Burung-burung putih terbang menyambar-nyambar
di atas danau. Airnya yang tenang beriak kecil ketika kaki sang burung menyentuh ke
permukaannya. Di pinggir danau di atas batu-batu, tiga orang penduduk setempat
sedang memancing. Ditingkahi canda tawa beberapa orang mahasiswa dan mahasiswi
bercengkrama di bawah pendopo yang berdiri di sepanjang bibir danau. Di salah
satu pendopo yang letaknya paling ujung, seorang anak sedang duduk memandangi
alam sekitar danau. Wajahnya yang muram sesekali tersenyum memandangi suasana
danau yang nyaman dan teduh. “Feels like home. I want to go home.” Ia
bersenandung.
“Kenapa kamu menolak santri bandel itu
dikeluarkan Bung Jenal?. Besok-besok dia pasti akan banyak membuat kekacauan.
Yang repot kan kita-kita juga nantinya? Coba bayangkan, Dia masih santri baru,
dan Dia sudah mulai mencoba melakukan ‘pembunuhan’. Santri itu pasti mengalami
gangguan kejiwaan.”
Amrullah sebagai anggota qismul amni yang ikut
andil memberikan dua suara menyetujui pemecatan santri baru itu merasa tidak
senang dengan keputusan Jenal mempertahankan santri itu. Dua suara dari dirinya
dan ustaz Maulana untuk menyingkirkan santri baru itu, karena mereka berpikiran
bahwa keberadaan santri baru itu akan mengganggu lingkungan pondok, Mereka
menganggap santri baru itu bagaikan gigi bolong yang harus dicabut. Selesai.
Dan Jenal harus mempertanggungjawabkan
suaranya.
“Kamu tahu, sewaktu acara penerimaan santri
baru. Saya terlibat sebagai panitia penyambut. Saya melihat kedatangan para
santri baru beserta orang tuanya, semua orang tua datang dengan suka cita. Dan
semua calon santri baru datang dengan raut wajah tegang, dengan muka tidak
bersemangat. Tapi saya melihat kebalikan dari sepasang ibu dan anak. Sang anak
dengan muka berseri-seri dengan penuh rasa optimis. Motivasinya sangat tinggi
untuk menjadi santri, sementara sang Ibu larut dalam kesedihan, mungkin karena
hendak berpisah dengan anaknya. Kontras dengan orangtua-orangtua lainnya.”
“Lantas apa hubungannya dengan penolakan
pemecatan nya?”
“Saya tidak akan mencabut tunas muda yang mulai
tumbuh hanya karena ada ulat di dahannya yang kecil.”
“Menceburkan santri kelas II ke dalam sumur
kamu ibaratkan sebagai ulat? Bukankah sebaiknya kamu mengatakan ular? Dan ular
kalau berbisa, sebaiknya disingkirkan jauh-jauh?”
“Aku melihat sendiri, Akbar santri kelas II itu
terjungkir ke dalam sumur, meski kita tahu sumur-sumur yang ada di pondok kita
semuanya dangkal kecuali sumur qibar. Santri yang ulang tahun bahkan sering
terjun dan mandi di dalamnya. Akbar terjungkir karena ulahnya sendiri. Akbar
hendak membuang kalansuah santri baru itu ke dalam sumur, dan santri baru itu
mempertahan kalansuahnya mati-matian. Hingga mereka terpojok ke bibir sumur,
dan salah satunya terjungkir ke dalam sumur. Itu ketidak sengajaan Bung
Amrullah. Dan saya berpandangan anak itu tidak bersalah, justru sekarang kita
punya beban moral untuk mengembalikan semangat anak itu untuk menjadi santri.”
Amrullah berdiri, Dia tahu berdebat dengan
Jenal tidak akan pernah menang. Dia sebaiknya untuk permisi. Namun supaya
merasa tidak terlalu kalah dengan perdebatan, ia dengan berat hati mengatakan,
“Ingat Bung Jenal, kalau ada apa-apa selanjutnya mengenai santri baru itu, kamu
yang harus bertanggung jawab.”
Jenal mengangguk, “Terima kasih Bung, sudah mengingatkan.”
***
“Dia menangis terus menerus, Anak itu memanggil
Ibunya, memanggil adik kakaknya, Anak itu tidak mau makan. Hanya minum air
putih sedikit-sedikit. Saya khawatir dengan kesehatan fisik dan jiwanya Ustaz.”
“Ah… itu hal biasa Pak Mantri, santri itu kan
baru berpisah dengan orang tuanya. Ini kan malam pertamanya tidak tinggal
bersama orang tuanya.”
“Tapi apa tidak sebaiknya kita panggil
orangtuanya kemari?”
“Tidak perlu Pak Mantri. Aturannya kan mereka
boleh bertemu setelah sebulan mondok di sini.”
“Bukannya ini darurat Ustaz. Anak itu tidak mau
makan. Sejak pertama dia menginjakkan kaki di pondok ini, belum sesendok nasi
pun yang masuk ke perutnya. Makanan siang dan malamnya dia biarkan begitu saja.
Dia bahkan tidak mau berbaring, Dia hanya meringkuk di pojok dinding, memegangi
dadanya, memegangi perutnya. Kalau saya mendekati, Dia langsung memanggil
Ibunya.”
Ustaz Maulana Ridwan, berfikir sejenak. Dalam
batinnya Ia merasa bahwa anak itu bisa menjadi ancaman bagi reputasinya
mengurusi bidang “ke-santri-an”. Sejak pertama masuk pondok, anak itu
sudah bikin susah begini. Bagaimana kalau santri baru itu tidak mau makan dan
mati di dalam pondok? Semua pihak akan menyalahkannya. Bahkan ia bisa dipecat
oleh ketua yayasan. Jenal Amin harus bertanggung jawab.
“Pak
Mantri, tolong panggil Jenal Amin, dan suruh menghadap ke ruangan saya!”
***
“Jenal,
Anak itu saya serahkan kepadamu. Silahkan ambil dan bimbing dia menjadi santri
yang baik.”
Jenal
Amin mengangguk mantap, “Siap Ustaz!”
***
Jumat
pagi yang indah. Seluruh santri mendambakan hari jumat. Hari Jumat adalah hari
yang paling menyenangkan, karena pada hari tersebut segala kegiatan belajar
mengajar diliburkan. Kecuali santri baru, seluruh santri dibolehkan pulang
menemui kerabat mereka sekali dalam sebulan. Santri yang tinggal di pondok
bebas mengadakan acara apa saja yang disukainya. Tetapi kewajiban untuk sholat
berjamaah di Mesjid tetap harus dilaksanakan.
Jumat pagi ini Jenal Amin membawaku keluar dari
ruangan isolasi. Dengan atribut olah raga, kami berjalan-jalan menikmati hawa
pagi yang cerah. Jenal membawaku mampir di warung Arema yang ada di belakang
pondok.
“Om, tolong buatkan nasi goreng yang paling
spesial untuk anak ini.”
Om Arema tersenyum, “Siap Bos. Tapi siapa anak
itu?”
“Santri baru Om.”
“Jenal, jenal. Bukannya kamu selama ini tidak
senang kalau ada santri kelas I sampai III yang nongkrong di warung Om?”
“Dia
kan tidak nongkrong Om, tapi mau makan.”
Om
Arema memang dikenal sebagai tempat curahan hati santri kelas I sampai III. Om
ini, sangat penyayang. Di tengah rumahnya memang terdapat ruangan tamu yang
luas dan sebuah televisi berwarna. Sebagian santri menganggap rumah Om Arema
adalah rumah kedua mereka. Tak heran jika santri-santri yang belanja makanan di
tempat itu betah berlama-lama di rumah Om Arema. Karena Om itu tidak pernah
menganggap santri sebagai orang lain, Ia memperlakukan mereka seperti anak
sendiri.
Jika
malam Jumat, Om Arema tidak pernah memusingkan apakah santri-santri itu mau
pulang ke asrama atau tidak. Tapi kalau malam lainnya, Om itu selalu
mengingatkan, “Ayo pulang belajar sana! Nanti dicari pembinamu.”
Om Arema memang sudah tua, umurnya di atas 60
tahun. Dia asli Malang, namun sejak usia muda dia tinggal di Makassar.
Isterinya yang juga asli Malang usianya jauh lebih muda dari Om Arema. Usianya
sekitar 50 tahun. Tiga anaknya semua perempuan. Dua orang sudah menikah dan
ikut suaminya. Si bungsu masih kuliah semester I di Hasanuddin. Kehidupan keluarga
Om Arema ditopang oleh warung makan yang sederhana namun bersahaja ini. Om
Arema jago masak segala macam menu masakan, sedangkan isterinya lincah melayani
para pembeli yang didominasi para santri, terutama di hari Kamis sore hingga
hari Jumat sore.
Pagi ini Saya duduk di warung itu. Di dinding
warung terpasang sebuah lukisan puteri Bali yang sedang menari dengan mata
melotot melirik ke arah kiri atas seakan-akan hendak menerkam cicak yang
menempel di dinding. Di bawah meja panjang berderet botol-botol soda gembira
yang sudah kosong dan siap dijemput oleh suplier untuk ditukar dengan botol
soda hijau yang sudah berisi. Di atas meja terdapat kaleng berbentuk oval telur
berisi roti srikaya kesukaan para santri.
Santri yang nongkrong di sini memang gemar
minum susu soda gembira di padu roti srikaya yang enak sekali. Rasa srikayanya
begitu kental. Kalau sudah memadukan keduanya, tak jarang santri sudah malas
menyantap menu makan malam, sehingga waktu makan malam dilewatkan untuk baca
Al-Qur’an.
Di kebun belakang warung Om Arema, terdapat
tempat santai yang teduh. Santri kelas IV yang sudah mulai menemukan jati
dirinya sering menggunakan tempat ini untuk bersantai dan mulai belajar
merokok. Om Arema sudah berulang kali memperingatkan bahaya merokok, tapi namanya
remaja yang sudah mulai menemukan jati diri, mana mau mendengar nasehat orang
tua ini.
Nasi goreng spesial ku telah datang. “Breakfast
service. Tafaddal!” Om Arema meletakkan nasi goreng pesanan Jenal di atas meja
tepat di depanku. “Jangan heran kalau Om bisa berbahasa Arab dan Inggris.
Kakak-kakak kamu yang suka nongkrong di sini suka mengajari Om. Ayo dimakan
sarapannya.”
“Kamu
santri baru yang terkenal itu ya? Jangan heran kalau Om tahu cerita yang ada di dalam pondok. Om senang
berkenalan denganmu. Keberanianmu luar biasa. Beruntung kamu tidak dipecat.
Berterima kasihlah kepada Jenal. Dia yang
membelamu mati-matian supaya kamu bisa tetap jadi santri di situ. Dulu waktu Om
sekecil kamu, Om tidak berani melawan jika diintimidasi kakak kelas. Om hanya
bisa menangis dan melapor ke orang tua. Dan orang tua justru malah balik
memarahi Om. Menyedihkan sekali. Tapi kamu luar biasa. Anak sebesar Akbar masuk
sumur, ha ha ha… oleh santri baru. Dan kamu lah santri baru itu. Ha ha ha…
karena itu, nasi goreng itu gratis buat kamu. Ayo dimakan. Nak!”
Saya mulai tersenyum, bukan karena omongan Om
Arema yang dia anggap lucu. Tapi karena mulut ompongnya yang lucu megap-megap.
Seperti mulut ikan lele yang menunggu diberi makan. Bahunya terguncang ketika
dia tertawa. Seisi ruangan jadi ramai oleh tawanya. Selain karena lucu, juga
karena ada kata “Nak” Tapi kemana Jenal?
“Jenal, kamu membawa santri baru itu ke orang
yang tepat.” Si Om memang suka bercanda blak-blakan. Tuh lihat anak itu mulai
tersenyum, dan dia mulai menyendok nasi goreng ke mulutnya.”
Di ruang tengah yang dibatasi kaca hitam, Jenal
dan tante Arema sedang berdiri mengawasi aksi Om. Rencananya, jika anak itu
tetap tidak mau makan, terpaksa si bungsu yang sedang kuliah disuruh pulang
membujuk santri itu. Tapi ternyata aksi Om Arema sungguh brillian. “Terima
kasih Om.” Ucap Jenal dalam hati.
Suasana danau menentramkan hatiku. Hari Jumat
ini begitu menyenangkan. Aku baru saja
dipanggil “Nak” oleh orang tua pemilik warung di belakang kampus. Kata “Nak”
dari seorang laki-laki tua memang memacu jantungku. Tiga huruf itu baru
kudengar lagi dari seorang laki-laki setelah bertahun-tahun lamanya hilang dari
telingaku. Teringat di suatu pagi, sehari setelah hari raya Idul Fitri. Ayahku
masuk ke kamar mandi dan tidak keluar lagi selama berjam-jam. Ibu kemudian
menyuruh Aku untuk memeriksa. Dan Ayahku dengan tangan menggapai-gapai tergolek
di lantai kamar mandi. Mulutnya megap-megap seperti hendak meneriakkan sesuatu,
tapi suaranya tertahan di kerongkongannya. Seluruh tetangga datang menolong,
mereka beramai-ramai mengantarkan Ayahku ke rumah sakit umum.
Hari itu sehari setelah hari raya sepertinya
para dokter masih berlibur panjang, tidak satupun yang berjaga. Ayahku
dibiarkan begitu saja tergolek tanpa daya. Malam harinya belum ada satu orang
dokterpun yang datang. Seorang pembesuk menyarankan menemui orang ‘pintar’.
“Lato Hasan namanya, tinggalnya sekitar 3 km
dari sini. Beberapa hari yang lalu, beliau sudah menolong seorang pasien yang
kondisinya sama dengan yang dialami Bapak.” Pembesuk itu tidak memaksakan
sarannya. Dia kemudian berkata kepada Ibuku,”Itu terserah Ibu, Tapi lebih baik
berikhtiar dari pada diam menunggu Bapak sadar.”
Ibuku hanya bisa menangis. Dia kehilangan
inisiatif, Dia kehilangan kata-kata. Dia hanya memandangi ke lima anak
laki-lakinya yang masih kecil. Saat ini dia hanya bisa menunggu takdir.
Menunggu apa yang terjadi selanjutnya.
Tante
memanggil tukang jaga parkir rumah sakit. Dari jauh keduanya nampak berbicara
serius. Si tukang parkir kelihatan mengangguk-angguk, sambil sesekali
mencondongkan badannya ke hadapan tante saya. Tukang parkir itu disuruh
mengantarkan Saya menemui Lato Hasan.
Jalan
menuju rumah Lato Hasan ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Setelah jalan
utama, kami kemudian memasuki jalan setapak yang kecil yang kira-kira hanya
bisa dilewati bendi (kendaraan sejenis andong yang ditarik oleh kuda, namun
bentuknya jauh lebih kecil). Saat itu pukul 22:00 malam. Keadaan gelap gulita,
dan suara binatang malam jelas terdengar. Sebuah rumah panggung berpagar bambu,
itulah rumah Lato Hasan. Si tukang parkir tidak ikut naik, dia mempersilahkan
aku naik. Seorang anak kecil menghadap orang ‘pintar’ datang untuk
menyelamatkan Bapaknya yang ada di rumah sakit, karena dokter tidak ada yang
berjaga di rumah sakit itu. Heroik sekali.
Lato
Hasan sepertinya sudah mengetahui maksud kedatanganku.
“Bapakmu
di kamar nomor berapa?”
“Kamar
nomor 2 Lato.”
Lato
Hasan kemudian berdiri masuk ke kamarnya. Beliau mengambil sebuah keris kecil
lalu diletakkannya di atas mug berisi air. Tidak lama kemudian Lato itu
menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku semakin tidak mengerti.
“Kalau
malam ini ada yang mengetuk pintu kamar Bapakmu sebaiknya jangan di buka.
Biarkan ketukan itu menghilang dengan sendirinya.”
“Iya
Lato.”
“Saya
tidak sanggup menolong Bapak Kamu. Tapi biar kedatangan Kamu di sini tidak
sia-sia, Saya akan mengajarkanmu sesuatu untuk hidupmu kelak. Mari ikut ke
dalam.” Kakek itu pun berdiri mengajak aku masuk ke dalam bilik kamarnya.
“Ohya, suruh tukang parkir itu pulang duluan. Kasihan dia di bawah digigit
nyamuk.”
***
Jam
24:00 Suasana kamar rumah sakit di mana Ayah tergolek, semakin senyap, tinggal
Ibu dan Tante yang masih terjaga. Sebagian yang lain menggelar tikar di atas
lantai dan tertidur pulas. Si tukang parkir datang dengan muka pucat memberi
laporan kepada Tante, kalau dirinya dipaksa meninggalkan aku di rumah Lato
Hasan.
“Mohon
maaf beribu maaf Tante, Aku terpaksa meninggalkan kemanakan tante atas
permintaannya sendiri. Saat ini Dia masih berada di rumah Lato Hasan.”
“Lha
yang sedang tidur itu siapa?” tante kemudian menunjuk ke arahku yang sedang
lelap tidaur bermimpi tentang Ayahku.
Dan
si tukang parkir itupun terjatuh pingsan.
Tepat
tiga hari di rumah sakit atau Jumat dini hari Ayahku menghembuskan nafasnya
yang terakhir. Ia pergi begitu saja meninggalkan 5 anak lelakinya yang masih
kecil-kecil. Kepergiannya meninggalkan beribu kenangan, menghapus bahagia masa
kanak-kanak kami, meninggalkan jutaan cinta yang ditanamkan di hati kami. Dari
kajauhan Aku melihat Lato Hasan terduduk di lantai koridor rumah sakit. Beliau
terduduk seperti membaca sesuatu, sesekali Ia berdiri menengadah, kemudian
terduduk kembali. Seorang Lato Hasan hanyalah manusia, ia tidak mampu melawan
takdir.
Suasana danau sudah mulai sepi. Menjelang siang, Aku semakin merindukan rumah.
“Kak Jenal,
Aku ingin pulang.”
“Pulang
ke pondok?”
“Pulang ke kampung, pulang ke Ibuku.”
Jenal menghela nafas panjang. Tidak semua orang
bisa beruntung seperti Kamu. Bisa memperoleh kesempatan menjadi santri di sana.
“Tapi Aku takut sama anak kelas II Kak. Bisa-bisa
aku babak belur setiap bertemu mereka.”
“Soal itu biar kakak dan anggota qismul amni
yang atasi. Kamu belajar saja yang rajin biar bisa jadi anak pintar yang
dibanggakan Ibumu.”
Jenal
menarik tangan saya, “Ayo pulang, pondok sudah menanti.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar