HARI Minggu tanggal 25 Oktober 2014 pukul dua siang saat
cuaca masih panas, Amanda Wibisono, 22 tahun, cantik dan amat menarik, sang
bunga kampus Universitas Tarumanagara, tengah berjalan menyusuri trotoar di
depan pagar Mall Citraland. Amanda mengenakan blus ungu dan celana jins biru
dengan sepatu kulit karet warna coklat serta tas hermes hitam di lengan
kanannya. Tujuannya jelas yaitu halte karena dia akan menaiki Metromini jurusan
91 dengan arah Roxy Mas. Seratus meter dari halte, dia mendengar siulan panjang
dari belakangnya. Saat menoleh, tak ada siapapun, tetapi saat pandangannya
kembali lurus ke depan, memandang kerumunan orang di sekitar halte dan di
tengah keramaian lalu lintas, mendadak sebuah taksi berwarna krem berhenti di
dekat trotoar dan pintu belakang membuka. Seorang pria bertopi merah dengan
kacamata hitam keluar dari taksi dan membekap mulut Amanda. Kuat dan tegas,
pria tersebut berhasil memasukkan Amanda ke dalam taksi saat orang-orang di
sekitarnya sadar akan terjadinya sebuah peristiwa penculikan. Si pria bertopi
merah langsung menepuk bahu rekannya di belakang kemudi. “Jalan cepat.”
Saat taksi krem itu melaju cepat
menuju ke arah Grogol, orang-orang berlarian mendekati tas hermes hitam yang
jatuh di trotoar. Beberapa sekuriti dari Mall Citraland dan Universitas
Tarumanagara berlarian mendekat dan meminta orang-orang tersebut menjauh. Salah
satu sekuriti yang bertubuh kekar dan berkumis lebat meraih tas hermes hitam
itu lalu memandang para rekannya dengan wajah pucat. “Tas ini milik Mbak
Manda.”
“Tadi ada gadis yang dipaksa masuk
taksi, Pak.” kata salah satu orang yang tadi bergerombol di halte. “Cantik
gadisnya. Penculikan ya, Pak?”
Salah satu sekuriti dari Universitas
Tarumanagara menjawab dengan nada bergetar. “Kalau betul, ini gawat. Mbak Manda
itu … putri Presiden … baru kita.”
Seluruh orang di situ mendadak
terdiam.
***
“Bapak Presiden? Pers sudah
menunggu.”
“Terima kasih, Arya. Aku segera
tampil.”
Sungguh hari yang berat bagi
Presiden terpilih kita yang baru. Belum genap tiga hari Johan Wibisono
menjalani pelantikan sebagai Presiden baru negeri Republik tercinta ini,
anaknya semata wayang, Amanda Meilani Cahyaputri alias Amanda Wibisono raib
diculik orang. Johan tentu tidak diam berpangku tangan karena beliau segera
memerintahkan pihak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus ini dan menemukan
putrinya dalam keadaan sehat bugar. Kini jam delapan malam, tepat 6 jam sejak
putrinya diculik, Johan Wibisono mengadakan konferensi pers keduanya sebagai
Presiden setelah yang pertama tiga hari lalu saat dilantik menjadi Presiden.
Ruang pers utama Istana Negara sudah penuh sesak oleh wartawan media cetak dan
elektronik yang tegang menunggu.
Johan Wibisono, 50 tahun, kelahiran
Jogjakarta, 2 Mei 1964 memenangkan Pemilihan Presiden bulan Juli lalu dengan
perbandingan suara 55 banding 45 persen lawan saingan utama satu-satunya
Pandawa Suntoro. Johan berasal dari kalangan sipil, mantan walikota Jogja yang
sukses besar dalam dua periode kepemimpinannya dulu sebelum memantapkan diri
maju ke Pemilihan Presiden. Sebagai pengusaha batik dan furnitur tersukses
serta terpandang, Johan tentu bergelimang uang, meskipun begitu, beliau hidup
sederhana dan tidak sombong, ramah dan dekat dengan rakyat terutama kalangan
menengah ke bawah. Pendek kata, beliau adalah seorang pendekar rakyat. Johan
menikah dengan mantan penyanyi cilik Indri Novena tahun 1991 dan setahun
kemudian, putri mereka satu-satunya, Amanda lahir. Meskipun tak mempunyai anak
lagi, Johan dan Indri hidup bahagia. Rumah tangga mereka mulus dan nyaman
sampai hari ini, saat hati Indri hancur memikirkan keselamatan Amanda.
Di depan mikrofon, Johan berdiri
tegap memandang seluruh wartawan yang hadir. Wajahnya yang bulat tampak letih
dan kuyu dengan mata memerah karena sedih. Berdiri di samping kiri Johan adalah
Indri dengan wajah pucat dan berurai airmata. Dua orang yang berdiri di samping
kiri Indri adalah Dadang Herlambang, juru bicara Presiden dan komisaris besar
Polisi Toto Bahroni, sementara dua orang yang berdiri di samping Presiden Johan
adalah Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Agung Daryadi dan Menteri
Sekretaris Negara Lulut Sihombing.
“Saudara sekalian yang terhormat,
saya mengucapkan selamat malam. Terima kasih untuk kehadirannya malam hari ini.
Sangat berat bagi saya untuk berbicara malam hari ini, terutama karena berita
kehilangan bagi saya dan keluarga. Putri kami Amanda diculik tadi siang di
dekat tempat kuliahnya yaitu di Universitas Tarumanegara Jakarta Barat. Saya
menyerahkan sepenuhnya penyelidikan kepada pihak kepolisian.”
Suasana hening sejenak saat Presiden
terisak di depan mikrofon.
Saat itu pula, terdengar dering
ponsel dari blackberry Presiden.
“Halo?”
“Good evening, Mister President.”
“Who is this?”
“Let’s say I am … the kidnapper.”
Presiden mengaktifkan mode speaker
sehingga semua orang di situ bisa mendengar. “Are you … an American?”
“Of course not, Mister President. I
am an Indonesian … just like you. By the way, your daughter is safe in our
hands and don’t you worry. What I want from you is … not money.”
“What do you really want from me?
Why don’t we speak Bahasa?
Kembalikan Amanda.”
“I can kill your daughter right now!
Stop trying to rescue her! I don’t want your money! What I want is one man!
Find this one man and beg him to rescue your daughter!”
Presiden memandangi Kombes Toto
Bahroni dan memberi kode mendekat. Toto mengangguk, lalu berjalan pelan
mendekati Presiden. “This is Police commissioner Toto Bahroni speaking. Who
is the one man you want?”
“His name is Febry Marinko. I am
sure that name is familiar to you.”
Sambungan telepon terputus saat itu
juga. Presiden dan Kombes Polisi saling menatap. “Siapa itu Febry … Marinko?”
Presiden Johan mengangguk.
“Keponakanku. Sudah tiga tahun kami tak bertemu sejak meninggalnya kakakku. Dia
dan adiknya tak pernah lagi mau menemuiku. Aku yakin dia dan adiknya golput
saat pemilu kemarin.”
“Di mana dia tinggal, Bapak
Presiden?”
“Jogja tentu saja. Sekarang Pak Toto
tahu apa yang harus Pak Toto lakukan. Bujuk dia agar mau membantu menemukan
Amanda.”
“Siap, Bapak Presiden. Rekan-rekan
saya di Jogja akan segera saya kontak. Kalau boleh saya tahu, apa pekerjaan
Febry itu?”
“Dia dosen DKV ISI, juga seorang
komikus.”
“Lalu adiknya?”
“Sonya Marinka.”
“Sonya si model super cantik itu?
Sonya yang dulu sempat bikin heboh karena foto-fotonya di internet?”
“Pak Toto, yang lalu biarlah
berlalu. Saya percaya Sonya sudah tidak begitu lagi.”
“Baik, Bapak Presiden.” (oleh: Septian Dhaniar Rahman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar