SENIN, 12 Januari 2013. Imran Ibnu, 18
tahun, tampak kuyu, dengan tampilan berantakan. Rambut acak-acakan, mata merah dipertegas dengan baju
tidur lusuh yang dia kenakan semalam.
Dia tertidur saat tengah mengerjakan
sejumlah pekerjaan rumah (PR) diberikan sang guru matematika dan harus
dikumpulkan esok hari. Jika tidak, sebagai siswa kelas 3 SMA, dia bisa terancam
tak lulus. Konsekuensinya, bukan hanya amarah orang tua yang menunggu. Namun
semprot kelurga tempat dia menumpang selama beberapa tahun terakhir ini, akan
menjadi mimpi buruk bahkan tak berani dibayangkannya.
Rasa letih memang telah menjadi santapan
rutin dilakoni setiap hari. Akibatnya, ketika sedikit saja bersentuhan dengan
kasur atau bantal empuk, maka tanpa kompromi, akan membawa mata letih itu, ke
alam mimpi.
Maklum, dia adalah anak lelaki, berasal
dari salah satu wilayah perkampungan Kalimantan Timur (Kaltim). Tanpa
keterampilan apalagi harta yang bisa mengangkat martabat dirinya dalam
pergaulan sehari-hari. Dia hanyalah, anak lelaki yang dititipkan kedua
orangtuanya, agar bisa belajar dan menuntut ilmu, sehingga bisa menjadi manusia
berguna dan lebih baik dari nasib kedua orangtuanya, yang hanya petani miskin,
dengan pendidikan rendah, tanpa gelar.
Seperti biasa, Imran (begitu dia
disapa, Red.), sudah memiliki tugas
khusus diembankan sang tuan rumah; Nurdiana (32) dan Yusrianto (37). Kedua
pasangan suami istri yang terbilang telah meraih hidup sukses dari segi materi
ini, menjadi tempatnya menumpang sejak Agustus 2011. Sejak sukses menyelesaikan
Sekolah Menengah Pertama (SMP)-nya. Imran dalam asuhan atau lebih tepat kuasa
pasangan pegawai pemerintahan itu.
Nurdiana adalah kakak kandung Imran.
Dia adalah kakak wanita tertua, dari 8 bersaudara dilahirkan dari rahim,
Nurhidayati, 50 tahun, suami dari Ibnu Harianto (60) beberapa tahun silam.
Selama 2 tahun lebih dia menjadi bagian
dari keluarga ini, sudah cukup banyak mendapat pengalaman berarti. Dia banyak
belajar tentang rasanya hidup menumpang. Menjadi orang asing, di tengah gaya
hidup mewah dan bermartabat dari sudut pandang materi.
Selama tinggal dengan keluarga dengan 4
anggota keluarga itu, tak ada kebebasan
hidup diperoleh. Masa remajanya habis dengan tekanan hingga beban mental
berkelanjutan. Dia merasa tinggal bersama orang asing tak dikenal.
Tak berbeda dia alami hari ini, Senin,
13 Januari 2013. Imran kembali mendapat peringatan keras dari sang tuan rumah. Ia
diminta menyelesaikan semua tugas-tugas lebih baik dari penyelesaian telah
dilakukan selama beberapa pekan lalu tak jarang menerima teguran keras, lantaran
dinilai belum menyelesaikan perintah ‘majikan’dengan memuaskan.
Tugas-tugas itu meliputi; cuci piring
kotor, bekas makan bersama sejak siang hingga tadi malam, selain itu,
membersihkan rumah, mencuci motor, baju kotor milik kedua pasangan suami istri,
lengkap dengan milik kedua anaknya, Ayu, 16 tahun, dan Ikram, 4 tanun. Ayu,
saat itu tengah duduk di bangku kelas 1 SMP Islam Bontang. Sementara Ikram,
masih duduk di taman Kanak-Kanak (TK).
“Imran, hari ini, jangan tinggalin
rumah, kalau tugasnya belum selesai yah.
Soalnya saya tidak mau lihat, rumah kotor. Kita sudah pusing dari sekolah. Jadi
yang di rumah harus kerjain tugas rumah, ok
!,” pesan Nurdiana sebelum akhirnya meninggalkan rumah menuju ke sekolah tempat
di mengajar sebagai guru pendidikan agama islam kepadanya.
Memang tidak ada yang salah dengan
tugas-tugas diembankan. Toh dia
sadar, dia telah tinggal, makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan
gratis. Tentu saja, hal itu jauh lebih baik, ketimbang dia harus hidup sendiri
namun setiap bulan harus membayar dengan nilai ratusan ribu. Tak mungkin
dilakukan. Sebab biaya untuk kehidupan sehari-hari saja sulit dia penuhi. Apalagi
harus ditambah biaya sewa rumah. Yang jika benar terjadi, maka mau tidak mau,
kebutuhan lain, seperti makan sehari-hari, hingga kebutuhan jajan pun ikut
menuntut dipenuhi. Jelas hal tersebut kian membebani bagi kedua orangtuanya
yang sehari-hari menempuh hidup dengan cara bercocok tanam.
Usai menerima mandat keras itu, Imran
tak banyak membuang waktu. Apalagi waktu bagi seorang yang menumpang hidup,
terasa berjalan terlampau cepat dibanding seseorang hidup di rumah sendiri. Sehari-hari
bisa hidup bebas tanpa beban. Atau setidaknya, tanpa tekanan keras seperti
dialami ketika menumpang hidup dengan orang tampak tepat disebut; ibu tiri jahat.
Usai membersihkan diri, dia mulai
bekerja. Dengan sigap, satu per satu piring kotor berserakan nyaris di setiap
sudut rumah itu dikumpulkan di wadah pencucian piring. Maklum, pemilik rumah
merasa tak memiliki tanggungjawab mengembalikan apapun telah digunakan ke
tempat semula. Mungkin mereka merasa memiliki pembantu rumah tangga. Namun istimewanya,
mereka tak perlu susah payah membayar gaji bulanan kepada pembantu rumah tangga
tersebut. Padahal fungsinya tak jauh
berbeda. Bisa dipelakukan seenaknya tanpa merasa khawatir terjerat kasus
kekerasan terhadap tenaga kerja, apalagi kekerasan dalam rumah tangga.
Mungkin, sebagai kalangan terpelajar, mereka
tahu pasti. Tak ada ancaman ketika mereka menerapkan tindak kekerasan tersebut.
Imran seorang anak berparas polos, dungu, dan tidak memiliki keberanian. Sekali pun sekadar melontarkan pendapat.
Apalagi sampai harus mengajuukan protes.
Hal itu dipastikan terkunci rapat di dalam benaknya. Karena jika berani
bersuara sedikit saja, dia akan berhadapan dengan amarah luar biasa.
Sekali pun itu terjadi tak ada
kekhawatiran bagi Nurdiana terkena teguran kedua orang tuanya. Pertimbangan apa
yang mendasari kondisi tersebut, sampai saat ini masih menjadi rahasia.
Tepat pukul 11.30 wita, pekerjaan rumah
menjadi tugas Imran, rampung. Kini dia harus bersiap-siap berangkat ke sekolah
untuk menjalani rutinitasnya sebagai seorang pelajar di bangku SMA. Mulai dari
membersihkan diri, hingga persiapan lain yang dibutuhkan hari itu, dia
selesaikan.
Rampung berbenah, dia baru sadar, sejak
malam, perutnya tak sedikit pun tesentuh makanan. Melainkan hanya air putih
yang sesekali menyiram gersangnya lambung miliknya. Tak heran, rasa perih
semakin gencar menusuk dinding lambung sebagai bentuk protes oleh para cacing
di dalamnya. Mungkin, mereka meminta agar perut kosong itu segera terisi.
Menyadari hal itu, Imran bergerak
cepat. Awalnya, dia mencari makanan bisa dilahap di bawah tudung saji yang
berada di dapur. Namun yang tampak olehnya, hanya meja kosong. Tanpa ada
makanan secuil pun bertengger di
atasnya. Tak menyerah sampai di situ. Imran memupuk keberanian untuk masuk ke
kamar pemilik rumah, yang sangat jarang dimasuki. Sekali pun dia sudah menjadi
bagian keluarga itu selama 2 tahun lebih.
Matanya menatap tajam ke arah, lemari
es yang tertutup rapat. Posisi itu, tampak begitu menggiurkan, sekaligus
menegangkan. Karena seolah bisa dipastikan, di dalamnya terdapat sejumlah jenis
makanan lezat. Yang selama ini hanya menjadi impian seorang anak desa. Namun
keberadaannya hanya untuk dinikmati para anggota keluarga tersebut. Bukan untuk
dirinya, yang entah kenapa, bisa berada di sana di saat itu.
Usai membuka lemari tersebut, Imran menampakan
tersenyum sumringah. Betapa tidak. Dari sekian banyak menu makanan bisa
memuaskan rasa lapar yang sejak semalam dialami, matanya tertuju pada sebuah
wadah menampung lauk, berisi ikan sarden dipadu dengan mie instan.
Tanpa pikir panjang, dia lantas
mengambil sedikit demi sedikit lauk tersebut berpindah menuju piring. Yang di
atasnya telah menunggu segepuk nasi menanti saat dilahap oleh anak tersebut.
Merasa cukup dengan lauk yang ada.
Imran tidak lantas meninggalkan jejak sendok dia buat pada permukaan genangan
lauk tersebut. Melainkan, dia mulai menata kembali permukaan genangan ikan
sarden itu, agar tidak sampai mencetak jejak. Tujuannya, agar pemilik makanan
tidak mengetahui, bahwa makanannya telah dicuri.
Dia pun meninggalkan lokasi ‘terlarang’
itu. Kemudian masuk ke dapur sembari menikmati makanan sukses diambil dari
kamar sang empunya rumah. Setelah kenyang, Imran memutuskan, berangkat ke
sekolah memulai aktivitas sebagai seorang pelajar yang baik.
***
Pukul 20.00 wita. Seperti biasa, usai
salat Isya, semua anggota keluarga lengkap berkumpul. Tepatnya, di ruang tamu
sambil menonton acara dari layar televisi malam itu. Sementara Imran, tetap
dengan rutinitasnya, mendekam di dalam kamar sembari menikmati berinteraksi
dengan dirinya sendiri. Sebab dia merasa tidak siap bertatap muka dengan para
‘majikan’.
Di lain sisi, dia tetap siap menanti
panggilan dari tuan rumah. Seperti hari-hari telah terlewati sebelumnya, dia
pasti akan dipanggil, untuk menjalankan berbagai tugas. Baik diminta memijat
sang kakak ipar, atau membeli makanan ke luar rumah. Letaknya tidak dekat,
sebab untuk tiba di lokasi, setidaknya harus menempuh jarak ratusan meter dari
rumah. Sementara, seolah tanpa belas kasih, kadang kala dia diminta keluar
rumah dengan berjalan kaki. Parahnya lagi, ketika tiba di rumah, hanya
remah-remah makanan diberikan untuk dinikmati. Itu pun kalau tersisa, jika
tidak, maka rasa letih yang dialalui, tidak terbayar. Dia hanya harus puas dengan menelan ludah.
Karena nikmat makanan itu, tak bisa dicicipi, meski hanya sepotong.
Berselang beberapa menit, lamunan Imran
pun buyar. Sebab tiba-tiba Ikram masuk ke dalam kamar. Dia memanggil Imran dengan
suara pelan.
“Om,
dipanggil mamah. Disuruh ke luar
bentar,” tukasnya sembari menepuk lembut pundak Imran.
Mendapat panggilan itu, Imran lantas
keluar kamar, dengan posisi siap bertugas. Di dalam benaknya, dia tak lagi
meragukan. Kemugkinan alasan dia dipanggil hanya ada dua; diminta pergi membeli
jajan atau evaluasi atas kinerja hari ini.
Setiba di sana, Imran pun diminta duduk
di lantai bergabung bersama mereka. Di hadapan televisi yang masih menayangkan
film kartun kesukaan ayu dan Ikram, Nurdiana mulai memperbaiki posisi duduknya.
“Imran yah yang tadi siang habisin ikan di dalam kulkas ?,” tudingnya
dengan mata menyeledik.
“Soalnya tadi saya tinggal masih ada,
tapi pas pulang sudah kosong,” tambah
dia lagi.
Mendapat pertanyaan itu, akhirnya dia
sadar. Ternyata tujuan dia dipanggil, buka untuk bertugas. Melainkan menjalani
proses introgasi. Karena telah berani menyantap makanan tesembunyi di dalam
kamar sang kakak.
Menyadari itu, Imran lantas memperbaiki
posisi lalu mengajukan pembelaan diri.
“Loh
habis kah kak ? saya tadi cuma ambil kuah sama mie saja. Ikan tidak ada,”
tukas Imran membela diri.
Itu dilakukan Imran, karena merasa
tidak pernah sedikit pun mengambil ikan di dalam wadah berisi mie, sarden
hingga kuah yang menggiurkan pagi tadi.
“Udah
enggak usah bohong. Soalnya, di rumah
seharian kan cuma ada Imran. Masa
kucing atau tikus bisa curi makanan di dalam kulkas. Padahal kan tertutup,” tukasnya dengan suara
rendah, namun menusuk.
Mendapat tudingan itu, Imran mulai
merasa terpojok. Karena dia sadar, sekali pun keukeuh membela diri, dia optimisi apapun pembelaannya, tak akan
mengubah pendirian sang kakak yang tampak jelas ingin ‘menyerangnya’.
Akhirnya, dia memilih bungkam sembari
menunduk dalam. Dia tak berani menatap wajah kakaknya, apalagi menjawab
pertanyaan sang guru agama itu.
“Lain kali, kalau mau makan, dipikirkan
juga orang di luar. Tadi pas kita
datang, mau makan. Eh, sudah habis.
Itu enggak bagus. Kasihan yang lain. Oke Imran ?,” tukasnya mengakhiri
introgasinya. Setelah itu dia pun meminta Imran kembali masuk ke dalam kamar.
Pengalaman itu, terang saja menjadi
kenangan tersendiri bagi Imran. Sebab, dia telah dituduh mencuri makanan.
Padahal makan adalah hal paling tabu untuk dipermasalahkan dalam hal apapun
juga. Sebab berhubungan langsung dengan perut. Akibatnya rasa sakit hati atas
sikap itu tersimpan kekal hingga saat ini. Tak heran, rasa sakit itu tetap hidup.
Setiap kali bertemu dengan wajah wanita itu, kenangan
pahit itu pasti akan kembali. Demikian halnya ketika bertemu ikan sarden. Alhasil, ikan kaleng itu menjadi trauma abadi
yang menjadi bagian dari kehidupan Imran Ibnu hingga saat ini (oleh: Imran Ibnu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar