Sabtu, 13 September 2014

Diary Santri: Tunas Muda




Burung-burung putih terbang menyambar-nyambar di atas danau. Airnya yang tenang beriak kecil ketika kaki sang burung menyentuh ke permukaannya. Di pinggir danau di atas batu-batu, tiga orang penduduk setempat sedang memancing. Ditingkahi canda tawa beberapa orang mahasiswa dan mahasiswi bercengkrama di bawah pendopo yang berdiri di sepanjang bibir danau. Di salah satu pendopo yang letaknya paling ujung, seorang anak sedang duduk memandangi alam sekitar danau. Wajahnya yang muram sesekali tersenyum memandangi suasana danau yang nyaman dan teduh. “Feels like home. I want to go home.” Ia bersenandung.

“Kenapa kamu menolak santri bandel itu dikeluarkan Bung Jenal?. Besok-besok dia pasti akan banyak membuat kekacauan. Yang repot kan kita-kita juga nantinya? Coba bayangkan, Dia masih santri baru, dan Dia sudah mulai mencoba melakukan ‘pembunuhan’. Santri itu pasti mengalami gangguan kejiwaan.”

Amrullah sebagai anggota qismul amni yang ikut andil memberikan dua suara menyetujui pemecatan santri baru itu merasa tidak senang dengan keputusan Jenal mempertahankan santri itu. Dua suara dari dirinya dan ustaz Maulana untuk menyingkirkan santri baru itu, karena mereka berpikiran bahwa keberadaan santri baru itu akan mengganggu lingkungan pondok, Mereka menganggap santri baru itu bagaikan gigi bolong yang harus dicabut. Selesai.

Dan Jenal harus mempertanggungjawabkan suaranya.

“Kamu tahu, sewaktu acara penerimaan santri baru. Saya terlibat sebagai panitia penyambut. Saya melihat kedatangan para santri baru beserta orang tuanya, semua orang tua datang dengan suka cita. Dan semua calon santri baru datang dengan raut wajah tegang, dengan muka tidak bersemangat. Tapi saya melihat kebalikan dari sepasang ibu dan anak. Sang anak dengan muka berseri-seri dengan penuh rasa optimis. Motivasinya sangat tinggi untuk menjadi santri, sementara sang Ibu larut dalam kesedihan, mungkin karena hendak berpisah dengan anaknya. Kontras dengan orangtua-orangtua lainnya.”

“Lantas apa hubungannya dengan penolakan pemecatan nya?”

“Saya tidak akan mencabut tunas muda yang mulai tumbuh hanya karena ada ulat di dahannya yang kecil.”

“Menceburkan santri kelas II ke dalam sumur kamu ibaratkan sebagai ulat? Bukankah sebaiknya kamu mengatakan ular? Dan ular kalau berbisa, sebaiknya disingkirkan jauh-jauh?”

“Aku melihat sendiri, Akbar santri kelas II itu terjungkir ke dalam sumur, meski kita tahu sumur-sumur yang ada di pondok kita semuanya dangkal kecuali sumur qibar. Santri yang ulang tahun bahkan sering terjun dan mandi di dalamnya. Akbar terjungkir karena ulahnya sendiri. Akbar hendak membuang kalansuah santri baru itu ke dalam sumur, dan santri baru itu mempertahan kalansuahnya mati-matian. Hingga mereka terpojok ke bibir sumur, dan salah satunya terjungkir ke dalam sumur. Itu ketidak sengajaan Bung Amrullah. Dan saya berpandangan anak itu tidak bersalah, justru sekarang kita punya beban moral untuk mengembalikan semangat anak itu untuk menjadi santri.”

Amrullah berdiri, Dia tahu berdebat dengan Jenal tidak akan pernah menang. Dia sebaiknya untuk permisi. Namun supaya merasa tidak terlalu kalah dengan perdebatan, ia dengan berat hati mengatakan, “Ingat Bung Jenal, kalau ada apa-apa selanjutnya mengenai santri baru itu, kamu yang harus bertanggung jawab.”

Jenal mengangguk, “Terima kasih Bung, sudah mengingatkan.”

***

“Dia menangis terus menerus, Anak itu memanggil Ibunya, memanggil adik kakaknya, Anak itu tidak mau makan. Hanya minum air putih sedikit-sedikit. Saya khawatir dengan kesehatan fisik dan jiwanya Ustaz.”

“Ah… itu hal biasa Pak Mantri, santri itu kan baru berpisah dengan orang tuanya. Ini kan malam pertamanya tidak tinggal bersama orang tuanya.”

“Tapi apa tidak sebaiknya kita panggil orangtuanya kemari?”

“Tidak perlu Pak Mantri. Aturannya kan mereka boleh bertemu setelah sebulan mondok di sini.”

“Bukannya ini darurat Ustaz. Anak itu tidak mau makan. Sejak pertama dia menginjakkan kaki di pondok ini, belum sesendok nasi pun yang masuk ke perutnya. Makanan siang dan malamnya dia biarkan begitu saja. Dia bahkan tidak mau berbaring, Dia hanya meringkuk di pojok dinding, memegangi dadanya, memegangi perutnya. Kalau saya mendekati, Dia langsung memanggil Ibunya.”

Ustaz Maulana Ridwan, berfikir sejenak. Dalam batinnya Ia merasa bahwa anak itu bisa menjadi ancaman bagi reputasinya mengurusi bidang “ke-santri-an”. Sejak pertama masuk pondok, anak itu sudah bikin susah begini. Bagaimana kalau santri baru itu tidak mau makan dan mati di dalam pondok? Semua pihak akan menyalahkannya. Bahkan ia bisa dipecat oleh ketua yayasan. Jenal Amin harus bertanggung jawab.

“Pak Mantri, tolong panggil Jenal Amin, dan suruh menghadap ke ruangan saya!”

***

“Jenal, Anak itu saya serahkan kepadamu. Silahkan ambil dan bimbing dia menjadi santri yang baik.”

Jenal Amin mengangguk mantap, “Siap Ustaz!”

***

Jumat pagi yang indah. Seluruh santri mendambakan hari jumat. Hari Jumat adalah hari yang paling menyenangkan, karena pada hari tersebut segala kegiatan belajar mengajar diliburkan. Kecuali santri baru, seluruh santri dibolehkan pulang menemui kerabat mereka sekali dalam sebulan. Santri yang tinggal di pondok bebas mengadakan acara apa saja yang disukainya. Tetapi kewajiban untuk sholat berjamaah di Mesjid tetap harus dilaksanakan.

Jumat pagi ini Jenal Amin membawaku keluar dari ruangan isolasi. Dengan atribut olah raga, kami berjalan-jalan menikmati hawa pagi yang cerah. Jenal membawaku mampir di warung Arema yang ada di belakang pondok.

“Om, tolong buatkan nasi goreng yang paling spesial untuk anak ini.”

Om Arema tersenyum, “Siap Bos. Tapi siapa anak itu?”

“Santri baru Om.”

“Jenal, jenal. Bukannya kamu selama ini tidak senang kalau ada santri kelas I sampai III yang nongkrong di warung Om?”

“Dia kan tidak nongkrong Om, tapi mau makan.”

Om Arema memang dikenal sebagai tempat curahan hati santri kelas I sampai III. Om ini, sangat penyayang. Di tengah rumahnya memang terdapat ruangan tamu yang luas dan sebuah televisi berwarna. Sebagian santri menganggap rumah Om Arema adalah rumah kedua mereka. Tak heran jika santri-santri yang belanja makanan di tempat itu betah berlama-lama di rumah Om Arema. Karena Om itu tidak pernah menganggap santri sebagai orang lain, Ia memperlakukan mereka seperti anak sendiri.

Jika malam Jumat, Om Arema tidak pernah memusingkan apakah santri-santri itu mau pulang ke asrama atau tidak. Tapi kalau malam lainnya, Om itu selalu mengingatkan, “Ayo pulang belajar sana! Nanti dicari pembinamu.”

Om Arema memang sudah tua, umurnya di atas 60 tahun. Dia asli Malang, namun sejak usia muda dia tinggal di Makassar. Isterinya yang juga asli Malang usianya jauh lebih muda dari Om Arema. Usianya sekitar 50 tahun. Tiga anaknya semua perempuan. Dua orang sudah menikah dan ikut suaminya. Si bungsu masih kuliah semester I di Hasanuddin. Kehidupan keluarga Om Arema ditopang oleh warung makan yang sederhana namun bersahaja ini. Om Arema jago masak segala macam menu masakan, sedangkan isterinya lincah melayani para pembeli yang didominasi para santri, terutama di hari Kamis sore hingga hari Jumat sore.

Pagi ini Saya duduk di warung itu. Di dinding warung terpasang sebuah lukisan puteri Bali yang sedang menari dengan mata melotot melirik ke arah kiri atas seakan-akan hendak menerkam cicak yang menempel di dinding. Di bawah meja panjang berderet botol-botol soda gembira yang sudah kosong dan siap dijemput oleh suplier untuk ditukar dengan botol soda hijau yang sudah berisi. Di atas meja terdapat kaleng berbentuk oval telur berisi roti srikaya kesukaan para santri.

Santri yang nongkrong di sini memang gemar minum susu soda gembira di padu roti srikaya yang enak sekali. Rasa srikayanya begitu kental. Kalau sudah memadukan keduanya, tak jarang santri sudah malas menyantap menu makan malam, sehingga waktu makan malam dilewatkan untuk baca Al-Qur’an.

Di kebun belakang warung Om Arema, terdapat tempat santai yang teduh. Santri kelas IV yang sudah mulai menemukan jati dirinya sering menggunakan tempat ini untuk bersantai dan mulai belajar merokok. Om Arema sudah berulang kali memperingatkan bahaya merokok, tapi namanya remaja yang sudah mulai menemukan jati diri, mana mau mendengar nasehat orang tua ini.

Nasi goreng spesial ku telah datang. “Breakfast service. Tafaddal!” Om Arema meletakkan nasi goreng pesanan Jenal di atas meja tepat di depanku. “Jangan heran kalau Om bisa berbahasa Arab dan Inggris. Kakak-kakak kamu yang suka nongkrong di sini suka mengajari Om. Ayo dimakan sarapannya.”

“Kamu santri baru yang terkenal itu ya? Jangan heran kalau Om tahu cerita yang ada di dalam pondok. Om senang berkenalan denganmu. Keberanianmu luar biasa. Beruntung kamu tidak dipecat. Berterima kasihlah kepada Jenal. Dia yang membelamu mati-matian supaya kamu bisa tetap jadi santri di situ. Dulu waktu Om sekecil kamu, Om tidak berani melawan jika diintimidasi kakak kelas. Om hanya bisa menangis dan melapor ke orang tua. Dan orang tua justru malah balik memarahi Om. Menyedihkan sekali. Tapi kamu luar biasa. Anak sebesar Akbar masuk sumur, ha ha ha… oleh santri baru. Dan kamu lah santri baru itu. Ha ha ha… karena itu, nasi goreng itu gratis buat kamu. Ayo dimakan. Nak!”

Saya mulai tersenyum, bukan karena omongan Om Arema yang dia anggap lucu. Tapi karena mulut ompongnya yang lucu megap-megap. Seperti mulut ikan lele yang menunggu diberi makan. Bahunya terguncang ketika dia tertawa. Seisi ruangan jadi ramai oleh tawanya. Selain karena lucu, juga karena ada kata “Nak” Tapi kemana Jenal?

“Jenal, kamu membawa santri baru itu ke orang yang tepat.” Si Om memang suka bercanda blak-blakan. Tuh lihat anak itu mulai tersenyum, dan dia mulai menyendok nasi goreng ke mulutnya.”

Di ruang tengah yang dibatasi kaca hitam, Jenal dan tante Arema sedang berdiri mengawasi aksi Om. Rencananya, jika anak itu tetap tidak mau makan, terpaksa si bungsu yang sedang kuliah disuruh pulang membujuk santri itu. Tapi ternyata aksi Om Arema sungguh brillian. “Terima kasih Om.” Ucap Jenal dalam hati.

Suasana danau menentramkan hatiku. Hari Jumat ini begitu menyenangkan. Aku baru saja dipanggil “Nak” oleh orang tua pemilik warung di belakang kampus. Kata “Nak” dari seorang laki-laki tua memang memacu jantungku. Tiga huruf itu baru kudengar lagi dari seorang laki-laki setelah bertahun-tahun lamanya hilang dari telingaku. Teringat di suatu pagi, sehari setelah hari raya Idul Fitri. Ayahku masuk ke kamar mandi dan tidak keluar lagi selama berjam-jam. Ibu kemudian menyuruh Aku untuk memeriksa. Dan Ayahku dengan tangan menggapai-gapai tergolek di lantai kamar mandi. Mulutnya megap-megap seperti hendak meneriakkan sesuatu, tapi suaranya tertahan di kerongkongannya. Seluruh tetangga datang menolong, mereka beramai-ramai mengantarkan Ayahku ke rumah sakit umum.

Hari itu sehari setelah hari raya sepertinya para dokter masih berlibur panjang, tidak satupun yang berjaga. Ayahku dibiarkan begitu saja tergolek tanpa daya. Malam harinya belum ada satu orang dokterpun yang datang. Seorang pembesuk menyarankan menemui orang ‘pintar’.

“Lato Hasan namanya, tinggalnya sekitar 3 km dari sini. Beberapa hari yang lalu, beliau sudah menolong seorang pasien yang kondisinya sama dengan yang dialami Bapak.” Pembesuk itu tidak memaksakan sarannya. Dia kemudian berkata kepada Ibuku,”Itu terserah Ibu, Tapi lebih baik berikhtiar dari pada diam menunggu Bapak sadar.”

Ibuku hanya bisa menangis. Dia kehilangan inisiatif, Dia kehilangan kata-kata. Dia hanya memandangi ke lima anak laki-lakinya yang masih kecil. Saat ini dia hanya bisa menunggu takdir. Menunggu apa yang terjadi selanjutnya.

Tante memanggil tukang jaga parkir rumah sakit. Dari jauh keduanya nampak berbicara serius. Si tukang parkir kelihatan mengangguk-angguk, sambil sesekali mencondongkan badannya ke hadapan tante saya. Tukang parkir itu disuruh mengantarkan Saya menemui Lato Hasan.

Jalan menuju rumah Lato Hasan ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Setelah jalan utama, kami kemudian memasuki jalan setapak yang kecil yang kira-kira hanya bisa dilewati bendi (kendaraan sejenis andong yang ditarik oleh kuda, namun bentuknya jauh lebih kecil). Saat itu pukul 22:00 malam. Keadaan gelap gulita, dan suara binatang malam jelas terdengar. Sebuah rumah panggung berpagar bambu, itulah rumah Lato Hasan. Si tukang parkir tidak ikut naik, dia mempersilahkan aku naik. Seorang anak kecil menghadap orang ‘pintar’ datang untuk menyelamatkan Bapaknya yang ada di rumah sakit, karena dokter tidak ada yang berjaga di rumah sakit itu. Heroik sekali.

Lato Hasan sepertinya sudah mengetahui maksud kedatanganku.

“Bapakmu di kamar nomor berapa?”

“Kamar nomor 2 Lato.”

Lato Hasan kemudian berdiri masuk ke kamarnya. Beliau mengambil sebuah keris kecil lalu diletakkannya di atas mug berisi air. Tidak lama kemudian Lato itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku semakin tidak mengerti.

“Kalau malam ini ada yang mengetuk pintu kamar Bapakmu sebaiknya jangan di buka. Biarkan ketukan itu menghilang dengan sendirinya.”

“Iya Lato.”

“Saya tidak sanggup menolong Bapak Kamu. Tapi biar kedatangan Kamu di sini tidak sia-sia, Saya akan mengajarkanmu sesuatu untuk hidupmu kelak. Mari ikut ke dalam.” Kakek itu pun berdiri mengajak aku masuk ke dalam bilik kamarnya. “Ohya, suruh tukang parkir itu pulang duluan. Kasihan dia di bawah digigit nyamuk.”

***

Jam 24:00 Suasana kamar rumah sakit di mana Ayah tergolek, semakin senyap, tinggal Ibu dan Tante yang masih terjaga. Sebagian yang lain menggelar tikar di atas lantai dan tertidur pulas. Si tukang parkir datang dengan muka pucat memberi laporan kepada Tante, kalau dirinya dipaksa meninggalkan aku di rumah Lato Hasan.

“Mohon maaf beribu maaf Tante, Aku terpaksa meninggalkan kemanakan tante atas permintaannya sendiri. Saat ini Dia masih berada di rumah Lato Hasan.”

“Lha yang sedang tidur itu siapa?” tante kemudian menunjuk ke arahku yang sedang lelap tidaur bermimpi tentang Ayahku.

Dan si tukang parkir itupun terjatuh pingsan.

Tepat tiga hari di rumah sakit atau Jumat dini hari Ayahku menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ia pergi begitu saja meninggalkan 5 anak lelakinya yang masih kecil-kecil. Kepergiannya meninggalkan beribu kenangan, menghapus bahagia masa kanak-kanak kami, meninggalkan jutaan cinta yang ditanamkan di hati kami. Dari kajauhan Aku melihat Lato Hasan terduduk di lantai koridor rumah sakit. Beliau terduduk seperti membaca sesuatu, sesekali Ia berdiri menengadah, kemudian terduduk kembali. Seorang Lato Hasan hanyalah manusia, ia tidak mampu melawan takdir.

Suasana danau sudah mulai sepi. Menjelang siang, Aku semakin merindukan rumah.

“Kak Jenal, Aku ingin pulang.”

“Pulang ke pondok?”

“Pulang ke kampung, pulang ke Ibuku.”

Jenal menghela nafas panjang. Tidak semua orang bisa beruntung seperti Kamu. Bisa memperoleh kesempatan menjadi santri di sana.

“Tapi Aku takut sama anak kelas II Kak. Bisa-bisa aku babak belur setiap bertemu mereka.”

“Soal itu biar kakak dan anggota qismul amni yang atasi. Kamu belajar saja yang rajin biar bisa jadi anak pintar yang dibanggakan Ibumu.”

Jenal menarik tangan saya, “Ayo pulang, pondok sudah menanti.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar