MINIMNYA cahaya dari lampu jalan
diakui menjadi salah satu pemicu sejumlah lokasi di Bontang menjadi tempat
melakukan aksi negatif. Namun demikian, pemerintah tidak bisa serta-merta
mengusulkan pengadaan lampu. Jika rasa memiliki atas wilayahnya belum tumbuh di
hati warga Bontang. Salah satu wujudnya, dengan menjaga wilayah bukan atas
dasar bayaran atau kewajiban. Tapi dilakukan atas dasar rasa memiliki.
“Tumbuhkan rasa memiliki wilayah
tempat tinggalnya, adalah cara agar fasilitas umum yang jadi tempat mesum itu,
bisa bersih. Karena mereka bekerja bukan karena kewajiban dan uang, Tapi karena
rasa memiliki itu,” tegas Ahmad Yani, Kepala Satpol PP Bontang.
Menurutnya, salah satu wilayah
patut menjadi contoh dalam hal mewujudkan rasa memiliki wilayah itu adalah
Kelurahan Bontang Kuala, Kecamatan Bontang Utara.
Dijelaskan Yani, awalnya,
kelurahan Bontang Kuala, tercatat sebagai lokasi paling rawan menjadi tempat
aksi negatif oknum pemuda Bontang. Biasanya paling banyak adalah aktivitas
memadu kasih oleh pasangan lawan jenis tanpa ikatan pernikahan. Bahkan, saat
razia, pihaknya kerap memergoki oknum pasangan tengah memadu kasih di sepanjang
trotoar Bontang Kuala, saat itu masih dengan cahaya remang-remang.
“Kami sering dapati mereka itu
lagi menghitung daun mangrove yang jatuh (berduaan di tempat gelap, Red.). Itu kan tidak ada habisnya. Saat
itu kondisi di sana didukung minimnya penerangan, karena lampu rusak,”
terangnya.
Menyadari kondisi itu, dia pun
mengusulkan agar sepanjang trotoar itu diubah menjadi tempat berjualan, seperti
sekarang. Dengan begitu, lampu jalan yang semula sering padam lantaran dirusak
oknum tak dikenal, secara otomatis ada penjaganya.
“Saya sempat usulkan supaya
tempat itu bisa dijadikan tempat jualan saja. Ternyata Pak Lurah setuju, dan
Disperindagkop (Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi, Red.) juga sepakat. Jadi kami tidak
menertibkan mereka ketika jualan di trotoar. Lampu yang sudah diganti, akhirnya
aman tidak rusak lagi,” akunya.
Namun salah satu budaya patut
dicontoh wilayah lain di Bontang pada wilayah itu, khususnya sejumlah lokasi
diduga sebagai tempat rawan mesum, adalah semangat gotong-royong, dan rasa
memiliki warga di sana. Bahkan, mulai dari Ketua RT, Ormas setempat,
Karangtaruna, tokoh masyarakat kompak mengawasi wilayahnya agar terbebas dari
aktivitas negative.
“Jadi mereka kerja bukan lagi
karena kewajiban atau uang semata. Tapi mereka bekerja karena perduli dengan
wilayanya. Hasilnya, memang efektif. Di trotoar sudah jarang ada temuan orang
pacaran. Sementara di dalam, juga selalu dikontrol petugas keamanan,”
tandasnya.
Lanjutnya, ketika rasa memiliki
sudah ada dalam diri warga, maka barulah pemerintah bisa mengusulkan pengadaan
lampu jalan. Entah melalui program Rp 50 Juta Per RT (Prolita), atau sumber
lain. Karena sudah tidak sia-sia lagi. Lantaran bisa kembali dirusak oknum
merasa terganggu.
“Setelah rasa memiliki itu ada,
baru pemerintah bisa mengusulkan pengadaan lampu jalan. Supaya tidak sia-sia,” tutupnya.
(in)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar