===14 KRITERIA KELUARGA MISKIN VERSI BPS ITU==
1. Luas lantai
bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang
2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari babmu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.
8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5 ha,buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600 ribu per bulan.
13. Pendidikan tertinggi kepala kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.
14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp. 500 ribu seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari babmu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain.
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.
8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5 ha,buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600 ribu per bulan.
13. Pendidikan tertinggi kepala kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.
14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp. 500 ribu seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
Sumber: Badan Pusat Statistik
BONTANG –
Sebanyak 14 kriteria keluarga miskin (Gakin) (lihat grafis, Red.) ditetapkan Badan Pusat Statistik
(BPS) dan disosialisasikan Departemen Komunikasi dan Informatika 2005 silam
tampaknya tak berlaku di Bontang.
Terbukti, dari
pemasangan pelang keluarga miskin oleh Pemkot Bontang melalui Kantor
Pemberdayaan Masyarakat (KPM) yang melencang dari kriteria. Salah satunya warga
di RT 12 Kelurahan Bontang Baru, Bontang Utara. Rumah warga bernomor 45 itu berdiri
kokoh berbahan beton lengkap dengan
sejumlah peralatan elektronik yang tertata rapi dalam rumah berhias cat merah
muda pada sisi dalam ruangnya.
Fakta itu,
tersebut, jelas bertentangan dengan aturan yang menyebut “Jenis lantai bangunan
tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan dan dinding tempat tinggal
terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
Halimah (50)
pemilik rumah yang ditemui media ini menegaskan, jika keluarganya memang pantas
dipasangi pelang keluarga miskin. Sebab, kata dia, untuk makan sehari-hari
saja, dia pun mesti bekerja sebagai tukang cuci-gosok di rumah warga yang
membutuhkan jasanya. Sebab, jika dia hanya mengandalkan penghasilan sang suami
Suparno (57) sebagai kuli bangunan dengan penghasilan tak menentu, tidak akan
cukup.
“Anak saya ada
9. Dari bapak ada 3 orang, dari saya ada 4. Sementara buah pernikahan kami ada
2. Tapi, keduanya tinggal di Jawa sekarang.Jadi yang tinggal di rumah ada 7
orang,” jelasnya pada Bontang Post, Minggu (11/1) kemarin.
Dia membeber,
penghasilan sang suami sekali bekerja, rata-rata per bulan Rp 1,5 juta. Itupun
tidak menentu. Kadang ada, kadang juga tidak bekerja dalam sebulan itu.
Sementara, penghasilan upah cuci-gosok yang dilakoninya siang-malam, bisa Rp
200 hingga 300 ribu per bulan untuk satu rumah. Tergantung berapa jumlah orang
di keluarga itu. Jika 6 sampai 7 orang dalam satu keluarga, dipatok Rp 300
ribu. Tapi, di bawah jumlah itu, hanya dikenakan Rp 200 ribu.
“Jadi, saya sama
suami, bagi tugas. Untuk kebutuhan di rumah, biasanya pakai upah cuci-gosok.
Untuk kebutuhan sekolah anak, hingga membangun rumah ini sampai seperti
sekarang, itu pakai uang suami,” bebernya.
Dia menjelaskan,
rumah yang dia tempati sejak 2003 ini, adalah buah keringat keduanya dari
profesi yang jauh dari kata elit. Sehingga, dia mengkritisi, jika penetapan
kategori keluarga miskin dari kondisi fisik rumah dan atribut rumah tangga yang
dimiliki. Sebab, tegas dia, setiap orang bisa melakukan hal serupa jika
bersungguh-sungguh dan mau berkorban.
“Kami bangun
rumah ini butuh pengorbanan. Bahkan, dalam sehari, kami paksakan makan Cuma dua
kali. Siang dan malam. Lauknya, sering pakai garam- petsin (penyedap rasa, Red.)
Tujuannya menghemat pengeluaran untuk bangun rumah,” jelas dia.
Tak heran, jika
ketua RT 12 terus memperjuangkan keluarganya mendapat jatah Beras Miskin
(Raskin), atau bantuan sosial yang mengacu pada keluarga miskin. Sekalipun dia
sempat dicoret dari keluarga miskin 2009 silam, lantaran kondisi fisik
rumahnya. Namun berkat bantuan Ketua RT yang mengerti latar belakang
keluarganya, maka terus diperjuangkan hingga bisa kembali terdaftar keluarga
miskin.
“Mungkin ada
yang protes, kenapa saya bisa dapat Raskin. Sementara rumah saya bagus.
Makanya, saya dicoret dari keluarga miskin. Tapi, karena Ibu RT paham kondisi
saya. Makanya, kembali didaftarkan sampai sekarang,” tegasnya lebih jauh.
Meski begitu,
jika kemudian Pemkot menerapkan kebijakan untuk mencoret dirinya dari daftar
keluarga miskin, dia tetap akan menerima. Sebab, dia menyadari, jika mengacu
pada tolok ukur kategori miskin yang ada, kondisi fisik rumah dan perabotan
yang ada di dalamnya, dia pasti tidak akan masuk.
“Kami bukan minta-minta dianggap miskin. Tapi,
itulah kondisi sebenarnya. Keluarga saya ini memang miskin. Dan butuh bantuan,”
tandasnya.
Sementara itu, Lurah Bontang Baru, Nikolaus Apridza
Eko Waldian, mengaku jika proses pemasangan pelang keluarga miskin di daerahnya
telah rampung tahun lalu. Bahkan, dia menjamin, tidak ada salah sasaran proses itu.
Sebab, ada tahapan tertentu yang melibatkan petugas KPM, kelurahan, dan
terpenting ketua RT, lalu diakhiri dengan musyawarah kelurahan (Muskel). Proses
penyaringan calon penerima bantuan sosial lebih ketat.
“Tahu lalu sudah selesai pemasangan pelangnya. Dan
saya rasa, sudah tepat sasaran. Karena yang terlibat pihak-pihak yang memang
tahu kondisi di lapangan,” ujarnya.
Meski begitu, ujarnya, ketika terbukti ada penerima
pelang keluarga miskin salah sasaran, itu kembali ke pribadi masing-masing.
Sebab, jika dipaksakan, pasti tidak berakhir baik. Bisa saja, ada yang
marah-marah ketika ingin dicoret dari keluarga miskin oleh petugas dan ketua
RT.
“Kembali ke pribadi masing-masing. Intinya, kalau
punya malu berarti tidak ngaku-ngaku. Kecuali dia memang benar-benar miskin,
berarti ada alasan,” tegasnya. (*/in)
MASIH SALAH SASARAN, KPM MEMBENARKAN
Inilah salah seorang warga di Kelurahan Bontang Baru sebagai sasaran Pelang Miskin. Namun melenceng dari 14 Indikator Keluarga Miskin |
KANTOR
Pemberdayaan Masyarakat (KPM) Bontang meyakinkan, jika indikator miskin dari
BPS tetap dipakai di Bontang. Meskipun, dia akui masih ada saja oknum warga
‘ngaku’ miskin.
Kepala
KPM Bontang Kistari menuturkan, upaya pengakuratan data bagi Gakin di Kota
Taman terus dilakukan. Hal itu demi menekan terjadinya salah sasaran dalam
proses pendistribusian Bantuan Sosial (Bansos) dari berbagai pihak yang
ditujukan bagi para Gakin Bontang.
Bukan
hanya dari pemerintah melalui Beras Miskin (Raskin) hingga Bantuan Langsung
Sementara Masyarakat (BLSM). Begitupula dengan bantuan dari kalangan swasta
yang hendak menyalurkan sebagian rezekinya ke masyarakat yang membutuhkan.
Salah
satunya, lewat pemasangan Pelang Keluarga Miskin terhadap setiap rumah Gakin
mengacu pada Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2010-2011
melalui Badan Pusat Statistik (BPS). Tak heran, jika di lapangan masih kerap
ditemukan Gakin yang salah sasaran. Sebab, kondisi perekonomian keluarganya
melenceng dari 14 indikator Gakin yang ada.
“Acuan
pemasangan pelang kelurga miskin di Bontang, data PPLS dari BPS, yang diambil
per 3 tahun sekali. Tak heran, kalau ada yang melenceng dari kategori,”
jelasnya saat dihubungi, Senin (13/1) kemarin.
Sebab,
lanjut dia, dalam rentan waktu tiga tahun itu, bukan hal mustahil ada peningkatan
kesejahteraan hidup. Entah lebih sejahtera dari sebelumnya, atau sebaliknya.
Karena, kata dia, prospek pemerintah dari tahun ke tahun adalah menekan
peningkatan angka kemiskinan hingga habis.
“Tapi,
yang namanya hidup, kita tidak bisa menebak. Karena, semua kembali ke upaya
warga meningkatkan taraf hidupnya,” kata dia.
Meski
begitu, dia optimis, melalui pemasangan pelang keluarga miskin itu, data Gakin
Bontang kian akurat. Sebab, melalui tahap pemasangan pelang itu, petugas (KPM,
kelurahan, dan Ketua RT, Red.) dapat
melihat
langsung kondisi di lapangan. Gakin yang benar
sesuai kriteria. Apalagi, setelah disaring lewat Musyawarah Kelurahan (Muskel).
“Dari tahap pemasangan pelang saja sudah bisa
kelihatan Gakin yang benar dengan yang dibuat-buat. Salah satunya, melalui
surat persetujuan pengakuan Gakin yang kami beri ke pemilik rumah sebelum
memasang,” ujarnya.
Lalu dipertegas dengan pendataan 2014 oleh BPS.
Yang akan dikirim ke pusat dan menjadi PPLS baru dalam pendistribusian bansos
di seluruh penjuru negeri. “Intinya, setelah pemasangan pelang keluarga miskin
ini, data Gakin Bontang akan membaik
sesuai 14 indikator yang ada,” tadasnya (*/in)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar