Jumat, 26 September 2014

Dialog Dalam Lemari




Wanita muda dengan posisi tegap, berdiri tepat di depan cermin besar dalam kamarnya. Ia memandang lekat-lekat sosok yang mirip dirinya dalam cermin. Sesekali ia tersenyum. Bibirnya dioleskan dengan barang berwarna merah muda itu. Kemudian ia kembali memandangi wajahnya dan tersenyum. Dia menghadap ke samping, kemudian ke belakang, matanya tetap lekat di dalam cermin. Ia berputar-putar. Setelah termangu sejenak, disemprotkan parfum ke bajunya. Kemudian ia membuka pintu lalu pergi.

Dalam kamarnya, menyengat bau wangi dari aroma parfum yang ditinggalkannya. Tempat tidurnya masih berserakan, selimut dan guling pontang-panting. Di sudut kanan cermin besarnya, berdiri gagah lemari pakaian yang menjulang hampir menyentuh langit-langit kamarnya. Berwarna kuning muda, mengkilat.

“Kenapa dia tidak mengambilku saat membuka pintu itu?” ungkap Jilbab dengan wajah kesal. Ia sudah lama tidak keluar dari dalam lemari pengap itu.
“Sejak lulus Madrasyah, aku sudah jarang menemaninya, apakah ia sudah lupa akan jasaku padanya? Akulah yang menemaninya pergi mengaji ke rumah Cik Taupik hingga ia Khatam Al-qur’an, aku juga yang selalu menemaninya selama tiga tahun di madrasyah, apakah aku sudah tidak penting lagi baginya?” keluh Jilbab sambil menundukkan mukanya. Menyimpan kesedihannya.
“Ahh, sudahlah, Ji. Tidak usah terlalu disedihkan. Aku juga miris melihatnya begitu. Dibanding denganmu, aku lebih sedih lagi. Aku hanya keluar dari ruang gelap ini satu bulan sekali. Itu pun Ibunya yang mengeluarkanku” ungkap Kurung Melayu mencoba menenangkan hati Jilbab.
“Apa ia sudah lupa akan pelajaran yang didapatnya saat Madrasyah dulu bahwa menutup aurat itu wajib hukumnya” Jilbab meneruskan kata-katanya.
“Aku rasa, ia tidak melupakannya, Ji. Manusia memang begitu, ia tahu bahwa hal itu wajib, tetapi tetap saja ditinggalkannya” jelas Kurung, memelankan suaranya sambil melilik bilik sebelah kanannya.
“Aku sangat sedih melihat prilakunya akhir-akhir ini, ibunya juga sudah tak kuasa memperingatinya. Aku rindu saat-saat aku selalu menemaninya. Mengikuti kemanapun ia pergi. Sekarang aku benar-benar kehilangan sahabat seperti dirinya. Aku sudah jarang diajaknya keluar dari ruang pengap ini. Walaupun aku keluar dari sini, aku sudah tidak dipasangkan bersamamu lagi, Kur” ratap Jilbab, wajahnya masih tertunduk, pipinya merah menahan bulir air mata yang hendak mencuat keluar.
“Ha, ha, ha. Apa yang sedang kalian keluhkan, kawan?” sambung celana jeans panjang mengejutkan Kurung yang sedang serius memperhatikan jilbab.
“Engkau tidak senasib dengan kami, engkau sering keluar dari lemari ini menemani paha mulusnya. Menjajaki setiap langkah kakinya saat ia pergi ke luar rumah. Sedangkan kami, sudah lama sekali tidak diajaknya keluar dari sini. Rasanya, aku sudah sangat bosan di ruangan gelap gulita ini. Aku ingin menemaninya seperti dahulu. Aku sungguh menyayanginya” jelas Kurung.
“Sekarang zaman modern, kawan. Aku adalah produk dari moderenisme tersebut. Sedangkan kalian, sudah ketinggalan zaman. Mana mungkin kalian diajaknya lagi keluar dari tempat ini. Sudahlah, terima takdir saja. Sahabat kalian itu telah mati, sekarang ia adalah sahabatku. Aku juga pakaian yang nyaman dipakai olehnya” kata Jeans dengan nada sombong, dadanya diangkat tinggi-tinggi, jarinya diacungkan ke depan meremehkan Jilbab dan Kurung.
“Ohh, tidak. Memakaimu memang sangat nyaman, namun engkau tidak pernah benar-benar menutup tubuhnya. Ia masih tel*njang saat engkau menemaninya. Untuk apa memakai pakaian tapi masih tel*njang. Sungguh, hal itu berdosa” Jilbab mengangkat dagunya, tatapan tajam tertuju kepada Jeans.
“Dosa, katamu? Manusia kini tidak lagi menghitung dosa, kawan. Banyak di antara mereka yang mengerti betul bahwa mencuri itu berdosa, tapi mereka tetap melakukannya bukan? Apalagi dosa berpakaian seperti yang engkau sebutkan itu, mana mungkin mereka mengurusnya.” Jelas Jeans.
“Perkataanmu ada benarnya, jeans. Tapi aku benar-benar tidak ingin ia melupakan aku. Aku adalah titipan Tuhan. Memakaiku akan mendapat pahala. Aku juga sebagai pereda birahi pria-pria hidung belang di luar sana yang siap menerkamnya.” Sambung jilbab.
“Tidak… tidak, toh masih banyak wanita di luar sana yang menggunakanmu di kepala mereka, tapi tetap saja mereka lebih liar daripada wanita yang tidak menggunakanmu.” Jeans membalas perkataan Jilbab.
“Tunggu, Ji. Kita juga sering dipasangkan berdua, bukan?. Bersama dia juga.” Sambung Jeans sambil menoleh ke arah Kaos lengan panjang yang dari tadi diam, mendengar dialog mereka. Ia tersenyum manis. Tanpa kata. Lidahnya masih kelu untuk mengikuti alur pembicaraan mereka sambil mengusap-usap sela matanya. Ia baru saja bangun dari lelapnya. Matanya masih terasa lekat.
“Iya, benar. Tapi sebenarnya aku tidak cocok dan tidak sudi berpasangan dengan kalian berdua. Pasanganku adalah kurung melayu sedari dulu. Kalian berdua itu memang sama-sama menutupi tubuhnya. Tapi tetap saja lekuk-lekuk tubuh sintalnya terpampang jelas, dada bes*rnya masih saja melahirkan birahi bagi yang memandangnya, begitu juga dengan pinggulnya. Kalian tidak benar-benar melindungi dirinya” ungkap Jilbab. Nada suaranya sedikit naik.
“Memang akulah yang sesuai untuk pasangan jilbab. Aku ini tidak memamerkan lekuk dan garis-garis dari tubuhnya” tukas Kurung.
“Tapi saat ini, kamilah sahabatnya. Bukanlah kami yang membujuknya menggunakan kami, tapi itu kemauannya sendiri. Kami ini mengikuti trend. Tidak ketinggalan zaman seperti kalian” Jeans langsung menimpali jawaban Kurung sambil menoleh ke arah Rope (Rok pendek) yang berada di dekatnya.
“Iya, kita ini trend. Tanpa kita dia tidak akan kelihatan menarik. Kalian tahu? Tujuan wanita adalah untuk menarik perhatian lawan jenisnya. Pilihannya adalah kami berdua. Ketika kami menemaninya, mata-mata di luar sana tidak berkedip memandang ke arahnya. Senyum manis mereka selalu tersungging untuk kami. Entah apa maksud senyuman itu, kami tidak tahu. Ia selalu membalas senyuman-senyuman itu. Kami berdua juga tersenyum” jelas Rope.
“Sudah, sudah. Aku sungguh tidak menyukai keberadaan kalian. Produk-produk moderenisme yang merusak budaya lokal. Seandainya aku bisa melompat keluar. Telah aku lakukan sedari dulu. Kalian itu hanya akan membawanya kepada kemaksiatan. Apa kalian menyadarinya?” jawab jilbab. Matanya melotot. Air matanya sudah mengering. Darahnya terasa naik ke ubun-ubun. Jeans dan Rope terdiam, mematung tanpa kata. Mereka saling memandang, tapi tetap diam, terus mendengar curahan hati Jilbab.
“Saat kalian menemaninya, menjulur-julur nafsu syaitan dari mata yang memandanginya. Impian mereka ialah menyusuri tubuh mulusnya itu di tiap jengkalnya. Kalian tahu, kalau barang mahal itu jangan dipamerkan, sebab ia akan menjadi murah.” Sambung jilbab.
“Maksudmu?” serentak Jeans dan Rope menjawab.
“Lihat saja penjual ikan asin, selalu memajang dagangannya di beranda. Barang murah itu dijamahi siapa saja yang melihatnya. Lalat-lalat, atau nyamuk iseng yang menghampirinya. Sedangkan penjual emas, ia selalu menyimpannya di tempat yang aman, di dalam lemari kaca dan di dalam kotak. Itu menandakan barang yang mahal. Tidak sembarang yang boleh menjamahinya. Kecuali pembeli yang berkualitas. Bukan lalat-lalat atau nyamuk-nyamuk iseng” jelas Jilbab.
“Aku mengerti perasaanmu, Ji. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya produk. Saat ia memilihku sebagai temannya, aku tidak bisa menolaknya.” Ungkap Rope sambil menundukkan wajahnya. Ia prihatin dengan perasaan jilbab yang sedang kehilangan sahabatnya. Jeans masih terdiam, ia juga sudah tidak ingin berdebat dengan jilbab.
“Sudahlah. Do’kan saja agar ia cepat sadar dan kembali kepada prilaku masa lalunya” sambung Mukena yang dari tadi diam mendengarkan obrolan mereka. Semuanya mendongak ke atas, ke arah Mukena. Tingkat paling atas dalam lemari gelap itu.
“Aku hanya dikeluarkannya dua kali saja dalam satu tahun. Sungguh ironis bukan? Apa ia lupa dahulu ia selalu membuka pintu lemari dan menarik tanganku keluar lima kali dalam sehari. Aku juga sering disimpannya dalam tas sekolahnya. Menemaninya hingga pulang sekolah. Sungguh aku rindu masa-masa itu. Tapi kenapa kini ia begitu mudah melupakan aku.” Sambung Mukena, memaku semua kata-kata mereka yang dari tadi riuh gaduh. Mereka hanya diam termangu-mangu. Memandang pintu lemari yang tak kunjung terbuka. Gelap, pengap sungguh mengganggu pernapasan mereka.
“Dia gadis remaja yang lemah, mudah goyah oleh topan zaman yang terus menerjang. Ia mudah terpengaruh oleh hal-hal baru sehingga lupa akan kewajibannya sebagai mahluk yang beragama.” Jilbab memulai kembali kata-katanya.
“Kita disini hanya bisa berdo’a, semoga ia cepat sadar bahwa yang ia lakukannya adalah salah. Mohon maaf saja, kawan. Jika nanti ia sadar, tentunya kalian produk moderenisme tidak dipakainya lagi, atau bahkan kalian bisa dikeluarkan dari ruangan gelap ini. Bukan untuk menemaninya. Tapi untuk menghilang dari kehidupannya” jelas Jilbab.
“Ohh… kami tidak apa-apa, toh kami juga tidak bisa berbuat apa-apa, kami hanya produk, dirinya sendirilah yang bisa mengubah dirinya. Kami rela jika harus berpisah dari kalian.” Jawab Rope, ia tertunduk. Sedikit sedih tergambar di wajahnya.

Suasana hening melanda dalam ruang gelap itu, semuanya terdiam setelah obrolan panjang, tiada kata yang terucap lagi, semuanya membatin dalam sanubari masing-masing. Kemudian terdengar suara tangisan yang terisak-isak dari arah tingkat bawah, mereka semuanya menunduk ke bawah, melihat siapa yang sedang menangis. Terlihat Ceda (celana dalam) yang sedang menutup mukanya dengan tangan sambil menyapu air matanya yang terus mengalir.
“Kamu kenapa?” Tanya jilbab.
“Apa yang membuat engkau menangis segitunya, kawan?” Kurung ikut bertanya.
“Ayo katakan, kenapa?” desak Rope.
Ceda masih tertunduk, ia malu mengangkat wajahnya. Nada suara yang serak-serak dipaksa untuk keluar dari bibir tipisnya.
“Aku juga sedih, teman-teman” jawabnya.
“Kenapa?” suara tanya mereka serentak. Mata mereka berbinar memandang Ceda yang masih tertunduk. Malu untuk mengangkat wajahnya.
“Aku juga sudah dilupakannya.” Ungkap Ceda.

Wanita muda itu membuka pintu kamar dengan berbalut sehelai handuk untuk menutupi tubuhnya, mukanya putih bersih. Rambutnya masih basah. Ia membuka lemarinya, lalu diambilnya beberapa helai pakaian, termasuk jilbab. Setelah memakai semuanya, ia berdiri di depan cermin besarnya. Dipandangnya lekat-lekat sosok yang mirip dirinya dalam cermin itu. Sesekali ia tersenyum. Setelah lama terdiam, disemprotkan parfum ke bajunya. Kemudian ia membuka pintu lalu pergi.

Cerpen Karangan: Siswari
Facebook: Siswari Senju
siswari, mahasiswa di sekolah tinggi agam islam (STAI) Natuna.
tinggal di Ranai, Natuna, Kepulauan Riau

Tidak ada komentar:

Posting Komentar