TERPILIHNYA Joko
Widodo sebagai presiden Republik Indonesia telah meletakkan ”sejarah baru”
dalam restorasi praktik otonomi daerah di Tanah Air. Satu di antara tujuan
utama dari mengapa perlu dihadirkannya desentralisasi dan otonomi daerah,
menurut perspektif desentralisasi politik, adalah untuk difungsikan sebagai
sarana bagi training in national political leadership.
Melalui praktik desentralisasi akan terjadi proses
seleksi dan promosi calon-calon pemimpin nasional secara berjenjang. Para
bupati dan wali kota yang secara nyata menunjukkan kapasitas kepemimpinan prima
dan prestasi cemerlang dalam memimpin daerah dapat dipromosikan untuk menduduki
jabatan gubernur. Demikian juga halnya dengan para gubernur dapat dipromosikan
menduduki posisi sebagai presiden.
Secara teoretis, promosi dan perekrutan pemimpin
pemerintah dengan sistem berjenjang ini diyakini akan berkorelasi positif
terhadap, antara lain, tegaknya prinsip akuntabilitas dalam penyelenggaraan
pemerintahan (Clarke and Foweraker, 2001: 1). Itulah sebabnya, di Amerika
Serikat, misalnya, sebagian besar presiden terpilih adalah mantan gubernur pada
negara bagian.
Sejarah baru
Dalam konteks Indonesia setelah berpraktik desentralisasi,
promosi dan perekrutan pemimpin nasional untuk jabatan presiden secara
berjenjang tersebut baru terjadi pada Pemilu Presiden 2014. Jokowi, sosok ndeso
yang pernah menduduki jabatan Wali Kota Solo dan sedang menduduki jabatan
sebagai Gubernur DKI Jakarta, telah berperan sebagai pionernya. Peristiwa ini
tentunya harus dicatat sebagai kontribusi besar dalam ”restorasi” praktik
desentralisasi dan otonomi daerah di Tanah Air.
Rentang waktu panjang tertundanya promosi jabatan
presiden secara berjenjang tersebut bukan lantaran ”wahyu keprabon” belum
diturunkan di bumi pertiwi. Akan tetapi, disebabkan oleh banyak faktor, antara
lain karena sejak awal kemerdekaan hingga periode rezim Orde Baru, sistem
politik dan kebijakan desentralisasi yang dirancang dan diterapkan di Tanah Air
belum membuka peluang untuk itu.
Kecenderungan mulai berubah pada periode setelah Orde
Baru. Spirit reformasi dan komitmen yang kuat untuk merevisi konsep dan
kebijakan desentralisi di Indonesia, yang selanjutnya dituangkan dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, secara perlahan-lahan telah
berupaya mengurangi dominasi perspektif desentralisasi administrasi dengan
mulai mengakomodasi beberapa prinsip desentralisasi politik. Implikasinya,
sangat dapat dimengerti apabila kemudian tujuan desentralisasi yang sebelumnya
hanya menekankan pada aspek administratif, seperti untuk meningkatkan pelayanan
publik dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan, sekarang juga telah
mengakomodasi tujuan-tujuan politik. Misalnya, untuk demokratisasi di tingkat
lokal dan training kepemimpinan.
Pada 2005, Indonesia mulai melaksanakan pemilihan
kepala daerah (pilkada) secara langsung seiring telah dilaksanakannya pemilihan
umum presiden (pilpres) secara langsung pada tingkat nasional. Terlepas dari
sejumlah ”bias” pilkada yang terjadi, paling tidak di antara ”dampak positif”
yang dapat dicatat adalah pilkada langsung telah berperan sebagai ”pisau bedah”
bagi katup sirkulasi elite di tingkat lokal yang sebelumnya relatif tertutup
rapat. Sekaligus membuka peluang bagi promosi kepemimpinan nasional secara
berjenjang. Terpilihnya Jokowi sebagai presiden RI hasil Pilpres 2014 harus
didudukkan dan dimaknai berdasarkan perspektif ini.
Tantangan baru?
Pada satu sisi, terpilihnya Jokowi sebagai presiden
harus ”dirayakan” karena telah meletakkan noktah baru dalam sejarah perjalanan
desentralisasi di Indonesia, khususnya terkait dengan terwujudnya fungsi
training in national political leadership dan promosi kepemimpinan nasional
secara berjenjang. Namun, pada sisi lain, juga menyodorkan tantangan baru bagi
pembuktian logika teoretis dari fungsi training in national political
leadership itu sendiri.
Bagi Jokowi, di antara tantangan berat yang dihadapi
adalah harus membuktikan kepada masyarakat bahwa ia memiliki kapasitas
kepemimpinan yang tinggi. Sebab, sebelum menduduki posisi sebagai presiden RI,
ia pernah melalui proses training kepemimpinan
di tingkat pemerintah daerah (Wali Kota Solo dan Gubernur
DKI Jakarta). Jika tidak, dikhawatirkan kemenangan Jokowi justru akan
”mendelegitimasi” atau bahkan ”menegasikan” arti penting dari training in
political leadership dan proses promosi kepemimpinan nasional secara berjenjang
sebagaimana dikemukakan di atas.
Pengalaman dalam memimpin Pemerintah Kota Solo dan
Provinsi DKI Jakarta yang sangat singkat (hanya 1,5 tahun) memang dapat
dijadikan sebagai modal awal. Namun, tentunya itu masih jauh dari cukup untuk
dijadikan sebagai bekal dalam memimpin, lebih kurang, 93 kota, 415 kabupaten,
dan 34 provinsi di Indonesia. Karena itu, upaya peningkatan kapasitas
kepemimpinan dan revitalisasi pendekatan dalam penyelenggaraan pemerintahan
niscaya diperlukan.
Pada konteks inilah kita sampai pada arti penting
dari, antara lain, memastikan realisasi dari komitmen Jokowi dalam penunjukan
para menteri pembantunya dari kalangan profesional.
Revitalisasi ”blusukan”
Pendekatan blusukan yang selama ini menjadi ciri khas
Jokowi ketika memimpin Kota Solo dan Provinsi DKI Jakarta patut diapresiasi.
Namun, tentunya perlu dilakukan revitalisasi tatkala akan diterapkan pada
konteks pemerintahan nasional. Spirit blusukan tetap harus dipertahankan dalam
rangka menjaga kepekaan terhadap aspirasi masyarakat. Namun, aplikasinya tidak
selalu harus dalam bentuk kunjungan langsung ke 34 provinsi dan ke 508
kabupaten/kota di Indonesia.
Jokowi, dalam hal ini, dapat melakukannya melalui,
antara
lain, optimalisasi fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat. Juga membangun sistem komunikasi politik yang intensif dengan para
kepala daerah serta elemen-elemen masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi
dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi yang ada.
Pada konteks yang lebih luas, terpilihnya Jokowi
sebagai presiden RI juga menyodorkan tantangan baru bagi partai politik di
Indonesia. Di antara ”pesan penting yang dibawa” adalah seyogianya ke depan
partai-partai politik harus melakukan revitalisasi dan reorientasi sistem
pengaderan sedemikian rupa sehingga dapat mendukung kesinambungan dari seleksi
dan promosi kepemimpinan nasional secara berjenjang sebagaimana telah dimulai
oleh Jokowi.
oleh: Syarif Hidayat
Peneliti Bidang Otonomi Daerah, LIPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar