KEMENANGAN
Joko Widodo-Jusuf Kalla pada Pilpres 9 Juli adalah janji penggenap perubahan
yang sudah ditunggu-tunggu.
Kini
publik menunggu pembentukan kabinet yang sejalan dengan hasrat perubahan dan
Indonesia baru itu. Hal yang ditunggu adalah bagaimana strategi pengembangan
pendidikan dan siapa yang tepat menjadi figur menteri pendidikan.
Saya
setuju jika kementerian pendidikan tetap dalam format Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, bukan format Kementerian Pendidikan Nasional. Penting dipahami,
pendidikan tak dapat dilepaskan esensinya sebagai proses kultural. Pendidikan
di banyak wacana dimaksudkan sebagai proses homonisasi, humanisasi, dan
inkulturasi.
Pendidikan
sebagai homonisasi membentuk sifat manusia sebagai Homo cogitans, makhluk yang
berpikir dan mengerti perbedaannya dengan makhluk lain. Pendidikan harus
memosisikan peserta didik sebagai manusia sadar di tengah kesemestaan ini.
Pendidikan sebagai humanisasi mengajarkan peserta didik agar peka nilai-nilai
kemanusiaan. Apalah arti jadi manusia jika nilai humanisme kering, tak terjamah
etika dan politik kehidupan?
Adapun
tujuan pendidikan sebagai proses inkulturasi adalah metode paripurna dari upaya
pedagogis dan kedisiplinan berpikir. Pendidikan harus memiliki elan untuk
bergerak secara dialektis, mencipta, dan terlibat secara baik di dalam
perubahan masyarakat dan kebudayaannya. Arus perubahan dalam kebudayaan itu
adalah berpikir sekaligus bekerja, mengolah, memelihara, dan menghormati tiap
renik kultural yang telah terlintas atau pantas jadi sejarah imajiner ke depan.
Melepaskan
unsur kebudayaan dalam pendidikan sama dengan melupakan garam dan asam di kuah
sayur. Muatan kebudayaan dalam pendidikan juga panduan untuk memahami
pluralisme, heterogenitas, demokrasi, relativisme, dan anti-logosentrisme atau
fundamentalisme nilai.
Meski
demikian, saya setuju ide pemisahan manajemen pendidikan ke dalam dua kementerian.
Seperti sempat tercetus ketika berdialog bersama Jokowi di kediamannya, sehari
sebelum mendeklarasikan sebagai calon presiden, 13 Maret lalu, ia menginginkan
pengelolaan pendidikan tinggi bisa bersaing dan beradu keunggulan secara global
dengan perguruan tinggi luar negeri.
Pilar
penelitian di perguruan tinggi selama ini tidak tereksplorasi dengan baik,
diharapkan lebih cepat akselerasinya jika bergabung di bawah Kementerian Riset
dan Teknologi. Buya Maarif juga setuju agar perguruan tinggi berada di bawah
payung Kementerian Ristek, sedangkan pendidikan dasar dan menengah berada di
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Ahmad Syafii Maarif, ”Kabinet Jokowi”,
Kompas, 4 Agustus).
Tentu
saja pemilahan itu harus dilakukan dengan perencanaan yang baik. Sebab, meski
de facto beberapa perguruan tinggi di Indonesia mulai memiliki tingkatan
international research university atau world class university, pilar-pilar
lainnya, yaitu pendidikan-pengajaran dan pengabdian kepada masyarakat, tidak
boleh lupa.
Irisan
itu harus diupayakan berjalan sinergis dan melengkapi ketika nanti pengelolaan
manajemen pendidikan tinggi berada di bawah Kementerian Ristek. Pun harus
dipertimbangkan katup kesenjangan pendidikan tinggi antara di Jawa dan luar
Jawa atau antara universitas swasta bergengsi dan swasta yang megap-megap
secara finansial, agar tidak terus menganga.
Sang
pedagog
Di
atas semuanya, pengelolaan pendidikan tinggi tidak boleh keluar dari semangat
integral pendidikan, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa. Kalaupun akhirnya ia di bawah Kementerian Ristek, asas
pendidikan tinggi seperti kemanfaatan, kejujuran, kebinekaan, tanggung jawab,
dan keterjangkauan seperti termuat di dalam UU No 12/2012 jangan diafkirkan.
Bisa jadi sebagian perguruan tinggi tak kuasa menolak pengaruh globalisasi atau
neoliberalisasi, tapi harus tetap ada perguruan tinggi yang menjaga puisi-puisi
pendidikan berwawasan nasional dan lokal seperti amanat konstitusi.
Sesuai
dengan semangat pemisahan itu, meski pasti di awal akan terasa berat karena
gengsi pengelolaan perguruan tinggi yang besar, sosok yang tepat untuk mengisi
pos menteri adalah pegiat pedagogi dibandingkan dengan seorang akademisi. Wujud
aktualisasi pengembangan pendidikan di tangan sang menteri pedagogis itu
berhubungan dengan penyusunan (atau aplikasi) kurikulum (2013?) sehingga
seluruh jenjang, jalur, dan jenis pendidikan harus mampu terbagi habis ke dalam
pembelajaran tanpa tumpah tindih. Sang menteri adalah sosok cakap membagi
energi dan prioritas. Oleh karena itu, jangan sampai politikus yang masuk. Ia
harus mampu mewujudkan delapan Standar Nasional Pendidikan yang menjadi ukuran
standar pelayanan minimum di bidang pendidikan.
Seperti
amanat UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan penyelenggaraan
pendidikan nasional adalah meningkatkan dimensi spiritualitas peserta didik dan
itu erat hubungannya dengan pembangunan karakter atau kebangsaan. Tujuan itu
harus terdepan dibandingkan dengan tujuan intelegensia kognitif-rigoris.
Untuk
mewujudkannya, sang menteri harus orang yang berangkat dari dunia kependidikan
sehingga tak canggung dan terlalu lama menghabiskan waktu untuk desain agenda
pembangunan secara sadar dan terencana. Di atas semua itu, agenda tersebut
jangan sampai melenceng dari semangat pendiri bangsa, pendidikan harus jadi
peluang pemerataan dan keadilan bagi semua orang. Pendidikan harus jadi momentum inklusivisme,
nasionalisme, dan komunitarianisme.
Dengan
alasan itu, sosok seperti Anita Lie, Mohammad Abduhzen, Weilin Han, atau Retno
Listiyarti pantas dimajukan sebagai calon menteri. Mereka adalah orang yang
berkeringat dan mencurahkan sebagian besar hidupnya pada proses pendidikan
bangsa dan secara tegas melakukan penolakan terhadap internasionalisasi
pendidikan dasar dan menengah yang selama ini terbukti menjebak sehingga
disorientatif dan amnesia akut terhadap nasionalisme dan sejarah bangsa. Mereka
juga kerap keras mengkritik penyeragaman kecerdasan melalui ujian nasional yang
ternyata di banyak praktiknya manipulatif.
Pembaca
bisa menambah nama pegiat pendidikan atau guru daerah yang memiliki semangat
luar biasa mewujudkan demokratisasi pendidikan dan perbaikan kualitas guru
sebagai calon menteri. Mereka yang berjuang dengan keterbatasan di daerah akan
lebih bernyali ketika diberi wewenang memperbaiki pendidikan di tingkat
nasional dibandingkan dengan pakar selebritas di belakang laptop atau meja.
oleh:
Teuku Kemal Fasya
Antropolog
dan Pendidik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar