Inilah Alasan, Pengabdian Sang Idealis
Mengabdikan diri untuk Bontang Post sebagai seorang wartawan telah menjadi pilihan
terakhir bagiku. Karena, lewat profesi ini, begitu banyak pelajaran berharga
telah diberikan dan tidak mungkin kudapatkan jika menempuh jalan lain. Namun
terpenting, lewat profesi ini, saya bisa menyalurkan hobi sekaligus menguji
idealisme saya sebagai seorang jurnalis sejati yang tidak menjual berita demi
kepentingan pribadi. Meskipun saya sadar, konsekwensinya adalah ‘kere’. Memang
benar, lewat profesi ini, akan sulit bagiku mendapatkan pendamping hidup yang
sepaham. Karena, tidak banyak orang tua yang siap menikahkan anaknya dengan
pria berprofesi sebagai jurnalis lantaran kapasitas financial yang rendah dibanding
mereka yang bekerja di perusahaan besar seperti PT Badak, PKT, ataupun
pertambangan. Serta harus hidup di tengah-tengah permasalahan orang lain. Tapi,
resiko akan saya ambil dan pegang teguh. Karena, bagi saya, meskipun saya berlimpah
harta, tapi hidup dalam tekanan mental lantaran harus mengikuti aturan yang
tidak sesuai dengan pemahaman saya. Bahkan, harus manggut-manggut atas kebijakan
yang dibuat atasan saya sementara saya tahu kalau itu semua salah. Bahkan,
lewat profesi ini pula, saya akhirnya bisa melintasi pulau hingga menuntut ilmu
di ibu kota dan berbincang dengan santai dengan para elit pejabat sekelas
menteri. Yang selama ini hanya bisa tampak di layar kaca. Bahkan, mereka yang
bergelimangan harta dengan profesi yang mereka pilih tidak bisa mencapai apa
yang berhasil dilakukan anak petani seperti saya. Yang hidup dari jerih payah
menanam di tanah subur tanah air Indonesia. Petimbangan itulah yang membuat
saya terus mengabdi untuk Bontang Post.
Hingga mencapai masa kejayaannya di kemudian hari. Karena, tidak ada hal paling
membahagiakan kecuali, ketika berhasil menyaksikan perusahaan sukses berkat
campur tangan kita. Meskipun saya tahu, keputusan saya menempuh pengabdian itu
artinya, masih ada berliter-liter air mata, segudang emosi dan amarah yang
masih akan tumpah hingga beberapa tahun ke depan. Karena, menjadi seorang
wartawan. Tidak ada kata berhenti belajar. Dalam proses belajar itulah. Air
mata, tawa canda, hingga amarah akan terus mengiringi. Jadi, masih banyak segudang
cobaan dan kebahagiaan yang menunggu di kemudian hari. Tapi, apapun itu, saya
siap melewatinya dan sanggup menjadikannya anak tangga hingga keberhasilan
dapat kucapai melalui profesi yang kupilih ini. (in)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar