Kakiku
terus kuangkat dan kuletakkan serta berpindah tempat dengan gerakan yang paling
cepat. Berbutir-butir bening basah menempel di keningku, aku melepaskan dan
mengambil udara di sekelilingku. Tanganku tak kuasa menahan butir itu, dengan
kesal tanganku yang memegang sebuah benda empuk persegi panjang berwarna coklat
dan banyak kolom-kolom, mengusap butir itu sehingga tanganku pun basah. Mentari
siang ini membuat tubuhku terbakar dan lelah, tapi semangatku terus kugapai.
Aku berlari cepat mencari persembunyian, bukan dari sinar mentari tapi dari
sekelompok orang-orang dewasa berbadan kekar.
“Woi!
Keluar loh!” teriak salah satu dari mereka. Aku sembunyi seperti tikus bisu.
“Dasar
maling!” teriak lagi dari mereka.
“Gimana
kalau kita berpencar aja nyarinya! Dia cuma anak kecil, pasti larinya belum
jauh!” perintah ketua kelompok. Aku menyerimpit, melewati rintangan seperti di
Outbond, tapi lebih mengerikan. Sampai dipertikungan jalan, tingkahku seperti
orang gila, bingung mencari celah tikus raksasa.
“Itu
dia!” teriak salah seorang yang melihatku. Aku semakin kebingungan, aku terus
berlari tak tentu arah, yang penting lari, itulah prinsipku.
Aku
tercengang melihat sebuah tempat peribadahan yang banyak orangnya karena baru
adzan dhuhur, yang sangat indah. “Inilah yang aku cari. Terimakasih ya Allah,
engkau memberiku perlindungan!” ucapku syukur. Segera ku cepatkan langkahan
kaki ini, walau bajuku sobek kanan kiri atas bawah, kumuh, kotor dan bau. Aku
segera mengambil air wudhu.
“Ini
nak, baju untukmu!” ucap seseorang yang tiba-tiba di sampingku, membawa baju
lengkap dengan sarung yang sangat bersih, putih, dan mempesona. Berbeda sekali
bila disamakan dengan baju yang kupakai ini.
“Untuk
saya?” tanyaku ragu walau keinginan meluap. Orang itu mengangguk.
“Pergilah
ke kamar mandi sebelah sana dan ganti pakaianmu!” suruh orang itu sambil
menelunjukkan jarinya. Sekarang gantian aku yang mengangguk. Aku berlari
senang.
Selesai
berganti, segera kulakukan ibadah dengan penuh keyakinan dan kekhusyukkan. Aku
merasa sangat bahagia, entah mengapa. Sampai salam, aku berdo’a dan bersyukur
atas perlindungan dan malaikat yang menurutku tadilah yang menolongku tadi.
Selesai itu, aku melangkah ke pojok belakang masjid, sangking kelelahannya aku,
tak dapat lagi menahan kantup mata ini lagi.
Aku
menatap sekelilingingku, tidak ada cahaya dan suara seperti di kota.
“Jangan-jangan ini adalah tempat pengap seperti penjara yang mereka lakukan
untuk membunuhku!” pikirku khawatir akan sekelompok orang itu. Aku melangkahkan
kaki untuk meluapkan rasa penasaranku. Setengah menit berjalan, aku berhentikan
langkahku. Mengamati dan membuat pertanyaan rasa penasaran yang secara otomatis
terpikirkan oleh otakku. Dua buah jalan berbeda dengan pohon yang berbeda juga.
Sebelah kiri jalan yang rusak terus dan pohon yang berbuah jeruk matang dan
busuk. Sebelah kanan dengan jalan yang sangat rusak dan benda tajam di setiap
jalan, tapi hanya setengah, bahkan lebih sedikit dari jalan seterusnya yang
sangat indah. Serta pohon yang berbuah macam-macam. Aku bingung memilih yang
mana, rasanya seperti pilihan yang benar-benar akan aku alami. Pikiranku mulai
menepis, dan membutuhkan waktu lama supaya dapat memilih salah satu yang terbaik.
Seseorang bercahaya putih memecahkan mataku yang terbuka, cahaya itu masuk dan
sangat menyilaukan. Orang itu berhenti di depanku, semakin aku mendapat
penerangan yang menyilaukan mataku. Aku terus mengangkat tanganku untuk
melindungi cahaya ini.
“Nak,
pilihlah jalan yang kau inginkan. Menetap atau Berpindah!” ucap orang itu. Dan
seketika semuanya tampak gelap kembali. Aku menoleh kanan kiri, tak ada
siapapun. “Dimana orang itu berada?” kataku sambil terus melihat.
Tiba-tiba
tanah yang kuinjak ini bergetar hebat, aku terjatuh dan terpelanting. Dan tidak
ingat lagi…
“Nak,
bangun nak, udah ashar!” ucap seseorang membangunkanku. Mataku yang sebenarnya
masih sangat berat dengan keterpaksaan harus mengangkat bakul pikul ini.
“Jangan
tidur di masjid ya nak!” ucap lagi orang itu setelah aku berusaha mengangkat
tubuhku. Aku mengangguk, orang itu beralih. Aku segera mengambil air wudhu dan
mengikuti shalat jama’ah. Setelah itu aku pun harus dengan terpaksa
meninggalkan tempat seindah ini. Tak tau lagi arah mana yang akan kulewati.
Keluarga bahkan teman saja tak ada, ayah bunda hanya harapan semata sehembus
angin. Hanya menadang tangan, duduk lemas seakan cacat, meminta kasihan, dan
500 pun terlempar pada tangan. Saat magrib tiba, aku bersama kawan di sana
pulang. Memberikan setiap hasil yang kami dapat pada kelompok tadi. Lalu mereka
memberikan bungkusan kecil yang isinya nasi dan tempe, itu saja hanya sekali
sehari. Tak usah ragu kalau tubuhku kering kerempeng seperti lidi.
Tapi,
semua itu takkan terjadi lagi. Aku akan melepas semua bayangan masa lalu itu
dan mengganti baru dengan merk yang paling bagus di dunia. Tadi kelompok orang
itu kuanggap sebagai kucing yang sedang mengejar mangsanya, tikus alias aku.
Tapi ternyata Jerry lebih lincah dan cerdas dari pada Tom. Jerry mengambil keju
milik Tom, dan Jerry tidak mau menjadi mangsa dari Tom lagi. Jelas semua itu
kenyataan. Aku merogoh saku baju bersih tadi, sebenarnya aku terlihat jauh
lebih tampan daripada sebelumnya. Dan aku terpelongo.
“Dompet
ku?” kataku lemas tak berdaya, aku segera berlari kembali ke masjid tadi.
Itulah keju yang dicuri Jerry dari Tom. Ternyata masjid itu sudah terkunci.
“Huh, bagaimana nasibku sekarang?” desisku kesal.
“Tak
usah khawatir. Sebentar lagi kau akan berakhir di tangan kami!” ucap tenang
suara sekelompok penjahat itu. Apa, penjahat itu di depanku. Aku terkepung, dan
tak lagi dapat mencari terobosan.
“A…
tidak!!!” teriakku keras.
—
“Byur”
seember air dingin mengguyurku di pagi ini. Aku mengedipkan dan membuka
berkali-kali mataku.
“Ngapain
loh kayak gitu? Cepet sana mandi!” suruh ketua kelompok itu. Aku masih
bengong-bengong setengah mimpi. Ternyata itu hanya sebatas imajinasiku saja.
Tapi, itu imajinasi tercerdas yang kumiliki. Nanti, aku akan mengalaminya
dengan kenyataan dan bukan mimpi lagi, sebuah kenyataan yang tidak kulalui
sendiri. Bersama kawan sepengemis ini! Aku siap, dunia! Nanti…
Cerpen
Karangan: Sylvia
Facebook:
Sylvia Vivi Sivi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar