Ilustrasi |
Korupsi secara sederhana dapat dipahami sebagai
tindakan “perampokan” terhadap uang Negara, yang tentu saja bersumber dari
Rakyat. Kata korupsi sendiri berasal dari bahasa latin, yakni “corruptio”
(diambil dari kata kerja corrumpere), yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan,
memutarbalik, menyogok. Menurut Wikipedia Indonesia, korupsi merupakan tindakan
pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang
terlibat dalam tindakan itu, yang secara tidak wajar dan tidak legal
menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk
mendapatkan keuntungan sepihak[2].
Indonesia sendiri sejak zaman pemerintahan orde lama
Soekarno hingga orde reformasi saat ini, telah menerbitkan beragam peraturan
perundang-undangan dalam upaya pemberantasan korupsi. Mulai dari Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1971 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, hingga Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang
Pengesahan “United Nations Convention Against Corruption, 2003.
Namun pertanyaan mendasar selama ini yang mengemuka
adalah, apakah dengan peraturan yang telah ada, telah cukup untuk memberantas
praktek korupsi di Negara kita? Ataukah terdapat permasalah lain yang perlu
dijadikan fokus dalam upaya pemberantasan korupsi?. Tulisan ini mencoba untuk
memberikan perspektif yang berbeda, terutama memberikan alternatif analisis
terhadap pandangan yang selama ini hanya meletakkan persoalan moralitas sebagai
akar utama munculnya korupsi dalam kehidupan kita.
Persoalan utama dari budaya korupsi, adalah
moralitas individu bangsa kita. Demikian maxim (ujar-ujar) yang sering kita
dengarkan dimana-mana. Ungkapan tersebut terasa sangat keliru, meski terdapat
kebenaran yang terkandung di dalamnya. Kita tidak boleh serta merta melihat
segi moral sebagai aspek tunggal dari praktek korupsi di Indonesia. Moralitas
seseorang sangat ditentukan oleh lingkungan dan pergaulan sosialnya. Tinggi
rendahnya moralitas yang terbangun dalam diri seseorang, tergantung seberapa
besar dia menyerap nilai (pervade value) yang diproduksi oleh lingkungannya.
Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, moralitas masyarakat direduksi oleh
kepentingan politik dominan ketika itu. Negara melalui pemerintah telah secara
sengaja membangun stigma dan prilaku yang menyimpang (abuse of power), dengan
melegalkan praktek korupsi dikalangan pejabat-pejabat pemerintahan.
Hal tersebut dikarenakan oleh bentuk serta pola
praktek kekuasaan yang cenderung menindas sehingga secara terang-terangan telah
melegalkan praktek korupsi, meski di depan mata masyarakat kita sendiri. Zaman
itu, mungkin saja semua orang tahu (bahkan tak jarang yang pura-pura tak tahu),
bahwa telah terjadi penyimpangan dan penyelewengan penggunaan uang rakyat dalam
bentuk korupsi yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru dan kroni-kroninya. Akan
tetapi, budaya politik bisu (culture silent) yang dihegemonisasi oleh
pemerintah, membuat masyarakat terkesan diam dan acuh akibat
ketakutan-ketakutan mereka yang oleh pemerintah sengaja diproduksi secara
sistematis ketika itu. Bersuara berarti berhadapan dengan kekuasaan, yang tentu
akan berujung tekanan dan represi bagi yang berani menyuaraknnya.
Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan
Korupsi merupakan sebuah masalah multi dimensi yang
berakar pada struktur sosial-politik masyarakat Indonesia. Korupsi bukanlah
sebuah masalah moral semata, seperti yang diyakini oleh sebagian besar
masyarakat. Sekalipun masalah moral memiliki peran penting dalam menyuburkan
praktek korupsi di Negara kita, akan tetapi peran tersebut tidak tidak terlepas
dari struktur politik kekuasaan yang memberikan ruang untuk munculnya masalah
korupsi ini. Namun tetap saja berbagai kelompok baik pemerintah, tokoh
masyarakat, NGO/LSM, hingga tokoh-toko agama menyerukan dan menghimbau
masyarakat untuk terus memperbaiki akhlak dan nilai-nilai moral yang selama ini
dianggap biang keladi terjadinya korupsi di Indonesia.
Media yang digunakanpun beragam. Mulai dari iklan
televisi, koran, majalah, tabloid hingga pamflet dan selebaran. Poin yang ingin
disampaikan adalah, “jika ingin korupsi dibasmi, maka perbaikilah moral dan
akhlak dasar kita, sebab moral yang bobrok merupakan akar penyebab korupsi di
Indonesia”. Upaya tersebut bukan salah, namun keliru memandang persoalan secara
objektif. Bahkan kekhawatiran terbesar kita adalah, jangan sampai upaya
kampanye yang terus menerus menyudutkan masalah moral sebagai biang keladi
menjamurnya korupsi, hanya dijadikan sebagai upaya “cuci tangan” dan
“pengalihan isu” dari para pejabat korup, sehingga menafikan faktor utama yang
mendorong lahirnya praktek korupsi tersebut, yakni bangunan kekuasan yang
otoriter, menindas dan terpusat kepada segelintir orang saja.
Rendahnya moralitas seseorang, memang menjadi salah
satu varian penyebab korupsi, namun masih ada hal yang lebih penting dari akar
persoalan membudayanya praktek korupsi, yang tentu lebih substansial dari
sekedar alasan moralitas. Salah satu di antara banyak faktor yang berperan
menyuburkan korupsi adalah “sentralisme kekuasaan”, atau struktur pemerintahan
yang memusatkan kekuasaan di tangan segelintir elit saja. Bayangkan, jika
kekuasaan dijalankan dengan tangan besi, betapa mudahnya praktek korupsi ini
dilakukan atas nama kepentingan bersama.
Sama persis dengan praktek kekuasaan yang dijalankan
oleh pemerintahan Orde Baru Soeharto, dimana pemerintah dengan begitu mudahnya
menghisap pajak dan uang rakyat atas nama dan untuk pembangunan. Siapa yang
menghalang-halangi, dicap sebagai anti pemerintah, membahayakan stabilitas
Negara, hingga tuduhan komunis gaya baru dan lain sebagainya. Hakekatnya,
kekuasaan Negara yang terpusat kepada segelintir orang saja, tentu akan
mengakibatkan dominasi dan hegemoni yang kuat terhadap mayoritas rakyat
Indonesia. Hal inilah yang menjadi factor penting mengapa korupsi begitu sangat
mudahnya tumbuh subur dan berkembang di Indonesia.
Pada sisi lain, secara sosiologis dapat kita
analisis bahwa kecenderungan korupsi yang menyebar dan menjamur dikalangan
masyarakat umum, juga tidak lepas dari bangunan kekuasaan yang dipraktekkan
oleh Orde Baru Soeharto. Pemikiran masyarakat telah terhegemoni oleh lingkungan
sosial yang terbentuk dari bangunan kekuasaan yang sentralistik dan otoriter
tersebut. Wajar kemudian ketika sebahagian besar pejabat-pejabat pemerintahan
hingga tingkat daerah (Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Lurah hingga kepala
dusun sekalipun), juga ikut bertindak sama dengan prilaku yang diterapkan oleh
kekuasaan Orde Baru yang otoriter dan sewenang-wenang. Pejabat lokal
pemerintahan inipun, tak segan untuk menggunakan otoritasnya demi memperkaya
diri sendiri dengan menghisap serta menindas masyarakat.
Jejak Budaya KorupsiToh pada akhirnya, masyarakat
terkesan diam dan tak berani bertanya apalagi melakukan protes akibat
dominannya kekuasaan yang terjadi. Akibatnya, budaya politik yang terbangun ditengah
masyarakat cenderung prematur dan prakmatis. Semisal, banyaknya masyarakat yang
berlomba-lomba untuk menjadi Bupati atau Camat meski harus menghabiskan biaya
yag tak sedikit dalam pemilihannya dengan satu pemikiran, “Bukankah biaya yang
saya keluarkan ini tak seberapa jika dibandingkan dana yang akan saya dapatkan
di pemerintahan jika berkuasa nanti? Bahkan bisa berlipat-lipat jumlahnya”.
Sungguh situasi yang sangat menyedihkan ditengah kondisi dan kehidupan
masyarakat yang semakin terpuruk.
Warisan Masa Lalu
Dalam konteks perjalanan bangsa Indonesia, persoalan
korupsi memang telah mengakar dan membudaya. Bahkan dikalangan mayoritas
pejabat publik, tak jarang yang menganggap korupsi sebagi sesuatu yang “lumrah
dan Wajar”. Ibarat candu, korupsi telah menjadi barang bergengsi, yang jika
tidak dilakukan, maka akan membuat “stress” para penikmatnya. Korupsi berawal
dari proses pembiasan, akhirnya menjadi kebiasaan dan berujung kepada sesuatu
yang sudah terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat Negara. Tak urung
kemudian, banyak masyarakat yang begitu pesimis dan putus asa terhadap upaya
penegakan hukum untuk menumpas koruptor di Negara kita.
Jika dikatakan telah membudaya dalam kehidupan,
lantas darimana awal praktek korupsi ini muncul dan berkembang?. Tulisan ini
akan sedikit memberikan pemaparan mengenai asal-asul budaya korupsi di
Indonesia yang pada hakekatnya telah ada sejak dulu ketika daerah-daerah di
Nusantara masih mengenal system pemerintah feodal (Oligarkhi Absolut), atau
sederhanya dapat dikatakan, pemerintahan disaat daerah-daerah yang ada di
Nusantara masih terdiri dari kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh kaum
bangsawan (Raja, Sultan dll).
Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia
tumbuh dan berkembang melalu 3 (tiga) fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan,
zaman penjajahan hingga zaman modern seperti sekarang ini. Mari kita coba bedah
satu-persatu pada setiap fase tersebut.
Pertama, Fase Zaman Kerajaan. Budaya korupsi di
Indonesia pada prinsipnya, dilatar belakangi oleh adanya kepentingan atau motif
kekuasaan dan kekayaan. Literatur sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada
zaman kerajaan-kerajaan kuno (Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten
dll), mengajarkan kepada kita bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif
untuk memperkaya diri (sebagian kecil karena wanita), telah menjadi faktor
utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut[3]. Coba saja kita lihat bagaimana
Kerajaan Singosari yang memelihara perang antar saudara bahkan hingga tujuh
turunan saling membalas dendam berebut kekuasaan. Mulai dari Prabu Anusopati,
Prabu Ranggawuni, hingga Prabu Mahesa Wongateleng dan seterusnya.
Hal yang sama juga terjadi di Kerajaan Majapahit
yang menyebabkan terjadinya beberapa kali konflik yang berujung kepada
pemberontakan Kuti, Nambi, Suro dan lain-lain. Bahkan kita ketahui, kerajaan
Majapahit hancur akibat perang saudara yang kita kenal dengan “Perang Paregreg”
yang terjadi sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Lalu, kerajaan Demak yang
memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang. Dan ada
juga Kerajaan Banten yang memicu Sultan Haji merebut tahta dan kekuasaan dengan
ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso[4].
Pelajaran menarik pada fase zaman kerajaan ini
adalah, mulai terbangunnya watak opurtunisme bangsa Indonesia. Salah satu
contohnya adalah posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang lebih dikenal
dengan “abdi dalem”. Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung
selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja atau sultan. Hal tersebut pula
yang menjadi cikal bakal (embrio) lahirnya kalangan opurtunis yang pada
akhirnya juga memiliki potensi jiwa korup yang begitu besar dalam tatanan
kehidupan berbangsa dan bernegara kita dikmudian hari.
Kedua, Fase Zaman Penjajahan. Pada zaman penjajahan,
praktek korupsi telah mulai masuk dan meluas ke dalam sistem budaya
sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah
kolonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi ini
berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik
oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal demang
(lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat
lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk
menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu.
Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda
untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda
untuk memperkaya diri dengan menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia.
Sepintas, cerita-cerita film semisal Si Pitung, Jaka Sembung, Samson &
Delila, dll, sangat cocok untuk menggambarkan situasi masyarakat Indonesia
ketika itu. Para cukong-cukong suruhan penjajah Belanda (atau lebih akrab degan
sebutan “Kompeni”) tersebut, dengan tanpa mengenal saudara serumpun sendiri,
telah menghisap dan menindas bangsa sendiri hanya untuk memuaskan kepentingan
si penjajah.
Ibarat anjing peliharaan, suruhan panjajah Belanda
ini telah rela diperbudak oleh bangsa asing hanya untuk mencari perhatian
dengan harapan mendapatkan posisi dan kedudukan yang layak dalam pemerintahan
yang dibangun oleh para penjajah. Secara eksplisit, sesungguhnya budaya
penjajah yang mempraktekkan hegemoni dan dominasi ini, menjadikankan orang
Indonesia juga tak segan menindas bangsanya sendiri lewat perilaku dan praktek
korupsi-nya. Tak ubahnya seperti drakula penghisap darah yang terkadang
memangsa kaumnya sendiri demi bertahan hidup (Survive).
Ketiga, Fase Zaman Modern. Fase perkembangan praktek
korupsi di zaman modern seperti sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya
bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Akan tetapi budaya yang ditinggalkan
oleh penjajah kolonial, tidak serta merta lenyap begitu saja. salah satu
warisan yang tertinggal adalah budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal
tersebut tercermin dari prilaku pejabat-pejabat pemerintahan yang bahkan telah
dimulai di era Orde lama Soekarno, yang akhirnya semakin berkembang dan tumbuh
subur di pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga saat ini. Sekali lagi, pola
kepemimpinan yang cenderung otoriter dan anti-kritik, membuat jalan bagi
terjadi praktek korupsi dimana-mana semakin terbuka. Walhasil, Indonesia
sendiri berhasil menjadi salah satu Negara terkorup di dunia, bahkan hingga
saat ini.
Kekerasan Struktural
Secara hakiki, korupsi merupakan bentuk kekerasan
struktural yang dilakukan oleh Negara dan pejabat pemerintahan terhadap
masyarakat. Betapa tidak, korupsi yang kian subur akan semakin membuat beban
devisit anggaran Negara semakin bertambah. Hal ini kemudian akan mengakibatkan
sistem ekonomi menjadi “colaps” dan berujung kepada semakin tingginya inflasi
yang membuat harga-harga kebutuhan masyarakt kian melambung tinggi. Eknomi
biaya tinggi ini berakibat terjadinya ketidakseimbangan antara daya beli
masyarakat dengan tingkat harga komoditas terutama komoditas bahan pokok.
Masyarakat cenderung dipaksa untuk menerima keadaan
ini, meski ambruknya sistem ekonomi kita ini, adalah akibat dari ulah para
pejabat yang merampok uang Negara demi kepentingan pribadi, kelompok dan
golongan masing-masing. Intinya, masyarakat dipaksa untuk menanggung beban yang
tidak dilakukannya. Kita tentu masih ingat dengan “krisis moneter” yang terjadi
antara tahun 1997/1998 lalu. Penyebab utama dari terjadinya krisis yang melanda
Indonesia ketika itu adalah beban keuangan Negara yang semakin menipis akibat
ulah pemerintahan Orde Baru Soeharto yang sangat korup.
Korupsi dikatakan sebaga bentuk kekerasan
struktural, sebab korupsi yang dilakukan oleh para pejabat merupakan bentuk
penyelewengan terhadap kekuasaan Negara, dimana korupsi lahir dari penggunaan
otoritas kekuasaan untuk menindas, merampok dan menghisap uang rakyat demi
kepentingan pribadi. Akibatnya, fungsi Negara untuk melayani kepentingan
rakyatnya, berubah menjadi mesin penghisap bagi rakyatnya sendiri. Relasi
politik yang terbangun antara masyarakat dan Negara melalui pemerintah sungguh
tidak seimbang. Hal ini berakibat kepada munculnya aristokrasi baru dalam
bangunan pemerintahan kita.
Negara dituding telah dengan sengaja menciptakan
ketimpangan sosial dalam kehidupan masyarakat. Kemiskinan yang semakin meluas,
antrian panjang barisan pengangguran, tidak memadainya gaji dan upah buruh,
anggaran sosial yang semakin kecil akibat pencabutan subsidi (Pendidikan,
kesehatan, listril, BBM, telepon dll), adalah deretan panjang persoalan yang
menghimpit masyarakat sehingga membuat beban hidup masyarakat semakin sulit.
Bukankah ini akibat dari praktek kongkalikong (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)
yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah kita yang korup?.
Salah satu fakta penitng yang mencengangkan adalah,
pemerintah bahkan dengan lapang dada telah suka rela melunasi hutang-hutang
Negara yang telah dikorup oleh pejabat-pejabat pemerintahan Orde Baru dulu. Di
dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Negara mengalokasi anggaran
kurang lebih 40 (empat puluh) persen untuk mebayar utang-utang luar negeri melalui
IMF, Bank Dunia, Paris Club, CGI, serta lembaga donor lainnya. Belum lagi dana
penggunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang harus ditanggung oleh
Negara. Alokasi pemabayaran utang-utang Negara akibat korupsi ini, akan menuai
konsekuensi, yakni ; membebankan pembayaran utang tersebut kepada rakyat
indoensia yang sama sekali tidak pernah menikmati utang-utang tersebut.
Membebankan dengan memilih mencabut anggaran dan subsidi sosial bagi
masyarakat. Membebankan dengan semakin terpuruknya nasib dan kehidupan
masyarakat. Sungguh tidak adil, “Koruptor yang menikmati, rakyat yang
dikorbankan”. Maka sangatlah wajar jika dikatakan bahwa praktek korupsi
merupakan sebuah bentuk tindakan kekerasan secara sistemik, yang telah sengaja
dibangun dan diciptakan oleh struktur kekuasaan negara terhadap masyarakat
sendiri.
Mengembalikan Kepercayaan
Tidak bisa kita pungkiri bahwa tingkat praktek
korupsi dikalangan pejabat-pejabat Negara, menjadikan masyarakat menarik
dukungannya terhadap pemerintah. Kepercayaan serta harapan masyarakat
(expectation) terhadap pemerintah bisa dikatakan semakin menurun, bahkan
senderung apatis terhadap pemerintah beserta aparatur-aparatur hukumnya
(polisi, jaksa, hakim, dan lain sebagainya). Selama ini, pemberantasan korupsi
yang dilakukan oleh pemerintah terkesan berjalan dengan lamban. Berbelit-belit
dan sangat birokratisnya upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan, menjadi
salah satu faktor mendasar penyelesaiaan sebuah kasus.
Semisal, pemeriksaan seorang pejabat legislatif (anggota
DPRD) yang harus menunggu izin dan keputusan dari Menteri Dalam Negeri, atau
pejabat pemerintahan daerah yang harus menunggu persetujuan presiden, dll,
menjadi salah satu kendala utama yang harus mampu pemerintah carikan solusi
yang tepat. Pemerintah dalam hal ini dituntut untuk membuat kebijakan (policy)
yang bertujuan untuk mempelancar proses pemberantasan korupsi sehingga dapat
berjalan cepat, efisien dan efektif tanpa harus dihalangi oleh aturan-aturan
yang telampau birokratis.
Sejak periode pertama kepemimpinan Susilo Bambang
Yudoyono, program pemberantasan korupsi konon menjadi prioritas utama dalam
program kerja pemerintahannya. Upaya ini harus kita apresiasi, akan tetapi
belum dapat dikatakan membanggakan.
Sebab meskipun di era Pemerintahan SBY telah berhasil mengungkap
kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat Negara (semisal kasus KPU,
kasus Bulog, kasus Abdullah Puteh di Aceh, kasus Syaukani HR, kasus Al Amien
Nur, serta kasus-kasus yang melibatkan pejabat pemerintah di beberapa daerah),
namun upaya pemberantasan korupsi ini belum mampu menyentuh para
koruptor-koruptor kakap (dari era Soeharto sampai sekarang) yang hingga saat
ini masih bebas berkeliaran tanpa pernah sedikitpun tersentuh oleh hukum.
Jika pemerintah mampu memberikan bukti nyata dari
komitmen pemberantasan korupsi, maka kpercayaan masyarakatpun akan kembali
pulih, bahkan mungkin akan mengambil peran aktif dalam setiap masalah-masalah
yang sedang dihadapi oleh bangsa dan Negara. Namun sebaliknya, jika pemerintah
lamban dan gagal dalam menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnya untuk
menuntaskan kasus-kasus korupsi yang ada, maka rakyat akan jauh semakin jauh
meninggalkannya. Apa jadinya sebuah pemrintahan tanpa dukungan dari
masyarakatnya?
Apa Yang Harus Dilakukan?
Upaya yang harus dilakukan untuk memberantas dan
membasmi korupsi ini, bukan hanya sekedar menggiatkan pemeriksaan,
penyelidikan, dan penangkapan koruptor. Upaya pemberantasan korupsi juga bukan
hanya sekedar dengan menggiatkan kampanye peningkatan nilai-nilai moral
seseorang. Namun upaya korupsi harus secara mendalam menutup akar peneybabnya
melalui beberapa aspek, antara lain :
Pertama, Negara melalui pemerintah harus melakukan
perbaikan kondisi hidup masyarakat secara menyeluruh, terutama dalam konteks
perbaikan ekonomi. Negara dalam hal ini bertanggung jawab dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat, baik secara bathin maupun lahiriah,
primer maupun sekunder, fisik dan non-fisik secara seimbang. Jika kehidupan
masyarakat terus menerus didera dengan kemiskinan, maka keinginan untuk mencari
jalan pintas demi memperkaya diri, akan terus muncul dan berkembang dalam
pikiran masyarakat kita. Sebab masalah korupsi bukan hanya masalah penegakan
dan kepastian hukum saja, namun masalah korupsi juga integral dengan masalah
sosial, ekonomi dan politik.
Kedua, Membangun sistem kekuasaan yang demokratis.
Seperti yang telah ditegaskan pada bagian awal tulisan ini, bahwa prilaku korup
juga turut ditopang oleh sistem yang mendorongnya. Jika kekuasaan berwujud
sentralistik, otoriter dan menindas, maka bukan tidak mungkin korupsi akan
terus menerus terjadi. Kita memerlukan sebuah sistem pemerintahan yang
demokratis, transparan, tidak anti kritik, serta meemiliki wujud penghormatan
yang tinggi terhadap masyarakat sipil (civil society). Prinsip utama “Good
Governance”, yang mencakup Akuntabilitas, Transparansi dan Partisipatif dll,
harus benar-benar mampu diejahwantahkan dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat.
Ketiga, Membangun akses kontrol dan pengawasan
masyarakat terhadap pemerintah. Penanganan masalah korupsi ini tidak bisa
dilakukan dengan cara memusatkan kendali pada satu badan atau menyerahkan
penanganannya pada pemerintah saja. Sebab hal tersebut cenderung berjalan
linear dan non-sturktural. Dalam arti, apakah mungkin pemerintah akan efektif
memeriksa pejabatnya sendiri. Masalah klasik yang kemudian muncul adalah,
“siapa yang akan bertanggung jawab untuk mengawasi pengawas?”. Persoalan ini
hanya akan terakomodasi dalam konteks kekuasan otoritarian. Dalam sebuah struktur
kekuasaan Negara yang egaliter, masyarakat dberikan akses kontrol terhadap
kekuasaan, sehingga fungsi pengawasan secara horisontal antar struktur yang
sejajar, maupun pengawasan akan berjalan seimbang dengan kontrol yang tajam
terhadap penyelewengan.
Salah satu bentuk kekhawatiran terhadap hal tersebut
adalah, tingkat kepercayaan yang terlalu besar (big expectation) masyarakat
terahadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal tersebut justru dapat berubah
menjadi boomerang terhadap kinerja lembaga ini, yang tak lain merupakan wujud
representatif Pemerintahan. Penanganan korupsi ini, memang tidak boleh hanya
bergantung kepada KPK saja, akan tetapi lembaga-lembaga hukum Negara, seperti
kejaksaan dan kepolisian, juga harus mampu memaksimalkan fungsi dan perannya
masing-masing, termasuk mendorong maju kesadaran masyarakat terhadap upaya
pemberantasan korupsi.
Keempat, Penguatan institusi-institusi aparatur
penegak hukum. Kejujuran penegak hukum (fair trial), harus mulai dibangun
secara kuat, terutama dikalangan perangkat Criminal Justice System (CJS), yang
menjadi tumpuan utama dalam memberantas korupsi di Negara kita. Hal ini
dimaksudkan agar proses penanganan korupsi dapat berjalan secara efisien.
Kredibilitas aparatur hukum kita, dituntut untuk lebih berlaku adil, objektif
dan tidak berpihak dalam memandang serta memilih-milih kasus (equality of law).
Kasus seorang koruptor harus diproses dan dapat diselesaikan secara cepat,
layaknya penyelesaiaan kasus seorang pencuri ayam yang relative tidak membutuhkan
waktu yang lama. Disinilah dituntut keprofesionalan para penegak hukum kita,
jika pemerintah menginginkan penyelesaiaan kasus korupsi secara efektif.
Kelima, Perbaikan sistem dan mutu pendidikan. Hal
ini memungkinkan untuk menamankan prilaku yang bersih, jujur dan bertanggung
jawab bagi siswa-siswa sekolah sedari dini. Prilaku pengajar para (dosen, guru,
dll) juga harus ikut diperbaiki. Selama ini, tak jarang dari pemilik gelar
“pahlawan tanpa tanda jasa” tersebut justru memberikan contoh yang buruk kepada
anak didiknya, yang kelak akan diadopsinya oleh anak didik tersebut dalam
kehidupan sehari-hari. Misalnya saja jual ijazah dan nilai, bisnis buku dan
modul pelajaran, pungutan liar, hingga cara mengajar yang kaku, otoriter dan
cenderung menekan anak-anak didiknya. Jika hal tersebut tidak mampu kita
praktekkan secara serius, maka tidak ada jaminan bahwa prilaku korup masyarakat
Indonesia akan hilang dengan sendirinya. Bahkan justru akan semakin subur tanpa
dapat kita atasi bersama-sama. (Oleh: Herdiansyah Hamzah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar