Senin, 08 September 2014

'Trauma' Ikan Sarden

 
ilustrasi
SENIN, 12 Januari 2013. Imran Ibnu, 18 tahun, tampak kuyu, dengan tampilan berantakan. Rambut  acak-acakan, mata merah dipertegas dengan baju tidur lusuh yang dia kenakan semalam.
Dia tertidur saat tengah mengerjakan sejumlah pekerjaan rumah (PR) diberikan sang guru matematika dan harus dikumpulkan esok hari. Jika tidak, sebagai siswa kelas 3 SMA, dia bisa terancam tak lulus. Konsekuensinya, bukan hanya amarah orang tua yang menunggu. Namun semprot kelurga tempat dia menumpang selama beberapa tahun terakhir ini, akan menjadi mimpi buruk bahkan tak berani dibayangkannya.
Rasa letih memang telah menjadi santapan rutin dilakoni setiap hari. Akibatnya, ketika sedikit saja bersentuhan dengan kasur atau bantal empuk, maka tanpa kompromi, akan membawa mata letih itu, ke alam mimpi.  
Maklum, dia adalah anak lelaki, berasal dari salah satu wilayah perkampungan Kalimantan Timur (Kaltim). Tanpa keterampilan apalagi harta yang bisa mengangkat martabat dirinya dalam pergaulan sehari-hari. Dia hanyalah, anak lelaki yang dititipkan kedua orangtuanya, agar bisa belajar dan menuntut ilmu, sehingga bisa menjadi manusia berguna dan lebih baik dari nasib kedua orangtuanya, yang hanya petani miskin, dengan pendidikan rendah, tanpa gelar.
Seperti biasa, Imran (begitu dia disapa, Red.), sudah memiliki tugas khusus diembankan sang tuan rumah; Nurdiana (32) dan Yusrianto (37). Kedua pasangan suami istri yang terbilang telah meraih hidup sukses dari segi materi ini, menjadi tempatnya menumpang sejak Agustus 2011. Sejak sukses menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama (SMP)-nya. Imran dalam asuhan atau lebih tepat kuasa pasangan pegawai pemerintahan itu.
Nurdiana adalah kakak kandung Imran. Dia adalah kakak wanita tertua, dari 8 bersaudara dilahirkan dari rahim, Nurhidayati, 50 tahun, suami dari Ibnu Harianto (60) beberapa tahun silam.
Selama 2 tahun lebih dia menjadi bagian dari keluarga ini, sudah cukup banyak mendapat pengalaman berarti. Dia banyak belajar tentang rasanya hidup menumpang. Menjadi orang asing, di tengah gaya hidup mewah dan bermartabat dari sudut pandang materi.
Selama tinggal dengan keluarga dengan 4 anggota keluarga itu,  tak ada kebebasan hidup diperoleh. Masa remajanya habis dengan tekanan hingga beban mental berkelanjutan. Dia merasa tinggal bersama orang asing tak dikenal.
Tak berbeda dia alami hari ini, Senin, 13 Januari 2013. Imran kembali mendapat peringatan keras dari sang tuan rumah. Ia diminta menyelesaikan semua tugas-tugas lebih baik dari penyelesaian telah dilakukan selama beberapa pekan lalu tak jarang menerima teguran keras, lantaran dinilai belum menyelesaikan perintah ‘majikan’dengan memuaskan.
Tugas-tugas itu meliputi; cuci piring kotor, bekas makan bersama sejak siang hingga tadi malam, selain itu, membersihkan rumah, mencuci motor, baju kotor milik kedua pasangan suami istri, lengkap dengan milik kedua anaknya, Ayu, 16 tahun, dan Ikram, 4 tanun. Ayu, saat itu tengah duduk di bangku kelas 1 SMP Islam Bontang. Sementara Ikram, masih duduk di taman Kanak-Kanak (TK).
“Imran, hari ini, jangan tinggalin rumah, kalau tugasnya belum selesai yah. Soalnya saya tidak mau lihat, rumah kotor. Kita sudah pusing dari sekolah. Jadi yang di rumah harus kerjain tugas rumah, ok !,” pesan Nurdiana sebelum akhirnya meninggalkan rumah menuju ke sekolah tempat di mengajar sebagai guru pendidikan agama islam kepadanya.
Memang tidak ada yang salah dengan tugas-tugas diembankan. Toh dia sadar, dia telah tinggal, makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan gratis. Tentu saja, hal itu jauh lebih baik, ketimbang dia harus hidup sendiri namun setiap bulan harus membayar dengan nilai ratusan ribu. Tak mungkin dilakukan. Sebab biaya untuk kehidupan sehari-hari saja sulit dia penuhi. Apalagi harus ditambah biaya sewa rumah. Yang jika benar terjadi, maka mau tidak mau, kebutuhan lain, seperti makan sehari-hari, hingga kebutuhan jajan pun ikut menuntut dipenuhi. Jelas hal tersebut kian membebani bagi kedua orangtuanya yang sehari-hari menempuh hidup dengan cara bercocok tanam.
Usai menerima mandat keras itu, Imran tak banyak membuang waktu. Apalagi waktu bagi seorang yang menumpang hidup, terasa berjalan terlampau cepat dibanding seseorang hidup di rumah sendiri. Sehari-hari bisa hidup bebas tanpa beban. Atau setidaknya, tanpa tekanan keras seperti dialami ketika menumpang hidup dengan orang tampak tepat disebut;  ibu tiri jahat.
Usai membersihkan diri, dia mulai bekerja. Dengan sigap, satu per satu piring kotor berserakan nyaris di setiap sudut rumah itu dikumpulkan di wadah pencucian piring. Maklum, pemilik rumah merasa tak memiliki tanggungjawab mengembalikan apapun telah digunakan ke tempat semula. Mungkin mereka merasa memiliki pembantu rumah tangga. Namun istimewanya, mereka tak perlu susah payah membayar gaji bulanan kepada pembantu rumah tangga tersebut.  Padahal fungsinya tak jauh berbeda. Bisa dipelakukan seenaknya tanpa merasa khawatir terjerat kasus kekerasan terhadap tenaga kerja, apalagi kekerasan dalam rumah tangga.
Mungkin, sebagai kalangan terpelajar, mereka tahu pasti. Tak ada ancaman ketika mereka menerapkan tindak kekerasan tersebut. Imran seorang anak berparas polos, dungu, dan tidak memiliki  keberanian. Sekali pun sekadar melontarkan pendapat.  Apalagi sampai harus mengajuukan protes. Hal itu dipastikan terkunci rapat di dalam benaknya. Karena jika berani bersuara sedikit saja, dia akan berhadapan dengan amarah luar biasa.
Sekali pun itu terjadi tak ada kekhawatiran bagi Nurdiana terkena teguran kedua orang tuanya. Pertimbangan apa yang mendasari kondisi tersebut, sampai saat ini masih menjadi rahasia.
Tepat pukul 11.30 wita, pekerjaan rumah menjadi tugas Imran, rampung. Kini dia harus bersiap-siap berangkat ke sekolah untuk menjalani rutinitasnya sebagai seorang pelajar di bangku SMA. Mulai dari membersihkan diri, hingga persiapan lain yang dibutuhkan hari itu, dia selesaikan.   
Rampung berbenah, dia baru sadar, sejak malam, perutnya tak sedikit pun tesentuh makanan. Melainkan hanya air putih yang sesekali menyiram gersangnya lambung miliknya. Tak heran, rasa perih semakin gencar menusuk dinding lambung sebagai bentuk protes oleh para cacing di dalamnya. Mungkin, mereka meminta agar perut kosong itu segera terisi.
Menyadari hal itu, Imran bergerak cepat. Awalnya, dia mencari makanan bisa dilahap di bawah tudung saji yang berada di dapur. Namun yang tampak olehnya, hanya meja kosong. Tanpa ada makanan secuil pun bertengger  di atasnya. Tak menyerah sampai di situ. Imran memupuk keberanian untuk masuk ke kamar pemilik rumah, yang sangat jarang dimasuki. Sekali pun dia sudah menjadi bagian keluarga itu selama 2 tahun lebih.
Matanya menatap tajam ke arah, lemari es yang tertutup rapat. Posisi itu, tampak begitu menggiurkan, sekaligus menegangkan. Karena seolah bisa dipastikan, di dalamnya terdapat sejumlah jenis makanan lezat. Yang selama ini hanya menjadi impian seorang anak desa. Namun keberadaannya hanya untuk dinikmati para anggota keluarga tersebut. Bukan untuk dirinya, yang entah kenapa, bisa berada di sana di saat itu.  
Usai membuka lemari tersebut, Imran menampakan tersenyum sumringah. Betapa tidak. Dari sekian banyak menu makanan bisa memuaskan rasa lapar yang sejak semalam dialami, matanya tertuju pada sebuah wadah menampung lauk, berisi ikan sarden dipadu dengan mie instan.
Tanpa pikir panjang, dia lantas mengambil sedikit demi sedikit lauk tersebut berpindah menuju piring. Yang di atasnya telah menunggu segepuk nasi menanti saat dilahap oleh anak tersebut.
Merasa cukup dengan lauk yang ada. Imran tidak lantas meninggalkan jejak sendok dia buat pada permukaan genangan lauk tersebut. Melainkan, dia mulai menata kembali permukaan genangan ikan sarden itu, agar tidak sampai mencetak jejak. Tujuannya, agar pemilik makanan tidak mengetahui, bahwa makanannya telah dicuri.
Dia pun meninggalkan lokasi ‘terlarang’ itu. Kemudian masuk ke dapur sembari menikmati makanan sukses diambil dari kamar sang empunya rumah. Setelah kenyang, Imran memutuskan, berangkat ke sekolah memulai aktivitas sebagai seorang pelajar yang baik.
***

Pukul 20.00 wita. Seperti biasa, usai salat Isya, semua anggota keluarga lengkap berkumpul. Tepatnya, di ruang tamu sambil menonton acara dari layar televisi malam itu. Sementara Imran, tetap dengan rutinitasnya, mendekam di dalam kamar sembari menikmati berinteraksi dengan dirinya sendiri. Sebab dia merasa tidak siap bertatap muka dengan para ‘majikan’.
Di lain sisi, dia tetap siap menanti panggilan dari tuan rumah. Seperti hari-hari telah terlewati sebelumnya, dia pasti akan dipanggil, untuk menjalankan berbagai tugas. Baik diminta memijat sang kakak ipar, atau membeli makanan ke luar rumah. Letaknya tidak dekat, sebab untuk tiba di lokasi, setidaknya harus menempuh jarak ratusan meter dari rumah. Sementara, seolah tanpa belas kasih, kadang kala dia diminta keluar rumah dengan berjalan kaki. Parahnya lagi, ketika tiba di rumah, hanya remah-remah makanan diberikan untuk dinikmati. Itu pun kalau tersisa, jika tidak, maka rasa letih yang dialalui, tidak terbayar.  Dia hanya harus puas dengan menelan ludah. Karena nikmat makanan itu, tak bisa dicicipi, meski hanya sepotong.
Berselang beberapa menit, lamunan Imran pun buyar. Sebab tiba-tiba Ikram masuk ke dalam kamar. Dia memanggil Imran dengan suara pelan.
Om, dipanggil mamah. Disuruh ke luar bentar,” tukasnya sembari menepuk lembut pundak Imran.
Mendapat panggilan itu, Imran lantas keluar kamar, dengan posisi siap bertugas. Di dalam benaknya, dia tak lagi meragukan. Kemugkinan alasan dia dipanggil hanya ada dua; diminta pergi membeli jajan atau evaluasi atas kinerja hari ini.
Setiba di sana, Imran pun diminta duduk di lantai bergabung bersama mereka. Di hadapan televisi yang masih menayangkan film kartun kesukaan ayu dan Ikram, Nurdiana mulai memperbaiki posisi duduknya.
“Imran yah yang tadi siang habisin ikan di dalam kulkas ?,” tudingnya dengan mata menyeledik.
“Soalnya tadi saya tinggal masih ada, tapi pas pulang sudah kosong,” tambah dia lagi.
Mendapat pertanyaan itu, akhirnya dia sadar. Ternyata tujuan dia dipanggil, buka untuk bertugas. Melainkan menjalani proses introgasi. Karena telah berani menyantap makanan tesembunyi di dalam kamar sang kakak.
Menyadari itu, Imran lantas memperbaiki posisi lalu mengajukan pembelaan diri.
Loh habis kah kak ? saya tadi cuma ambil kuah sama mie saja. Ikan tidak ada,” tukas Imran membela diri.
Itu dilakukan Imran, karena merasa tidak pernah sedikit pun mengambil ikan di dalam wadah berisi mie, sarden hingga kuah yang menggiurkan pagi tadi.  
Udah enggak usah bohong. Soalnya, di rumah seharian kan cuma ada Imran. Masa kucing atau tikus bisa curi makanan di dalam kulkas. Padahal kan tertutup,” tukasnya dengan suara rendah, namun menusuk.
Mendapat tudingan itu, Imran mulai merasa terpojok. Karena dia sadar, sekali pun keukeuh membela diri, dia optimisi apapun pembelaannya, tak akan mengubah pendirian sang kakak yang tampak jelas ingin ‘menyerangnya’.
Akhirnya, dia memilih bungkam sembari menunduk dalam. Dia tak berani menatap wajah kakaknya, apalagi menjawab pertanyaan sang guru agama itu.
“Lain kali, kalau mau makan, dipikirkan juga orang di luar. Tadi pas kita datang, mau makan. Eh, sudah habis. Itu enggak bagus. Kasihan yang lain. Oke Imran ?,” tukasnya mengakhiri introgasinya. Setelah itu dia pun meminta Imran kembali masuk ke dalam kamar.
Pengalaman itu, terang saja menjadi kenangan tersendiri bagi Imran. Sebab, dia telah dituduh mencuri makanan. Padahal makan adalah hal paling tabu untuk dipermasalahkan dalam hal apapun juga. Sebab berhubungan langsung dengan perut. Akibatnya rasa sakit hati atas sikap itu tersimpan kekal hingga saat ini. Tak heran, rasa sakit itu tetap hidup.
Setiap kali  bertemu dengan wajah wanita itu, kenangan pahit itu pasti akan kembali. Demikian halnya ketika bertemu ikan sarden.  Alhasil, ikan kaleng itu menjadi trauma abadi yang menjadi bagian dari kehidupan Imran Ibnu hingga saat ini (oleh: Imran Ibnu)
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar