yang terpilih menjadi presiden bukan tanpa reserve. Para relawan itu
akan kembali ke jalan, membentuk parlemen merdeka untuk menyikapi secara kritis
rezim yang berkuasa.
Artinya, presiden terpilih tak bisa "gede
rasa" menganggap kecintaan rakyat atas dirinya tanpa batas dan tanpa
revisi. Rakyat yang cerdas punya prinsip, sebuah pemerintahan akan bersih,
menyejahterakan (pro publik), dan dicintai jika sanggup dikoreksi dan direvisi.
Koreksi dan revisi menghindarkan kekuasaan lepas dari rel konstitusi.
Untuk itu, rezim yang terbentuk jangan berharap akan
bisa leluasa mengeksploitasi kekuasaan demi melampiaskan dendam atas
”kelaparan” setelah lama berpuasa. Tugas suci dan pokok memimpin pemerintahan
adalah mendistribusi kesejahteraan bagi publik, bukan menumpuk-numpuk kekayaan
di gudang ambisi pribadi dan kelompok. Rezim yang berperilaku gandrung kekayaan
terbukti jebol dihantam air bah kritisisme rakyat. Jadi, belajarlah pada
sejarah Orde Baru.
Dalam sistem demokratis, pemerintahan bukan gedung
tertutup dengan tembok masif tanpa jendela dan pintu, melainkan rumah kaca
tembus pandang. Rakyat bisa mengamati dan menandai perilaku aktor-aktor rezim.
Rakyat akan tahu siapa yang bekerja dan siapa yang hanya duduk manis sambil
menghitung uang dan keuntungan.
Rakyat akan protes terhadap setiap upaya untuk
memasang gorden atau tabir pemerintahan. Protes itu juga akan berbuncah ketika
sebuah rezim ramai-ramai menyumpali telinganya dengan kapas atau gabus.
Penderitaan rakyat pun akan lebih nyaring terdengar, menjelma gelombang energi
yang menjebol sumpalan telinga itu.
Dalam memerintah berkontrak lima tahun, mestinya
presiden terpilih menjadikan kesempatan sebagai momentum emas untuk memberi
makna atas kerja politiknya. Makna itu bisa diwujudkan melalui kabinet yang
bekerja penuh passion, sarat semangat profetik dengan kecerdasan akal-budi,
keterampilan manajerial, serta ketajaman mata dan telinga. Kelak, rezim macam
itu akan terasa indah dikenang rakyat. Saatnya diakhiri episode ”negeri tanpa
telinga” agar rakyat kembali menemukan rumah kedaulatannya.
Oleh:
Indra
Tranggono
Pemerhati
Kebudayaan dan Sastrawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar