KAMIS,
21 Agustus 2014. Sejak pukul 07.30 Wita,
layar handhone jenis Balck Berry Gemini saya tampak sibuk.
Berselang beberapa detik layarnya kembali hidup disertai getaran akibat gesekan
antara handphone dengan lantai rumah.
Tapi tak begitu bising, karena lantai rumah saya berbahan kramik sehingga tak
berisik.
Sebagai
seorang wartawan, melihat kondisi itu, hanya ada dua hal tumbuh di benak saya;
panggilan tugas atau protes dari narasumber. Maklum, berita-berita saya memang
kadang memberi kejutan. Mungkin ketika wawancara, kami bisa tertawa
terbahak-bahak, tapi ketika hasil wawancara itu terbit seolah dapat ditebak
akan menyudutkan salah satu pihak.
Meski
baru menjadi jurnalis selama sekira 2 tahun, namun nama saya di kalangan
pejabat, organisasi masyarakat (Ormas), hingga warga Bontang cukup dikenal,
khususnya mereka yang memantau perkembangan Kota
Taman, melalui koran tempat saya bekerja. Selain berita sarat kontroversi,
artikel-artikel yang saya tulis menyikapi sebuah kebijakan juga tak kalah
tajam.
Bahkan
tak jarang sengaja menantang kebijakan pemerintah. Itu saya tulis ketika
menyikapi sebuah kebijakan tak sesuai dengan nurani saya sebagai seorang
jurnalis muda, masih dengan idealisme menggebu-gebu.
Dengan
sikap itu, jelas menjadi sorotan orang-orang merasa terusik, mau pun mereka
yang mengalami ketidakadilan itu. Bentuk responnya pun beragam. Bagi mereka
yang merasa kepentingan terancam, maka jelas akan menampakan sikap tak
bersahabat. Ada pula yang tiba-tiba melunak ketika bertemu saya. Sementara bagi para korban kebijakan dinilai
tak bermoral itu, sambutan dan dukungan pun
saya terima. Mereka adalah orang-orang yang telah bosan dengan
janji-janji pemerintah. Namun lebih tepat disebut pembohongan publik.
Hari
itu, saya terbangun cukup pagi. Sebab jika menilik pada hari-hari sebelumnya,
saya selalu terbangun antara pukul 09.00 bahkan tak jarang saya baru terbangun
pukul 11.00 wita.
Saya
memang sengaja bangun lebih awal, mengingat hari itu sudah berjanji akan
berkunjung ke Kantor Gabungan Dinas (Gadis) tepatnya untuk bertemu salah sorang
pejabat Dinas Pekerjaan Umum (PU) Bontang. Tujuanya, tak lain untuk melakukan
wawancara. Sebab jika tak demikian, para pejabat di Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) tersebut, cukup sukar ditemui. Entah karena kesibukan atau
khawatir disambangi wartawan atau pun para kontraktor mencari hingga menagih
pembayaran proyek. Informasi minor seperti
itu memang lebih banyak saya peroleh dari para Ormas hingga kontraktor yang
saya kenal.
Tak
banyak membuang waktu, tepat pukul 08.00 Wita, saya sudah siap berangkat.
Dengan kemeja biru, celana jeans warna biru muda, dengan bawahan sempit atau
akrab disebut celana botol menjadi pilihan untuk menemani saya bertualang hari
itu. Tak ketinggalan, tas gendong
andalan saya pun siap pakai. Di dalamnya, tak banyak ‘material’. Melainkan,
hanya sebuah kamera, press card, juga
handphone.
Meski
dengan kondisi setengah mengantuk, mungkin karena pengaruh belum mandi, saya
akhirnya berangkat ke kantor pemerintahan terletak di Kelurahan Bontang Lestari
dengan mengendarai sepeda motor jenis Supra
fit, milik kakak saya juga mantan wartawan.
Jarak
tempuh mencapai beberapa kilometer itu, akhirnya berakhir sekira pukul 08.30
wita. Artinya, perjalanan saya menghabiskan waktu sekira 30 menit.
Setiba
di lingkungan Pemkot, saya berjalan kaki menuju kantor Dinas PU. Namun sembari
di perjalanan, saya kembali mengecek, apakah panggilan-panggilan itu masih ada.
Setelah saya buka, hal mencengangkan terjadi; jumlah panggilan di handphone saya mencapai 20 panggilan tak
terjawab. Di layar itu, tertulis nama;
Andi Nasar. Salah seorang penggiat Ormas di Bontang. Pria asli Sulawesi ini
pula yang sedari pagi sudah menghubungi saya.
Mungkin
lantaran kesal, pria ini akhirnya mengirimkan pesan singkat di handhone saya. Setelah saya bukan kontak
pesan, di dalamnya berbunyi;
“Sibuk
kah Bos ? kok telpon saya tidak diangkat ? ini ada berita mau saya rilis,”
tulis Andi Nasar melalui pesan singkatnya.
Sebenarnya
saya enggan menggubris pria ini. Sebab saya tahu pasti, mereka menyoroti
pemerintah untuk memperoleh sesuatu keuntungan materi. Sementara saya, saya
sekali tidak mengarah pada niatan itu. Murni menjalankan tugas sebagai pewarta
dan penulis.
Itulah
alasan saya tidak menjawab telponnya sejak pagi tadi. Namun kehendak tuhan
berbeda.
Singkat
cerita, saya akhirnya berhasil bertemu dan merampungkan proses wawancara dengan
pejabat terkait. Tak membuang waktu, saya berniat menuju ke kantor untuk
membaca koran. Maklum, memang itu sudah menjadi rutinitas saya sehari-hari.
Membaca koran, seakan telah menjadi ‘makanan’ pokok yang harus ada setiap
harinya.
Dalam
perjalanan pulang (masih di kantor Gadis), tanpa diduga saya malah bertemu Andi
Nasar, pria yang sedari pagi sudah menelpon, namun saya abaikan.
Raut
wajahnya ketika melihat saya, cukup kontras. Awalnya, sorot matanya seperti
menemukan mangsa, bercampur rasa geram, dia lantas menghampiriku. Saat bertatap
muka dan mulai berjabat tangan, cara bergaul yang saya temui selama menjadi
kuli tinta.
“Aduh,
bosku satu ini, memang sibuk sekali kayaknya. Hampir 30 kali mungkin saya
telpon, tidak ada diangkat,” keluhnya, namun tetap diselingi dengan senyum puas
yang tulus.
Menanggapi
hal itu, saya berpikir keras untuk mencari alasan, tidak menjawab telponnya.
Hingga ditemukan sebuah ide klasik.
“Loh,
ada telpon kah bang ? saya enggak tahu bang. Soalnya hp saya tertinggal di
rumah saudara di Sangatta. Maaf bang kalau begitu. Jadi apa nih yang bisa
dibantu,” kataku, berusaha mengalihkan topik bahasan.
Masih
dengan raut wajah curiga, namun dia mulai melunak. Selanjutnya, dia
mengutarakan niatnya merilis berita tentang praktik sewa-menyewa petak di Pasar
Sementara Rawa Indah.
“Gini
pak Imran, saya mau menyoroti kebijakan sewa menyewa petak di sana (pasar
sementara Rawa Indoh, Red.). Kami
sebagai LSM merasa kasihan, sikap pejabat di sana, terkesan mengabaikan nasib
pedagang,” katanya
“Makanya,
kami dari LSM (….), meminta agar pejabat di sana bertindak, dengan mengutamakan
kepentingan pedagang. Bukan kepentingan pribadi,” tambahnya.
Mendengar
pernyataan itu, saya menjadi lemas. Karena lagi-lagi saya mendapati orang-orang
berkomentar namun tampa data. Bagi saya itu sudah komentar basi. Sebab, data
yang saya miliki tentang praktik sewa-menyewa itu jauh lebih akurat dan detail.
Oleh
sebab itu, saya pun menyampaikan pertimbangan lain.
“Gini
bang. Masalah pasar dan sewa petak ini, sudah lama saya angkat. Bahkan saya
punya data, tentang siapa saja penyewa di sana, termasuk nilai sewa per petak.
Itu juga saya ada,” kata saya.
“Jadi
kalau abang mau angkat lagi, saya saran supaya datanya dilengkapi. Pertama yang
harus ada; beberapa penyewa siap mencantumkan nama. Selain itu, harus ada oknum
diduga memfasilitasi sewa-menyewa petak. Kalau itu sudah ada, pasti saya muat.
Asalkan, saya tegaskan lagi, tidak ada inisial,” ujarku panjang lebar.
Ada
alasan kenapa saya meminta agar tak ada rahasia dalam berita yang akan dia
sodorkan itu. Saya memang sengaja ingin memperalat pria ini untuk membangunkan
sang ‘vampir’ dari tidur panjangnya. Yang selama ini terlena dengan aktivitas
‘menghisap darah’ pedagang. Namun tak
terendus oleh siapa pun dan apapun. Mereka terkesan hidup bebas, tanpa
hambatan. Seolah pejabat adalah pemilik hidup seluruh manusia di bumi. Mereka
bebas berbuat dan menerapkan kebijakan tanpa koreksi.
Mendengar
tawaran itu, dia terdiam sejenak, mungkin sedang berpikir akan dampak bisa
terjadi. Namun karena ambisi ingin tampil sebagai pahlawan, kesepekatan pun
dicapai.
“Oke
Pak Imran. Siang ini juga, saya sama teman-teman akan bergerak ke pasar. Nanti
datanya saya kirim saja lewat BBM (Blackbarry
Massanger) yah,” tukasnya, menyanggupi.
“Baik
bang, aman aja. Nanti kalau datanya sudah ada, insyaallah saya tulis. Urusan bisa terbit atau tidak, itu nanti
sudah kewenangan bos saya,” ucapku meyakinkan.
Setelah
mencapai kesepakatan, akhirnya kami pun terpisah. Saya melanjutkan perjalan ke
kantor. Dia memilih jalur berlawanan untuk melanjutkan kegiatanan lain yang
tidak ingin saya ketahui lebih jauh.
Dalam
perjalanan, saya terus berpikir dan membayangkan, betapa besar dampak akan
terjadi ketika berita itu terbit. Tanpa menyamarkan nama, serta identitas lain.
Saya sangat sadar, orang pertama akan dicari adalah saya; sebagai penulis.
Namun terlepas dari ketakutan itu, saya lebih tertarik menanti efek akan
terjadi dari penyebutan nama itu.
Bahkan
saya pribadi berharap, dengan mencuatnya nama itu, pemerintah khususnya penegak
hukum di Bontang bisa mencium adanya pelanggaran hukum, dan lantas melakukan
audit besar-besaran. Sekali pun saya sangat sadar, saya sendiri terancam jerat
hukum pidana. Atas tuduhan pencemaran nama baik, sekaligus pelanggaran asas
praduga tak bersalah. Tapi bagi saya, jika itu terjadi, ini adalah bagian dari
hidup saya dan menghadapinya, saya akan tersenyum tabah.
****
Janji
untuk melakukan pendataan langsung terhadap para pedagang di Pasar Rawa Indah
ternyata bukan sebatas isapan jempol belaka. Ya, benar, Andi Nasar, seorang
pentolan salah satu LSM Bontang itu, benar-benar menepati janjinya, mengirimkan
sejumlah data berisi nama penyewa petak pasar. Setidaknya ada 8 orang yang
masuk dalam daftar dikirimkan melalui BBM ke handphone saya, pukul 16.30 wita.
Rentetan
data berisi nama penyewa itu, memang sudah tak asing di mata saya. Sebagian
besar telah saya ketahui sebelumnya. Maklum, jauh sebelum tawaran itu datang,
saya sudah pernah menulisnya lebih awal. Efeknya pun cukup mengundang reaksi
keras dari pihak-pihak berkepentingan. Terutama pihak pengelola pasar.
Namun
satu hal yang membuat saya tertarik dari data-data tersebut. Andi Nasar
ternyata telah berhasil menemukan nama salah seorang oknum pegawai pengelola
pasar diduga kuat terlibat memfasilitasi pedagang baru yang bukan korban
kebakaran untuk bisa berjualan. Pria itu bernama Jufri.
Menyadari
hal itu, mata saya lantas berbinar-binar. Karena hal itu jelas bertentangan
dengan salah satu Surat Keputusan (SK) ditetapkan dinas teknis terhadap para
pedagang yang baru-baru saja menjadi korban kebakaran itu.
Usai
mengirimkan data, Andi Nasar lantas mengirimkan pesan singkat lain.
“Gimana
Pak Imran ? bisa rilis kah kira-kira?. Datanya sudah ada nih. Kalau bisa
secepatnya. Dan kalau bisa pas hari kerja ya. Supaya pejabat terkait bisa
baca,” tulis dia.
Mendapati
permintaan itu, saya tidak bisa menjanjikan apa-apa. Karena jujur saja, sebagai
seorang wartawan, kewenangan menerbitkan berita, bukan ada pada kami. Melainkan
pada Redaktur kami. Sebagai pihak yang mengoreksi layak atau tidaknya sebuah
berita untuk dicetak. Selain itu, masih ada pula General Manager (GM) kantor
saya, yang memiliki kewenangan penuh atas setiap berita yang akan cetak.
“Maaf
bang, saya tidak bisa janjikan apa-apa. Apalagi untuk bisa menjamin terbit.
Soalnya itu sudah di luar kewenangan saya. Yang jelas, tetap saya tulis. Tapi
aman ya bang, tidak ada inisial, semuanya pakai nama lengkap ?,” tegas saya
memastikan.
“Oke
Pak Imran, aman saja kok. Makasih banyak kalau begitu,” kalimat itu sekaligus
penutup komunikasi yang kami lakukan hari itu.
Setelah
itu, saya kembali melanjutkan menuliskan bait per bait kata, yang akan diramu
menjadi berita. Rampung menyelesaikan beberapa tema berita, saya akhirnya
berpindah pada tema berikutnya. Dengan judul “ Petak Pasar Disewakan” kalimat
itu sengaja saya tekankan. Karena jika ditilik dari Peraturan Wali Kota
(Perwali) diterbitkan Pemkot Bontang, praktik tersebut adalah illegal. Namun
faktanya, terjadi penyimpangan tanpa tindak tegas pejabat teknis.
****
Prediksi
saya mengenai dampak berita terkait praktik sewa menyewa petak dengan
menyertakan nama asli ternyata tak meleset. Jumat 22 Agustus 2014, tepatnya
sekira pukul 10.00 Wita, handphone
saya kembali berdering. Pada bunyi awal, tak saya tanggapi, maklum rasa kantuk
masih lebih kuat dibanding harus merespon panggilan belum jelas maksud dan
tujuannya. Lagi pula, saya merasa tidak membuat janji dengan siapa pun hari
itu.
Namun
tanpa diduga, pemanggil tersebut rupanya tak kenal lelah. Karena dering tak
pernah putus menunggu dijawab. Akhirnya, dengan berat hati, saya bergegas
keluar dari kamar dan menyambut handphone
saya. Nama pemanggil tersebut tertulis; Yuanita. Wanita ini adalah salah
seorang rekan saya kerja saya.
Dia
lebih banyak bergerak dalam bidang iklan. Tanpa membuang waktu lagi, saya
lantas menekan tombol terima panggilan itu.
“Im
(sapaan saya), di mana sekarang ?,” tanya Yuanita pada saya. Sangat jelas,
wanita ini dalam kondisi panik oleh satu hal.
“Di
rumah mbak nit. Kenapa emang ?,” jawabku.
“Bisa
ke kantor sekarang kah? Ini ada orang yang cari. Katanya gara-gara berita kamu
hari ini. Dia tidak terima tuh. Sekarang yah. Dia marah-marah itu,” jelas
Yuanita pada saya panjang lebar.
“Masalah
pasar kah mba ? orangnya enggak bisa tunggu kah? Soalnya saya masih di rumah
ini ?,”
“Enggak
bisa Im. Dia marah-marah soalnya. Pokoknya katanya dia enggak mau pergi kalau
kamu tidak datang. Dia mau klarifikasi ini,” imbuh Yuanita.
“Oke
deh mba. Yaudah kalau begitu suruh tunggu aja di kantor. Saya udah mau jalan
ini,” akhirnya saya memilih mengalah. Karena saya merasa harus bertanggungjawab
atas masalah yang saya timbulkan. Dan jelas, membuat teman kantor saya panik
bukan kepalang.
Tak
banyak waktu yang saya habiskan dalam perjalanan dari rumah ke kantor saya,
kira-kira 15 menit perjalanan. Sesampai di kantor, saya hanya disambut raut
wajah pucat dan tegang.
Belakangan,
akhirnya saya tahu apa yang baru saja mereka alami. Dari keterangan Yuanita,
rupanya, salah seorang oknum pegawai pasar bernama Jufri, yang sengaja saya
tuliskan dengan nama lengkap, sebagai pihak bertanggungjawab memfasilitasi
pedagang baru berjualan di pasar Rawa Indah, baru saja datang mengamuk.
Pria
paruh baya itu, begitu murka lantaran merasa nama baiknya telah dicemarkan oleh
pemberitaan itu. Menurut keterangan disampaikan kepada Yuanita, pria berumur
itu tak terima. Karena merasa dituding melakukan hal yang tak pernah
dikerjakan. Oleh sebab itu, dia yang ketika berkunjung didampingi kedua
putranya, kebetulan berprofesi sebagai Polisi, pun mengancam akan mengajukan
somasi terhadap saya.
“Tapi
kok dia tidak tunggu saya mba ? kan saya sudah bilang, kalau saya lagi dalam
perjalan ke sini ?,” tanya saya.
“Tadi sudah saya bilangin Im. Tapi katanya
ada yang panggil. Makanya dia pulang,” jawab dia.
Mendapat
keterangan itu, sedikit pun saya tidak gentar. Karena posisi saya adalah
sebagai wartawan yang menulis berita. Sementara kalau pun pihak tertuduh hendak
mengajukan somasi, secara hukum, yang menjadi sasaran adalah sumber saya; Andi
Nasar. Oleh sebab itu, usai menerima
keterangan tersebut. Saya kembali meninggalkan kantor. Tentu setelah meminta
mereka tidak panik. Karena apa yang saya lakukan semua atas pertimbangan
matang.
“Okelah
mba. Kalau begitu saya balik dulu dah kalau begitu. Soalnya masih mau lanjut
tidur. Tapi tenang saja, kalian tidak usah pusing. Ini enggak masalah kok,”
kata saya, sembari memohon diri meninggalkan kantor itu.
****
Sejak
terbitnya pemberitaan tersebut, kehidupan saya terasa tak tenang. Beberapa
kali, telpon dari pihak LSM yang membuat pernyataan dalam berita saya
berdatangan. Setelah saya angkat, ternyata dia meminta klarifikasi. Awalnya,
saya keberatan, karena bagaimana mungkin, pihak yang melontarkan kalimat, namun
akhirnya menglarifikasi sendiri pernyataan telah dibuat.
Namun
lagi-lagi karena rasa tanggungjawab, saya akhirnya menyanggupi hal itu.
Kesepakatan dicapai, kami akan bertemu sekira pukul 20.00 Wita di kantor saya.
Awalnya, saya meminta agar pihak tertuduh juga bisa ikut. Akhirnya juga
disanggupi oleh mereka.
Setelah
pembicaraan itu, saya tidak lagi menerima telpon berisi klarifikasi berita.
Seperti biasa, saya pun kembali meluncur ke kantor. Untuk melakukan rutinitas
sehari-hari; menulis berita. Tepat pukul 18.00 Wita, saya sudah tiba di kantor.
Perlahan namun pasti, tangan saya pun memulai aktivitas menulis berita. Hingga
tak terasa, waktu sudah menunjukan pukul 20.00 wita.
Seperti
kesepakatan awal, kami akan bertemu pada waktu tersebut. Namun hingga waktu
ditetapkan, ternyata LSM yang meminta itu tak kunjung tiba. Sementara malam
itu, saya ada janji mengerjakan sebuah liputan. Akhirnya, keputusan
meninggalkan mereka pun saya ambil.
Saya
merasa, di kantor ada banyak wartawan bisa melakukan klarifikasi berita.
Sementara tugas saya mengerjakan liputan malam itu juga tak kalah penting. Yang
pasti, janji semula telah disepakati, telah dilanggar oleh mereka. Bukan saya.
“Maaf
bang. Nanti klarifikasi sama teman saya saja. Soalnya saya ada liputan malam
ini. Soalnya, saya tunggu jam 20.00 wita sesuai kesepakatan tidak ada,” tulis
saya melalui pesan singkat pada salah seorang pengurus LSM yang hendak
melakukan klarifikasi berita.
Namun
rupanya, LSM terkait keukeuh memnita
bertemu dengan saya. Dengan alasan, sayalah yang telah merilis berita tersebut,
sehingga lebih baik jika saya pula yang harus melakukan klarifikasi. Namun
karena merekalah yang telah melanggar janji yang sudah disepakati, akhirnya
saya tetap pergi.
Akhirnya,
belakangan saya ketahui, yang melakukan klarifikasi adalah wartawan lain di
kantor saya. Namun ketika saya pulang liputan malam itu, saya masih sempat
bertemu dengan mereka. Kami pun melakukan obrolan singkat membahas tentang
permasalahan telah terjadi. Dan alasan mereka melakukan klarifikasi berita.
Namun
yang membuat saya kecewa, pihak tertuduh
(Jufri) tidak datang. Melainkan hanya ada sejumlah anggota LSM tersebut
bertandang ke kantor saya.
Dari
obrolan itu saya tahu, bahwa LSM ini adalah orang-orang yang tidak konsisten.
Antara satu anggota dengan lainnya tidak solid dan satu visi. Sebab dari
obrolan itu, ternyata statemen yang dikeluarkan Andi Nasar, tak sesuai dengan
kesepakatan awal dengan disarankan Ketua LSM tersebut. Namun sisi lain yang
bisa saya tangkap, dengan klarifikasi tersebut, mereka telah menjatuhkan nama
mereka sendiri. Ibaratnya, menelan ludah sendiri.
****
Sabtu 23 Agutus 2014, sekaligus
sebagai hari yang membangunkan saya dari mimpi panjang. Semangat menegakan
keadilan, mengungkap realita yang tak tersentuh hukum, dan menyadarkan saya, bahwa
sikap kritis selama ini saya tampakan, ternyata tak memperoleh respon positif
dari managemen. Tak ayal, apa yang saya lakukan selama ini, seakan menjadi
bahan olokan teman-teman kantor. Bahkan tak jarang saya mendengar sindiran atau
pun teguran keras, bahwa wartawan itu bukanlah superman. Bahkan secara tak
langsung, kerap terdengar sindiran; agar tidak bersikap sok pahlawan.
Fakta tersebut saya peroleh saat
rapat redaksi digelar pukul 15.00 wita. Secara khusus, saya diminta oleh
pejabat redaksi untuk hadir. Maklum, selama ini, saya terkenal paling anti
rapat. Sebab, saya menilai, tak ada yang menarik dalam pembahasan itu. Tak ada
kaitannya dengan bidang saya. Bahkan
sebaliknya, lebih banyak menghabiskan waktu, yang sejatinya bisa digunakan
untuk menulis berita. Sementara di lain sisi, kami dituntut bisa merampungkan
berita sebelum deadline ditetapkan
pada pukul 20.00 wita.
Dalam rapat itu, sejumlah awak
redaksi hadir. Terdiri atas Redaktur Pelaksana (Faisal), Redaktur (Suriadi),
serta rekan wartawan lain. Hari itu, benar-benar menjadi tamparan keras bagi
saya. Karena apa yang saya lakukan tak sedikit pun mendapat apresiasi. Atau
minimal pembelaan dari managemen. Padahal, yang saya perjuangkan adalah
kebenaran.
Selain
itu, saya telah memastikan bahwa saya siap mempertanggungjawabkan ulah saya.
Namun pandangan mereka, benar-benar tak bersahabat. Bahkan, kalimat paling saya
benci dan menjadi awal mula padamnya semangat juang saya, muncul langsung dari
Redakur saya.
“Pahlawannya
Pedagang” itulah kalimat yang lantas saya bantah dengan perasaan amarah
tertahan.
“Maaf
mas. Saya tidak pernah punya niat jadi pahlawan bagi siapapun. Ini saya
kerjakan karena saya wartawan. Dan kebetulan saya dapat isu tentang masalah
ini,” tegas saya dalam forum itu.
Kalimat
itu, merupakan bentuk pembelaan diri saya yang terakhir. Karena setelah insiden
itu, saya sudah berjanji dalam hati. Tidak akan ada lagi berita-berita keras
dari tulisan saya. Saya akan menjadi wartawan baik-baik, dan menutup mata akan
setiap peristiwa terjadi di lapangan.
Karena
sejujurnya, saya sangat sadar, dampak ketika saya menuruti naluri saya yang
nyatanya tak sedikit pun disambut positif managemen, adalah permusuhan dari
sejumlah pihak. Tentu saja hal itu, menjadi pemicu tertutupnya pintu rezeki saya.
Berbeda dengan wartawan pencitraan lain, yang jelas akan memperoleh rezeki di
luar upah kerja yang jauh dari kata layak itu.
Dari
peristiwa itu pula, saya akhirnya sadar, bahwa semua yang saya lakukan selama
ini, adalah sebuah kebodohan. Oleh sebab itu, saya telah menetapkan hati; tidak
akan membuat berita-berita minus.
Apalagi ekstrem menyudutkan
pemerintah. Termasuk menulis catatan kritis pedas layaknya yang saya lakukan
selama ini. Karena saya sadar, bagi
managemen, itu bukanlah sebuah prestasi, sebaliknya, itu adalah sikap sok
pahlawan dari ‘anak kemarin sore’. (***)
Cerpen
Oleh: IMRAN IBNU
(NB: Cerpen ini hanya sebuah karya fiksi
karangan penulis. Jika ada kesamaan nama atas tokoh-tokoh yang ditampilkan tak
ada unsur kesengajaan.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar