Pagi itu, ketika udara terasa basah oleh
embun pagi, aku memulai rutinitas mingguanku menjelajahi kota. Dengan berbekal
sepatu sport, aku pun melesat menyusuri jalan setapak sekitar rumahku. Belum
100 meter aku berlari, lagi-lagi hal yang sama seperti minggu lalu kembali
terulang. Aku melihat seorang gadis muda sedang menyusuri gang sempit yang ada
di pertigaan jalan besar. Hal itu menjadi hal yang aneh mengingat gang sempit
yang ia masuki adalah gang buntu yang tidak ada apa-apa di dalamnya. Sangat
aneh pikirku, tetapi aku berusaha tidak peduli dan melanjutkan langkah kakiku.
Sudah 3 minggu sejak hari itu, dan sudah
3 kali pula aku mendapatinya masuk ke dalam gang buntu yang sama. Rasa
penasaran sudah tak mampu lagi ku tahan. Dengan sedikit keberanian, aku mengikutinya.
Ketika memasuki mulut gang, aku sempat terganggu dengan jalannya yang basah dan
bau sampah.
“Hei, tunggu….”. kataku.
Gadis itu mengacuhkanku dan terus
menyusuri gang. Setelah aku mengikutinya sampai ujung gang, aku kembali
menegurnya. Tampak dia sedikit terkejut ketika melihat wajah asingku. Aku pun
mencoba mencairkan suasana.
‘Hey, kamu lagi ngapain ?” ucapku
basa-basi.
Dengan wajah tanpa ekspresi, dia pun
mengabaikanku dan meletakkan bungkusan kecil yang dibawanya. Beberapa saat
kemudian muncul beberapa ekor anak kucing mengerubungi bungkusan tersebut.
Gadis itu mengangkat seekor anak kucing
dan mulai mengelusnya. Seketika itu, untuk sesaat aku merasakan kehangatan
terpancar di wajahnya. Begitu lembut, tenang dan syarat akan kebaikan. Inilah kehangatan
yang telah lama hilang dari hidupku sejak ibuku meninggal 5 tahun yang lalu.
“Kucing-kucing ini dibuang pemiliknya
dan tidak punya tempat tinggal lagi”. Katanya membuyarkan lamunanku.
“Ah, jadi karena itu kamu kesini setiap
minggu? Untuk memberi makan mereka?” tanyaku.
“Yah begitulah, hampir setiap hari aku
ke sini. Hanya ini yang dapat kulakukan untuk mereka”.
“Ehmm, o ya, aku Ramdan”.
“Irsa”. Jawabnya pendek.
Inilah perkenalan kecil kami yang
merupakan awal baru dalam kehidupanku.
Tanpa terasa hari telah sore ketika aku
mengakhiri bincang-bincangku dengan Irsa. Entah kenapa aku begitu tertarik
dengan gadis satu ini.
***###***
Setelah beberapa kali bertemu, aku
semakin akrab dengan Irsa. Di suatu sore aku mengajaknya pulang dengan motor
ninja ku. Di jalan yang lengang itu, kucoba membuatnya berkesan dengan
kemampuan berkendaraku. Kupacu motorku dengan kecepatan maksimal. Tanpa
kusadari, mobil sedan yang ada di depanku berhenti mendadak. Dengan kecepatan
seperti ini, mustahil bagiku menghentikan laju motorku. Langsung aku
berinisiatif mengambil sedikit badan jalan bagian kanan untuk menghindarinya.
Tiba-tiba sebuah mobil dari arah berlawanan menabrak motorku dan mementalkan
aku dan Irsa sejauh beberapa meter. Seketika aku tak sadarkan diri.
Aku terbangun di ruangan serba putih
yang aku yakini sebagai rumah sakit. Tiga tulang rusuk dan kaki kananku patah,
serta banyak memar-memar di sekujur tubuhku. Lalu bagaimana dengan Irsa ? aku
begitu shock dan tak percaya dengan semua ini. Irsa tidak selamat.
Tidak hanya perasaan sedih, aku juga
merasa kecewa, marah, gundah dan menyesal dengan semua yang terjadi. Ketika
pemakaman Irsa berlangsung, aku sedikit terkejut melihat banyaknya orang yang
datang. Terutama karena kebanyakan dari mereka adalah anak-anak yatim piatu
disekitar rumah Irsa.
Memang, aku baru mengenal Irsa selama
tiga minggu, dan hanya dalam selang waktu itu aku merasa telah sangat
mengenalnya, aku tidak meragukan keramahan dan kabaikan hatinya. Namun ternyata
dia lebih dari yang kubayangkan. Selama ini dia tidak hanya peduli terhadap
lingkungannya, ia juga ternyata aktif mengurusi anak-anak itu. Mulai dari
makan, hingga sekolah mereka. Aku kagum sekaligus malu padanya. Kagum karena
kesediaannya untuk berbagi dengan orang lain dan malu karena selama ini aku
hanya memikirkan diriku sendiri. Aku sadar bahwa selama ini aku hidup sebagai
pecundang yang tidak berarti.
Aku termenung dan berpikir jika Irsa
hidup demi anak-anak itu, lantas aku hidup demi apa? Demi siapa?. Sekarang aku
tidak punya siapa-siapa di hidupku, kecuali Irsa, Irsa Damayanti Dewi. Jadi aku
putuskan akan hidup demi Irsa dan harapan-harapannya akan dunia.
Aku tidak lagi gundah, karena aku punya
alasan untuk hidup. Dengan langkah pincang aku meninggalkan pemakaman sambil
berucap dalam hati “demi dunia… demi Irsa Damayanti… wanita yang ku cintai”.
Nama
Penulis: Ahmad Hafizin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar