“Hamba tak ingin menjadi pandai, tapi
saat hamba pandai, hamba lupa dengan Mu. Hamba tak ingin menjadi seorang kaya,
namun saat hamba kaya iman hamba rusak. Hamba tak ingin sehat, kalau dikala
sehat, hamba melupakan nikmat Mu. Hamba tak ingin hidup, tapi saat hamba diberi
kesempatan menghirup oksigen, hamba lalai dengan perintah Mu. Kalau memang
Engkau belum mengizinkan hamba duduk memperhatikan penjelasan guru, di dalam
kelas, tak mengapa, mungkin inilah yang terbaik untuk hamba,” hanya lima
kalimat itu yang dapat aku ucapkan usai shalat.
Umurku sudah sebelas tahun, tapi aku
belum pernah merasakan yang namanya kasih sayang kedua orangtua. Belaian lembut
seorang Bapak, dan pelukan sayang seorang Ibu. Tak pernah aku mencicipi yang
namanya kasih sayang dari orangtua. Aku saja, tak tahu dimana kedua orangtuaku.
Sejak kecil, aku hidup di antara debu
jalanan, di antara gedung-gedung pencakar langit yang tinggi, di antara
ketamakan manusia-manusia zaman sekarang. Untuk menghidupi kebutuhanku, aku
mencoba mengamen. Kebutuhan hidupku hanya dua, makanan dan minuman. Tak ada
gitar, atau kendang, hanya ada tepukan tangan dan jentikan jari yang mengiringi
nyanyianku. Sejak pemerintah melarang masyarakat untuk memberikan uang pada
pengemis dan pengamen sepertiku, nasibku makin tak karuan. Hidupku semakin
kelam. Apakah pemerintah itu tak punya hati. Boleh saja mereka melarang
masyarakat untuk memberikan uang untuk aku dan teman-temanku, yang sama-sama
mengamen. Dan mereka yang hanya bisa menengadahkan tangan untuk mengemis. Tapi,
pemerintah memberikan kami uang yang pantas untuk kehidupan sehari-hari,
setidaknya pekerjaan untuk kami. Kalian semua hanya bisa memakan uang rakyat,
hanya bisa menyengsarakan nasib kaum lemah. Kalian semakin kaya, hidup mewah serba
kecukupan, sementara kami, hidup dalam penderitaan, hidup dalam kekejaman
ekonomi, dan hidup jauh dari kalimat sederhana.
Kalau kami tak dapat merasakan nikmatnya
hidup dengan uang, setidaknya berikan kami pendidikan yang layak. Kalau kami
pintar, toh nantinya bangsa ini yang semakin maju. Mana hati nurani kalian?
Apakah tak ada satu sajakah hati yang masih bersih, yang tak ternodai dengan
korupsi, yang tak ternodai dengan kemaksiasiatan, yang tak ternodai dengan
keserakahan.
Aku cuma rakyat kecil yang tak bisa
berbuat apa-apa. Ingin melawan, kalian mengancam, ingin memberontak, kalian
mengelak, ingin marah kalian malah mencemooh.
Akankah keadilan akan datang. Kalian
hanya diperkuda jabatan. Kami muak dengan ketidak adilan dan keserakahan.
Tolong dengarkan suara rakyatmu wahai pemerintah bi*dab! Dengarkan jeritan
marah kami setiap detiknya, jerit marah karena ketidak becusanmu mengurus
negeri tanpa kemudi ini. Negeri kelam yang suram. Haruskah yang Diatas
mengirimkan bala bencana untuk kalian, barulah kalian sadar akan perbuatan
iblis kalian sendiri? Tahukah kalian Indonesia masuk dalam daftar 100 negara
termiskin di dunia. Urutan ke 68. Seharusnya kalian malu, menjadi seorang
pejabat pemerintah, maupun pejabat negara, namun bangsanya masuk ke dalam
daftar negara termiskin.
Hanya satu yang kuminta! Sejahterakanlah
rakyatmu. Entah dengan uang, dengan pendidikan yang layak, atau pelayanan
sosial yang memuaskan, atau setidaknya engkau berikan kami bahan makanan,
sehingga kami tak kekurangan gizi, tidak mengidap malnutrisi. Banyak keluarga
kami yang terkena marasmus dan kwasiokor. Penuhi janji-janjimu dulu saat kau
akan dipilih oleh kami. Mensejahterakan rakyat, tiada kemiskinan, semua perut
rakyat akan kenyang, dijamin semua dapat pekerjaan dan penghasilan yang tetap,
pendidikan akan dinomorsatukan, pelayanan umum akan dimaksimalkan, tiada kata
korupsi. Itu semua janji manismu. Tapi sekarang, apa yang terjadi? Lebih banyak
rakyat yang melarat dari pada yang berkecukupan, rakyat-rakyatmu kelaparan
disini, perut kami kosong selama tiga hari, sementara kalian disana kekenyangan
dengan makanan mewah berbintang lima yang dibeli dengan uang hasil korup,
katamu dulu semua rakyat akan mendapat pekerjaan dan gaji yang tetap, namun
hasilnya nihil. Saudaraku sibuk mengais sampah di setiap sudut kota,
penghasilannya hanya cukup membeli tiga potong roti, sedangkan tetanggaku sibuk
meminta belas kasihan pada para pejalan kaki dengan mengemis. Kalau katamu
pendidikan dinomorsatukan, kenapa aku masih mengamen dan bukannya belajar di
dalam gedung sekolah. Bukti lain kegagalanmu memimpin Indonesia pelayanan umum
yang minus. Tak ada kata Rumah Sakit untuk kami, karena kami tentu tak punya
uang untuk membayar biaya Rumah Sakit yang mahalnya selangit. Tiada kata
korupsi? Bohong besar. Tiada hari tanpa kata korupsi. Hak-hak milik rakyat kau
rampas juga. Dasar PHP! Pemberi Harapan Palsu.
—
“Hmmm… ceritamu bagus banget Bintang!”
pujiku usai membaca karangan bocah 11 tahun yang sedang duduk di sampingku ini.
“Makasih Kak. Sekarang, aku bisa
membuktikan kan, walaupun aku cuma anak jalanan yang masih ingusan, yang gak
berpendidikan, tapi aku bisa merangkai kata-kata untuk mengkritik para Iblis
Indonesia, yang merampas kesejahteraan dan kebahagiaan kami Kak!” Bintang
berkata dengan semangat yang membara.
Aku salut padanya. Rencananya, karangan
buah karya Bintang Rizky Diwangga itu akan kukirimkan untuk mengikuti lomba
tulis cerpen yang bertema kritik untuk pemerintah. Dan tulisannya itu menyentuh
hati. Setelah membaca karangan Bintang, hatiku jadi tergerak. Suatu saat nanti,
aku akan mendirikan sekolah gratis untuk anak-anak kurang mampu. Agar mereka
nanti bisa meneruskan kepemimpinan bangsa ini. Agar mereka bisa melambungkan
nama Indonesia di kancah dunia, dalam bidang apapun. Agar mereka dapat
menghapus fakta, bahwa Indonesia masuk ke dalam daftar 100 negara termiskin di
dunia. Bintang, kamulah harapanku!
Cerpen Karangan: Maharani Rachmawati
Purnomo
Facebook: Rachma Maharani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar