Jumat, 26 September 2014

Sikapku Untuk Bangsaku (Part 2)





Kini setelah mendapat pesetujuan dari keluarga. Ryan sekarang tercatat sebagai salah satu mahasiswa di universitas negeri terbaik di Jakarta Fakultas Hukum. Sejak dulu Ryan memang sudah memimpikan untuk bisa menyandang gelar sarjana hukum, sama seperti sahabatnya Arif yang sekarang juga mengambil jurusan hukum. Bedanya adalah Arif berada di bawah naungan salah satu Universitas terbaik di Inggris. Meskipun sekarang mereka terpisah oleh jarak yang cukup jauh, namun intensitas komunikasi mereka tetap berjalan terus. Maklumlah, kedua orang ini memang sudah begitu dekat sejak kecil. Namun kali ini mereka harus terpisah sejenak untuk mimpi mereka masing-masing.

Setiap hari, Ryan menjalani rutinitas perkuliahan yang begitu padat. Panas Ibukota yang selalu sama dan tak bisa diajak kompromi itu, serta macetnya jalan tak membuat Ryan untuk mengeluh mengendarai sepeda motornya menuju kampus. Kali ini dia berangkat berboncengan dengan salah satu kerabat kelasnya Adit. Anak muda seperti Ryan dan Adit memang sedang asyik-asyiknya kuliah. Apalagi Ryan terbilang aktif mengikuti kegiatan dan banyak mengikuti organisasi di kampus. Namun Ryan begitu senang, karena memang untuk itulah kita hidup, untuk berkarya. Kita masih muda kawan.

Lampu merah, dan sebagai pengendara yang baik, Ryan mematuhi aturan yang ada. Dia tak mau hanya karena memburu waktu untuk segera tiba ke kampus harus melanggar aturan yang ada, mungkin saja dia tidak akan rugi karena bisa segera tiba dengan cepat. Tapi resikonya adalah dia bisa merugikan pengendara yang lain akibat ulahnya itu. Hal yang besar pada dasarnya bermula dari pelanggaran kecil.
“Mas, minta uangnya mas” seorang anak kecil tiba-tiba datang menghampiri Ryan dengan tatapan dan suara memelas. Hal itu membuatnya miris. Namun tak ada balasan dari sapaan anak kecil itu. Ryan hanya melambaikan tangan kosong. Sebuah isyarat bahwa dia tidak akan memberikan apa-apa dan menyuruhnya segera pergi.
“Ryan, beri uang seribuan aja, kasihan” suara Adit tampak menyuruh dari belakang.
“Aku bukannya anti beramal dit, tapi ini masalah ideologi dan karakter bangsa kita kelak. Untuk memberikan uang pada pengamen terkhusus kepada anak-anak kecil di jalanan seperti itu adalah sebuah kesalahan. Dengan mudahnya kita memberikan uang, mereka akan mengira mencari uang itu adalah hal yang gampang dan tidak perlu perjuangan. Cukup minta sana-sini, maka uang akan muncul sendiri. Jika mental itu terbawa sampai mereka dewasa, bukankah negeri ini akan semakin terpuruk?” jawab Ryan dengan lantang sambil meneruskan perjalanan mereka.
“Iya benar sih. Makin miris juga setiap hari melihat makin banyak anak-anak yang mengemis di jalanan”
“Itulah. Jika memiliki uang lebih, sepertinya lebih aman jika kita sumbangkan pada dinas sosial saja. Untuk selanjutnya, uang itu digunakan mengurusi anak-anak jalanan agar lebih memiliki masa depan. Sepertinya itu lebih baik dit.” Ryan sedikit menyarankan. Ya, seperti itulah prinsip Ryan selalu yang tidak akan berubah, selalu analisa dengan matang sebelum bertindak.
Bertatap muka dengan pengamen-pengamen yang mendominasi anak kecil itu bukan hal yang baru lagi buat Ryan setiap menuju ke kampus. Itu bukan menjadi pandangan yang baru lagi. Namun hal itu tak pernah membuatnya patah semangat untuk terus menuntut ilmu di Universitas terbaik se-Indonesia itu.

Menyimak, memperhatikan, bahkan menanyakan ulang apa yang belum dipahami sudah menjadi hal yang mutlak dalam proses pembelajaran. Sepertinya anak yang sekarang berusia 18 tahun ini tak mau hanya menjadi mahasiswa yang sekedar datang, duduk, dan diam semata. Dia mau berkembang dan bersosialisasi agar kelak dia bisa juga menjadi kebanggaan buat tanah air Indonesia. Ryan sadar anak muda seperti dirinya, harus memupukkan semangat yang besar untuk melakukan hal-hal positif guna di masa tua nanti tak ada penyesalan yang hadir.

Perjalanan perkuliahan Ryan memang nampak begitu menyenangkan namun kadang terbilang sulit. Di awal-awal dia harus bersosialisasi dengan wajah-wajah baru. Namun ada pula beberapa wajah yang sudah tidak asing lagi, karena beberapa teman semasa bangku SMA dulu. Tapi satu hal yang membuat Ryan merasa bangga melanjutkan studinya di negara sendiri adalah tak lain dan tak bukan banyak dari warga negara tetangga yang rupanya juga menjatuhkan pilihan mereka di Indonesia. Sungguh suatu kebanggaan! Itu bisa membuktikan bahwa pendidikan Indonesia juga layak dibanggakan. Meskipun Ryan sadar belum bisa menjadi terbaik di mata dunia. Bertahun-tahun dia harus memupuk semangat dan menambah pengetahuan serta bersosialisasi dengan banyak macam karakter. Bahkan tak sering Ryan selalu bertukar informasi kepada mereka yang baru memulai pendidikan di Indonesia. Ryan tak segan memberi pengetahuan tentang budaya, serta makanan khas yang ada di negeri ini. Begitu sederhana, tapi buatnya itu bisa menjadi nilai tersendiri agar kebudayaan yang ada di negara Ibu Pertiwi ini bisa di kenal oleh masyarakat luar.

Kini, saat sudah menginjak semester empat. Ryan diutus dari Fakultas sebagai salah satu calon untuk ikut berpartisipasi dalam debat Hukum Internasional. Memang masih sekedar calon, karena akan diseleksi lima orang terbaik lagi untuk nantinya di ikut sertakan dalam ajang bertaraf Internasional yang dilaksanakan di Inggris. Mendapat kepercayaan dari universitas tempatnya bernaung serasa mimpi di siang bolong. Tapi ini nyata. Ini adalah mimpinya sedari dulu. Membawa nama Indonesia ke mata dunia atas kemampuan yang dimilikinya. Tapi, rasa takut dan pesimis selalu menghantui. Bukan hanya itu, dia harus menyingkirkan 15 orang lain dari berbagai universitas di Indonesia. Untuk pada akhirnya bisa betul-betul mewakili nama Negara tempatnya berpijak.

“Bukannya itu dulu mimpi kamu? Sekarang kenapa jadi ragu begitu?” tanya sang Ibu saat Ryan menceritakan semuanya.
“Ada 20 orang bu, dan yang terpilih hanya lima orang saja. Mereka semua hebat-hebat”
“Dulu kamu sendiri yang bilang, kelak suatu hari nanti ingin membanggakan negara kamu ini. Sekarang di saat kamu punya kesempatan untuk mewujudkannya malah langsung nyerah gitu”
“…”
“Oh iya bukannya dengan kamu pergi ke Inggris nanti, kamu malah bisa ketemu sama Arif juga kan? Kalian sudah tidak ketemu selama dua tahun belakangan ini lho” ibu menambahkan.
“Oh iya (sambil menepuk jidatnya). Baru ingat kalau ada Arif di Inggris. Sahabat macam apa aku, sampai lupa sahabat sendiri”
“Maka dari itu, selain nanti kamu bisa membawa nama Indonesia. Kamu juga bisa sekaligus jumpa kangen lah sama Arif disana” Ibu menyarankan.
Kali ini sepertinya, rasa pesimis Ryan sedikit mereda. Dia yakin dengan semangat dan kemampuannya kelak bisa tercapai untuk mengharumkan nama Indonesia.
“Anak muda seperti kamu itu adalah penerus untuk masa depan. Makanya di tangan kaum mudalah nasib suatu bangsa ini dipertaruhkan. Kalau kamu sendiri tidak punya keyakinan dan semangat yang tinggi, kamu harus siap melihat bangsa ini sedikit demi sedikit akan mulai hancur.” Ibu menambahkan lagi.

Ryan terdiam sejenak. Dia mulai sedikit meresapi. Dia sadar begitu banyak para generasi pendahulu telah menghasilkan karya besar buat negeri ini. Kemerdekaan yang sekarang diraih, bukan dihasilkan melalui warisan para penjajah, namun dihasilkan melalui tercecernya keringat dan darah, semangat dan aktivitas, serta retorika dan diplomasi yang dilakukan oleh para pendahulu. Itulah yang mulai tertanam di benaknya. Mulai saat itulah, Ryan giat belajar, berlatih berbicara di depan cermin, dan sering-sering bertanya guna menambah wawasannya untuk debat nanti. Setiap hari dilakukan tanpa adanya keluhan, lelah dan letih sudah makanan setiap hari. Tapi itu tak merubah antusiasnya untuk bisa menjadi salah satu calon dari Indonesia bertanding di Inggris kelak.

Hal yang dinanti kini tiba. Kurang lebih sebulan Ryan mempersiapkan segalanya. Waktu itu masih terlalu pagi. Tapi dia sudah buru-buru segera menuju ke kampus.
“Kak Ryan, tunggu aku” suara sang adik tampak kedengaran dari dalam rumah.
“Pagi ini kamu naik angkot atau taksi saja yah. Aku harus segera tiba ke kampus” teriak Ryan yang langsung menjalankan sepeda motornya.
“…”
Masih terbilang pagi memang, belum ada sinar matahari yang begitu dahsyat. Hari itu Ryan akan mengikuti seleksi untuk ajang debat Hukum Internasional nanti. Gugup, takut, dan gelisah sudah nampak menghampiri. Tapi di sisi lain Ryan percaya akan kemampuan yang dimilikinya. Dia yakin dia bisa menjadi satu dari lima orang yang nantinya akan terpilih.

“Kepada semua 20 peserta debat diharapkan segera memasuki ruang auditorium sekarang juga” tampak suara salah satu panitia menyuruh.
“Nanti kalian akan dibagi empat kelompok, jadi satu grup beranggotakan lima orang. Jadi saya harap kalian bisa memberikan kemampuan kalian yang terbaik. Keluarkan semua apa ingin kalian katakan, dan satu hal jangan pernah merasa takut. Karena disini kita butuh orang-orang yang bersikap kritis. Mengerti?” lanjut panitia mengarahkan.
“Mengerti…” tampak serempak mereka menjawab.

Setelah pembagian kelompok selesai, Ryan ternyata mendapat grup pertama dimana dua orang temannya berasal dari universitas yang berbeda dan dua lainnya berasal dari universitas yang sama dengan Ryan. Disini mereka di tuntut habis-habisan untuk mengeluarkan segala pendapat mereka. Disini lah nampaknya dilihat sifat pemimpin dan tegas dari para mahasiswa/i yang mengambil jurusan Hukum itu. Selama acara debat berlangsung, Ryan nampak begitu tegas menyampaikan setiap gagasannya. Badan yang tegap dengan suara yang lantang menambah keyakinannya untuk mampu memberikan yang terbaik. Kemampuannya dalam mengolah kata-kata membuat acara debat itu semakin berkesan, aura wajahnya tak bisa dibohongi, dia begitu yakin dan percaya akan setiap gagasannya.

“Oke, terimakasih kepada semua peserta atas partisipasinya. Kalian adalah generasi muda yang luar biasa. Kalian berani menunjukkan sikap kritis. Dan tim juri juga sudah menilai penampilan kalian semua, dan minggu depan akan segera diberitahu hasilnya.” penyampaian itu mengisyaratkan berakhirnya penyeleksian debat itu.

Satu minggu, membuatnya harus senam jantung setiap hari. Ini betul-betul mimpi terbesar dalam hidupnya. Membawa nama merah putih tercinta. Bukan hanya sekedar pembuktian, dia juga bertekad dengan cara ini dia akan kembali memupuk semangat teman-teman lain. Bahwa dengan suatu karya dan prestasi kita bisa membuat negara ini menjadi negara yang tidak harus selalu bergantung dari negara luar. Ya, kepercayaan, kerja keras, dan sikap kritis itu membuahkan hasil. Di papan pengumuman dekat fakultas, namanya tercantum di urutan ke-3 sebagai satu dari lima yang mewakili Indonesia ke Inggris nanti. Dua nama teratas dan dibawahnya berasal dari universitas yang berbeda-beda. Bulu kuduknya merinding, wajahnya memamparkan kebahagiaan yang sejati, dan tatapan mata yang terlihat berkaca-kaca. Seakan mengisyaratkan kalau apa yang dicapai sekarang bukanlah mimpi.

Rasa haru begitu terasa, ucapan selamat dari sahabat, dosen pembimbing, serta keluarga tercinta menjadi pembangkit semangat untuk harus lebih baik di ajang yang bertaraf Internasional itu. Kali ini apa yang di impikan bukan hanya sekedar angan-angan semata. Mimpinya tercapai, dia percaya dengan semangat dan kemampuan yang terus diasah apa yang dianggap tidak mungkin itu menjadi mungkin. Kini, dia mempersiapkan diri dan mengajak generasi muda lainnya untuk kreatif, mandiri serta mempunyai konsep diri bangsa yang positif agar dapat menjadi pondasi yang kuat dalam pengembangan pribadi bangsa negeri. Hal yang paling membanggakan lainnya adalah lewat debat hukum internasional ini Ryan beserta teman lain mampu memperkenalkan bahasa Indonesia di mata dunia, karena setiap peserta bisa menggunakan bahasa tempat asal mereka. Rasa bangga dan terharu tak bisa ditutupi lagi, dengan cara ini dia bisa mengajak teman-teman lain untuk membangun negeri ini sebagai negeri yang mandiri, tak selalu bergantung dengan era globalisasi.

Cerpen Karangan: Nurul Fitrah Hafid
Blog: nurulfitrahh.blogspot.com
Nama lengkap saya Nurul Fitrah Hafid, panggil saja Nurul. Lahir di Parepare (Sulawesi Selatan) tepat tanggal 21 november 1994, sekitar 19 tahun yang lalu. Anak ke 3 dari 3 bersaudara.
Ini merupakan cerita pendek karangan Nurul Fitrah Hafid, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya di: Nurul Fitrah Hafid untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatan penulis yang telah di terbitkan di cerpenmu, jangan lupa juga untuk menandai Penulis cerpen Favoritmu di Cerpenmu.com!

Cerpen ini lolos moderasi pada: 12 February, 2014

Sikapku Untuk Bangsaku (Part 1)



Malam begitu gelap. Tak ada pancaran sinar matahari yang menyinari bumi lagi, tapi jangan khawatir itu hanya terjadi malam hari saja. Bintang-bintang di langit sudah cukup membantu menerangi bumi di tambah cahaya lampu di tiap perempatan jalan ibukota.

Jalanan cukup sepi, mungkin karena sudah larut malam. Tak terlalu banyak hiruk pikuk suara kendaraan yang mengganggu. Hanya ada beberapa pejalan kaki saja. Langkah Ryan begitu pelan, entah apa yang ada di benaknya sekarang. Terus berjalan kaki tanpa ada arah tujuan sedari tadi. Hanya di temani alunan musik favoritnya saja.
“Ryan, Ryan, tunggu!” suara dari belakang tampak memanggil.
Ryan tak menoleh sedikitpun. Mungkin pengaruh terlalu asyik mendengar alunan musik itu.
“Ryan, Ryan, tunggu!” suara itu kembali terulang namun lebih keras lagi.
Kali ini Ryan akhirnya menoleh. Melihat dari kejauhan sosok yang memanggilnya. Kulit sawo matang, tinggi dan terlihat manis mengenakan kaos oblong itu ternyata teman sewaktu di SMA, namanya Arif.
“Hey rif, kenapa?”
“Mau kemana? Dari tadi siang ibumu menelfon, dikiranya kamu main ke rumah” kata Arif dengan gaya cemas.
“Oh, itu. Iya aku yang bilang tadi mau ke rumah kamu, tapi itu cuman akal-akalan saja biar ibu tidak cemas” Ryan menjawab dengan santai.
“Kenapa? Ada masalah apalagi?” tanya Arif penasaran.
Tak ada respon dari Ryan, dia hanya terus berjalan melangkahkan kakinya entah kemana, tak ada tujuan sama sekali. Arif hanya terus mengikuti meski kadang terlihat geram melihat tingkah sahabatnya itu.

“Rif, kamu mau lanjut dimana?” pertanyaan yang tiba-tiba terlontar dari mulut Ryan. “Minggu depan, aku mau ikut tes. Mau lanjut di luar saja. Maunya di Inggris, Oxford. Selasa nanti sudah tes mau ambil Hukum, minggu depannya ada tes lagi dengan jurusan yang sama sih, cuman di salah satu universitas di Singapore. Sebenarnya niat ambil jurusan Hubungan Internasional juga tapi masih ragu” Arif nampak semangat menjelaskan rencana perkuliahannya. “Kamu dimana? Tidak niat lanjut di luar juga?” tanya Arif balik.
Lagi, Ryan tak bergumam dan tak mengeluarkan sepatah kata atas pertanyaan sahabatnya itu. Entahlah, apa yang di benaknya sekarang. Seperti tak bisa ditebak.

Kini mereka sudah berjalan terlalu jauh, sangat jauh. Sedari tadi tak ada percakapan yang begitu berarti. Hanya selingan saja yang benar-benar tak punya nilai.
“Kenapa pilih kuliah di luar, Rif? Di Indonesia juga banyak universitas yang bagus kan. Lagian keluaran disini juga banyak yang hidup mereka terjamin dan akhirnya bisa dipekerjakan di perusahaan besar juga” sahut Ryan yang baru merespon. Aneh memang.
“Mereka memang menuntut ilmu disini, tapi pada akhirnya mereka juga bekerja dan banyak memilih untuk di luar negeri kan? Apa kau tidak akan bangga, kalau bisa menuntut ilmu dan bekerja di perusahaan besar di luar?” Arif menatap tajam Ryan.
Tak ada respon lagi. Tiba-tiba suara nada dering yang cukup lantang terdengar begitu dahsyat. Rupanya bunyi itu berasal dari telepon genggam milik Ryan. Kali ini Ryan harus mengakhiri percakapannya dengan Arif. Karena sang ibu sudah terlalu cemas dan menyuruhnya segera balik ke rumah.

Setiba di rumah, Ryan langsung mepercepat langkahnya menuju kamar. Tak tahan lagi dengan lelah yang ada, dia langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur yang setiap malam menjadi teman terbaiknya. Etalase foto-foto kamar menjadi sasaran penglihatan dirinya. Tampak ada satu foto disana yang tak henti ditatap. Mungkin foto itu menyimpan berjuta kenangan. Ya, foto itu adalah foto bersama sang adik sewaktu di London, Inggris dulu. Tampak senyuman begitu lebar, terlihat wajah mereka berdua begitu menikmati liburan sekolah dulu. Wajar lah, itu kali pertama mereka menginjakkan kaki ke luar negeri. Apalagi di Inggris, sungguh menyenangkan. Dentuman jam dinding kamar yang kini mengarah pada angka satu itu tak membuat Ryan untuk segera mangakhiri khayalannya. Mungkin pikirannya masih kacau, raut wajahnya sungguh datar, tapi tatapannya masih mengarah ke foto yang tadi.

“Ryan, ayo tidur cepat. Jangan begadang lagi. Besok pagi kita ke rumah Om Indra. Dia sudah datang dari Jepang. Mungkin saja nanti ada buah tangan dari om mu itu” tiba-tiba suara Ibu terdengar begitu lantang.

Ryan mengabaikan, tapi beberapa menit menjelang seruan sang Ibu tadi tiba-tiba lampu di kamar sudah mati. Ya, kali ini Ryan mendengar perintah perempuan parubaya itu. Dan entah ada angin apa, paginya Ryan bangun terlalu pagi. Tak seperti hari-hari sebelumnya yang begitu sulit untuk dibangunkan oleh sang Ibu. Kali ini Ryan segera menoleh dan mengambil jam yang sehari-hari menjadi musuh terbesarnya. Sebelum dia terusik oleh bunyi yang begitu keras dari jam itu buru-buru dia lah yang mematikan cepat bunyi alarmnya.

Pagi itu sungguh sejuk, matahari kini mulai menampakkan sinarnya. Dia bertugas lagi memberi sentuhan nafas kepada masyarakat bumi ini. Tampaknya hari itu cuaca sangat bersahabat. Pedagang kaki lima, angkutan umum serta pejalan kaki berlalu lalang sudah mulai nampak terlihat. Mereka kini tampak sudah sibuk mencari kumpulan rupiah untuk bisa tetap berpijak di atas bumi ibu pertiwi ini.
“Kak Ryan ayo cepat siap-siap, kita berangkat ke rumah Om Indra sekarang” tampak suara sang adik yang begitu bersemangat tiba-tiba menyahut dari depan pintu kamar.
“Ahhh? Ngapain sepagi ini berangkat? Lagian Om Indra juga pasti masih melek disana.” sahut Ryan dengan wajah yang sungguh datar.
“Aku sudah nggak sabar mau dapat oleh-oleh dari Om Indra, ayo buruan. Kalau telat bisa-bisa nanti kita tidak kebagian. Ayo kak buruan” nampak suara itu cukup memaksa.
Mau nggak mau, suka nggak suka kali ini Ryan harus betul-betul menuruti kata sang adik. Wajar, sang adik yang sering disapa Risan kini duduk di tingkat menengah pertama itu begitu bersemangat jika ada sanak keluarga mereka yang sudah menampakkan batang hidungnya ke Indonesia, seperti kebiasaan sebelumnya tak lain tak bukan hanya mengincar buah tangan saja. Ya sesederhana itu kebahagiaan dia sepertinya. Bahkan tak sering Risan sudah memesan terlebih dahulu. Baju, tas bahkan sepatu buatan asli dari sana sudah menjadi incaran Risan.

Di rumah yang berlantai dua milik om Indra akhirnya mereka tiba. Rumah yang cukup strategis terletak di tengah-tengah kota itu selalu dipenuhi hiruk pikuk keramaian. Kendaraan tak henti-hentinya berlalu-lalang di depan rumah Om Indra. Ternyata, dari luar Om Indra langsung menyambut kedatangan mereka semua. Tampak senyum begitu lebar terpancar dari wajah Om Indra. Wajar, tiga bulan lebih Om Indra baru mengijakkan kakinya di tanah air Indonesia dan sudah lama tak bertatatap muka dengan sanak keluarga di Indonesia. Om Indra selalu bolak-balik Jepang-Indonesia lantaran Om Indra punya usaha di bidang Desain Interior yang kini namanya makin dikenal di Jepang. Usaha ini sudah dilakukan sejak tiga tahun yang lalu. Om Indra kini juga mempunyai begitu banyak karyawan yang tiap bulan harus digajinya.

“Om, oleh-olehnya mana? Pesanan aku ada kan?” tiba-tiba suara itu terdengar di sela-sela jumpa kangen itu berlangsung. Ya, sahut Risan rupanya tak sabar menerima buah tangan dari Paman tercintanya itu.
“Tenang, om pasti ada oleh-oleh buat kalian semua. Ayo naik, pesanan kamu ada di atas”
Di sela-sela melihat buah tangan dari Om Indra dan percakapan berlangsung begitu indah, tiba-tiba Om Indra menanyakan pendidikan Ryan selanjutnya. Wajar, Ryan memang sudah lulus tingkat SMA tahun ini.
“Ryan, kamu mau lanjut kuliah dimana?”
“Hem, (Ryan tampak diam sejenak). Masih bingung Om, tapi rencana mau kuliah di Universitas yang ada di Jakarta saja. Mau coba simak UI dulu ambil jurusan Hukum om” jawab Ryan tampak tersenyum.
“Oh gitu. Kenapa nggak mau ngikutin jejak langkah om? Kamu coba sekolah di luar saja, kalau kamu tekun dan ulet nantinya bisa langsung di rekrut perusahaan besar disana. Wah, pasti orangtuamu akan sangat bangga. Atau paling tidak kamu buka usaha sendiri, lumayanlah bisa membantu penghidupan orang orang disana untuk menjadi karyawanmu” Om Indra memberi saran.
“Om bukan orang yang pertama nyaranin kayak gitu. Tapi ngomong-ngomong om sendiri kenapa nggak buka usahanya di Indonesia saja? Om juga pasti nggak bakal capek terus bolak-balik Jepang-Indonesia.” Ryan menjawab dengan nada yang cukup serius.
“Jepang itu negara maju, mungkin kamu sendiri tahu kalau penduduk Jepang terkenal dengan pekerja keras. Om bisa bedain rasanya waktu SD hingga SMP om menuntut ilmu di negara ini. Tapi saat SMA hingga om berkuliah dan akhirnya bekerja bisa membuka usaha di Jepang itu rasanya sangat beda sekali”
“Beda? Emang apa bedanya om?” Ryan seperti penasaran
“Sangat beda. Kamu tau nggak? Hal yang bisa membuat penduduk-penduduk Jepang banyak berhasil? karena penduduk Jepang terkenal dengan tipe pekerja keras. Rata-rata jam kerja pegawai di Jepang 2450 jam/tahun. Itu sangat berbeda jauh dengan yang ada di Indonesia yang bisa dikatakan jam kerja pegawainya hanya berkisar 1500an jam/tahun. Sangat jauh kan? Bukan cuman itu saja, siswa-siswi di sana jika mereka mengalami suatu kegagalan, itu adalah hal yang paling memalukan dan terburuk buat mereka, bahkan mereka bisa membunuh dirinya sendiri. Maka dari itu kenapa om nyuruh kamu untuk bisa melanjutkan pendidikan di luar utamanya di Jepang. Biar nantinya kamu bisa belajar dan sukses kelak” kata om Indra yang nampaknya tau semua tentang negara Jepang itu.

Ryan terdiam. Percakapan mereka tampaknya terhenti sejenak. Ryan mungkin lagi mencerna pernyataan Om Indra tadi. Ya, tidak ada yang salah memang dari ungkapan Om Indra itu yang membuat Indra tiba-tiba tak mengeluarkan respon apapun.
“Hei, jangan bengong” om Indra menepuk pundak keponakannya itu tiba-tiba.
“(Ryan terkaget)! Emang yang bengong siapa? Om ada-ada aja”

Percakapan yang tak begitu lama namun tampak serius tadi rupanya berakhir disini. Lantaran sudah terdengar kicauan sang Ibu yang sedari tadi memanggil untuk segera pulang. Ya, perjumpaan dan kangen-kangenan dengan Om Indra nampaknya berakhir di saat matahari sudah mulai tak menampakkan wajahnya. Hari yang sudah gelap itu memanggil mereka untuk kembali ke rumah. Semuanya naik ke mobil dan bergegas untuk pulang. Di tengah perjalanan yang cukup melelahkan, tiba-tiba saja terlihat sekumpulan anak muda dari sudut kaca mobil yang nampak terlihat melakukan tawuran. Ibu tiba-tiba menelan ludah. Tawuran itu bukan saja mengagetkan tapi juga menyadari sesuatu. Bagaimana mungkin disaat malam yang mengharuskan mereka sudah berada di rumah, masih ada saja terlihat melakukan tawuran lengkap dengan seragam sekolah yang masih menempel di badan mereka.
“Sungguh miris memang menyaksikan potret anak muda sekarang, masih ada saja tawuran malam-malam begini. Huuu” Ibu menghela napas.

Agar dapat cepat tiba di rumah. Ayah memutar balik mobil dan memilih jalan lain untuk menghindari hal-hal yang tidak di inginkan. Ya, nampaknya mereka juga begitu takut melihat tawuran yang nampak ekstrem itu. Perjalanan ke rumah pun berlanjut. Di bawah naungan langit yang dipenuhi bintang-bintang indah, diiringi kicauan burung dan melintasi terowongan gelap, perjalanan setengah jam tidak terasa. Mereka kini tiba di rumah.

Esok hari, di siang bolong. Ibu tampak tercengang melihat berita di TV. Rupanya, tawuran kemarin malam yang dilihat dengan mata kepala sendiri itu menjadi pusat perhatian dan diliput oleh banyak media. Wajah Ibu tampak kusut, sangat terkejut. Rupanya, tawuran itu memakan dua korban hingga meninggal, lantaran terkena tusukan benda tajam.
“Aduhhh, kasian anak-anak itu. Tapi, itu resikonya! Sudah malam juga masih punya kesempatan melakukan tawuran. Anak jaman sekarang!” Ibu tampak iba, tapi sekaligus jengkel.
“Kenapa bu?” tiba-tiba terdengar suara Ryan menghampiri di ruang TV.
“Ini, tawuran kemarin yang kita lihat itu diberitakan. Ternyata ada korban yang meninggal dua orang”
“Oh ya? Siapa bu?”
“Nggak tau juga. Oh ya ingat, kamu jangan sampai melakukan hal seperti itu. Ibu nggak mau mendegar kamu terlibat hal-hal demikian. Pokoknya jangan sampai! Kamu harus ingat itu yah. Kamu nggak mau kan jadi korban seperti mereka?” Ibu tiba-tiba tampak prihatin.
“Ibu apaan sih. Nggak usah khawatir sama Ryan. Ryan tau apa yang harus Ryan lakukan!”
“Baguslah. Semoga itu bukan hanya omongan belaka kamu saja. Ibu cuman mau lihat kamu bisa menjadi orang yang berguna kelak. Mau jadi apa anak muda itu kalau kerjaannya cuman melakukan tawuran dan perkelahian terus” Ibu menyeka dahi.
“Iya bu”
“Oh ya, terus bagaimana dengan kuliahmu? Mau lanjut dimana? Apa tidak ada rencana melanjutkan di luar saja? Ibu cuman takut kalau nantinya kamu akan terpengaruh dengan hal-hal seperti itu. Melakukan demo, perkelahian, sampai tawuran lah. Kamu sendiri juga sudah sering lihat kan berita-berita di tv yang setiap harinya hanya memberitakan perkelahian anak sekolah jaman sekarang” wajah Ibu tampak begitu cemas.
“(Ryan menghela napas). Aku mau lanjut disini saja bu. Teman-teman Ryan juga kebanyakan lanjut disini juga. Lagian tadi kan Ryan sudah bilang. Ibu nggak usah khawatir dengan hal seperti itu. Ryan pasti bisa kontrol diri untuk tidak melakukan hal demikian” Ryan tampak meyakinkan.
“Gimana kalau kamu coba di Jepang saja dulu nak. Disana juga ada Om Indra yang bisa kontrol kamu setiap hari. Lagipula Ibu juga ngga mau biarin kamu keluar kalau ngga ada sanak keluarga disana. Ibu begitu miris saja melihat anak muda jaman sekarang! Kerjanya hanya tawuran mulu”
“Nggak bu disini saja. Ibu hanya keliru saja. Lagian kualitas anak muda Indonesia sekarang justru lagi hebat-hebatnya. Dan Ryan bisa jelaskan kenapa. Beberapa teman Ryan di SMA dulu bisa meraih juara olimpiade robotik, olimpiade kimia, dan olimpiade fisika. Bukan hanya di sekolah Ryan, pemuda Indonesia lainnya di undang tur hiphop keliling Amerika, NewYork. Ada yang juara dunia juga dalam paduan suara bahkan terakhir ini kita melihat bendera Indonesia dikibarkan saat atlet bulu tangkis kita berhasil menjadi juara tingkat dunia di China. Mungkin, mereka semua tak pernah didengar dan dilihat oleh rakyat Indonesia. Karena hampir semua media hanya memberitakan keburukan pemuda Indonesianya saja. Dan para penonton pun lebih tertarik menyaksikan info-info negatif anak muda sekarang tanpa sadar begitu banyak sisi positif yang bisa dibanggakan bu” Ryan tampak serius menjelaskan.
Ibu tampak terdiam sejenak. Mungkin kaget dengan jawaban putra pertamanya itu. Ibu hanya menghela nafas panjang dan tersenyum kepada Ryan. Tak tau harus berkata apa lagi.
“Kayak seperti yang Ibu lihat sekarang kan? Media semua gempar-gempornya memberitakan tawuran kemarin. Kenapa bukan pemuda yang berprestasi saja yang terus diberitakan? Karena pelajar yang sedang belajar tidak menarik dibandingkan pelajar yang hobby membacok. Ada begitu banyak pelajar Indonesia di luar sana yang lagi belajar, menggali potensi mereka, berkarya dan terus berfikir. Hanya saja media tak pernah bertemu mereka karena mereka dalam lingkungan sekolah terus. Ryan juga mau bu suatu saat nanti menjadi satu di antara ribuan pemuda Indonesia yang bisa mengharumkan nama negara kita diluar sana nanti” tambah Ryan meyakinkan sang Ibu tercinta.
Lagi-lagi, Ibu hanya bisa tersenyum kagum mendengar sang putra berkata demikian. Nampaknya Ryan kini memang sudah tumbuh dewasa. Dia sudah bisa menentukan jalan hidupnya sendiri. Sang Ibu tiba-tiba memeluk Ryan, matanya berkaca-kaca, tangannya begitu erat mengenggam bahu Ryan.
“Sayang, kamu harus berjanji sama diri kamu sendiri. Kamu bisa jadi orang sukses, kamu bisa membangun negara tempat kita tumbuh menjadi negara yang lebih mandiri. Sekarang, dimana pun kamu memilih tempat kuliah ibu akan sangat mendukung” suara sang Ibu tampak bergetar.
Entah ada angin apa, Ryan yang terkenal paling susah menangis di depan banyak orang. Kali ini tak bisa ditahannya. Kali ini pipi manisnya becucuran air mata. Merasa sangat terharu karena sang Ibu begitu peduli dengannya. Padahal Ryan tahu, sebenarnya sang Ibu tak pernah ikhlas membiarkannya untuk melanjutkan pendidikan diluar. Hanya saja sang Ibu harus menghapus rasa egonya biar kelak sang anak tidak terjerumus dengan hal-hal yang tak diinginkan.

Cerpen Karangan: Nurul Fitrah Hafid
Blog: nurulfitrahh.blogspot.com
Nama lengkap saya Nurul Fitrah Hafid, panggil saja Nurul. Lahir di Parepare (Sulawesi Selatan) tepat tanggal 21 november 1994, sekitar 19 tahun yang lalu. Anak ke 3 dari 3 bersaudara.
Ini merupakan cerita pendek karangan Nurul Fitrah Hafid, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya di: Nurul Fitrah Hafid untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatan penulis yang telah di terbitkan di cerpenmu, jangan lupa juga untuk menandai Penulis cerpen Favoritmu di Cerpenmu.com!

Cerpen ini lolos moderasi pada: 12 February, 2014

Deret Tinta Untuk Negeri




Apakah aku bisa banggakan orangtuaku, banggakan negeriku, banggakan bangsaku, banggakan tanah airku, apapun keadaanku?
Aku ingin menjadi anak yang hidup normal seperti sebayaku. Menapaki setiap detik waktu belajarku di sekolah, bergaul dengan teman seusia, banggakan orangtua, berprestasi di usia muda, bahkan saatnya aku mati kapanpun itu aku juga ingin dikenang. Bukan karena kebodohanku, tapi karena prestasiku. Salahkah aku berkeinginan mewujudkan hal itu?
Tapi mengapa aku dilahirkan dengan keterbatasan? Bagaimana aku bisa mewujudkan keinginanku jika keadaanku seperti ini ya Allah?

Namaku Salsabila Adriyani Fatiha, atau yang kerap disapa Bella. Aku bukan lah anak dari seorang direktur bank ternama di kota, bukan pula seorang anak dari pengusaha garment kaya. Ayahku yang hanya seorang guru bantu di salah satu sekolah dasar dekat rumah, bukanlah suatu pekerjaan yang bisa membantu ekonomi keluarga. Sedangkan ibuku hanya seorang buruh cuci. Usiaku genap 14 tahun saat 2 bulan yang lalu. Kehidupanku sehari hari hanyalah membantu ibu menyelesaikan pekerjaan di rumah, juga menempuh pendidikan di salah satu sekolah menengah pertama luar biasa di kotaku.

SMPLB? Ayah menyekolahkanku di sana karena aku mempunyai keterbatasan, tahukah kamu apa keterbatasanku? Aku salah satu anak indonesia penderita disleksia, jarang memang di Indonesia ada anak yang menderita disleksia. Disleksia adalah kurangnya kemampuan dalam menyerap kalimat, berhitung dan menulis. Sampai saat ini, aku belum juga tau apa gerangan yang menyebabkanku menderita penyakit itu. Tetapi aku pernah mendengar, saat dokter berbincang dengan ayahku, disleksia yang kuderita bukan karena ayah yang terlambat menyekolahkanku, bukan pula karena kemalasanku belajar, tetapi memang karena otakku tak mampu berfikir berat secara cepat.

Di sekolah, aku tak mempunyai banyak teman. Mereka semua kukenali, tetapi tak ada yang mau mendekat kepadaku. Hanya Cessa yang setiap hari bersamaku di sekolah. Ia juga mengidap disleksia sama sepertiku, tetapi ia juga mengidap tumor di lehernya. Mungkin tak banyak anak yang mau berteman bahkan hanya berbicara sepatah dua patah kata denganku, karena hanya menghabiskan waktu, butuh lebih dari satu menit untukku menjawab pertanyaan dari mereka. Dan itu sudah pasti tak menyenangkan.

Pernah saat itu, tetangga sebayaku, Raissa, bertanya kepadaku, “Daritadi Aku mencari ibuku kemana mana tidak ada. Apakah Kau melihatnya?” Raissa menggerutu tak jelas, mukanya kelihatan sangat sebal.
Aku hanya memandang wajahnya, mendengarkan ucapannya dan mencoba mencerna apa yang ia katakan. Tetapi aku bingung dengan apa yang ia katakan. Aku memilih terdiam dan masih mencoba mencerna kalimat yang ia ucapkan.
“Hey Bella, apa Kamu tidak tahu kalau aku lagi kesal? Aku tuh nanya ke Kamu. Kalau nggak tau ya bilang aja! Nggak punya mulut apa gimana sih? Nggak tau apa orang lagi kesal?”
Nampaknya Raissa seperti orang yang sedang marah. Aku jadi semakin bingung. Deretan kata yang ia ucapkan membuat hatiku sakit, walaupun aku tak sepenuhnya faham akan ucapannya.
Kebingunganku akan ucapan Raissa semakin membuat kepalaku pening, otakku rasanya sakit.

Aku segera memutuskan untuk berlari masuk ke dalam rumah. Terdengar, di luar Raissa berteriak teriak. Hal itu juga berlaku saat aku di sekolah. Saat aku sedang menulis, saat aku sedang berhitung, selalu saja aku merasa kepalaku pening dan otakku memanas.

Di balik itu semua, dibalik semua keterbatasanku, aku masih punya mimpi. Secuil kecil mimpi anak Indonesia penderita disleksia. Yang ingin membanggakan kedua orangtua, membanggakan tanah airnya. Dan, apakah hal itu salah?
Walaupun aku berkebutuhan, apakah menurutmu aku tak bisa seperti yang lain? Bukannya aku menyombongkan diri, tetapi Kita kan sama-sama ciptaanNya, kita ada di satu bangsa, satu tanah air, dan memiliki bahasa kesatuan yang sama. Indonesia. Dan, salahkah anak Indonesia sepertiku bermimpi?

Pernah suatu ketika, aku mencoba membuat sebuah artikel tentang diriku di buku kecilku, tanpa sepengetahuan ayah dan ibu pastinya. Dengan sekuat tenaga aku berfikir setiap malam. Merasakan sakit kepala yang berkepanjangan. 6 hari begitu berturut turut. Entah bagaimana, 10 hari setelah selesai, naskahku dimuat di salah satu redaksi ternama daerah. Ternyata ayahlah yang mengirimkan naskahku tersebut. Aku berterima kasih pada ayah, juga pada ibu. Syukur selalu kupanjatkan padaNya. Aku masih tak percaya. Dan aku berjanji akan terus berusaha mencoba dan belajar menulis di tengah keterbatasanku.

Hingga pada suatu hari, sebuah redaksi nasional memintaku menjadi salah satu jurnalisnya dalam sebuah event. Tahukah Kamu event apakah itu? Ternyata adalah konferensi pers Asian Games 2010 di Myanmar. Aku akan berangkat ke Myanmar? Ya Allah, benarkah ini semua? Apa yang aku impikan akan terwujud, menjadi jurnalis cilik pertama di ajang bergengsi tingkat Asia tersebut. Aku akan disejajarkan dengan para jurnalis asal negara-negara di Asia? Tentunya mereka lebih dewasa dan lebih paham akan dunia jurnalistik. Dan itu berarti aku akan bisa banggakan orangtua, juga tanah airku. Terima kasih Allah.

Tetapi sayang, 3 hari sebelum keberangkatanku ke Myanmar, suatu hal buruk menimpaku. Dokter memvonisku menderita kanker otak, itulah menyebabkan mengapa aku menderita disleksia akut serta merasakan sakit yang luar biasa setiap saat. Ya Allah, cobaan apalagi yang engkau berikan ini? Aku masih ingin membanggakan orangtuaku, juga bangsaku. Aku mohon padamu ya Allah.

Hari ini adalah hari keberangkatanku ke Myanmar. Aku tak sendirian. Bersama ayah dan juga ibu serta para karyawan dari redaksi lain. Pukul 18.30 sesuai dengan jam indonesia yang melingkar di pergelangan tanganku, pesawat landing di bandara Internasional Myanmar. Tak lupa aku selalu memanjatkan puji syukur kepada Allah, agar apapun yang akan aku jalani membawa berkah dan membanggakan.

Satu hari setelah aku sampai di Myanmar, adalah hari dimana konferensi pers Asian Games dilaksanakan. Tepat di hari Jum’at, tanggal 28 Oktober 2010. Bertepatan dengan peringatan Sumpah Pemuda di Indonesia. Dan aku berharap, di tanggal baik ini aku bisa menjadi pemudi Indonesia yang membanggakan.

Perhelatan akbar telah selesai dilaksanakan. Aku tahu, semua masyarakat Indonesia menantiku. Menanti kabar apa saja yang akan aku ceritakan. Ayah juga bilang, sesampainya aku di Jakarta nanti, aku harus segera bertolak ke Istana Negara, untuk bertemu bapak Presiden Indonesia.

Pukul 08.00 pagi aku dan rombongan sampai di Jakarta. Aku dan juga ayah serta ibu segera mencari taksi untuk kutumpangi menuju istana negara. Namun, Allah berkehendak lain, saat di perjalanan tiba tiba kepalaku merasa sakit yang tidak seperti biasanya. Aku menjerit kesakitan. Ayah dan ibu panik, segera aku dilarikan ke rumah sakit.
2 jam di rumah saat tak membuatku sadar. Aku tahu, ayah dan ibu merasakan kecemasan. Ya Allah, jika memang ini saatnya aku untuk pergi dari dunia ini aku ikhlas ya Allah. Aku sudah tidak kuat merasakan sakit dalam hidupku ya Allah.

Allah mengabulkan permintaanku. Kini malaikat maut telah mencabut nyawaku. Terdengar isak tangis yang begitu mendalam dari sanak saudaraku. Dan, aku meninggal dengan senyuman manis menempel di bibirku.

Terima kasih ya Allah. Engkau telah mengabulkan semua doaku. Engkau telah membuatku bisa membanggakan orangtuaku, juga tanah airku, di tengah keterbatasan yang Engkau berikan.

Semoga aku bisa menjadi contoh baik bagi semua pemuda dan pemudi Indonesia. Yang selalu bersyukur atas apa yang Allah berikan. Tak pernah putus asa dalam setiap cobaan. Dan bisa membanggakan tanah air Indonesia tercinta ini.
Bangun pemuda-pemudi Indonesia…
Lengan bajumu singsingkan, untuk negara…
Masa yang akan datang, kewajibanmulah…
Menjadi tanggunganmu terhadap nusaaaa…

Cerpen Karangan: Ilma Ainunisa
Facebook: Ilma Niki Rise
Halo Namaku Ilma Ainunisa. Aku lahir di Banyuwangi, tepatnya tanggal 29 Maret 1999. Saat ini aku sedang menempuh study semester 5 di salah satu sekolah menengah pertama favorite di kotaku. follow account twitterku yaaa, @ilmaannisa1
Ini cerpen pertamaku yang aku publish di cerpenmu.com . makasih ya yang sudah mau baca, dan semoga sukaa