Sabtu, 06 September 2014

Pendekar Rakyat Bagian 1




HARI Minggu tanggal 25 Oktober 2014 pukul dua siang saat cuaca masih panas, Amanda Wibisono, 22 tahun, cantik dan amat menarik, sang bunga kampus Universitas Tarumanagara, tengah berjalan menyusuri trotoar di depan pagar Mall Citraland. Amanda mengenakan blus ungu dan celana jins biru dengan sepatu kulit karet warna coklat serta tas hermes hitam di lengan kanannya. Tujuannya jelas yaitu halte karena dia akan menaiki Metromini jurusan 91 dengan arah Roxy Mas. Seratus meter dari halte, dia mendengar siulan panjang dari belakangnya. Saat menoleh, tak ada siapapun, tetapi saat pandangannya kembali lurus ke depan, memandang kerumunan orang di sekitar halte dan di tengah keramaian lalu lintas, mendadak sebuah taksi berwarna krem berhenti di dekat trotoar dan pintu belakang membuka. Seorang pria bertopi merah dengan kacamata hitam keluar dari taksi dan membekap mulut Amanda. Kuat dan tegas, pria tersebut berhasil memasukkan Amanda ke dalam taksi saat orang-orang di sekitarnya sadar akan terjadinya sebuah peristiwa penculikan. Si pria bertopi merah langsung menepuk bahu rekannya di belakang kemudi. “Jalan cepat.”
Saat taksi krem itu melaju cepat menuju ke arah Grogol, orang-orang berlarian mendekati tas hermes hitam yang jatuh di trotoar. Beberapa sekuriti dari Mall Citraland dan Universitas Tarumanagara berlarian mendekat dan meminta orang-orang tersebut menjauh. Salah satu sekuriti yang bertubuh kekar dan berkumis lebat meraih tas hermes hitam itu lalu memandang para rekannya dengan wajah pucat. “Tas ini milik Mbak Manda.”
“Tadi ada gadis yang dipaksa masuk taksi, Pak.” kata salah satu orang yang tadi bergerombol di halte. “Cantik gadisnya. Penculikan ya, Pak?”
Salah satu sekuriti dari Universitas Tarumanagara menjawab dengan nada bergetar. “Kalau betul, ini gawat. Mbak Manda itu … putri Presiden … baru kita.”
Seluruh orang di situ mendadak terdiam.
***
“Bapak Presiden? Pers sudah menunggu.”
“Terima kasih, Arya. Aku segera tampil.”
Sungguh hari yang berat bagi Presiden terpilih kita yang baru. Belum genap tiga hari Johan Wibisono menjalani pelantikan sebagai Presiden baru negeri Republik tercinta ini, anaknya semata wayang, Amanda Meilani Cahyaputri alias Amanda Wibisono raib diculik orang. Johan tentu tidak diam berpangku tangan karena beliau segera memerintahkan pihak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus ini dan menemukan putrinya dalam keadaan sehat bugar. Kini jam delapan malam, tepat 6 jam sejak putrinya diculik, Johan Wibisono mengadakan konferensi pers keduanya sebagai Presiden setelah yang pertama tiga hari lalu saat dilantik menjadi Presiden. Ruang pers utama Istana Negara sudah penuh sesak oleh wartawan media cetak dan elektronik yang tegang menunggu.
Johan Wibisono, 50 tahun, kelahiran Jogjakarta, 2 Mei 1964 memenangkan Pemilihan Presiden bulan Juli lalu dengan perbandingan suara 55 banding 45 persen lawan saingan utama satu-satunya Pandawa Suntoro. Johan berasal dari kalangan sipil, mantan walikota Jogja yang sukses besar dalam dua periode kepemimpinannya dulu sebelum memantapkan diri maju ke Pemilihan Presiden. Sebagai pengusaha batik dan furnitur tersukses serta terpandang, Johan tentu bergelimang uang, meskipun begitu, beliau hidup sederhana dan tidak sombong, ramah dan dekat dengan rakyat terutama kalangan menengah ke bawah. Pendek kata, beliau adalah seorang pendekar rakyat. Johan menikah dengan mantan penyanyi cilik Indri Novena tahun 1991 dan setahun kemudian, putri mereka satu-satunya, Amanda lahir. Meskipun tak mempunyai anak lagi, Johan dan Indri hidup bahagia. Rumah tangga mereka mulus dan nyaman sampai hari ini, saat hati Indri hancur memikirkan keselamatan Amanda.
Di depan mikrofon, Johan berdiri tegap memandang seluruh wartawan yang hadir. Wajahnya yang bulat tampak letih dan kuyu dengan mata memerah karena sedih. Berdiri di samping kiri Johan adalah Indri dengan wajah pucat dan berurai airmata. Dua orang yang berdiri di samping kiri Indri adalah Dadang Herlambang, juru bicara Presiden dan komisaris besar Polisi Toto Bahroni, sementara dua orang yang berdiri di samping Presiden Johan adalah Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Agung Daryadi dan Menteri Sekretaris Negara Lulut Sihombing.
“Saudara sekalian yang terhormat, saya mengucapkan selamat malam. Terima kasih untuk kehadirannya malam hari ini. Sangat berat bagi saya untuk berbicara malam hari ini, terutama karena berita kehilangan bagi saya dan keluarga. Putri kami Amanda diculik tadi siang di dekat tempat kuliahnya yaitu di Universitas Tarumanegara Jakarta Barat. Saya menyerahkan sepenuhnya penyelidikan kepada pihak kepolisian.”
Suasana hening sejenak saat Presiden terisak di depan mikrofon.
Saat itu pula, terdengar dering ponsel dari blackberry Presiden.
“Halo?”
“Good evening, Mister President.”
“Who is this?”
“Let’s say I am … the kidnapper.”
Presiden mengaktifkan mode speaker sehingga semua orang di situ bisa mendengar. “Are you … an American?”
“Of course not, Mister President. I am an Indonesian … just like you. By the way, your daughter is safe in our hands and don’t you worry. What I want from you is … not money.”
“What do you really want from me? Why don’t we speak Bahasa? Kembalikan Amanda.”
“I can kill your daughter right now! Stop trying to rescue her! I don’t want your money! What I want is one man! Find this one man and beg him to rescue your daughter!”
Presiden memandangi Kombes Toto Bahroni dan memberi kode mendekat. Toto mengangguk, lalu berjalan pelan mendekati Presiden. “This is Police commissioner Toto Bahroni speaking. Who is the one man you want?”
“His name is Febry Marinko. I am sure that name is familiar to you.”
Sambungan telepon terputus saat itu juga. Presiden dan Kombes Polisi saling menatap. “Siapa itu Febry … Marinko?”
Presiden Johan mengangguk. “Keponakanku. Sudah tiga tahun kami tak bertemu sejak meninggalnya kakakku. Dia dan adiknya tak pernah lagi mau menemuiku. Aku yakin dia dan adiknya golput saat pemilu kemarin.”
“Di mana dia tinggal, Bapak Presiden?”
“Jogja tentu saja. Sekarang Pak Toto tahu apa yang harus Pak Toto lakukan. Bujuk dia agar mau membantu menemukan Amanda.”
“Siap, Bapak Presiden. Rekan-rekan saya di Jogja akan segera saya kontak. Kalau boleh saya tahu, apa pekerjaan Febry itu?”
“Dia dosen DKV ISI, juga seorang komikus.”
“Lalu adiknya?”
“Sonya Marinka.”
“Sonya si model super cantik itu? Sonya yang dulu sempat bikin heboh karena foto-fotonya di internet?”
“Pak Toto, yang lalu biarlah berlalu. Saya percaya Sonya sudah tidak begitu lagi.”
“Baik, Bapak Presiden.” (oleh: Septian Dhaniar Rahman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar