Bersyukurlah kau bukan Indonesia
yang terakhir.
“Apakah kau benar-benar orang
Indonesia?”, tanya seorang anak bertubuh besar di depanku mewakili pertanyaan
empat orang di belakangnya. Kelima anak itu memiliki kulit pucat dengan kornea
mata berwarna-warni. Sungguh indah bagaikan pelangi.
Aku mengangguk untuk kesepuluh
kalinya menjawab pertanyaan itu. Mereka tampak heran dan malah asyik
berdiskusi sendiri. Mereka masih tak percaya. Apa yang salah dengan diriku? Apa
yang salah dengan Indonesiaku? Mereka kan juga seorang Indonesia.
Mengapa mereka tak berhenti menanyakan pertanyaan yang sama padaku.
Bahkan mereka sama sekali tidak menanyakan namaku. Hampir saja mereka
menanyakan hal itu untuk kesebelas kalinya, namun kelima anak itu menjauh
ketika sepasang manusia dewasa berkulit pucat menghampiriku.
“Apakah kau yang bernama Awan?”
tanya pria pucat itu. Mereka mengenakan kemeja putih dengan
setelan jas yang serasi dengan kacamata hitamnya.
Aku mengangguk. Aku senang mereka menanyakan hal lain di awal pertemuan
ini.
“Mari ikut bersama kami”, ajak pria pucat yang satu lagi.
Aku mengikuti mereka menyusuri lorong panjang. Ku lihat di kanan-kiri
lorong berwarna putih ini hanya terdapat pintu-pintu besi, tanpa jendela.
Ketika sampai pada pintu dengan judul 45P di atasnya, kami bertiga memasuki
ruangan itu.
Ruangan kecil yang berukuran 3 x 3 meter ini seputih lorong yang kami
lewati tadi. Seorang wanita berada di ujung ruangan memainkan sebuah layar
berbentuk lingkaran. Aku duduk di kursi depan meja wanita itu. Wanita dengan
rambut merah yang panjang sebahu seolah-olah tampak tidak sehat karena warna
kulitnya yang pucat.
Aku berusaha tersenyum padanya, namun ia hanya melihatku sekali saja.
Ya, hanya sekali. Melihatku dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan tatapan
aneh meremehkan. Aku jadi tak ingin menunjukkan senyuman pertamaku kepadanya.
Setelah ku amati lebih dekat, ternyata layar berbentuk lingkaran itu
mempunyai fungsi yang sama seperti komputer. Ia menekan-nekan layarnya. Tanpa
keyboard dan mouse seperti komputer yang ku ketahui. Ia seperti berkomunikasi
dengan seseorang di tempat yang jauh di luar sana.
Kami berada di ruangan itu dalam kebisuan. Tak ada
yang memulai pembicaraan. Kedua pria di belakang, berdiri dengan sikap sempurna
di depan pintu layaknya penjaga sang presiden. Langit-langit terlihat terang
walau tak ada satupun jendela disana. Ku lihat di sekitar tak ada rak-rak atau
lemari-lemari penyimpan dokumen-dokumen, tidak seperti ruangan kepala asrama
pada umumnya. Cuma ada meja, dua kursi yang kami duduki, layar berbentuk
lingkaran yang ku anggap komputer itu, juga beberapa lukisan di dinding.
Lukisan itu bergerak-gerak. Dari sembilan lukisan yang terpampang disana,
pandanganku tertuju pada lukisan yang paling tengah. Sebuah peta Indonesia
dengan pulau-pulau uniknya beserta wilayah Asean yang ikut menjadi wilayah
bagian dari Indonesia. Namun tak ada lambang ataupun bendera negara disana.
“Ehm …”, wanita itu mengawali pembicaraan kami.
“Bawa Indonesia ini ke kamarnya”, ia menyerahkan sebuah benda , yang
entah darimana asalnya, berbentuk bintang dengan pegangan seperti tutup poci
kepada kedua pria itu.
Aku makin tidak menyukai wanita
itu. Selain karena tatapan matanya yang meremehkan, juga kata-katanya yang
tidak menyenangkan. Ia tak mengatakan kata “tolong” kepada pria pucat itu,
padahal ia tengah meminta tolong. Sungguh tidak sopan. Aku meninggalkan ruangan
dengan penuh emosi.
Kami berjalan menyusuri
lorong-lorong lurus yang ku rasa tanpa batas. Lorong putih yang mirip dengan
lorong cerita horor rumah sakit, bulu romaku berdiri seketika. Lorong ini
dipenuhi anak yang berlalu lalang. Setiap berpapasan, mereka selalu memandangku
dengan tatapan penuh tanda tanya. Tanda tanya itu seperti akan keluar dari mata
warna-warninya. Menghujamku dengan banyak pertanyaan. Apakah aku memang aneh
sehingga mereka begitu terkejut bertemu denganku?
Aku baru menyadarinya. Hampir
semua dari mereka memiliki kulit yang sama pucatnya seperti kepala asrama itu.
Dan aku berbeda dari mereka. Pantas saja kelima anak tadi begitu terkejut dan
tak percaya bahwa aku adalah orang Indonesia.
Pria pucat itu memberikan benda berbentuk bintang kepadaku. Dan mereka
meninggalkanku begitu saja di depan pintu yang bertuliskan 31081989. Pintu ini
tak bergagang dan tak ada lubang kunci. Apakah ada alat sensor seperti sidik
jari atau sidik pupil mata untuk membuka pintunya?
Tapi tak ada apa-apa disini, selain pintu besi bertuliskan nomor aneh
yang entah apa artinya. Kupandangi benda pemberian pria pucat tadi. Apa yang
harus aku lakukan dengan benda ini?
Tiba-tiba seorang perempuan keluar dari pintu tepat disamping pintuku.
Aku tak dapat melihat matanya ketika ia tersenyum padaku. Ia memiliki mata
sipit dan ia juga berkulit pucat.
“Kau tak bisa membuka pintunya? Sini, aku ajari”, ia meminta benda yang
ku anggap kunci itu. Ia memasangnya dengan posisi ujung bintang berada tepat di
angka pertama dari deretan angka di nomor pintuku. Kemudian ia memutar
bintangnya sebanyak angka terakhir dalam deretan angka tersebut searah jarum
jam. Dan pintu pun terbuka. Hebat. Sulap macam apa ini.
“Oia, kenalkan aku Amy. Namamu siapa?”.
Aku tersenyum. Aku melepaskan jabatan tanganku darinya. Ku keluarkan
sebuah benda mirip kalkulator yang ku anggap ajaib itu. Ku ketikkan namaku,
Awan.
“Kau …”.
Aku tau ia pasti kaget mengetahuiku tak bisa bicara.
“Kau Indonesia?”, pertanyaan kesebelas yang ku dengar hari ini. Aku
mengangguk asal-asalan. Aku bosan dengan pertanyaan itu. Mengapa semua orang
menanyakannya?
“Ehm… makan siang dimulai sepuluh menit lagi. Ruang makan berada di lantai
dua, kau tau kan? Dan sebaiknya kau jangan melewatkannya. Kabarnya menu siang
ini sangat lezat. Hhmm yummy. Aku tunggu kau disana ya. Bye Awan …”, Amy
melambaikan tangannya padaku. Ia berjalan riang menelusuri lorong.
Lantai dua dipenuhi dengan makanan. Hhmm…
akan ku ingat itu.
Aku menutup pintu dengan perlahan. Ku tekan gagang pintu. Klek. Tiba-tiba pintu terkunci. Gawat!
Kunci bintang itu masih menempel di luar. Dan sebuah gagang pintu? Bagaimana
bisa?
Aku melongok keluar. Meskipun kunci masih menempel di pintu ini namun
masih bisa dibuka dari dalam. Gagang pintu tidak berada di luar, namun berada
di dalam. Aku tahu pintu ini terbuat dari besi, namun pintu itu tak terasa
berat ketika ku dorong tadi. Pintu yang aneh.
Ruangan ini juga. Seperti halnya ruangan kepala asrama. Ruangan yang
begitu putih, lagi-lagi tanpa jendela. Tak ada ventilasi disini, namun udaranya
tetap sejuk meski tak sedingin udara AC. Ranjang kecil berada di pojok ruangan.
Dengan sebuah meja-kusi di sampingnya. Lemari
merah itu menarik perhatianku. Aku ingin tau apa isinya. Ternyata cuma dua stel
pakaian. Kaos dan celana, dan semuanya berwarna putih. Untuk apa memiliki dua
baju yang sama?
Aku coba pakaian itu. Pas. Bagaimana bisa? Aku menemukan sebuah tombol
yang mirip dengan kancing terletak di kaos bagian dalam dekat leher bagian
belakang. Ketika ku tekan tobol itu … wuuss … tiba-tiba kaos putih itu berubah
menjadi kemeja kotak-kotak. Wow keren sekali benda ini.
Tit tit tit tit tit tit.
Sesuatu berbunyi disini. Meja putih yang tadinya datar tiba-tiba muncul
layar berbentuk segitiga. Wajah Amy terpampang disitu.
“Awan, kemana saja kau. Cepat kesini … kau akan ketinggalan menu lezat”.
Wajah Amy menghilang, layar segitiga menutup, meja kembali datar. Perutku
berbunyi. Produksi asam lambungku meningkat. Aku membereskan pakaian itu. Dan
segera menuju ruang makan.
Ternyata di lorong yang ku pikir tak berujung ini terdapat sebuah tangga
menuju lantai dua. Terdengar sebuah nada ketika kakiku menginjak anak tangga
pertama, begitu pula anak tangga selanjutnya, suaranya indah sekali mirip
dentingan piano. Aku tak sabar untuk menghadapi keajaiban lainnya di lantai
dua.
Ruang makan yang begitu luas, dibangun dengan desain arsitektur
minimalis dipenuhi dengan meja-meja panjang dengan banyak makanan di atasnya.
Aku melihat lautan manusia berkulit pucat disini. Mulai dari ujung sana sampai
di tempat aku berdiri saat ini. Aku bingung. Mereka mempunyai wajah yang hampir
sama. Dari kejauhan terlihat tangan melambai-lambai ke arahku, itu pasti Amy.
Aku berjalan ke arahnya diiringi tatapan tatapan tajam ke arahku. Aku duduk di
sebelahnya. Amy tersenyum.
“Jangan kaget kalau banyak orang yang memandangmu seperti itu”.
Aku tidak mengerti apa yang dikatakannya.
“Ini makananmu, cobalah…”, ia menyerahkan semangkuk penuh makanan
berwarna oranye. Ough… wortel.
Amy menyantap makanannya dengan sangat lahap. “Kau tidak mau mencobanya?
Makanan ini sangat lezat loh”. Ia
menyuap sesendok penuh ke mulutnya.
Apa yang dipikirkan anak ini. Sebuah sayuran oranye yang disebut wortel
ini adalah makanan lezat? Aku tidak kepikiran untuk mencobanya, walaupun hanya
sekali.
Ku perhatikan sekeliling, ternyata bukan Amy saja yang begitu menyukai
makanan oranye ini, tetapi juga semuanya. Memang kandungan wortel sangat besar,
entah karena apa, namun dari dulu aku tak pernah menyukai makanan ini.
Aku melihat keluar ruangan di balik jendela sana. Di luar dipenuhi
pohon-pohon besar dengan diameter yang melebihi rangkulan tanganku, pohon-pohon
itu sepertinya berusia lebih dari 100 tahun. Ada bagian dari ruangan ini yang
menjorok ke arah pepohonan rindang itu, sebuah halaman yang tidak terlalu luas
dan ada satu-dua meja-kursi panjang disana. Hanya ada seseorang yang berada di
luar sana, ia sedang asyik menikmati hijaunya pepohonan. Alangkah terkejutnya
aku begitu mengetahui bahwa ia berkulit cokelat sama denganku.
Aku bangkit dari tempat dudukku, berjalan ke arahnya.
“Kau mau kemana?”, aku sama sekali tak merespon pertanyaan Amy.
Begitu aku sampai di pintu keluar, ku dorong pintu itu. ku rasakan
harumnya daun-daun disinari matahari. Dan ketika aku maju selangkah, terdengar
teriakan dari belakang. Aku menoleh melihat tangan yang memegang pundakku,
tangan itu berubah menjadi merah. Ia terhempas ke belakang.
AMY!
Amy menggosok-gosok tangannya yang kemerahan. Aku membantunya berdiri.
Ia masih meringis kesakitan.
“Aku… aku hanya ingin memperingatkanmu, pakailah kacamata ini. Sinar
matahari tak baik untuk dirimu”, ia menyerahkah kacamata hitam besar padaku.
Kemudian ia berjalan menjauhi sinar matahari yang menembus
jendela-jendela besar di ruang makan itu, “Aku harus ke klinik untuk
mengobatinya”. Aku tak mengerti mengapa kulitnya dapat berubah seperti itu.
sebenarnya aku ingin menemui seseorang berkulit cokelat di luar sana, namun,
lebih baik aku membantu Amy.
–
Tak susah untuk mencarinya, klinik itu berada tepat di bawah ruang
makan. Amy berada disana, ia tengah mengolesi tangannya yang merah dengan
cairan kebiru-biruan.
“Awan?”, ia tersenyum melihatku datang.
Ku keluarkan kalkulatorku, ku tanyakan padanya apakah ia baik-baik saja.
“Aku tidak apa-apa. Terima kasih kau mau menemaniku disini”.
Aku melihat rak-rak besar dipenuhi berbagai macam cairan yang berada di
belakang Amy. Mencoba menelitinya satu-persatu, mengingat nama-nama yang
tertera di dinding kaca, namun tak bisa.
“Di ruang makan tadi sepertinya kau mau menuju ruang luar?” tanyanya, ia
masih mengusapi tangannya dengan obat.
Ku berikan kalkulatorku padanya. Ya, aku ingin menemui seseorang di luar
sana. Aku sangat penasaran sekali dia di luar sana.
“Siapapun orang yang akan kau temui, aku hanya menyarankan satu hal
saja. Jika kau mau pergi keluar dengan matahari masih bersinar terik, pakailah
kacamata hitam dan juga seperangkat pakaian silver untuk melindungimu dari
bahaya sengatan matahari. Sekarang matahari sangat ganas, jika kau melihatnya
secara langsung dengan mata telanjang, ia dapat membutakan matamu. Dan bisa
membunuh seseorang hanya lewat pancaran sinarnya. Seperti yang ku alami”. Ia
menjelaskan panjang lebar. Aku tak menyangka sinar matahari sejahat itu
Aku melihat keadaan tangannya dan sekali-sekali melongok ke luar, siapa
tau aku akan bertemu dengan orang yang ingin ku temui tadi.
Amy mengetahuinya.
“Aku baik-baik saja, keluarlah, carilah orang itu. Aku tahu, kau sangat
membutuhkannya”.
Awalnya aku tidak mau, tetapi Amy terus memaksa. Akhirnya aku keluar
dari klinik dan menuju ruang makan mencari orang itu. Namun ia tak berada lagi
disana. Mungkin lain kali aku akan bertemu lagi dengannya.
–
Aku berharap hari ini aku dapat bertemu dengannya, aku tak menyesal
karena kemarin gagal bertemu dengannya. Karena aku yakin aku akan bertemu
dengannya, entah kapan. Amy juga mau membantuku, ia mengajakku mengelilingi
asrama.
Ia menunjukkan berbagai hal yang baru padaku. Seperti obat-obatan,
meja-meja di setiap kelas yang dipenuhi dengan layar segitiga seperti di
kamarku, juga cara mandi.
Aku sangat terkejut karena tak ada acara mandi dengan air disini. Air
sangat langka, katanya. Oleh karena itu penggunaan air sangat dihemat. Hanya
dipakai untuk kebutuhan-kebutuhan penting saja. Maka dari itu Amy
memperkenalkanku pada Akuatik, robot jangkung yang mempunyai enam roda sebagai
kakinya. Cukup berdiri di depannya, kau akan terkena sinaran laser darinya
berulang kali, dan kau akan bersih seketika. Dari baju, sepatu, rambut sampai
kulit, bahkan gigi juga lubang hidung dan telinga. Ajaib.
Bukan hanya penggunaan air saja yang dihemat disini, namun juga listrik,
api, penggunaan tisu, kertas, dan plastik. Amy bercerita padaku bahwa dampak
global warming terhebat sepanjang sejarah adalah pada tahun 2013. Karena
bencana itulah banyak negara lenyap karena kebakaran dan kekurangan air. Tak
heran banyak manusia bermutasi menjadi manusia yang berpenyakit. Manusia yang
dapat bertahan kemudian berkumpul menjadi satu membentuk negara baru. Dan mulai
saat itu penggalakan reboisasi dilakukan besar-besaran.
Aku merinding ketakutan. Aku tak tahu berita itu. Aku tak pernah
mendengar sejarah seperti itu di Indonesia, baru kali ini aku mendengarnya.
Lagi pula aku lahir tujuh tahun sesudahnya, pasti pembaharuan telah terjadi
dimana-mana. Contoh yang nyata adalah seperti yang kulihat saat ini, disini.
Semuanya penuh dengan teknologi.
Bahkan makanan yang selama ini tak pernah ku sukai, sayuran segar,
ternyata adalah makanan langka yang harganya mencapai ratusan juta. Tak heran,
mereka sangat menyukai menu makan siang kemarin.
Aku masuk ke dalam ruangan penuh buku, tempat ini pasti perpustakaan.
“Aku senang sekali dengan tempat ini, karena aku dapat mengetahui
sejarah yang tak ku ketahui sebelumnya. Apakah kau suka berkunjung ke museum
juga, Awan?”, Amy bertanya padaku.
Museum? Ruangan yang dipenuhi rak-rak buku segala jaman ini disebut
museum. Apa tidak salah? Ku berikan kalkulatorku, katakan padanya bahwa ia
salah mengatakan tempat ini adalah museum. Tempat ini adalah perpustakaan.
Amy tertawa, “Kau yang salah. Tempat yang dipenuhi buku ini adalah
museum. Buku-buku ini adalah peninggalan dari jaman lampau. Apalagi bahan
sebagai pembuat kertas ini adalah pohon. Kini pohon menjadi barang yang amat
langka disini, kau tahu bukan? Dan aku tidak tahu apa yang disebut dengan
perpustakaan”.
Ku jelaskan padanya bahwa perpustakaan itu tempat untuk memperoleh
pengetahuan tentang apapun yang kita cari.
“Perpustakaan yang kau maksud untuk mencari pengetahuan, semua bisa kau
dapatkan disini”, ia menunjukkan sebuah layar segitiga. “ Kan ada internet!”.
Aku manggut-manggut takjub.
Aku melewati rak-rak buku penuh debu itu. Aku melihat seseorang sedang
asyik membaca sebuah peta dunia. Padahal sudah jelas terpampang disana tulisan
dilarang memegang!
Ku dekati ia. Betapa terkejutnya aku begitu mengetahui bahwa orang itu
adalah orang yang sama, yang ingin ku temui di ruang makan kemarin. Dan ia
sangat terkejut bertemu denganku.
“Sejak kapan kau berada disini? Maksudku, bagaimana bisa kau berada di
tempat ini?”, tanyanya tiba-tiba. Aku tak mengerti mengapa ia menanyakan hal
itu.
Lewat kalkulator ajaibku, ku ceritakan padanya bahwa sejak bencana
terdahsyat melanda, aku pergi mengungsi dari Indonesia. Selama lima tahun di
negeri antah berantah itulah aku menjadi gelandangan. Aku sangat merindukan
kampung halamanku, maka ketika ada seseorang yang menawariku pulang akupun
setuju. Dan sekarang aku telah pulang, pulang ke Indonesia.
Ia mengernyitkan dahi, “Kau percaya bahwa tempat ini adalah Indonesia?”.
Aku mengangguk tegas.
“Bodoh!”. Ia pergi meninggalkanku. Aku berusaha mengejarnya, aku
mempunyai banyak pertanyaan untuknya. Tentang tempat ini dan tentang semuanya.
Aku setengah berlari mengikutinya dari belakang. Ketika sampai di pintu
besi bertuliskan 23071989, ia berbalik memandangku, “Akan ku tunjukkan semua
hal yang tidak kau ketahui tentang tempat ini”.
Aku merasakan suasana yang berbeda ketika memasuki ruangan ini. Ruangan
ini empat kali luasnya dengan kamarku. Dan ia mempunyai jendela. Satu-satunya
jendela yang ku temui di dalam kamar. Aku duduk di sofa hitamnya yang empuk.
Sesekali memandang dirinya yang sibuk mencari sesuatu di lemari.
Aku melihat secarik foto yang tertinggal di meja. Foto anak itu ketika
kecil dan seorang pria dengan latar belakang pemandangan kawah gunung. Rupanya
ia seorang pecinta alam. Ku lihat terdapat sebaris kalimat di belakangnya,
Lintang dan Ayah di puncak Mahameru, 17 Agustus 2024.
Namanya Lintang.
Lintang marah ketika mengetahuiku melihat foto itu tanpa izinnya. Ia
memasukkannya ke dalam sakunya. Ia memberikanku sebuah buku jadul dengan
robekan disana sini. Ku baca halaman yang ditunjukkan oleh Lintang.
Tertulis disana, ,,, ketika bencana itu datang, tak ada yang dapat
melawan. Kami semua terkena imbasnya, dampak serius yang belum ada obatnya.
Kami tak tahan terkena paparan sinar matahari. Kulit kami menjadi rentan
ditumbuhi segala macam penyakit. Namun kami masih dapat bertahan karena bantuan
Indonesia itu, ia merelakan pigmen kulitnya diambil untuk bahan pengujian.
Nyatanya pengujian itu tidak sukses dan ia meninggal, karena kami lalai
melaksanakan prosedur. Tapi aku yakin ia meninggal dengan tenang, karena ia
membawa kebaikan pada kami semua hingga kami bisa hidup sampai detik ini.
Kami sangat penasaran mengapa eksperimen yang kami buat itu gagal.
Menurut kawan yang telah berhasil melakukannya, kuncinya adalah kami memerlukan
tiga Indonesia dengan perbandingan jenis kelamin pria : wanita = 2 : 1. Kami
harus mencari sang Indonesia terakhir.
Kalimat itu terputus. Halaman selanjutnya robek dimakan rayap. Jantungku
berdetak cepat. Aku tidak mau menjadi kelinci percobaan para ilmuwan gila itu.
Meskipun pigmen yang mengalir dalam kulit kami adalah penyembuh semua kaum di
dunia.
“Kita masih punya banyak waktu untuk memikirkan bagaimana cara kita
keluar dari sini. Mereka membutuhkan tiga orang. Masih kurang satu lagi. Apakah
kau satu-satunya Indonesia terakhir?”.
Aku merinding ketakutan, ku gelengkan kepalaku.
“Jangan bilang kalau orang itu adalah perempuan,” mata Lintang
berkaca-kaca.
–
“Kau tahu dimana ia berada?”, Lintang terus saja berlari, aku tak dapat
menjawab pertanyaannya karena sangat susat memencet abjad di kalkulator itu
dengan keadaan setengah berlari.
Kami berkeliling ke seluruh asrama. Tidak mudah mencari kelinci hitam di
tengah ribuan kelinci putih. Akhirnya ku temukan dia di tengah taman bunga.
“Awan!”, ia begitu senang melihatku. Ia memelukku erat sekali. Seseorang
yang selalu bersamaku hampir selama lima tahun, Airin.
“Aku muak melihat adegan romantis
ini. Cepatlah, kita tak punya banyak waktu”, Lintang selalu marah-marah dari
tadi.
“Siapa kau? Mengapa kau seenaknya
menyuruh-nyuruh kami”, Airin kesal padanya.
Ku ceritakan lewat kalkulatorku
bahwa …
“Ah… kelamaan. Berpura-puralah
agar perempuan itu mengerti jalan cerita ini!”, Lintang mendengus kesal.
Meski ada rasa tak percaya
padanya, namun kami tetap mengikutinya berlari dari belakang. Karena tak ada
siapapun disini yang dapat dipercaya.
“Bung. Apakah kau punya berapa
rencana untuk keluar dari tempat ini?”, tanya Airin.
“Aku tidak punya banyak rencana”.
Kami melongo tak percaya.
“Namun aku punya rencana
terbaik”, ia tersenyum. Senyuman khas Lintang sangat memukau sekali.
Sebelum kami menuju hutan belakang, Lintang membelokkan arahnya ke
klinik. Ia memasukkan banyak sekali obat-obatan, yang tidak ku ketahui apa saja
fungsinya, ke dalam tas ranselnya.
Aku hampir saja terjatuh, tersandung akar pepohonan setingi enam meter
itu. Ku lihat langkah Lintang tegas sekali, ia benar-benar serius ingin kabur
dari tempat yang ku pikir sangat sempurna. Ku lihat wajah Airin dari kejauhan.
Selama lima tahun ku mengenalnya, aku tak pernah melihat wajahnya setegang ini.
Apakah ia merasa ketakutan juga sama sepertiku?
Ketika berada di pantai, kami menuju sebuah pondok yang hampir roboh.
Dari dalam sana, Lintang mengeluarkan perahu motor yang kelihatannya sudah
rusak.
“Apakah kau yakin perahu motor ini dapat digunakan?”, Airin melihat
banyak karat di permukaannya.
“Lihat saja bagaimana aksinya!”,
tantang Lintang.
Lintang menaiki perahu motor itu.
Disusul Airin. Ketika aku hendak naik, tiba-tiba terdengar suara seseorang di
dalam hutan sana,
“Awan …”, ia memanggilku.
Amy!
Ia terlihat menyolok dengan baju
silver dan kacamata hitamnya. Aku tahu ia sangat protektif terhadap kulitnya.
Untuk apa ia kesini menemuiku? Apakah dari tadi ia mengikutiku?
“Hati-hati. Aku tak yakin akan
sikap polosnya itu”, Airin membisikiku.
Aku mendekatinya berlahan.
“Kau akan pergi, Awan? Kemana?”, tanyanya sedih.
Aku mengeluarkan kalkulator itu, ku ketikkan disana sebuah negara
tercintaku, Indonesia.
“Bawalah aku. Aku sangat ingin melihat Indonesia yang sebenarnya. Aku
mohon”.
Aku tidak yakin ia dapat bertahan jika bersamaku.
“Aku janji aku akan bertahan”.
Aku merasa kasihan sekali padanya. Aku bujuk kedua temanku itu agar Amy
dapat ikut serta. Lintang menjawab acuh tak acuh. Airin sangat tidak setuju, ia
berpikir bahwa Amy hanyalah seorang mata-mata yang dapat menghancurkan kami.
Aku memohon pada mereka. Setelah ku bujuk dengan susah payah, akhirnya mereka
berdua setuju meskipun dengan setengah hati.
“Jika ia berani macam-macam dengan kita, akan ku buka kacamata hitamnya.
Akan ku biarkan ia mati dibunuh matahari”, sumpah Airin ketika aku mengajak Amy
menaiki perahu motor Lintang yang butut. Dan kami pun pergi dari tempat ini.
Ketika melewati zona ekonomi ekslusif sejauh 200 mil terdengar bunyi
sirine. Dua perahu motor hitam mengejar kami dibelakang. Kedua mahkluk itu juga
mengenakan pakaian yang sama dengan Amy.
“Kita ketahuan! Bagaimana ini?!”,
seru Amy.
“Jangan panggil aku Lintang jika
aku tidak dapat mengecoh mereka”, Lintang menjentikkan jarinya sombong.
Lintang membelokkan perahu
motornya ke utara. Perahu motor itu melaju secepat kilat.
“Mau kau kemanakan perahu motor
ini?”, tanya Airin dengan wajah ketakutan.
“Antartika!”.
“Kau jangan bodoh. Kita akan mati karena hipotermia!”, teriak Airin
tidak setuju.
“Hipotermia tidak akan membunuh kita, sejak pemanasan global di tahun
2013 efeknya tidak lagi berpengaruh kepada kita. Namun sangat berpengaruh
kepada mereka”. Terang Lintang.
Ide yang bagus untuk membunuh kedua makhluk dibelakang yang mengejar
kita. Namun, apa kalian tidak memikirkan nasib Amy?!
“Aku yakin aku dapat bertahan, Awan. Aku sudah berjanji padamu”, Amy
memaksakan senyumnya mengembang dikala ia harus melawan dinginnya Antartika.
Aku memeluknya erat. Ku harap pelukan ini dapat memberikan sedikit
kehangatan padanya.
“Terima kasih, Awan”.
Airin memandang Amy dengan penuh
kebencian.
Ternyata benar apa yang dikatakan Lintang. Ia sungguh jenius. Kedua pria
dibelakang kini tak tampak. Mereka seakan-akan menghilang dari muka bumi.
Melaju hampir selama empat jam kami akhirnya tiba. Tiba
disini, di 6’LU-11’LS dan 95’BT-141’BT. Namun, apa yang kami dapat, kawan?
Hanya samudera luas tak berpenghuni. Indonesia yang mempunyai banyak pulau kini lenyap, hilang ditelan
bumi. Indonesia, kemanakah dirimu?
Lintang tertunduk lemas tak
berdaya. Penantiannya selama tiga tahun di asrama yang ia benci terbuang sia-sia.
Ia menunduk, melihat bayangannya di jernihnya air laut.
Aku, Airin, dan Amy saling
berpandangan. Kami tidak tega melihat kawan kami bersedih seperti itu. Kami
memelukknya ramai-ramai. Aku merasakan pundakku basah oleh air matanya.
Dulu tahun 2025 aku mengungsi
dari sini sebelum bencana itu terjadi. Bencana alam hebat melanda bumi pertiwi.
Pada waktu itu aku berusia lima tahun. Aku tak mengetahui apa-apa. Aku hanya
mendengar kabar bahwa luapan lumpur Lapindo tidak dapat terbendung lagi. Dengan
luapan dari dalam bumi yang begitu besar, menyebabkan amblesnya setengah
provinsi Jawa Timur. Akibat pergeseran lempeng di bawah laut menyebabkan
tsunami besar-besaran, sehingga berakibat juga pada aktifitas gunung berapi.
Sebanyak gunung berapi yang terdapat di Indonesia, sebanyak itulah gunung
se-Indonesia meletus. Menewaskan banyak korban, separuh jumlah penduduk di
Indonesia. Dan inilah yang terjadi saat ini, disini, Indonesia tahun 2030. Ia
menghilang.
Kelanjutan cerita TENTANG
INDONESIA TERAKHIR (versi pertama) :
Lintang tiba-tiba bangkit. Ia
menuju bagasi perahu, mengambil alat-alat selam.
“Apa yang kau lakukan?”, tanya
Airin.
“Aku yakin Indonesia masih
berdiri dengan kokoh, sekokoh garuda pancasilanya”.
“Kami tidak mengerti maksud
ucapanmu”, Amy bertanya pada Lintang yang sedang sibuk memakai pakaian
selamnya.
“Aku akan mencari Indonesia. Aku
yakin ia masih hidup di bawah laut sana”.
Aku mengguncang-guncang badannya.
Aku takut sekali hipotermia menjadi sebab kerusakan otaknya. Ia sudah tidak
waras.
Lintang sama sekali tak mendengar
ceramahan Airin yang cerewet. Ia nekat terjun ke samudera dalam hanya untuk
mencari tanah airnya yang tercinta. Gelembung-gelembung udara telah menghilang
dari permukaan. Aku mencari alat selam lainnya yang mungkin masih ada di
bagasi. Aku tak mau meninggalkannya Lintang sendirian dalam dinginnya lautan.
Aku mendengar suara orang
terjatuh. Ku balikkan badan dan ku lihat disana, Airin tergolek lemah tak
berdaya. Amy berada di depannya membawa sebuah senapan kecil. Ia menggeser
kacamatanya.
“Awan. Maafkan aku”, Amy
menembakkan sebutir peluru itu tepat di lengan kananku. Aku dapat merasakan
biusnya merasuk ke dalam tubuhku. Aku jatuh menimpa tubuh Airin yang kaku.
Samar-samar ku lihat Amy mengeluarkan sebuah benda dari dalam sakunya.
Ku lihat wajah kepala asrama itu muncul di layar segitiga itu. “Ibu, aku tidak
menemukan Indonesia”.
–
2031. Setahun sudah aku berada di asrama ini, bersama Airin sahabatku.
Setahun itu pula Lintang menghilang di lautan luas yang dianggapnya Indonesia.
Aku sangat merindukan sahabatku yang satu ini. Kemanakah engkau berada
sahabatku?
Di museum ini pertama kalinya ku bertemu dengannya. Ia sedang asyik membaca peta
dunia. Aku ambil peta itu meskipun terdapat papan larangan untuk memegang.
Sebuah buku kecil yang terdapat di samping peta itu terjatuh. Ku ambil dan ku
baca kalimat demi kalimat di setiap lembarnya.
Bencana alam hebat melanda Indonesia di tahun 2025. setengah provinsi
Jawa Timur ambles disebabkan oleh luapan lumpur Lapindo yang tidak dapat
terbendung lagi mengakibatkan pergeseran lempeng di bawah laut yang menyebabkan
tsunami besar-besaran. Hal ini berpengaruh pada aktifitas gunung berapi.
Sebanyak gunung berapi yang terdapat di Indonesia, sebanyak itulah gunung
se-Indonesia meletus. Menewaskan banyak korban, separuh jumlah penduduk di
Indonesia. Indonesia menghilang.
Dan mereka mempercayainya. Bodoh! Aku nekat memberikan cerita bohong ini
kepada masyarakat luas. Agar mereka percaya bahwa Indonesia telah hancur. Aku
tahu, di luar sana banyak orang yang ingin menguasai kekayaan Indonesia. Aku
tak ingin dimanfaatkan oleh mereka untuk kedua kalinya, maka aku harus
bertindak demi kelangsungan hidup anak bangsa.
Disini, di 6’LU-11’LS dan 95’BT-141’BT Indonesia berdiri. Berdiri
dengan kokoh di dasar lautan. Dengan lapisan kaca tebal yang tak mampu ditembus
oleh ledakan nuklir sekalipun. Udara tanpa polusi yang diproduksi dari jutaan
pohon dengan bantuan cahaya matahari. Ditambah dengan segala kemajuan teknologi
yang memperhatikan keseimbangan alam.
6’LU-11’LS dan 95’BT-141’BT ikuti arus yang mengalir deras, raihlah
palung terdalam dan kau akan menemukan Indonesia yang sebenarnya.
Ku temukan didalamnya, sebuh foto mirip dengan kepunyaan Lintang. Tertulis
disana, aku dan anak tercintaku, di puncak Mahameru 17 Agustus 2024.
Aku bergegas keluar ruangan. Aku berlari secepat mungkin. Aku ingin
mengabarkan cerita ini pada Airin sekarang juga. Langkahku sempat terhenti
ketika aku menemukan sesosok anak berkulit cokelat sedang berjalan bersama di
lorong sana. Aku sedikit lega karena ia berambut panjang dan membawa boneka, ia
jelas perempuan. Jadi eksperimen dengan Indonesia sebagai kelinci percobaan
dalam perbandingan 2 : 1 belum tentu akan dilaksanakan. Aku berlari lagi,
mencari Airin tetapi tidak ketemu juga.
Bruk!
Aku dan Airin. Kami bertabrakan.
Airin aku ingin sekali mengatakan kepadamu bahwa Indonesia sebenarnya
tidak hilang. Kau tahu? Orang Indonesia yang mengorbankan dirinya sebagai
donatur pigmen itu tidak mati. Dan kau tahu? ia adalah ayah dari sahabat kita,
Lintang. Tetapi kalimat-kalimat itu tak jadi ku utarakan pada Airin karena aku
belum bisa mengatur nafasku setelah berlari-lari.
“Awan, tahukah engkau. Kita harus pergi. Aku menemukan seorang Indonesia
disana”.
Ku katakan padanya bahwa aku sudah mengetahuinya. Namun, ku tenangkan
dirinya karena Indonesia itu seorang perempuan. Ia mendelik kepadaku.
“Dia memang berambut panjang dan membawa boneka. Tetapi ia sebenarnya
adalah seorang laki-laki”.
Kami melihat anak itu berjalan ke arah kami ditemani seorang anak
berkulit pucat, Amy. Aku dan Airin saling berpandangan.
Selesai.
Kelanjutan cerita TENTANG INDONESIA TERAKHIR (versi kedua) :
Juara 1 Lomba Science Fiction 2009 yang diselenggarakan oleh Himpunan
mahasiswa Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Brawijaya
Lintang tiba-tiba bangkit. Ia menuju bagasi perahu, mengambil alat-alat
selam.
“Apa yang kau lakukan?”, tanya Airin.
“Aku yakin Indonesia masih berdiri dengan kokoh, sekokoh garuda
pancasilanya”.
“Kami tidak mengerti maksud ucapanmu”, Amy bertanya pada Lintang yang
sedang sibuk memakai pakaian selamnya.
“Aku akan mencari Indonesia. Aku yakin ia masih hidup di bawah laut
sana”.
Aku mengguncang-guncang badannya. Aku takut sekali hipotermia menjadi
sebab kerusakan otaknya. Ia sudah tidak waras.
Lintang sama sekali tak mendengar ceramahan Airin yang cerewet. Ia nekat
terjun ke samudera dalam hanya untuk mencari tanah airnya yang tercinta.
Gelembung-gelembung udara telah menghilang dari permukaan. Aku mencari alat
selam lainnya yang mungkin masih ada di bagasi. Aku tak mau meninggalkannya
Lintang sendirian dalam dinginnya lautan.
Ku temukan tiga set peralatan selam. Pakaian selam yang ringan dengan
tabung oksigen berukuran 500ml. Ku berikan dua diantaranya pada Airin dan Amy.
Airin mengomel tak karuan, ia menolak ajakanku untuk masuk ke dalam laut.
Namun, ketika ia melihat Amy sudah memakai pakaian itu lengkap akhirnya ia mau
juga. Aku tahu Airin itu tipe orang yang tidak mau kalah.
Dalam hitungan ketiga kami menceburkan diri ke dalam lautan yang dingin.
Tak ada tanda-tanda Lintang berada disana. Kami sepakat untuk berenang
pelan-pelan agar tak kehilangan jejak. Aku mengikuti Airin yang berada di
depan, Amy selalu saja ketinggalan di belakang. Nampaknya ia asyik menikmati
keindahan laut yang tak pernah ia rasakan seumur hidupnya.
Airin berhenti tiba-tiba, hampir saja aku menabraknya. Dengan
bahasa isyarat ia melarang kami melangkah ke sana. Ada arus yang kuat disana,
katanya.
Amy sedang asyik melihat berbagai terumbu karang karang yang indah. Ia
terpesona pada ikan-ikan hias yang menyala berwarna-warni. Ia mencoba bermain
dengan mereka, dikejarnya ikan-ikan itu yang seukuran kepalan tangan. Ia tak
menyadari ketika ia tepat berada di samping aliran arus laut. Ku lambaikan
tanganku menyilang, menyarankan agar ia kembali. Aku segera berenang
menghampirinya, mencoba menariknya. Dan … wuss … ia terbawa arus itu bersamaku
dan kami berputar-putar di dalam arus yang deras. Mencoba berteriak meminta
tolong namun tak bisa.
–
Aku tidak tahu dimana aku berada sekarang. Dimana Amy? Dimana Airin?
Dimana Lintang?
Dinginnya air laut menusuk tulangku. Aku terus berenang, mencari kawan
juga mencari perlindungan. Semakin lama aku memasuki dalamnya lautan, suasana
menjadi semakin gelap.
Tuk.
Kepalaku membentur sesuatu yang amat keras. Ku raba pakaian selamku dan
aku menemukan senter kecil yang berada di pergelangan tangan. Ku nyalakan
senter itu, ku amati sesuatu di depanku. Hanya sebuah benda berlumut. Ku
singkap lumut-lumut yang menempel itu. Betapa terkejutnya aku ketika mengetahui
aku berdiri tepat di depan kubah raksasa dengan manusia berlalu lalang di
dalamnya.
Tiba-tiba terdengar suara tembakan. Seseorang menembakkan sebutir peluru
itu tepat di lengan kananku. Aku dapat merasakan biusnya merasuk ke dalam
tubuhku. Suasana laut menjadi semakin dingin dan semakin gelap. Aku terpejam.
–
Suasana menjadi terang sekali ketika aku mulai membuka mata. Ku raba
lengan kananku yang masih kaku. Aku tak dapat merasakan apa-apa. Ku lihat
disekitar, ruangan berwarna putih. Oh… apakah aku kembali ke asrama itu dan
sekarang telah menjadi bahan percobaan? Mataku berkunang-kunang.
Aku bangun dari tidurku dan aku keluar dari ruangan itu. Aku terkejut
saat Airin datang dan tiba-tiba memelukku.
“Kau sudah sadar?”.
Aku mengangguk dengan semangat.
“Kau takkan percaya akan hal ini, Awan”. Ia menuntunku berjalan.
Di luar sana, di tengah lapangan upacara, Lintang dengan bangga
memandangi bendera kebangsaannya. Bendera merah putih.
“Selamat datang di Indonesia
2030”.
Aku tak percaya, sungguh tak
percaya. Indonesia yang dikabarkan hilang ternyata berdiri kokoh di tengah
dalamnya samudra.
Tempat ini di kelilingi kubah dengan kaca setebal 1mil. Cukup untuk
menahan ledakan bom nuklir. Dengan cahaya matahari yang masuk dari permukaan
air laut diteruskan melewati lensa cembung yang berada di atas kubah. Sehingga
cahaya menjadi terpusat pada satu titik, di titik itulah cahaya dipantulkan ke
seluruh ruangan dalam kubah ini. Aliran listrik yang tak terputus didapatkan
dari pergerakan aliran arus laut yang diubah menjadi tenaga listrik. Air jernih
melimpah ruah yang dihasilkan dari penyaringan air laut. Udara bersih tak
tercemar ditambah dengan jutaan pohon tumbuh di dalam kubah ini.
Lalu kemanakan Amy berada? Ku tanyakan pada Lintang.
“Aku melihat ia berlari-lari di taman tadi, tapi sekarang aku tidak tahu
ia berada dimana”. Aku lega ternyata Amy tidak apa-apa. Malah ia dapat
berlari-lari dengan riang tanpa takut iritasi bahkan mati karena matahari.
Sepertinya ia sangat cocok berada disini.
“Bukannya aku mencurigainya. Tetapi dengan membawanya kemari akan
membawa dampak buruk bagi kita”, Airin menasehatiku. Aku tidak tahu mengapa ia
berpikiran negatif terhadap Amy.
Ku cari Amy disana, di tempat terakhir Lintang melihatnya. Benar, di
bangku taman dengan pohon-pohon yang rindang itu ku temukan ia disana.
Di tengah jalan setapak itu aku menemukan buku yang tergeletak di tanah.
Dengan tulisan-tulisan tangan yang indah, mungkin ini buku milik Amy. Kubaca
kalimat demi kalimat.
Isu pemanasan global telah meresahkan masyarakat dunia. Tetap saja tak
ada yang mau menjaga keseimbangan lingkungan. Alam pun menjadi murka. Pada
tahun 2013 terjadi pemanasan global terdahsyat sepanjang sejarah peradaban
manusia. Banyak negara hancur karena kebakaran, kekurangan air, bahkan
penyakit. Begitu pula Indonesia. Namun di tengah keterpurukan ini Indonesia
mencoba bangkit. Dengan sisa-sisa hutan lindung dan sumber daya alam, kami
bangun kembali Indonesia sedemikian rupa agar terjadi keseimbangan alam dan
semoga saja dapat dinikmati oleh anak cucu kami nantinya.
Kesuksesan itu ternyata menimbulkan kesenjangan sosial di negara-negara
maju di luar sana. Mereka dengan nekat membuat tiruan Indonesia, dengan ambisi
mendapatkan Indonesia yang sesungguhnya. Membabi-buta mereka ingin mengambil
Indonesiaku. Indonesiaku yang makmur akan diambil alih oleh seorang yang
bertangan besi, mengambil kekayaannya hanya untuk kesenangannya semata tanpa
memperhatikan lingkungan. Kami tidak ingin hal itu terjadi, maka kami dan para
ilmuwan se-Indonesia berusaha untuk melindungi bangsa ini dari jajahan. Kami
membuat suatu penelitian spektakuler yang tak ada tandingannya.
Namun di tahun 2025 terjadi bencana alam hebat melanda bumi pertiwi.
Luapan lumpur Lapindo tidak dapat terbendung lagi. Dengan luapan dari dalam
bumi yang begitu besar, menyebabkan amblesnya setengah provinsi Jawa Timur.
Akibat pergeseran lempeng di bawah laut menyebabkan tsunami besar-besaran,
sehingga berakibat juga pada aktifitas gunung berapi. Sebanyak gunung berapi yang
terdapat di Indonesia, sebanyak itulah gunung se-Indonesia meletus. Menewaskan
banyak korban, separuh jumlah penduduk di Indonesia.
Dengan sisa-sisa tenaga, ilmu,
dan waktu, kami membangkitkan penelitian yang hampir rampung itu. Kami
memberanikan diri untuk mengatakan bahwa Indonesia telah menghilang, lenyap
dari muka bumi. Berita bohong itu cepat menyebar dan meluas ke seluruh dunia
hingga mereka tak dapat menemukannya.
Disini, di 6’LU-11’LS dan
95’BT-141’BT, kau akan menemukan Indonesia yang sebenarnya.
Aku menghela napas panjang.
Ternyata aku hidup dalam dunia yang penuh dengan kebohongan. Dan Amy memperoleh
buku ini darimana? Apakah ia sudah mengetahui Indonesia yang sesungguhnya
sebelum kami mengetahuinya? Apakah yang dikatakan Airin benar bahwa Amy …
Aku ingin menanyakan banyak hal
padanya. Tentang rahasia yang selama ini tidak ia ceritakan padaku. Namun, ia masih
asyik bercakap-cakap dengan layar segitiganya. Ia sepertinya sedang
berkomunikasi dengan seseorang di luar sana.
“Aku telah menemukan Indonesia
yang sesungguhnya, Ibu”.
Aku terkejut melihat wajah kepala
asrama berada di layar itu. Amy kaget melihatku mengetahui apa yang
dilakukannya.
Mata warna-warninya berkaca-kaca.
“Maafkan aku, Awan”.
Selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar