Minggu, 31 Agustus 2014

Bisnis VS Idealisme


Oleh: Imran Ibnu
MENURUT salah seorang pakar, bisnis adalah suatu kegiatan usaha individu yang terorganisasi untuk menghasilkan dan menjual barang atau jasa guna mendapatkan keuntungan. Atau ada pula yang berpendapat, bahwa bisnis adalah serangkaian usaha dilakukan satu orang atau lebih. Individual atau kelompok dengan menawarkan barang dan jasa guna mendapatkan laba.    
Bisnis. Sebuah kata sederhana, dibentuk oleh 6 rangkaian huruf. Namun mampu menopang perekonomian seseorang, keluarga, negara bahkan dunia. Tak heran keberadaannya begitu diminati. Melihat jaminan-jaminan kesejahteraan ditawarkan cukup menggiurkan.
Bisnis pulalah, yang mampu membelokan hati seorang manusia. Yang semula memiliki prinsip kokoh untuk mempertahankan hal sejalan dengan moral. Namun melunak dan mendukung keberadaan sesuatu yang bersifat amoral, lantaran iming-iming keuntungan bisnis.
Idealisme bersandar pada ide, dunia di dalam jiwa. Pikiran ini meletakkan hal-hal besifat ide dan menempatkan pernak-pernik bersifat materi, fisik, ke dalam kasta terendah. Idealisme menganggap semua realitas yang terdiri dari ruh, jiwa, ide, pikiran-pikiran menjadi konstanta (ketetapan) yang agung dalam orkestra hidup manusia. Sebagai konstanta yang tetap di dalamnya dibingkai satu nilai yang bernama moralitas. Seluruh gerak jurnalis sebagai pewarta harusnya berpijak pada tataran ini; moralitas.
Pikiran ini mengandaikan bahwa jurnalis harus bertumpu pada kehendak kalbu, kehendak yang melihat fakta sebagai berita. Maknanya, berita yang dilansir ke publik, menyandarkan diri pada kaidah-kaidah moralitas, bukan rekayasa.  Atau menutupi sesuatu hal nyata, mengganti dengan informasi lain lebih menarik bagi segelintir orang. Namun memuakan bagi kalangan mayoritas.
Apakah bisnis bisa berjalan seiring dengan profesi dilakoni para jurnalis, lengkap dengan etika serta idealisme ?
Menjawab hal itu, saya harus kembali menakar, apakah idealisme dalam diri saya, masih lebih dominan, atau sebaliknya. Jika masih dominan, maka tak perlu takut melenceng dari rel telah ditetapkan oleh ‘seragam’ saya sebagai seorang jurnalis. Karena bisnis tetap mampu berjalan seiring dengan idealisme. Namun ketika bisnis mendominasi, maka jangan harap, idealisme bisa tetap hidup. Karena godaan menjadi seorang idealis jauh lebih berat, ketimbang menjadi seorang bisnisman.  
Kondisi tersebut, selaras dengan perumpamaan ‘Apakah anda hidup untuk makan, atau makan untuk hidup ?’ ketika manusia berprinsip; ‘hidup untuk makan’, maka bisnis adalah yang utama. Namun ketika manusia berprisip; ‘makan untuk hidup’, maka keyakinan bahwa setiap manusia memiliki rezeki masing-masing akan tetap hidup. Sehingga tak berambisi dan mengacuhkan idealisme, dan moralitas.
Terkadang saya merasa sanksi, apakah idealisme masih memiliki  ruang di era modern saat ini.
Karena saya melihat, ketika seseorang tengah memperjuangkan sesuatu yang benar dan nyata, malah dianggap sok pahlawan. Bahkan tak jarang dianggap tolol karena memperjuangkan hal lebih banyak merugikan diri sendiri.
Bahkan sebagai jurnalis ketika tengah memfasilitasi sesuatu yang sifatnya kritis terhadap sebuah ketidakadilan, atau kesalahan dilakukan penguasa, tak jarang cemooh diperoleh.
Contohnya; ‘kamu kok mau dimanfaatkan sama si A. Karena dia bicara seperti itu untuk kepentingan mereka. Sementara kamu tidak dapat apa-apa’
Kritik seperti itu, memang masuk akal dan benar berpotensi mengandung kepentingan pribadi atau kelompok. Hal itu pun bisa terbaca. Namun karena masih dengan idealisme yang tersisa entah sampai kapan, saya memiliki pandangan tersendiri;
‘Selama apa yang mereka ucapkan, benar dan memiliki data. Lalu siap mempertanggungjawabkan apa yang diucapkan, kenapa tidak ?’
‘Karena, apa bedanya si A dengan pernyataan para pejabat. Terkadang lebih jelas, mengandung kepentingan pribadi ?’
Kritik seperti itu saya kira muncul bisa karena berbagai hal. Namun paling masuk akal, idealisme telah luntur oleh ‘otak bisnis’ dimiliki. Sehingga, unsur diskriminatif pun terjadi dalam menentukan sumber informasi.
Melihat situasi ini, saya menjadi teringat pernyataan salah seorang ahli, dalam profesi jurnalistik; ‘bahwa jurnalis tak berdiri sendiri. Ia ditopang satu instrument bernama instuisi media. Yang erat kaitannya dengan bisnis’.
Pada tahapan inilah, kerap kali, menjadi kuburan massal para jurnalis. Sebab kepentingan bisnis, selalu dominan dibanding kepentingan idealisme.  Maka pada tahap itulah, keteguhan seorang jurnalis mempertahankan idealismenya diuji. (imranibnu@bontang post.co.id)  
     


Tidak ada komentar:

Posting Komentar