Jumat, 26 September 2014

Bidadari Dalam Gerobak





Suara gerobak kayu tuaku terdengar sangat fasih, mengukir setiap jejak di tanah pemakaman, aku menatap langit yang mulai gelap, nampaknya hujan akan turun. Aku menatap batu nisan yang bertuliskan YAYU BINTI SUKARJO, angin mengingatkanku pada sosok bidadari kecil yang selalu berlari di depan gerobak, dia selalu tertawa ketika angin menyibak rambut panjangnya. Yayu, ya.. itu nama bidadari kecilku, gadis kecil berumur lima tahun yang ajaib, meskipun umurnya sangat muda dia sangat mengerti dengan keadaan. Dia tak pernah sedikitpun rewel karena perut lapar atau tenggorokannya yang kehausan. Aku sangat menyayanginya, suaranya yang masih menggemaskan selalu terngiang-ngiang di telingaku. Sakit rasanya ketika aku mengenang kembali bidadari kecilku.

Memoriku kembali pada dua bulan yang lalu ketika putri kecilku mulai terserang batuk dan pilek. Aku sangat bingung dengan keadaan putriku yang semakin parah, uang untuk makan pun aku tak punya sepeser pun. Yang aku ingat adalah kata kata putriku ketika ia merasa kedinginan dan mungkin sakitnya mulai sulit untuk dilawannya, dia selalu berkata.

“pak, peluk aku dan jangan tinggalin aku.”

Aku hanya bisa memeluk dan mengecup keningnya, hingga sampai pada hari itu, tubuhnya mengejang hebat, badannya dibanjiri keringat dingin sedangkan suhunya sangat panas. Aku tak kuasa melihat keadaan putri kecilku seperti ini, hingga aku beranikan diri untuk mencari pertolongan, dari mulai posyandu, puskesmas dan rumah sakit aku datangi, tapi apa hasilnya, nihil.

Akhirnya aku bawa dia ke dalam mushola, dan aku meminta kepada Alloh untuk berhenti memberikan sakit kepada putri kecilku. Aku kembali menggendong putriku dan kembali memasukannya ke dalam gerobak. Terdengar suara putriku di sela-sela tangis dalam doaku.

“(tersenyum) pak, terimakasih, Yayu cape mau bobo aja, bapak jangan tinggalin Yayu yah, allooh..!” hembusan nafasnya begitu panjang dan terhenti.

Aku tercengang menyaksikan putriku Yayu menghembuskan nafas terakhirnya di gerobak, tepatnya di antara kardus dan botol rongsokan. Tak terasa air mataku terus membanjiri pipiku, aku memeluk erat bidadari mungilku, aku terus berbisik di telinganya yang mulai terasa dingin melebihi es, aku berbisik meminta maaf karena tidak bisa menjaga dan merawat anakku dengan baik.

Aku menggendong anakku dan meletakannya di dalam gerobak kesayangannya. Aku berjalan dengan pandangan kosong, sesekali aku melihat tubuh mungil yang tergeletak di antara kardus kardus yang kini tak bernyawa, sungguh hatiku menjerit protes terhadap dunia.

Aku memang bukan asli orang ibu kota. Aku merantau dari jawa oleh karena itu aku tak bisa kembali ke tanah kelahiranku dan tanah kelahiran Yayu. Aku berjalan menuju rumah sakit, berharap ada pertolongan yang datang untuk membawa putriku ke jawa. Belum sempat aku mengutarakan keinginanku satpam di rumah sakit itu sudah mengusirku, mungkin mereka mengira aku akan meminta sumbangan.

Aku berteriak di sepanjang jalan, aku bingung, bagaimana cara menguburkan anakku, sementara matahari mulai beristirahat di upuk barat. Ku hentikan langkah kaki, aku menggendong tubuh mungil yang kian membeku, aku menangis sambil terus menciumi tubuh anakku, orang orang memerhatikanku, aku tak peduli dengan ribuan sorot mata di jalanan itu.

Angin malam semakin membuatku menggigil, aku memeluk jasad putriku. Di depan emperan toko akhirnya aku tertidur dengan jasad putriku. Kicau mesin di langit ibu kota membangunkanku pagi itu, mataku kembali memandang jasad anakku yang mulai membiru, air mataku kembali menitik.

Jasad mungil itu ku masukan kembali ke dalam gerobak, ku tutupi tubuhnya dengan samping yang memang sudah koyak. Langkah kakiku menuju stasiun kereta, aku berniat untuk mengendap endap menaiki kereta jurusan surabaya. Akhirnya perjuanganku tidak sia-sia, aku berhasil masuk dan diam di gerbong paling belakang.

Bertapa terkejutnya aku ketika petugas menemukanku dengan posisi memeluk jasad anakku. Petugas itu menanyakan tiket keberangkatan, aku hanya menggelengkan kepala.

“(menunjuk pada jasad anakku) apa itu?” tanya petugas dan mulai menyentuh kain yang menutup tubuh Yayu kecilku.

“bu.. bukan apa apa pak, ini anakku yang sedang tertidur.” Ucapku bergetar ketika menyadari petugas telah membuka balutan kain yang menutupi wajah putriku.

“astagfirulloh.. anda sudah gila? Ini mayat anak kecil! Anda mencuri mayat anak ini!” bentak petugas itu ketika dia mengetahui tubuh mungil itu membiru dan sangat beku.

“ampun pak, saya tidak mencuri mayat, ini jasad anak saya pak, sumpah demi Alloh pak, ini anak saya!” aku menangis sambil memeluk erat tubuh Yayu kecilku.

Petugas itu tidak percaya dengan perkataanku, akhirnya aku diseret dan dipaksa turun dari KRL, aku diseret ke kantor polisi karena aku diduga telah menganiaya putriku hingga tak bernyawa. Aku menjelaskan kejadian yang sebenarnya, tetapi para petugas keamana itu tidak mempercayaiku, akhirnya tubuh kaku Yayu yang membeku dibawa ke Rumah Sakit terdekat untuk diautopsi, aku pun kembali menjelaskan mengapa diriku menggendong jasad anakku. Namun sia-sia saja, tubuh lemahku diseret keluar, aku hanya bisa menangis menyandar di tembok putih rumah sakit.

Sore itu surat hasil autopsi keluar, dan dinyatakan bahwa Yayu anakku meninggal karena Flu Burung. Lagi-lagi karena aku tidak mempunyai uang sepeser pun untuk menyewa ambulance, jasad anakku ku gendong kembali, kakiku melangkah berharap ada mu’jizat yang datang, sulit tergambarkan perasaan hatiku saat itu, sudah 2 hari jasad anakku belum juga disemayamkan.

Di tengah perjalanan aku mulai putus asa, aku terus bertanya akan kemana aku melangkah? Bagaimana nasib anakku Yayu? Apakah dia tidak akan dikuburkan secara layak? Hatiku terus berbincang, tubuhku gontai dan duduk di pinggir jalan itu.

“pak.. anaknya kenapa?” tukang air mineral bertanya kepadaaku.

Aku menceritakan kesulitanku pada si tukang mineral itu, nampak matanya berkaca-kaca mendengar ceritaku. Akhirnya bapak penjual mineral ini mengajakku ke rumahnya, kemudian mengurusi jenazah anakku. Di hari ke 2 tubuhnya baru disemayamkan, sungguh hatiku lega luar biasa.

Rintik hujan yang kian deras menyadarkanku dari lamunan. Aku kemudian mencium batu nisan anakku sebelum aku pergi untuk mencari sesuap nasi. Tubuhku bangkit dan kembali mendorong gerobak yang dulu pernah dihuni bidadariku.

SELESAI

Cerpen Karangan: Lasmi Sopia Sari
Facebook: Lasmi Kalem

Tidak ada komentar:

Posting Komentar