Rabu, 24 September 2014

Akhir Sebuah Perjuangan



KAMIS, 21 Agustus 2014.  Sejak pukul 07.30 Wita, layar handhone jenis Balck Berry Gemini saya tampak sibuk. Berselang beberapa detik layarnya kembali hidup disertai getaran akibat gesekan antara handphone dengan lantai rumah. Tapi tak begitu bising, karena lantai rumah saya berbahan kramik sehingga tak berisik. 
Sebagai seorang wartawan, melihat kondisi itu, hanya ada dua hal tumbuh di benak saya; panggilan tugas atau protes dari narasumber. Maklum, berita-berita saya memang kadang memberi kejutan. Mungkin ketika wawancara, kami bisa tertawa terbahak-bahak, tapi ketika hasil wawancara itu terbit seolah dapat ditebak akan menyudutkan salah satu pihak.
Meski baru menjadi jurnalis selama sekira 2 tahun, namun nama saya di kalangan pejabat, organisasi masyarakat (Ormas), hingga warga Bontang cukup dikenal, khususnya mereka yang memantau perkembangan Kota Taman, melalui koran tempat saya bekerja. Selain berita sarat kontroversi, artikel-artikel yang saya tulis menyikapi sebuah kebijakan juga tak kalah tajam.
Bahkan tak jarang sengaja menantang kebijakan pemerintah. Itu saya tulis ketika menyikapi sebuah kebijakan tak sesuai dengan nurani saya sebagai seorang jurnalis muda, masih dengan idealisme menggebu-gebu.
Dengan sikap itu, jelas menjadi sorotan orang-orang merasa terusik, mau pun mereka yang mengalami ketidakadilan itu. Bentuk responnya pun beragam. Bagi mereka yang merasa kepentingan terancam, maka jelas akan menampakan sikap tak bersahabat. Ada pula yang tiba-tiba melunak ketika bertemu saya.  Sementara bagi para korban kebijakan dinilai tak bermoral itu, sambutan dan dukungan pun  saya terima. Mereka adalah orang-orang yang telah bosan dengan janji-janji pemerintah. Namun lebih tepat disebut pembohongan publik.    
Hari itu, saya terbangun cukup pagi. Sebab jika menilik pada hari-hari sebelumnya, saya selalu terbangun antara pukul 09.00 bahkan tak jarang saya baru terbangun pukul 11.00 wita.
Saya memang sengaja bangun lebih awal, mengingat hari itu sudah berjanji akan berkunjung ke Kantor Gabungan Dinas (Gadis) tepatnya untuk bertemu salah sorang pejabat Dinas Pekerjaan Umum (PU) Bontang. Tujuanya, tak lain untuk melakukan wawancara. Sebab jika tak demikian, para pejabat di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tersebut, cukup sukar ditemui. Entah karena kesibukan atau khawatir disambangi wartawan atau pun para kontraktor mencari hingga menagih pembayaran proyek. Informasi minor seperti itu memang lebih banyak saya peroleh dari para Ormas hingga kontraktor yang saya kenal.
Tak banyak membuang waktu, tepat pukul 08.00 Wita, saya sudah siap berangkat. Dengan kemeja biru, celana jeans warna biru muda, dengan bawahan sempit atau akrab disebut celana botol menjadi pilihan untuk menemani saya bertualang hari itu.  Tak ketinggalan, tas gendong andalan saya pun siap pakai. Di dalamnya, tak banyak ‘material’. Melainkan, hanya sebuah kamera, press card, juga handphone.
Meski dengan kondisi setengah mengantuk, mungkin karena pengaruh belum mandi, saya akhirnya berangkat ke kantor pemerintahan terletak di Kelurahan Bontang Lestari dengan mengendarai sepeda motor jenis Supra fit, milik kakak saya juga mantan wartawan.
Jarak tempuh mencapai beberapa kilometer itu, akhirnya berakhir sekira pukul 08.30 wita. Artinya, perjalanan saya menghabiskan waktu sekira 30 menit.
Setiba di lingkungan Pemkot, saya berjalan kaki menuju kantor Dinas PU. Namun sembari di perjalanan, saya kembali mengecek, apakah panggilan-panggilan itu masih ada. Setelah saya buka, hal mencengangkan terjadi; jumlah panggilan di handphone saya mencapai 20 panggilan tak terjawab.  Di layar itu, tertulis nama; Andi Nasar. Salah seorang penggiat Ormas di Bontang. Pria asli Sulawesi ini pula yang sedari pagi sudah menghubungi saya.
Mungkin lantaran kesal, pria ini akhirnya mengirimkan pesan singkat di handhone saya. Setelah saya bukan kontak pesan, di dalamnya berbunyi;
“Sibuk kah Bos ? kok telpon saya tidak diangkat ? ini ada berita mau saya rilis,” tulis Andi Nasar melalui pesan singkatnya.
Sebenarnya saya enggan menggubris pria ini. Sebab saya tahu pasti, mereka menyoroti pemerintah untuk memperoleh sesuatu keuntungan materi. Sementara saya, saya sekali tidak mengarah pada niatan itu. Murni menjalankan tugas sebagai pewarta dan penulis.
Itulah alasan saya tidak menjawab telponnya sejak pagi tadi. Namun kehendak tuhan berbeda.
Singkat cerita, saya akhirnya berhasil bertemu dan merampungkan proses wawancara dengan pejabat terkait. Tak membuang waktu, saya berniat menuju ke kantor untuk membaca koran. Maklum, memang itu sudah menjadi rutinitas saya sehari-hari. Membaca koran, seakan telah menjadi ‘makanan’ pokok yang harus ada setiap harinya.
Dalam perjalanan pulang (masih di kantor Gadis), tanpa diduga saya malah bertemu Andi Nasar, pria yang sedari pagi sudah menelpon, namun saya abaikan. 
Raut wajahnya ketika melihat saya, cukup kontras. Awalnya, sorot matanya seperti menemukan mangsa, bercampur rasa geram, dia lantas menghampiriku. Saat bertatap muka dan mulai berjabat tangan, cara bergaul yang saya temui selama menjadi kuli tinta.
“Aduh, bosku satu ini, memang sibuk sekali kayaknya. Hampir 30 kali mungkin saya telpon, tidak ada diangkat,” keluhnya, namun tetap diselingi dengan senyum puas yang tulus.
Menanggapi hal itu, saya berpikir keras untuk mencari alasan, tidak menjawab telponnya. Hingga ditemukan sebuah ide klasik.
“Loh, ada telpon kah bang ? saya enggak tahu bang. Soalnya hp saya tertinggal di rumah saudara di Sangatta. Maaf bang kalau begitu. Jadi apa nih yang bisa dibantu,” kataku, berusaha mengalihkan topik bahasan.
Masih dengan raut wajah curiga, namun dia mulai melunak. Selanjutnya, dia mengutarakan niatnya merilis berita tentang praktik sewa-menyewa petak di Pasar Sementara Rawa Indah.
“Gini pak Imran, saya mau menyoroti kebijakan sewa menyewa petak di sana (pasar sementara Rawa Indoh, Red.). Kami sebagai LSM merasa kasihan, sikap pejabat di sana, terkesan mengabaikan nasib pedagang,” katanya
“Makanya, kami dari LSM (….), meminta agar pejabat di sana bertindak, dengan mengutamakan kepentingan pedagang. Bukan kepentingan pribadi,” tambahnya.
Mendengar pernyataan itu, saya menjadi lemas. Karena lagi-lagi saya mendapati orang-orang berkomentar namun tampa data. Bagi saya itu sudah komentar basi. Sebab, data yang saya miliki tentang praktik sewa-menyewa itu jauh lebih akurat dan detail.
Oleh sebab itu, saya pun menyampaikan pertimbangan lain.
“Gini bang. Masalah pasar dan sewa petak ini, sudah lama saya angkat. Bahkan saya punya data, tentang siapa saja penyewa di sana, termasuk nilai sewa per petak. Itu juga saya ada,” kata saya.
“Jadi kalau abang mau angkat lagi, saya saran supaya datanya dilengkapi. Pertama yang harus ada; beberapa penyewa siap mencantumkan nama. Selain itu, harus ada oknum diduga memfasilitasi sewa-menyewa petak. Kalau itu sudah ada, pasti saya muat. Asalkan, saya tegaskan lagi, tidak ada inisial,” ujarku panjang lebar.
Ada alasan kenapa saya meminta agar tak ada rahasia dalam berita yang akan dia sodorkan itu. Saya memang sengaja ingin memperalat pria ini untuk membangunkan sang ‘vampir’ dari tidur panjangnya. Yang selama ini terlena dengan aktivitas ‘menghisap darah’ pedagang.   Namun tak terendus oleh siapa pun dan apapun. Mereka terkesan hidup bebas, tanpa hambatan. Seolah pejabat adalah pemilik hidup seluruh manusia di bumi. Mereka bebas berbuat dan menerapkan kebijakan tanpa koreksi.
Mendengar tawaran itu, dia terdiam sejenak, mungkin sedang berpikir akan dampak bisa terjadi. Namun karena ambisi ingin tampil sebagai pahlawan, kesepekatan pun dicapai. 
“Oke Pak Imran. Siang ini juga, saya sama teman-teman akan bergerak ke pasar. Nanti datanya saya kirim saja lewat BBM (Blackbarry Massanger) yah,” tukasnya, menyanggupi.
“Baik bang, aman aja. Nanti kalau datanya sudah ada, insyaallah saya tulis. Urusan bisa terbit atau tidak, itu nanti sudah kewenangan bos saya,” ucapku meyakinkan.
Setelah mencapai kesepakatan, akhirnya kami pun terpisah. Saya melanjutkan perjalan ke kantor. Dia memilih jalur berlawanan untuk melanjutkan kegiatanan lain yang tidak ingin saya ketahui lebih jauh.
Dalam perjalanan, saya terus berpikir dan membayangkan, betapa besar dampak akan terjadi ketika berita itu terbit. Tanpa menyamarkan nama, serta identitas lain. Saya sangat sadar, orang pertama akan dicari adalah saya; sebagai penulis. Namun terlepas dari ketakutan itu, saya lebih tertarik menanti efek akan terjadi dari penyebutan nama itu.
Bahkan saya pribadi berharap, dengan mencuatnya nama itu, pemerintah khususnya penegak hukum di Bontang bisa mencium adanya pelanggaran hukum, dan lantas melakukan audit besar-besaran. Sekali pun saya sangat sadar, saya sendiri terancam jerat hukum pidana. Atas tuduhan pencemaran nama baik, sekaligus pelanggaran asas praduga tak bersalah. Tapi bagi saya, jika itu terjadi, ini adalah bagian dari hidup saya dan menghadapinya, saya akan tersenyum tabah.
                                   
                                                ****

Janji untuk melakukan pendataan langsung terhadap para pedagang di Pasar Rawa Indah ternyata bukan sebatas isapan jempol belaka. Ya, benar, Andi Nasar, seorang pentolan salah satu LSM Bontang itu, benar-benar menepati janjinya, mengirimkan sejumlah data berisi nama penyewa petak pasar. Setidaknya ada 8 orang yang masuk dalam daftar dikirimkan melalui BBM ke handphone saya, pukul 16.30 wita.
Rentetan data berisi nama penyewa itu, memang sudah tak asing di mata saya. Sebagian besar telah saya ketahui sebelumnya. Maklum, jauh sebelum tawaran itu datang, saya sudah pernah menulisnya lebih awal. Efeknya pun cukup mengundang reaksi keras dari pihak-pihak berkepentingan. Terutama pihak pengelola pasar.
Namun satu hal yang membuat saya tertarik dari data-data tersebut. Andi Nasar ternyata telah berhasil menemukan nama salah seorang oknum pegawai pengelola pasar diduga kuat terlibat memfasilitasi pedagang baru yang bukan korban kebakaran untuk bisa berjualan. Pria itu bernama Jufri.
Menyadari hal itu, mata saya lantas berbinar-binar. Karena hal itu jelas bertentangan dengan salah satu Surat Keputusan (SK) ditetapkan dinas teknis terhadap para pedagang yang baru-baru saja menjadi korban kebakaran itu.
Usai mengirimkan data, Andi Nasar lantas mengirimkan pesan singkat lain.
“Gimana Pak Imran ? bisa rilis kah kira-kira?. Datanya sudah ada nih. Kalau bisa secepatnya. Dan kalau bisa pas hari kerja ya. Supaya pejabat terkait bisa baca,” tulis dia.
Mendapati permintaan itu, saya tidak bisa menjanjikan apa-apa. Karena jujur saja, sebagai seorang wartawan, kewenangan menerbitkan berita, bukan ada pada kami. Melainkan pada Redaktur kami. Sebagai pihak yang mengoreksi layak atau tidaknya sebuah berita untuk dicetak. Selain itu, masih ada pula General Manager (GM) kantor saya, yang memiliki kewenangan penuh atas setiap berita yang akan cetak.
“Maaf bang, saya tidak bisa janjikan apa-apa. Apalagi untuk bisa menjamin terbit. Soalnya itu sudah di luar kewenangan saya. Yang jelas, tetap saya tulis. Tapi aman ya bang, tidak ada inisial, semuanya pakai nama lengkap ?,” tegas saya memastikan.
“Oke Pak Imran, aman saja kok. Makasih banyak kalau begitu,” kalimat itu sekaligus penutup komunikasi yang kami lakukan hari itu.
Setelah itu, saya kembali melanjutkan menuliskan bait per bait kata, yang akan diramu menjadi berita. Rampung menyelesaikan beberapa tema berita, saya akhirnya berpindah pada tema berikutnya. Dengan judul “ Petak Pasar Disewakan” kalimat itu sengaja saya tekankan. Karena jika ditilik dari Peraturan Wali Kota (Perwali) diterbitkan Pemkot Bontang, praktik tersebut adalah illegal. Namun faktanya, terjadi penyimpangan tanpa tindak tegas pejabat teknis.


****

Prediksi saya mengenai dampak berita terkait praktik sewa menyewa petak dengan menyertakan nama asli ternyata tak meleset. Jumat 22 Agustus 2014, tepatnya sekira pukul 10.00 Wita, handphone saya kembali berdering. Pada bunyi awal, tak saya tanggapi, maklum rasa kantuk masih lebih kuat dibanding harus merespon panggilan belum jelas maksud dan tujuannya. Lagi pula, saya merasa tidak membuat janji dengan siapa pun hari itu.
Namun tanpa diduga, pemanggil tersebut rupanya tak kenal lelah. Karena dering tak pernah putus menunggu dijawab. Akhirnya, dengan berat hati, saya bergegas keluar dari kamar dan menyambut handphone saya. Nama pemanggil tersebut tertulis; Yuanita. Wanita ini adalah salah seorang rekan saya kerja saya.
Dia lebih banyak bergerak dalam bidang iklan. Tanpa membuang waktu lagi, saya lantas menekan tombol terima panggilan itu.
“Im (sapaan saya), di mana sekarang ?,” tanya Yuanita pada saya. Sangat jelas, wanita ini dalam kondisi panik oleh satu hal.
“Di rumah mbak nit. Kenapa emang ?,” jawabku.
“Bisa ke kantor sekarang kah? Ini ada orang yang cari. Katanya gara-gara berita kamu hari ini. Dia tidak terima tuh. Sekarang yah. Dia marah-marah itu,” jelas Yuanita pada saya panjang lebar.
“Masalah pasar kah mba ? orangnya enggak bisa tunggu kah? Soalnya saya masih di rumah ini ?,”
“Enggak bisa Im. Dia marah-marah soalnya. Pokoknya katanya dia enggak mau pergi kalau kamu tidak datang. Dia mau klarifikasi ini,” imbuh Yuanita.
“Oke deh mba. Yaudah kalau begitu suruh tunggu aja di kantor. Saya udah mau jalan ini,” akhirnya saya memilih mengalah. Karena saya merasa harus bertanggungjawab atas masalah yang saya timbulkan. Dan jelas, membuat teman kantor saya panik bukan kepalang.
Tak banyak waktu yang saya habiskan dalam perjalanan dari rumah ke kantor saya, kira-kira 15 menit perjalanan. Sesampai di kantor, saya hanya disambut raut wajah pucat dan tegang.
Belakangan, akhirnya saya tahu apa yang baru saja mereka alami. Dari keterangan Yuanita, rupanya, salah seorang oknum pegawai pasar bernama Jufri, yang sengaja saya tuliskan dengan nama lengkap, sebagai pihak bertanggungjawab memfasilitasi pedagang baru berjualan di pasar Rawa Indah, baru saja datang mengamuk.
Pria paruh baya itu, begitu murka lantaran merasa nama baiknya telah dicemarkan oleh pemberitaan itu. Menurut keterangan disampaikan kepada Yuanita, pria berumur itu tak terima. Karena merasa dituding melakukan hal yang tak pernah dikerjakan. Oleh sebab itu, dia yang ketika berkunjung didampingi kedua putranya, kebetulan berprofesi sebagai Polisi, pun mengancam akan mengajukan somasi terhadap saya.
“Tapi kok dia tidak tunggu saya mba ? kan saya sudah bilang, kalau saya lagi dalam perjalan ke sini ?,” tanya saya.
   “Tadi sudah saya bilangin Im. Tapi katanya ada yang panggil. Makanya dia pulang,” jawab dia.
Mendapat keterangan itu, sedikit pun saya tidak gentar. Karena posisi saya adalah sebagai wartawan yang menulis berita. Sementara kalau pun pihak tertuduh hendak mengajukan somasi, secara hukum, yang menjadi sasaran adalah sumber saya; Andi Nasar.  Oleh sebab itu, usai menerima keterangan tersebut. Saya kembali meninggalkan kantor. Tentu setelah meminta mereka tidak panik. Karena apa yang saya lakukan semua atas pertimbangan matang.
“Okelah mba. Kalau begitu saya balik dulu dah kalau begitu. Soalnya masih mau lanjut tidur. Tapi tenang saja, kalian tidak usah pusing. Ini enggak masalah kok,” kata saya, sembari memohon diri meninggalkan kantor itu.
                                                ****
Sejak terbitnya pemberitaan tersebut, kehidupan saya terasa tak tenang. Beberapa kali, telpon dari pihak LSM yang membuat pernyataan dalam berita saya berdatangan. Setelah saya angkat, ternyata dia meminta klarifikasi. Awalnya, saya keberatan, karena bagaimana mungkin, pihak yang melontarkan kalimat, namun akhirnya menglarifikasi sendiri pernyataan telah dibuat.
Namun lagi-lagi karena rasa tanggungjawab, saya akhirnya menyanggupi hal itu. Kesepakatan dicapai, kami akan bertemu sekira pukul 20.00 Wita di kantor saya. Awalnya, saya meminta agar pihak tertuduh juga bisa ikut. Akhirnya juga disanggupi oleh mereka.

Setelah pembicaraan itu, saya tidak lagi menerima telpon berisi klarifikasi berita. Seperti biasa, saya pun kembali meluncur ke kantor. Untuk melakukan rutinitas sehari-hari; menulis berita. Tepat pukul 18.00 Wita, saya sudah tiba di kantor. Perlahan namun pasti, tangan saya pun memulai aktivitas menulis berita. Hingga tak terasa, waktu sudah menunjukan pukul 20.00 wita.
Seperti kesepakatan awal, kami akan bertemu pada waktu tersebut. Namun hingga waktu ditetapkan, ternyata LSM yang meminta itu tak kunjung tiba. Sementara malam itu, saya ada janji mengerjakan sebuah liputan. Akhirnya, keputusan meninggalkan mereka pun saya ambil.
Saya merasa, di kantor ada banyak wartawan bisa melakukan klarifikasi berita. Sementara tugas saya mengerjakan liputan malam itu juga tak kalah penting. Yang pasti, janji semula telah disepakati, telah dilanggar oleh mereka. Bukan saya.
“Maaf bang. Nanti klarifikasi sama teman saya saja. Soalnya saya ada liputan malam ini. Soalnya, saya tunggu jam 20.00 wita sesuai kesepakatan tidak ada,” tulis saya melalui pesan singkat pada salah seorang pengurus LSM yang hendak melakukan klarifikasi berita.
Namun rupanya,  LSM terkait keukeuh memnita bertemu dengan saya. Dengan alasan, sayalah yang telah merilis berita tersebut, sehingga lebih baik jika saya pula yang harus melakukan klarifikasi. Namun karena merekalah yang telah melanggar janji yang sudah disepakati, akhirnya saya tetap pergi.
Akhirnya, belakangan saya ketahui, yang melakukan klarifikasi adalah wartawan lain di kantor saya. Namun ketika saya pulang liputan malam itu, saya masih sempat bertemu dengan mereka. Kami pun melakukan obrolan singkat membahas tentang permasalahan telah terjadi. Dan alasan mereka melakukan klarifikasi berita.
Namun yang membuat saya kecewa, pihak tertuduh  (Jufri) tidak datang. Melainkan hanya ada sejumlah anggota LSM tersebut bertandang ke kantor saya.
Dari obrolan itu saya tahu, bahwa LSM ini adalah orang-orang yang tidak konsisten. Antara satu anggota dengan lainnya tidak solid dan satu visi. Sebab dari obrolan itu, ternyata statemen yang dikeluarkan Andi Nasar, tak sesuai dengan kesepakatan awal dengan disarankan Ketua LSM tersebut. Namun sisi lain yang bisa saya tangkap, dengan klarifikasi tersebut, mereka telah menjatuhkan nama mereka sendiri. Ibaratnya, menelan ludah sendiri.


****

            Sabtu 23 Agutus 2014, sekaligus sebagai hari yang membangunkan saya dari mimpi panjang. Semangat menegakan keadilan, mengungkap realita yang tak tersentuh hukum, dan menyadarkan saya, bahwa sikap kritis selama ini saya tampakan, ternyata tak memperoleh respon positif dari managemen. Tak ayal, apa yang saya lakukan selama ini, seakan menjadi bahan olokan teman-teman kantor. Bahkan tak jarang saya mendengar sindiran atau pun teguran keras, bahwa wartawan itu bukanlah superman. Bahkan secara tak langsung, kerap terdengar sindiran; agar tidak bersikap sok pahlawan.
            Fakta tersebut saya peroleh saat rapat redaksi digelar pukul 15.00 wita. Secara khusus, saya diminta oleh pejabat redaksi untuk hadir. Maklum, selama ini, saya terkenal paling anti rapat. Sebab, saya menilai, tak ada yang menarik dalam pembahasan itu. Tak ada kaitannya dengan bidang  saya. Bahkan sebaliknya, lebih banyak menghabiskan waktu, yang sejatinya bisa digunakan untuk menulis berita. Sementara di lain sisi, kami dituntut bisa merampungkan berita sebelum deadline ditetapkan pada pukul 20.00 wita.
            Dalam rapat itu, sejumlah awak redaksi hadir. Terdiri atas Redaktur Pelaksana (Faisal), Redaktur (Suriadi), serta rekan wartawan lain. Hari itu, benar-benar menjadi tamparan keras bagi saya. Karena apa yang saya lakukan tak sedikit pun mendapat apresiasi. Atau minimal pembelaan dari managemen. Padahal, yang saya perjuangkan adalah kebenaran.
Selain itu, saya telah memastikan bahwa saya siap mempertanggungjawabkan ulah saya. Namun pandangan mereka, benar-benar tak bersahabat. Bahkan, kalimat paling saya benci dan menjadi awal mula padamnya semangat juang saya, muncul langsung dari Redakur saya.
“Pahlawannya Pedagang” itulah kalimat yang lantas saya bantah dengan perasaan amarah tertahan.
“Maaf mas. Saya tidak pernah punya niat jadi pahlawan bagi siapapun. Ini saya kerjakan karena saya wartawan. Dan kebetulan saya dapat isu tentang masalah ini,” tegas saya dalam forum itu.
Kalimat itu, merupakan bentuk pembelaan diri saya yang terakhir. Karena setelah insiden itu, saya sudah berjanji dalam hati. Tidak akan ada lagi berita-berita keras dari tulisan saya. Saya akan menjadi wartawan baik-baik, dan menutup mata akan setiap peristiwa terjadi di lapangan.
Karena sejujurnya, saya sangat sadar, dampak ketika saya menuruti naluri saya yang nyatanya tak sedikit pun disambut positif managemen, adalah permusuhan dari sejumlah pihak. Tentu saja hal itu, menjadi pemicu tertutupnya pintu rezeki saya. Berbeda dengan wartawan pencitraan lain, yang jelas akan memperoleh rezeki di luar upah kerja yang jauh dari kata layak itu.
Dari peristiwa itu pula, saya akhirnya sadar, bahwa semua yang saya lakukan selama ini, adalah sebuah kebodohan. Oleh sebab itu, saya telah menetapkan hati; tidak akan membuat berita-berita minus. Apalagi ekstrem menyudutkan pemerintah. Termasuk menulis catatan kritis pedas layaknya yang saya lakukan selama ini. Karena saya sadar,  bagi managemen, itu bukanlah sebuah prestasi, sebaliknya, itu adalah sikap sok pahlawan dari ‘anak kemarin sore’. (***)

Cerpen
Oleh:  IMRAN IBNU
  (NB: Cerpen ini hanya sebuah karya fiksi karangan penulis. Jika ada kesamaan nama atas tokoh-tokoh yang ditampilkan tak ada unsur kesengajaan.)

           

    

   


  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar