Sabtu, 14 Juni 2014

Demokrasi Tinggal Nama ?



Imran Ibnu
 ARTI sebuah nama amatlah besar. Karena tanpa nama, tidak akan ada hubungan sosial. Tanpa nama tidak akan ada persaudaraan, tanpa nama tidak akan ada keluarga begitu pula seterusnya.
Ya, dalam artikel kali ini, saya sengaja mengangkat tema arti sebuah nama dalam kehidupan ini. Tapi condong artikel saya lebih kepada arti dari nama atau istilah digunakan oleh pemerintah. Baik eksekutif maupun legislative. Karena saya cenderung menilai, nama atau gelar yang mereka sandang atau gaungkan selama ini tidak lagi sesuai dengan kondisi nyata.
Para eksekutif misalnya. Mulai dari jajaran Pegawai Negeri Sipil (PNS) di tingkat kepresidenan, kementrian, hingga Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Kerap kali saya merenungi hal itu. Sebab, para pemerintah kerap menyebut diri mereka sebagai pelayan masyarakat. Entah sejak kapan istilah itu ada di bumi ini. Namun dari pengalaman saya selama menjadi ‘kuli tinta’, istilah itu justru terdengar dari para pejabat atau pelayan masyarakat itu.
Tapi jika merujuk pada arti pelayan di kehidupan nyata. Berarti pelayan adalah seseorang yang bekerja untuk sesuatu lebih tinggi. Lalu mereka hidup dan dibayar sang Miliarder. Jika demikian, dalam istilah pemerintahan ini, siapakah sang Big Boss yang mampu membayar para pelayan hingga mampu menjadi kaum intelektual. Dan kini telah sukses mencetak berbagai jenis kepribadian dan peruntukan berbeda. Ada yang benar-benar menggunakan ilmunya untuk pengabdian  pada sang Boss. Tapi ada pula yang menggunakannya untuk ‘memintari’ sang Boss. Atau bahasa anak sekarang mengibuli.
Lalu siapakah sang Big Boss itu ? lagi-lagi, jawaban itu saya peroleh dari para pejabat sendiri. Mereka mengaku bekerja untuk rakyat dan mengabdi untuk Negara. Lalu siapa pemilik negara ? kalau soal ini jelas ada beragam persepsi. Tapi kalau saya pribadi, pemiliknya Allah SWT.
Kembali ke kehidupan nyata. Menurut saya gelar pelayan masyarakat saat ini sudah berubah makna. Karena umumnya, para pelayan tersebut cenderung memiliki kehidupan lebih baik dari para Boss, masyarakat. Bahkan, saya sendiri pernah mendapatkan fakta menarik tentang perubahan makna itu. Yakni, ketika ada pejabat atau pelayan masyarakat menolak memberi pelayanan lantaran satu sebab. Namun ketika hal itu berlaku pada kehidupan nyata, ketika sang pelayan menolak memberi pelayanan, maka akan langsung didepak dari jabatan.
Tapi kelihatannya itu sulit dan nyaris mustahil terjadi. Sebab, selama ini keberadaan para pejabat alias pelayan itu begitu sulit tersentuh. Sebab istana yang dibangun menggunakan uang rakyat, baik dari retribusi pajak, hingga sanksi diterapkan bagi pelanggar aturan, seolah sulit terjangkau. Bahkan tak jarang ada kasus pejabat menolak menemui rakyat karena berbagai alasan. Padahal sebagai seorang pelayan, yang menikmati itu semua adalah masyarakat.
Gerah, Berang, hingga Kesal. Itulah sebuah gambaran kerap ditunjukan rakyat menerima perlakuan tak layak seperti itu. Lalu di manakah hak diterima masyarakat. Semua seolah terbang dan menguap ditelan kemunafikan para pejabat. Dalam setiap kebijakan, selalu menjual nama rakyat. Segala sesuatu untuk kepentingan rakyat, dan semua dampak kebijakan itu akan kembali ke rakyat. Tapi apa yang dirasakan rakyat, justru penderitaan, siksaan, hingga kerugian.
Kenapa saya bisa berpikir demikian ? ya semua tidak lain karena realita di lapangan. Tak usah jauh-jauh. Proyek pembangunan pasar Rawa Indah yang telah berbulan-bulan diselimuti masalah. Belum rampung satu, datang lagi masalah lain. Sementara, ketika mereka menuntut keadilan, tak jarang merekaa harus menempuh jalur ‘keras’ agar bisa bertemu untuk sekadar menerima penjelasan. Yang tak jarang, berupa rentetan kata namun tak bisa memuaskan apa yang diinginkan warga sebagai solusi.
Bukan hanya perihal Rawa Indah. Tapi fakta nyata tentang perubahan makna Pelayan Masyarakat begitu terasa. Hal itu terjadi beberapa pekan lalu. Ketika saya mencoba memediasi sebuah keluhan warga tentang buruknya pelayanan sebuah instansi. Ketika terbit, pejabat bersangkutan berang bukan kepalang. Bahkan mengancam mengajukan somasi. Tapi itu semua bukan masalah bagi saya. Itulah dinamika kehidupan. Tak berbeda dengan zaman Soeharto. Di mana, demokrasi adalah harga mahal. Bahkan ketika itu diterobos, akan berujung maut.
Lalu apakah anti demokrasi itu akan diterapkan di Kota Taman tercinta ? saya berharap itu tidak terjadi. Namun sekali pun itu terjadi, bukan halangan bagi saya untuk mengungkap sebuah fakta. Karena saya sadar, kebenaran itu mahal. Dan butuh keberanian untuk menegakan keadilan. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar