Hukum di negara kita memang adil. Adil
untuk para orang bergelimang harta. Hukum di negara kita memang tajam. Tajam ke
bawah pada rakyat kecil seperti saya. Tapi begitu tumpul ke atas kepada rakyat
berkoper uang.
“Apalagi alasan untuk aku tinggal lebih
lama lagi di negara ini? korupsi dimana-mana? oh bukan. Jeritan rakyat
gara-gara dimakan haknya oleh para oknum wakil rakyat? ah. aku sudah tidak
menemukan orang berjas yang bermoral lagi di negara ini. Aku sudah dipencudangi
kelakuan bejad para koruptor”. ucap Gema. Tangannya membawa koper dan pasport.
Sambil memasukan barang bawaan ke taksi biru itu. Dia akan keluar negeri
menimba ilmu. Bukan itu saja. Gema malah akan mengabdikan hasil ilmunya itu di
negara orang.
“Ibu mengerti nak kekecewaanmu pada
orang-orang itu. Tapi nak, kamu jangan melihat dengan mata kiri saja. Coba mata
kanan kamu buka. Dan lihat betapa banyak orang mulia di luar sana” ibuku
mencoba menahan niatku.
Aku terdiam. Berita pagi malah
menayangkan liputan seputar korupsi. Kali ini pejabat yang lain lagi dari
berita kemarin. Ah berapa puluh orang lagi oknum pejabat yang akan bergentayang
di televisi terkena kasus korupsi. Tekadku BULAT sudah. “Aku pergi dulu bu.
Doakan aku bu” aku mencium tangan ibu.
—
Di taksi, perhatianku teralih pada pria
berjas itu. Aku tau dia pejabat tinggi negeri. “Aku akan membuktikan pada ibu.
Tak ada lagi sisa pejabat tinggi yang benar-benar bersih” bisiku. “Ikuti mobil
itu pak” ucapku kepada supir itu. Pesawatku akan terbang pukul 5 nanti.
sekarang masih pukul 6. Ada waktu untuk membuktikan pradugaku ini pada pejabat
tadi.
Pejabat itu terlihat mendekati polisi di
pos itu. Aku merekamnya melalui camera digitalku. Pejabat itu lalu memberikan
uang pada polisi. “Kena kau!” ucapku penuh kemenangan. Ku ikuti lagi pejabat
itu. Kali ini dia malah menemui seseorang di cafe itu. “Hay Pak Budi” ucap
laki-laki yang ditemuinya itu. Oh ternyata pak Budi namanya.
“Bagaimana? Bisa anda lakukan apa yang
saya sudah bicarakan?” ucap pejabat itu.
“Tapi. Aku takut ketahuan pak.” “Tenang
saja. Polisi tadi sudah saya urus”
“Oh begitu. Jadi saya tinggal melakukan
apa yang bapak mau?”
“Iya lalu jangan lupa tutup mulutmu yah”
“Apa ini? sepertinya dia begitu
profesional” gumamku emosi. Kuikuti lagi mobil itu. Jam menunjukan angka 12
tapi pejabat itu masih saja berada di jalan. “Ah bukannya kerja. Dasar mereka
cuma bisa bilang setuju pas rapat”. Mobil itu terparkir di suatu tempat.
Pejabat itu memberi uang pada supir truk yang membawa barang ditutupi kain di
belakangnya. “Ah sudah tidak beres” ucapku kesal. Aku akan turun dari taksi dan
menanyakan pejabat macam apa dia ini. Tapi dia sudah menaiki mobilnya lagi dan
melajukan mobilnya lagi.
Aku sudah tau, Dia melakukan transaksi
ilegal. Lalu menyogok beberapa polisi terus menyogok seseorang di cafe tadi.
Aku memencet-mencet handphone. Menelpon polisi, memberikan bukti melalui video
yang kurekam dari tadi lalu menendang pejabat itu ke televisi. Dan dicap
sebagai pejabat yang tidak jujur.
Aku sudah mengirimkan video itu.
Sebentar lagi dia pasti akan mendekam di penjara. Aku menyuruh supir untuk
langsung ke bandara saja. Misiku sudah selesai. Di jalan aku lagi-lagi melihat
mobil pejabat itu terparkir disana, di depan panti asuhan. “Pejabat memang
pandai bersandiwara” ucapku murka. Tapi truk itu juga datang kesana dan di truk
itu ada laki-laki yang ditemui pejabat itu di cafe tadi. Lalu polisi yang
diberi uang terlihat mengawal truk itu. Apa ini? aku berhentikan taksi ini.
“Ini bu sedikit sumbangan dari saya
untuk panti asuhan ini. Semoga bermanfaat” ucap pejabat itu. Ibu itu pun
tersenyum.
Barang yang ada di truk tadi. ternyata
adalah sembako yang akan disumbangkan.
“Nah sekarang selesai. Jangan lupa
jangan kasih tau orang-orang tentang apa yang saya lakukan sekarang yah
(menyumbang). Biar jadi rahasia kita saja” ucap pejabat itu. Polisi dan pria
cafe itu pun tertawa bersama.
Air mataku menetes. ternyata benar kata
ibu. Saya hanya melihat dengan mata kiri saja. Melihat dengan amarah. Tidak
dengan mata kanan. Mata untuk melihat orang mulia seperti pejabat tadi.
“Rekamannya?” untung saja ada masalah jaringan dan rekamannya tidak terkirim.
Tapi aku tetap akan menimba ilmu di luar negeri. Hanya saja sekarang aku lebih
ingin mengabdi di negara ini. Negaranya para orang mulia. Seperti pejabat itu…
“Pejabat Mulia”
Cerpen Karangan: Dae Husaini
Blog: Daehusaini.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar