Kamis, 12 Juni 2014

Unas SD Dihapus Picu Pro dan Kontra


BEBAS: Pelajar tingkat SD terbebas dari Ujian Nasional (Unas) yang kerap menjadi momok menakutkan (foto Imran Ibnu)

BONTANG – Penghapusan ujian nasional (UN) SD ditanggapi beragam. Mereka yang setuju beralasan, peringkasan ujian SD menjadi hanya ujian sekolah (US) atau ujian madrasah ibtidaiyah (UM) memangkas birokrasi dan menjadikan siswa bebas dari beban. Sementara yang kontra khawatir semangat murid akan turun lantaran yakin pasti lulus.
Kepala SDN 002 Bontang Selatan, Sultan misalnya. Dia mengaku setuju dengan penghapusan unas bagi pelajar tingkat SD sederajat. Sebab, kata dia, keberadaan Unas bukan jaminan tercipta Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas. Terbukti, pada nilai akhir unas, terkadang ada siswa yang dalam keseharian terlihat biasa dan tidak  berprestasi, namun saat unas, nilainya bisa meningkat pesat jauh di atas siswa yang dalam kesehariannya, tampak jelas berkualitas dalam menerima pelajaran.
Bahkan, kata dia, bukan mustahil siswa yang dalam kesehariannya membanggakan atas prestasi-prestasi yang diperoleh. Harus kecewa lantaran tidak bisa lolos dan mencapai standar minimal kelulusan dalam pelaksanaan unas.
“Tidak sedikit, siswa pintar tidak bisa lulus saat proses mengisi lembar jawaban computer (LJK). Padahal jawabannya benar. Makanya, saya setuju kalau unas itu dihapus. Asal, sistemnya juga diubah,” jelasnya pada Bontang Post, Sabtu (18/1) kemarin.
Sistem yang dia maksud, penerapan standar nasional yang ditentukan pusat. Berupa tolok ukur penentuan nilai minimal siswa. Karena kata dia, jika tanpa standar, bisa saja salah satu sekolah seenaknya menetapkan nilai minimal. Meskipun, pada dasarnya, setiap sekolah pasti berusaha memberikan yang terbaik untuk sekolah mereka.
“Kalau ada standar, kan bisa memotovasi siswa juga. Bahkan, bisa lebih keras belajar. Tapi, dari kami, dan saya yakin sekolah lain pun sama. Akan memberikan yang terbaik,” kata dia.
Dia menjelaskan, informasi yang diperoleh, sejak unas dihapuskan, intervensi dari Kemendikbud hanya 25 persen. Bentuknya berupa kisi-kisi. Sementara, soalnya dibuat Pemerintah Daerah (Pemda).
“75 persennya dari Provinsi. Informasi lebih lanjut, kami masih menunggu dari Disdik,” terangnya.
Terpisah, Waka SDN 006 Bontang Selatan Sriani mengaku tidak begitu setuju dengan penghapusan unas SD. Sebab kata dia, akan berdampak beberapa hal. Misalnya saja, semangat belajar siswa yang terancam menurun. Lantaran, tidak ada standar nasional yang menjadi momok menakutkan bagi siswa dan guru. Untuk meningkatkan kualitas belajar-mengajar.
“Kalau tidak ada unas dan tidak ada standar nasional, bisa saja menyurutkan semangat siswa. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, ada anggapan, bahwa tidak perlu belajar, karena dengan penerapan UAS (ujian akhir sekolah, Red.), besar kemungkinan lulus,” jelasnya.
Sebagai ganti, kata Sri, pemerintah pun menerapkan kurikulum 2013. Pun memiliki tantangan tersendiri. Yakni, khusus kelas 1 dan 4, setiap pengajar di sekolah yang ditunjuk sebagai pilot project kurikulum 2013, wajib menguasai materi terkandung pada buku Tematik terpadu. Sehingga, juga dituntut kreatif. Sebab, dalam sistem baru itu, para pendidik mesti bisa mengenali dan mendalami siswa yang dibina. Sehingga, bisa memaksimalkan pemberian materi.
“Itu juga jadi tantangan tersendiri bagi sekolah yang ditunjuk jadi pilot project. Tapi, kalau memang ini sudah jadi ketetapan Kemendikbud. Kami pasti tidak bisa menolak. Upaya kami tinggal menyesuaikan dan menerapkan sistem baru itu secara maksimal,” tandasnya. (*/in)




DEWAN PENDIDIKAN dan PGS MENDUKUNG


PENGHAPUSAN Ujian Nasional (UN) untuk jenjang SD, mendapat dukungan penuh organisasi bidang pendidikan seperti Persatuan Guru Swasta (PGS) dan Dewan Pendidikan Bontang. Mereka menilai, dihapuskannya UN di jenjang SD, sangat tepat. Bahkan, menilai itu sudah semestinya dilakukan. Sebab, yang mengerti tentang karakter hingga kualitas siswa adalah pendidik di sekolah. Bukan pemerintah pusat.
Ketua PGS Bontang, Agus Haris menilai, penghapusan UN SD sudah tepat. Karena, kata dia, sudah semestinya penilaian hasil belajar siswa dikembalikan ke sekolah. Sebab,  yang mengerti tentang karekter hingga kualitas siswa adalah tenaga pendidik di sekolah.
“Selama ini, hasil belajar siswa dinilai pemerintah pusat. Sementara, mereka tidak tahu apa-apa. Hanya berpatok pada hasil pengisian LJK (lembar jawaban komputer, Red.),” jelasnya, Minggu (19/1) kemarin.
Di sisi lain, lanjutnya, pelajar di tingkat SD, masih tahap pembinaan mental, akademik, hingga pembentukan karakter siswa. Sehingga, belum tepat jika mereka dicekoki dengan UN sebagai momok menakutkan bagi sebagaian siswa hingga guru.
“Anak SD itu, kurang lebih anak TK. Masih labil dan butuh tempaan mental dan akademik. Jadi saya kira, tepat kalau UN ditiadakan untuk mereka. Kecuali kalau sudah masuk SMP, atau SMA. Karena, di tahapan itu mereka sudah mengerti. Dan sebentar lagi terjun di kehidupan sosial. Jadi penting ada standar nasional,” terangnya.
Terkait pengaruh penghapusan UN terhadap kualitas belajar siswa, dia membantah dengan tegas. Karena, kata dia, sekalipun tidak ada standar nasional sebagai target, tidak akan mengurangi kualitas belajar siswa. Sebab, kata dia, setiap sekolah pasti berupaya memberikan yang terbaik dengan melahirkan SDM berkualitas. Sebab, hal itu menyangkut pencitraan sekolah.
Lagi pula, dia meyakini, setiap sekolah pasti memiliki tenaga pendidik berkompeten. Yang tetap berjuang melahirkan SDM berkualitas sekalipun tidak ada unas.
“Bahkan, tanpa unas, besar kemungkinan kemampuan akademik siswa lebih ter-eksplore. Karena, tidak ada lagi standar minimal. Tapi, persaingan antar sekolah. Jadi, akan terlihat jelas, sekolah yang berkualitas dengan tidak,” tandasnya.
Hal senada diungkapkan Ketua Dewan Pendidikan Bontang Abdul Haris. Bahwa, langkah Kemendikbud meniadakan UN bagi jenjang SD sudah tepat. Dan dia yakin, disambut postif setiap pendidik dan pelajar di Bontang. Sebab, dia menegaskan, tolak ukur kualitas siswa dan sekolah, kurang tepat jika hanya dilihat dari persentase kelulusan dalam unas. Atau perolehan nilai tertinggi atau sebaliknya di ujian akhir itu. Sebab, menurutnya, ada sejumlah faktor yang berperan penting dalam ketidaklulusan seorang siswa. Sekalipun dia pandai dan mampu menjawab setiap soal dengan baik. Yakni, pengisian LJK. Ketika melenceng dari lingkaran, atau kurang pekat, sehingga tidak terbaca komputer, bisa saja akhirnya tidak lulus.
Sehingga, dengan diterapkan kebijakan baru ini, selain akan memberikan kebahagiaan bagi pelajar. Juga disambut positif pendidik. Sebab, mereka berkesempatan menguji secara langsung, dan meluluskan atau tidak siswa.
“Selama ini kan, yang meluluskan siswa itu dari pusat. Jadi kalau ada yang tidak lulus, sekolah tidak bisa berbuat apa-apa. Sekalipun dia tahu kalau anak tersebut pandai. Dengan kebijakan itu, semua sudah kembali ke sekolah. Tentunya, persaingan antar sekolah yang akan memicu prestasi siswa,” tandasnya. (*/in)







 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar