Wanita muda dengan posisi tegap, berdiri
tepat di depan cermin besar dalam kamarnya. Ia memandang lekat-lekat sosok yang
mirip dirinya dalam cermin. Sesekali ia tersenyum. Bibirnya dioleskan dengan
barang berwarna merah muda itu. Kemudian ia kembali memandangi wajahnya dan
tersenyum. Dia menghadap ke samping, kemudian ke belakang, matanya tetap lekat
di dalam cermin. Ia berputar-putar. Setelah termangu sejenak, disemprotkan
parfum ke bajunya. Kemudian ia membuka pintu lalu pergi.
Dalam kamarnya, menyengat bau wangi dari
aroma parfum yang ditinggalkannya. Tempat tidurnya masih berserakan, selimut
dan guling pontang-panting. Di sudut kanan cermin besarnya, berdiri gagah
lemari pakaian yang menjulang hampir menyentuh langit-langit kamarnya. Berwarna
kuning muda, mengkilat.
“Kenapa dia tidak mengambilku saat
membuka pintu itu?” ungkap Jilbab dengan wajah kesal. Ia sudah lama tidak
keluar dari dalam lemari pengap itu.
“Sejak lulus Madrasyah, aku sudah jarang
menemaninya, apakah ia sudah lupa akan jasaku padanya? Akulah yang menemaninya
pergi mengaji ke rumah Cik Taupik hingga ia Khatam Al-qur’an, aku juga yang
selalu menemaninya selama tiga tahun di madrasyah, apakah aku sudah tidak
penting lagi baginya?” keluh Jilbab sambil menundukkan mukanya. Menyimpan kesedihannya.
“Ahh, sudahlah, Ji. Tidak usah terlalu
disedihkan. Aku juga miris melihatnya begitu. Dibanding denganmu, aku lebih
sedih lagi. Aku hanya keluar dari ruang gelap ini satu bulan sekali. Itu pun
Ibunya yang mengeluarkanku” ungkap Kurung Melayu mencoba menenangkan hati
Jilbab.
“Apa ia sudah lupa akan pelajaran yang
didapatnya saat Madrasyah dulu bahwa menutup aurat itu wajib hukumnya” Jilbab
meneruskan kata-katanya.
“Aku rasa, ia tidak melupakannya, Ji.
Manusia memang begitu, ia tahu bahwa hal itu wajib, tetapi tetap saja
ditinggalkannya” jelas Kurung, memelankan suaranya sambil melilik bilik sebelah
kanannya.
“Aku sangat sedih melihat prilakunya
akhir-akhir ini, ibunya juga sudah tak kuasa memperingatinya. Aku rindu
saat-saat aku selalu menemaninya. Mengikuti kemanapun ia pergi. Sekarang aku
benar-benar kehilangan sahabat seperti dirinya. Aku sudah jarang diajaknya
keluar dari ruang pengap ini. Walaupun aku keluar dari sini, aku sudah tidak
dipasangkan bersamamu lagi, Kur” ratap Jilbab, wajahnya masih tertunduk,
pipinya merah menahan bulir air mata yang hendak mencuat keluar.
“Ha, ha, ha. Apa yang sedang kalian
keluhkan, kawan?” sambung celana jeans panjang mengejutkan Kurung yang sedang
serius memperhatikan jilbab.
“Engkau tidak senasib dengan kami, engkau
sering keluar dari lemari ini menemani paha mulusnya. Menjajaki setiap langkah
kakinya saat ia pergi ke luar rumah. Sedangkan kami, sudah lama sekali tidak
diajaknya keluar dari sini. Rasanya, aku sudah sangat bosan di ruangan gelap
gulita ini. Aku ingin menemaninya seperti dahulu. Aku sungguh menyayanginya”
jelas Kurung.
“Sekarang zaman modern, kawan. Aku
adalah produk dari moderenisme tersebut. Sedangkan kalian, sudah ketinggalan
zaman. Mana mungkin kalian diajaknya lagi keluar dari tempat ini. Sudahlah,
terima takdir saja. Sahabat kalian itu telah mati, sekarang ia adalah
sahabatku. Aku juga pakaian yang nyaman dipakai olehnya” kata Jeans dengan nada
sombong, dadanya diangkat tinggi-tinggi, jarinya diacungkan ke depan meremehkan
Jilbab dan Kurung.
“Ohh, tidak. Memakaimu memang sangat
nyaman, namun engkau tidak pernah benar-benar menutup tubuhnya. Ia masih
tel*njang saat engkau menemaninya. Untuk apa memakai pakaian tapi masih
tel*njang. Sungguh, hal itu berdosa” Jilbab mengangkat dagunya, tatapan tajam tertuju
kepada Jeans.
“Dosa, katamu? Manusia kini tidak lagi
menghitung dosa, kawan. Banyak di antara mereka yang mengerti betul bahwa
mencuri itu berdosa, tapi mereka tetap melakukannya bukan? Apalagi dosa
berpakaian seperti yang engkau sebutkan itu, mana mungkin mereka mengurusnya.”
Jelas Jeans.
“Perkataanmu ada benarnya, jeans. Tapi
aku benar-benar tidak ingin ia melupakan aku. Aku adalah titipan Tuhan.
Memakaiku akan mendapat pahala. Aku juga sebagai pereda birahi pria-pria hidung
belang di luar sana yang siap menerkamnya.” Sambung jilbab.
“Tidak… tidak, toh masih banyak wanita
di luar sana yang menggunakanmu di kepala mereka, tapi tetap saja mereka lebih
liar daripada wanita yang tidak menggunakanmu.” Jeans membalas perkataan
Jilbab.
“Tunggu, Ji. Kita juga sering
dipasangkan berdua, bukan?. Bersama dia juga.” Sambung Jeans sambil menoleh ke
arah Kaos lengan panjang yang dari tadi diam, mendengar dialog mereka. Ia
tersenyum manis. Tanpa kata. Lidahnya masih kelu untuk mengikuti alur
pembicaraan mereka sambil mengusap-usap sela matanya. Ia baru saja bangun dari
lelapnya. Matanya masih terasa lekat.
“Iya, benar. Tapi sebenarnya aku tidak
cocok dan tidak sudi berpasangan dengan kalian berdua. Pasanganku adalah kurung
melayu sedari dulu. Kalian berdua itu memang sama-sama menutupi tubuhnya. Tapi
tetap saja lekuk-lekuk tubuh sintalnya terpampang jelas, dada bes*rnya masih
saja melahirkan birahi bagi yang memandangnya, begitu juga dengan pinggulnya.
Kalian tidak benar-benar melindungi dirinya” ungkap Jilbab. Nada suaranya
sedikit naik.
“Memang akulah yang sesuai untuk
pasangan jilbab. Aku ini tidak memamerkan lekuk dan garis-garis dari tubuhnya”
tukas Kurung.
“Tapi saat ini, kamilah sahabatnya.
Bukanlah kami yang membujuknya menggunakan kami, tapi itu kemauannya sendiri.
Kami ini mengikuti trend. Tidak ketinggalan zaman seperti kalian” Jeans
langsung menimpali jawaban Kurung sambil menoleh ke arah Rope (Rok pendek) yang
berada di dekatnya.
“Iya, kita ini trend. Tanpa kita dia
tidak akan kelihatan menarik. Kalian tahu? Tujuan wanita adalah untuk menarik
perhatian lawan jenisnya. Pilihannya adalah kami berdua. Ketika kami
menemaninya, mata-mata di luar sana tidak berkedip memandang ke arahnya. Senyum
manis mereka selalu tersungging untuk kami. Entah apa maksud senyuman itu, kami
tidak tahu. Ia selalu membalas senyuman-senyuman itu. Kami berdua juga
tersenyum” jelas Rope.
“Sudah, sudah. Aku sungguh tidak
menyukai keberadaan kalian. Produk-produk moderenisme yang merusak budaya
lokal. Seandainya aku bisa melompat keluar. Telah aku lakukan sedari dulu.
Kalian itu hanya akan membawanya kepada kemaksiatan. Apa kalian menyadarinya?”
jawab jilbab. Matanya melotot. Air matanya sudah mengering. Darahnya terasa
naik ke ubun-ubun. Jeans dan Rope terdiam, mematung tanpa kata. Mereka saling
memandang, tapi tetap diam, terus mendengar curahan hati Jilbab.
“Saat kalian menemaninya, menjulur-julur
nafsu syaitan dari mata yang memandanginya. Impian mereka ialah menyusuri tubuh
mulusnya itu di tiap jengkalnya. Kalian tahu, kalau barang mahal itu jangan
dipamerkan, sebab ia akan menjadi murah.” Sambung jilbab.
“Maksudmu?” serentak Jeans dan Rope
menjawab.
“Lihat saja penjual ikan asin, selalu
memajang dagangannya di beranda. Barang murah itu dijamahi siapa saja yang
melihatnya. Lalat-lalat, atau nyamuk iseng yang menghampirinya. Sedangkan
penjual emas, ia selalu menyimpannya di tempat yang aman, di dalam lemari kaca
dan di dalam kotak. Itu menandakan barang yang mahal. Tidak sembarang yang
boleh menjamahinya. Kecuali pembeli yang berkualitas. Bukan lalat-lalat atau
nyamuk-nyamuk iseng” jelas Jilbab.
“Aku mengerti perasaanmu, Ji. Tapi aku
tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya produk. Saat ia memilihku sebagai
temannya, aku tidak bisa menolaknya.” Ungkap Rope sambil menundukkan wajahnya.
Ia prihatin dengan perasaan jilbab yang sedang kehilangan sahabatnya. Jeans
masih terdiam, ia juga sudah tidak ingin berdebat dengan jilbab.
“Sudahlah. Do’kan saja agar ia cepat
sadar dan kembali kepada prilaku masa lalunya” sambung Mukena yang dari tadi
diam mendengarkan obrolan mereka. Semuanya mendongak ke atas, ke arah Mukena.
Tingkat paling atas dalam lemari gelap itu.
“Aku hanya dikeluarkannya dua kali saja
dalam satu tahun. Sungguh ironis bukan? Apa ia lupa dahulu ia selalu membuka
pintu lemari dan menarik tanganku keluar lima kali dalam sehari. Aku juga
sering disimpannya dalam tas sekolahnya. Menemaninya hingga pulang sekolah.
Sungguh aku rindu masa-masa itu. Tapi kenapa kini ia begitu mudah melupakan
aku.” Sambung Mukena, memaku semua kata-kata mereka yang dari tadi riuh gaduh.
Mereka hanya diam termangu-mangu. Memandang pintu lemari yang tak kunjung
terbuka. Gelap, pengap sungguh mengganggu pernapasan mereka.
“Dia gadis remaja yang lemah, mudah
goyah oleh topan zaman yang terus menerjang. Ia mudah terpengaruh oleh hal-hal
baru sehingga lupa akan kewajibannya sebagai mahluk yang beragama.” Jilbab
memulai kembali kata-katanya.
“Kita disini hanya bisa berdo’a, semoga
ia cepat sadar bahwa yang ia lakukannya adalah salah. Mohon maaf saja, kawan.
Jika nanti ia sadar, tentunya kalian produk moderenisme tidak dipakainya lagi,
atau bahkan kalian bisa dikeluarkan dari ruangan gelap ini. Bukan untuk
menemaninya. Tapi untuk menghilang dari kehidupannya” jelas Jilbab.
“Ohh… kami tidak apa-apa, toh kami juga
tidak bisa berbuat apa-apa, kami hanya produk, dirinya sendirilah yang bisa
mengubah dirinya. Kami rela jika harus berpisah dari kalian.” Jawab Rope, ia
tertunduk. Sedikit sedih tergambar di wajahnya.
Suasana hening melanda dalam ruang gelap
itu, semuanya terdiam setelah obrolan panjang, tiada kata yang terucap lagi,
semuanya membatin dalam sanubari masing-masing. Kemudian terdengar suara
tangisan yang terisak-isak dari arah tingkat bawah, mereka semuanya menunduk ke
bawah, melihat siapa yang sedang menangis. Terlihat Ceda (celana dalam) yang
sedang menutup mukanya dengan tangan sambil menyapu air matanya yang terus
mengalir.
“Kamu kenapa?” Tanya jilbab.
“Apa yang membuat engkau menangis
segitunya, kawan?” Kurung ikut bertanya.
“Ayo katakan, kenapa?” desak Rope.
Ceda masih tertunduk, ia malu mengangkat
wajahnya. Nada suara yang serak-serak dipaksa untuk keluar dari bibir tipisnya.
“Aku juga sedih, teman-teman” jawabnya.
“Kenapa?” suara tanya mereka serentak.
Mata mereka berbinar memandang Ceda yang masih tertunduk. Malu untuk mengangkat
wajahnya.
“Aku juga sudah dilupakannya.” Ungkap
Ceda.
Wanita muda itu membuka pintu kamar
dengan berbalut sehelai handuk untuk menutupi tubuhnya, mukanya putih bersih.
Rambutnya masih basah. Ia membuka lemarinya, lalu diambilnya beberapa helai
pakaian, termasuk jilbab. Setelah memakai semuanya, ia berdiri di depan cermin
besarnya. Dipandangnya lekat-lekat sosok yang mirip dirinya dalam cermin itu.
Sesekali ia tersenyum. Setelah lama terdiam, disemprotkan parfum ke bajunya.
Kemudian ia membuka pintu lalu pergi.
Cerpen Karangan: Siswari
Facebook: Siswari Senju
siswari, mahasiswa di sekolah tinggi
agam islam (STAI) Natuna.
tinggal di Ranai, Natuna, Kepulauan Riau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar