Memoriku
kembali pada dua bulan yang lalu ketika putri kecilku mulai terserang batuk dan
pilek. Aku sangat bingung dengan keadaan putriku yang semakin parah, uang untuk
makan pun aku tak punya sepeser pun. Yang aku ingat adalah kata kata putriku
ketika ia merasa kedinginan dan mungkin sakitnya mulai sulit untuk dilawannya,
dia selalu berkata.
“pak,
peluk aku dan jangan tinggalin aku.”
Aku
hanya bisa memeluk dan mengecup keningnya, hingga sampai pada hari itu,
tubuhnya mengejang hebat, badannya dibanjiri keringat dingin sedangkan suhunya
sangat panas. Aku tak kuasa melihat keadaan putri kecilku seperti ini, hingga
aku beranikan diri untuk mencari pertolongan, dari mulai posyandu, puskesmas
dan rumah sakit aku datangi, tapi apa hasilnya, nihil.
Akhirnya
aku bawa dia ke dalam mushola, dan aku meminta kepada Alloh untuk berhenti
memberikan sakit kepada putri kecilku. Aku kembali menggendong putriku dan
kembali memasukannya ke dalam gerobak. Terdengar suara putriku di sela-sela
tangis dalam doaku.
“(tersenyum)
pak, terimakasih, Yayu cape mau bobo aja, bapak jangan tinggalin Yayu yah,
allooh..!” hembusan nafasnya begitu panjang dan terhenti.
Aku
tercengang menyaksikan putriku Yayu menghembuskan nafas terakhirnya di gerobak,
tepatnya di antara kardus dan botol rongsokan. Tak terasa air mataku terus
membanjiri pipiku, aku memeluk erat bidadari mungilku, aku terus berbisik di
telinganya yang mulai terasa dingin melebihi es, aku berbisik meminta maaf
karena tidak bisa menjaga dan merawat anakku dengan baik.
Aku
menggendong anakku dan meletakannya di dalam gerobak kesayangannya. Aku
berjalan dengan pandangan kosong, sesekali aku melihat tubuh mungil yang
tergeletak di antara kardus kardus yang kini tak bernyawa, sungguh hatiku
menjerit protes terhadap dunia.
Aku
memang bukan asli orang ibu kota. Aku merantau dari jawa oleh karena itu aku
tak bisa kembali ke tanah kelahiranku dan tanah kelahiran Yayu. Aku berjalan
menuju rumah sakit, berharap ada pertolongan yang datang untuk membawa putriku
ke jawa. Belum sempat aku mengutarakan keinginanku satpam di rumah sakit itu
sudah mengusirku, mungkin mereka mengira aku akan meminta sumbangan.
Aku
berteriak di sepanjang jalan, aku bingung, bagaimana cara menguburkan anakku,
sementara matahari mulai beristirahat di upuk barat. Ku hentikan langkah kaki,
aku menggendong tubuh mungil yang kian membeku, aku menangis sambil terus
menciumi tubuh anakku, orang orang memerhatikanku, aku tak peduli dengan ribuan
sorot mata di jalanan itu.
Angin
malam semakin membuatku menggigil, aku memeluk jasad putriku. Di depan emperan
toko akhirnya aku tertidur dengan jasad putriku. Kicau mesin di langit ibu kota
membangunkanku pagi itu, mataku kembali memandang jasad anakku yang mulai
membiru, air mataku kembali menitik.
Jasad
mungil itu ku masukan kembali ke dalam gerobak, ku tutupi tubuhnya dengan
samping yang memang sudah koyak. Langkah kakiku menuju stasiun kereta, aku
berniat untuk mengendap endap menaiki kereta jurusan surabaya. Akhirnya
perjuanganku tidak sia-sia, aku berhasil masuk dan diam di gerbong paling
belakang.
Bertapa
terkejutnya aku ketika petugas menemukanku dengan posisi memeluk jasad anakku.
Petugas itu menanyakan tiket keberangkatan, aku hanya menggelengkan kepala.
“(menunjuk
pada jasad anakku) apa itu?” tanya petugas dan mulai menyentuh kain yang
menutup tubuh Yayu kecilku.
“bu..
bukan apa apa pak, ini anakku yang sedang tertidur.” Ucapku bergetar ketika
menyadari petugas telah membuka balutan kain yang menutupi wajah putriku.
“astagfirulloh..
anda sudah gila? Ini mayat anak kecil! Anda mencuri mayat anak ini!” bentak
petugas itu ketika dia mengetahui tubuh mungil itu membiru dan sangat beku.
“ampun
pak, saya tidak mencuri mayat, ini jasad anak saya pak, sumpah demi Alloh pak,
ini anak saya!” aku menangis sambil memeluk erat tubuh Yayu kecilku.
Petugas
itu tidak percaya dengan perkataanku, akhirnya aku diseret dan dipaksa turun
dari KRL, aku diseret ke kantor polisi karena aku diduga telah menganiaya
putriku hingga tak bernyawa. Aku menjelaskan kejadian yang sebenarnya, tetapi
para petugas keamana itu tidak mempercayaiku, akhirnya tubuh kaku Yayu yang
membeku dibawa ke Rumah Sakit terdekat untuk diautopsi, aku pun kembali
menjelaskan mengapa diriku menggendong jasad anakku. Namun sia-sia saja, tubuh
lemahku diseret keluar, aku hanya bisa menangis menyandar di tembok putih rumah
sakit.
Sore
itu surat hasil autopsi keluar, dan dinyatakan bahwa Yayu anakku meninggal
karena Flu Burung. Lagi-lagi karena aku tidak mempunyai uang sepeser pun untuk
menyewa ambulance, jasad anakku ku gendong kembali, kakiku melangkah berharap
ada mu’jizat yang datang, sulit tergambarkan perasaan hatiku saat itu, sudah 2
hari jasad anakku belum juga disemayamkan.
Di
tengah perjalanan aku mulai putus asa, aku terus bertanya akan kemana aku
melangkah? Bagaimana nasib anakku Yayu? Apakah dia tidak akan dikuburkan secara
layak? Hatiku terus berbincang, tubuhku gontai dan duduk di pinggir jalan itu.
“pak..
anaknya kenapa?” tukang air mineral bertanya kepadaaku.
Aku
menceritakan kesulitanku pada si tukang mineral itu, nampak matanya
berkaca-kaca mendengar ceritaku. Akhirnya bapak penjual mineral ini mengajakku
ke rumahnya, kemudian mengurusi jenazah anakku. Di hari ke 2 tubuhnya baru
disemayamkan, sungguh hatiku lega luar biasa.
Rintik
hujan yang kian deras menyadarkanku dari lamunan. Aku kemudian mencium batu
nisan anakku sebelum aku pergi untuk mencari sesuap nasi. Tubuhku bangkit dan
kembali mendorong gerobak yang dulu pernah dihuni bidadariku.
SELESAI
Cerpen
Karangan: Lasmi Sopia Sari
Facebook:
Lasmi Kalem
Tidak ada komentar:
Posting Komentar