Rabu, 16 Oktober 2013

Catatan




Inilah Alasan, Pengabdian Sang Idealis  

Mengabdikan diri untuk Bontang Post sebagai seorang wartawan telah menjadi pilihan terakhir bagiku. Karena, lewat profesi ini, begitu banyak pelajaran berharga telah diberikan dan tidak mungkin kudapatkan jika menempuh jalan lain. Namun terpenting, lewat profesi ini, saya bisa menyalurkan hobi sekaligus menguji idealisme saya sebagai seorang jurnalis sejati yang tidak menjual berita demi kepentingan pribadi. Meskipun saya sadar, konsekwensinya adalah ‘kere’. Memang benar, lewat profesi ini, akan sulit bagiku mendapatkan pendamping hidup yang sepaham. Karena, tidak banyak orang tua yang siap menikahkan anaknya dengan pria berprofesi sebagai jurnalis lantaran kapasitas financial yang rendah dibanding mereka yang bekerja di perusahaan besar seperti PT Badak, PKT, ataupun pertambangan. Serta harus hidup di tengah-tengah permasalahan orang lain. Tapi, resiko akan saya ambil dan pegang teguh. Karena, bagi saya, meskipun saya berlimpah harta, tapi hidup dalam tekanan mental lantaran harus mengikuti aturan yang tidak sesuai dengan pemahaman saya. Bahkan, harus manggut-manggut atas kebijakan yang dibuat atasan saya sementara saya tahu kalau itu semua salah. Bahkan, lewat profesi ini pula, saya akhirnya bisa melintasi pulau hingga menuntut ilmu di ibu kota dan berbincang dengan santai dengan para elit pejabat sekelas menteri. Yang selama ini hanya bisa tampak di layar kaca. Bahkan, mereka yang bergelimangan harta dengan profesi yang mereka pilih tidak bisa mencapai apa yang berhasil dilakukan anak petani seperti saya. Yang hidup dari jerih payah menanam di tanah subur tanah air Indonesia. Petimbangan itulah yang membuat saya terus mengabdi untuk Bontang Post. Hingga mencapai masa kejayaannya di kemudian hari. Karena, tidak ada hal paling membahagiakan kecuali, ketika berhasil menyaksikan perusahaan sukses berkat campur tangan kita. Meskipun saya tahu, keputusan saya menempuh pengabdian itu artinya, masih ada berliter-liter air mata, segudang emosi dan amarah yang masih akan tumpah hingga beberapa tahun ke depan. Karena, menjadi seorang wartawan. Tidak ada kata berhenti belajar. Dalam proses belajar itulah. Air mata, tawa canda, hingga amarah akan terus mengiringi. Jadi, masih banyak segudang cobaan dan kebahagiaan yang menunggu di kemudian hari. Tapi, apapun itu, saya siap melewatinya dan sanggup menjadikannya anak tangga hingga keberhasilan dapat kucapai melalui profesi yang kupilih ini. (in)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar