Jumat, 26 September 2014

Sikapku Untuk Bangsaku (Part 1)



Malam begitu gelap. Tak ada pancaran sinar matahari yang menyinari bumi lagi, tapi jangan khawatir itu hanya terjadi malam hari saja. Bintang-bintang di langit sudah cukup membantu menerangi bumi di tambah cahaya lampu di tiap perempatan jalan ibukota.

Jalanan cukup sepi, mungkin karena sudah larut malam. Tak terlalu banyak hiruk pikuk suara kendaraan yang mengganggu. Hanya ada beberapa pejalan kaki saja. Langkah Ryan begitu pelan, entah apa yang ada di benaknya sekarang. Terus berjalan kaki tanpa ada arah tujuan sedari tadi. Hanya di temani alunan musik favoritnya saja.
“Ryan, Ryan, tunggu!” suara dari belakang tampak memanggil.
Ryan tak menoleh sedikitpun. Mungkin pengaruh terlalu asyik mendengar alunan musik itu.
“Ryan, Ryan, tunggu!” suara itu kembali terulang namun lebih keras lagi.
Kali ini Ryan akhirnya menoleh. Melihat dari kejauhan sosok yang memanggilnya. Kulit sawo matang, tinggi dan terlihat manis mengenakan kaos oblong itu ternyata teman sewaktu di SMA, namanya Arif.
“Hey rif, kenapa?”
“Mau kemana? Dari tadi siang ibumu menelfon, dikiranya kamu main ke rumah” kata Arif dengan gaya cemas.
“Oh, itu. Iya aku yang bilang tadi mau ke rumah kamu, tapi itu cuman akal-akalan saja biar ibu tidak cemas” Ryan menjawab dengan santai.
“Kenapa? Ada masalah apalagi?” tanya Arif penasaran.
Tak ada respon dari Ryan, dia hanya terus berjalan melangkahkan kakinya entah kemana, tak ada tujuan sama sekali. Arif hanya terus mengikuti meski kadang terlihat geram melihat tingkah sahabatnya itu.

“Rif, kamu mau lanjut dimana?” pertanyaan yang tiba-tiba terlontar dari mulut Ryan. “Minggu depan, aku mau ikut tes. Mau lanjut di luar saja. Maunya di Inggris, Oxford. Selasa nanti sudah tes mau ambil Hukum, minggu depannya ada tes lagi dengan jurusan yang sama sih, cuman di salah satu universitas di Singapore. Sebenarnya niat ambil jurusan Hubungan Internasional juga tapi masih ragu” Arif nampak semangat menjelaskan rencana perkuliahannya. “Kamu dimana? Tidak niat lanjut di luar juga?” tanya Arif balik.
Lagi, Ryan tak bergumam dan tak mengeluarkan sepatah kata atas pertanyaan sahabatnya itu. Entahlah, apa yang di benaknya sekarang. Seperti tak bisa ditebak.

Kini mereka sudah berjalan terlalu jauh, sangat jauh. Sedari tadi tak ada percakapan yang begitu berarti. Hanya selingan saja yang benar-benar tak punya nilai.
“Kenapa pilih kuliah di luar, Rif? Di Indonesia juga banyak universitas yang bagus kan. Lagian keluaran disini juga banyak yang hidup mereka terjamin dan akhirnya bisa dipekerjakan di perusahaan besar juga” sahut Ryan yang baru merespon. Aneh memang.
“Mereka memang menuntut ilmu disini, tapi pada akhirnya mereka juga bekerja dan banyak memilih untuk di luar negeri kan? Apa kau tidak akan bangga, kalau bisa menuntut ilmu dan bekerja di perusahaan besar di luar?” Arif menatap tajam Ryan.
Tak ada respon lagi. Tiba-tiba suara nada dering yang cukup lantang terdengar begitu dahsyat. Rupanya bunyi itu berasal dari telepon genggam milik Ryan. Kali ini Ryan harus mengakhiri percakapannya dengan Arif. Karena sang ibu sudah terlalu cemas dan menyuruhnya segera balik ke rumah.

Setiba di rumah, Ryan langsung mepercepat langkahnya menuju kamar. Tak tahan lagi dengan lelah yang ada, dia langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur yang setiap malam menjadi teman terbaiknya. Etalase foto-foto kamar menjadi sasaran penglihatan dirinya. Tampak ada satu foto disana yang tak henti ditatap. Mungkin foto itu menyimpan berjuta kenangan. Ya, foto itu adalah foto bersama sang adik sewaktu di London, Inggris dulu. Tampak senyuman begitu lebar, terlihat wajah mereka berdua begitu menikmati liburan sekolah dulu. Wajar lah, itu kali pertama mereka menginjakkan kaki ke luar negeri. Apalagi di Inggris, sungguh menyenangkan. Dentuman jam dinding kamar yang kini mengarah pada angka satu itu tak membuat Ryan untuk segera mangakhiri khayalannya. Mungkin pikirannya masih kacau, raut wajahnya sungguh datar, tapi tatapannya masih mengarah ke foto yang tadi.

“Ryan, ayo tidur cepat. Jangan begadang lagi. Besok pagi kita ke rumah Om Indra. Dia sudah datang dari Jepang. Mungkin saja nanti ada buah tangan dari om mu itu” tiba-tiba suara Ibu terdengar begitu lantang.

Ryan mengabaikan, tapi beberapa menit menjelang seruan sang Ibu tadi tiba-tiba lampu di kamar sudah mati. Ya, kali ini Ryan mendengar perintah perempuan parubaya itu. Dan entah ada angin apa, paginya Ryan bangun terlalu pagi. Tak seperti hari-hari sebelumnya yang begitu sulit untuk dibangunkan oleh sang Ibu. Kali ini Ryan segera menoleh dan mengambil jam yang sehari-hari menjadi musuh terbesarnya. Sebelum dia terusik oleh bunyi yang begitu keras dari jam itu buru-buru dia lah yang mematikan cepat bunyi alarmnya.

Pagi itu sungguh sejuk, matahari kini mulai menampakkan sinarnya. Dia bertugas lagi memberi sentuhan nafas kepada masyarakat bumi ini. Tampaknya hari itu cuaca sangat bersahabat. Pedagang kaki lima, angkutan umum serta pejalan kaki berlalu lalang sudah mulai nampak terlihat. Mereka kini tampak sudah sibuk mencari kumpulan rupiah untuk bisa tetap berpijak di atas bumi ibu pertiwi ini.
“Kak Ryan ayo cepat siap-siap, kita berangkat ke rumah Om Indra sekarang” tampak suara sang adik yang begitu bersemangat tiba-tiba menyahut dari depan pintu kamar.
“Ahhh? Ngapain sepagi ini berangkat? Lagian Om Indra juga pasti masih melek disana.” sahut Ryan dengan wajah yang sungguh datar.
“Aku sudah nggak sabar mau dapat oleh-oleh dari Om Indra, ayo buruan. Kalau telat bisa-bisa nanti kita tidak kebagian. Ayo kak buruan” nampak suara itu cukup memaksa.
Mau nggak mau, suka nggak suka kali ini Ryan harus betul-betul menuruti kata sang adik. Wajar, sang adik yang sering disapa Risan kini duduk di tingkat menengah pertama itu begitu bersemangat jika ada sanak keluarga mereka yang sudah menampakkan batang hidungnya ke Indonesia, seperti kebiasaan sebelumnya tak lain tak bukan hanya mengincar buah tangan saja. Ya sesederhana itu kebahagiaan dia sepertinya. Bahkan tak sering Risan sudah memesan terlebih dahulu. Baju, tas bahkan sepatu buatan asli dari sana sudah menjadi incaran Risan.

Di rumah yang berlantai dua milik om Indra akhirnya mereka tiba. Rumah yang cukup strategis terletak di tengah-tengah kota itu selalu dipenuhi hiruk pikuk keramaian. Kendaraan tak henti-hentinya berlalu-lalang di depan rumah Om Indra. Ternyata, dari luar Om Indra langsung menyambut kedatangan mereka semua. Tampak senyum begitu lebar terpancar dari wajah Om Indra. Wajar, tiga bulan lebih Om Indra baru mengijakkan kakinya di tanah air Indonesia dan sudah lama tak bertatatap muka dengan sanak keluarga di Indonesia. Om Indra selalu bolak-balik Jepang-Indonesia lantaran Om Indra punya usaha di bidang Desain Interior yang kini namanya makin dikenal di Jepang. Usaha ini sudah dilakukan sejak tiga tahun yang lalu. Om Indra kini juga mempunyai begitu banyak karyawan yang tiap bulan harus digajinya.

“Om, oleh-olehnya mana? Pesanan aku ada kan?” tiba-tiba suara itu terdengar di sela-sela jumpa kangen itu berlangsung. Ya, sahut Risan rupanya tak sabar menerima buah tangan dari Paman tercintanya itu.
“Tenang, om pasti ada oleh-oleh buat kalian semua. Ayo naik, pesanan kamu ada di atas”
Di sela-sela melihat buah tangan dari Om Indra dan percakapan berlangsung begitu indah, tiba-tiba Om Indra menanyakan pendidikan Ryan selanjutnya. Wajar, Ryan memang sudah lulus tingkat SMA tahun ini.
“Ryan, kamu mau lanjut kuliah dimana?”
“Hem, (Ryan tampak diam sejenak). Masih bingung Om, tapi rencana mau kuliah di Universitas yang ada di Jakarta saja. Mau coba simak UI dulu ambil jurusan Hukum om” jawab Ryan tampak tersenyum.
“Oh gitu. Kenapa nggak mau ngikutin jejak langkah om? Kamu coba sekolah di luar saja, kalau kamu tekun dan ulet nantinya bisa langsung di rekrut perusahaan besar disana. Wah, pasti orangtuamu akan sangat bangga. Atau paling tidak kamu buka usaha sendiri, lumayanlah bisa membantu penghidupan orang orang disana untuk menjadi karyawanmu” Om Indra memberi saran.
“Om bukan orang yang pertama nyaranin kayak gitu. Tapi ngomong-ngomong om sendiri kenapa nggak buka usahanya di Indonesia saja? Om juga pasti nggak bakal capek terus bolak-balik Jepang-Indonesia.” Ryan menjawab dengan nada yang cukup serius.
“Jepang itu negara maju, mungkin kamu sendiri tahu kalau penduduk Jepang terkenal dengan pekerja keras. Om bisa bedain rasanya waktu SD hingga SMP om menuntut ilmu di negara ini. Tapi saat SMA hingga om berkuliah dan akhirnya bekerja bisa membuka usaha di Jepang itu rasanya sangat beda sekali”
“Beda? Emang apa bedanya om?” Ryan seperti penasaran
“Sangat beda. Kamu tau nggak? Hal yang bisa membuat penduduk-penduduk Jepang banyak berhasil? karena penduduk Jepang terkenal dengan tipe pekerja keras. Rata-rata jam kerja pegawai di Jepang 2450 jam/tahun. Itu sangat berbeda jauh dengan yang ada di Indonesia yang bisa dikatakan jam kerja pegawainya hanya berkisar 1500an jam/tahun. Sangat jauh kan? Bukan cuman itu saja, siswa-siswi di sana jika mereka mengalami suatu kegagalan, itu adalah hal yang paling memalukan dan terburuk buat mereka, bahkan mereka bisa membunuh dirinya sendiri. Maka dari itu kenapa om nyuruh kamu untuk bisa melanjutkan pendidikan di luar utamanya di Jepang. Biar nantinya kamu bisa belajar dan sukses kelak” kata om Indra yang nampaknya tau semua tentang negara Jepang itu.

Ryan terdiam. Percakapan mereka tampaknya terhenti sejenak. Ryan mungkin lagi mencerna pernyataan Om Indra tadi. Ya, tidak ada yang salah memang dari ungkapan Om Indra itu yang membuat Indra tiba-tiba tak mengeluarkan respon apapun.
“Hei, jangan bengong” om Indra menepuk pundak keponakannya itu tiba-tiba.
“(Ryan terkaget)! Emang yang bengong siapa? Om ada-ada aja”

Percakapan yang tak begitu lama namun tampak serius tadi rupanya berakhir disini. Lantaran sudah terdengar kicauan sang Ibu yang sedari tadi memanggil untuk segera pulang. Ya, perjumpaan dan kangen-kangenan dengan Om Indra nampaknya berakhir di saat matahari sudah mulai tak menampakkan wajahnya. Hari yang sudah gelap itu memanggil mereka untuk kembali ke rumah. Semuanya naik ke mobil dan bergegas untuk pulang. Di tengah perjalanan yang cukup melelahkan, tiba-tiba saja terlihat sekumpulan anak muda dari sudut kaca mobil yang nampak terlihat melakukan tawuran. Ibu tiba-tiba menelan ludah. Tawuran itu bukan saja mengagetkan tapi juga menyadari sesuatu. Bagaimana mungkin disaat malam yang mengharuskan mereka sudah berada di rumah, masih ada saja terlihat melakukan tawuran lengkap dengan seragam sekolah yang masih menempel di badan mereka.
“Sungguh miris memang menyaksikan potret anak muda sekarang, masih ada saja tawuran malam-malam begini. Huuu” Ibu menghela napas.

Agar dapat cepat tiba di rumah. Ayah memutar balik mobil dan memilih jalan lain untuk menghindari hal-hal yang tidak di inginkan. Ya, nampaknya mereka juga begitu takut melihat tawuran yang nampak ekstrem itu. Perjalanan ke rumah pun berlanjut. Di bawah naungan langit yang dipenuhi bintang-bintang indah, diiringi kicauan burung dan melintasi terowongan gelap, perjalanan setengah jam tidak terasa. Mereka kini tiba di rumah.

Esok hari, di siang bolong. Ibu tampak tercengang melihat berita di TV. Rupanya, tawuran kemarin malam yang dilihat dengan mata kepala sendiri itu menjadi pusat perhatian dan diliput oleh banyak media. Wajah Ibu tampak kusut, sangat terkejut. Rupanya, tawuran itu memakan dua korban hingga meninggal, lantaran terkena tusukan benda tajam.
“Aduhhh, kasian anak-anak itu. Tapi, itu resikonya! Sudah malam juga masih punya kesempatan melakukan tawuran. Anak jaman sekarang!” Ibu tampak iba, tapi sekaligus jengkel.
“Kenapa bu?” tiba-tiba terdengar suara Ryan menghampiri di ruang TV.
“Ini, tawuran kemarin yang kita lihat itu diberitakan. Ternyata ada korban yang meninggal dua orang”
“Oh ya? Siapa bu?”
“Nggak tau juga. Oh ya ingat, kamu jangan sampai melakukan hal seperti itu. Ibu nggak mau mendegar kamu terlibat hal-hal demikian. Pokoknya jangan sampai! Kamu harus ingat itu yah. Kamu nggak mau kan jadi korban seperti mereka?” Ibu tiba-tiba tampak prihatin.
“Ibu apaan sih. Nggak usah khawatir sama Ryan. Ryan tau apa yang harus Ryan lakukan!”
“Baguslah. Semoga itu bukan hanya omongan belaka kamu saja. Ibu cuman mau lihat kamu bisa menjadi orang yang berguna kelak. Mau jadi apa anak muda itu kalau kerjaannya cuman melakukan tawuran dan perkelahian terus” Ibu menyeka dahi.
“Iya bu”
“Oh ya, terus bagaimana dengan kuliahmu? Mau lanjut dimana? Apa tidak ada rencana melanjutkan di luar saja? Ibu cuman takut kalau nantinya kamu akan terpengaruh dengan hal-hal seperti itu. Melakukan demo, perkelahian, sampai tawuran lah. Kamu sendiri juga sudah sering lihat kan berita-berita di tv yang setiap harinya hanya memberitakan perkelahian anak sekolah jaman sekarang” wajah Ibu tampak begitu cemas.
“(Ryan menghela napas). Aku mau lanjut disini saja bu. Teman-teman Ryan juga kebanyakan lanjut disini juga. Lagian tadi kan Ryan sudah bilang. Ibu nggak usah khawatir dengan hal seperti itu. Ryan pasti bisa kontrol diri untuk tidak melakukan hal demikian” Ryan tampak meyakinkan.
“Gimana kalau kamu coba di Jepang saja dulu nak. Disana juga ada Om Indra yang bisa kontrol kamu setiap hari. Lagipula Ibu juga ngga mau biarin kamu keluar kalau ngga ada sanak keluarga disana. Ibu begitu miris saja melihat anak muda jaman sekarang! Kerjanya hanya tawuran mulu”
“Nggak bu disini saja. Ibu hanya keliru saja. Lagian kualitas anak muda Indonesia sekarang justru lagi hebat-hebatnya. Dan Ryan bisa jelaskan kenapa. Beberapa teman Ryan di SMA dulu bisa meraih juara olimpiade robotik, olimpiade kimia, dan olimpiade fisika. Bukan hanya di sekolah Ryan, pemuda Indonesia lainnya di undang tur hiphop keliling Amerika, NewYork. Ada yang juara dunia juga dalam paduan suara bahkan terakhir ini kita melihat bendera Indonesia dikibarkan saat atlet bulu tangkis kita berhasil menjadi juara tingkat dunia di China. Mungkin, mereka semua tak pernah didengar dan dilihat oleh rakyat Indonesia. Karena hampir semua media hanya memberitakan keburukan pemuda Indonesianya saja. Dan para penonton pun lebih tertarik menyaksikan info-info negatif anak muda sekarang tanpa sadar begitu banyak sisi positif yang bisa dibanggakan bu” Ryan tampak serius menjelaskan.
Ibu tampak terdiam sejenak. Mungkin kaget dengan jawaban putra pertamanya itu. Ibu hanya menghela nafas panjang dan tersenyum kepada Ryan. Tak tau harus berkata apa lagi.
“Kayak seperti yang Ibu lihat sekarang kan? Media semua gempar-gempornya memberitakan tawuran kemarin. Kenapa bukan pemuda yang berprestasi saja yang terus diberitakan? Karena pelajar yang sedang belajar tidak menarik dibandingkan pelajar yang hobby membacok. Ada begitu banyak pelajar Indonesia di luar sana yang lagi belajar, menggali potensi mereka, berkarya dan terus berfikir. Hanya saja media tak pernah bertemu mereka karena mereka dalam lingkungan sekolah terus. Ryan juga mau bu suatu saat nanti menjadi satu di antara ribuan pemuda Indonesia yang bisa mengharumkan nama negara kita diluar sana nanti” tambah Ryan meyakinkan sang Ibu tercinta.
Lagi-lagi, Ibu hanya bisa tersenyum kagum mendengar sang putra berkata demikian. Nampaknya Ryan kini memang sudah tumbuh dewasa. Dia sudah bisa menentukan jalan hidupnya sendiri. Sang Ibu tiba-tiba memeluk Ryan, matanya berkaca-kaca, tangannya begitu erat mengenggam bahu Ryan.
“Sayang, kamu harus berjanji sama diri kamu sendiri. Kamu bisa jadi orang sukses, kamu bisa membangun negara tempat kita tumbuh menjadi negara yang lebih mandiri. Sekarang, dimana pun kamu memilih tempat kuliah ibu akan sangat mendukung” suara sang Ibu tampak bergetar.
Entah ada angin apa, Ryan yang terkenal paling susah menangis di depan banyak orang. Kali ini tak bisa ditahannya. Kali ini pipi manisnya becucuran air mata. Merasa sangat terharu karena sang Ibu begitu peduli dengannya. Padahal Ryan tahu, sebenarnya sang Ibu tak pernah ikhlas membiarkannya untuk melanjutkan pendidikan diluar. Hanya saja sang Ibu harus menghapus rasa egonya biar kelak sang anak tidak terjerumus dengan hal-hal yang tak diinginkan.

Cerpen Karangan: Nurul Fitrah Hafid
Blog: nurulfitrahh.blogspot.com
Nama lengkap saya Nurul Fitrah Hafid, panggil saja Nurul. Lahir di Parepare (Sulawesi Selatan) tepat tanggal 21 november 1994, sekitar 19 tahun yang lalu. Anak ke 3 dari 3 bersaudara.
Ini merupakan cerita pendek karangan Nurul Fitrah Hafid, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya di: Nurul Fitrah Hafid untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatan penulis yang telah di terbitkan di cerpenmu, jangan lupa juga untuk menandai Penulis cerpen Favoritmu di Cerpenmu.com!

Cerpen ini lolos moderasi pada: 12 February, 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar