Rabu, 02 Oktober 2013

Artikel

Kopi Terakhir di Kebagusan
Susilo Bambang Yudhoyono unggul dalam pemilu presiden putaran II.
Di Kebagusan, Taufiq Kiemas meneguk kopi terakhirnya.
KEBAGUSAN, Jakarta Selatan, 20 September 2004, 14.30 WIB. Dua
telepon genggam Nokia Communicator Taufiq Kiemas nyaris tak pernah
berhenti berteriak. Yang satu masih online, yang lain sudah berdering-dering.
“Bagaimana perkembangannya? Kita kalah? Belum, kan? Tolong pantau
terus. Maafkan kakakmu ini kalau terlalu cerewet,” ujar suami kandidat
presiden Megawati Soekarnoputri melalui kabel handsfree yang menempel
di telinga. Panas siang melanda Jakarta. Taufiq gerah. Ia sibuk memantau
penghitungan suara.
Televisi 21 inci yang mengabarkan hasil pantauan coblosan tak lagi
menjadi perhatian pria berbadan lebar itu. Para tamu dari Koalisi
Kebangsaan--aliansi partai yang menyokong Megawati--sudah lama pulang.
Juru tinta pun sudah berlalu satu-satu.
Yang tertinggal hanya Wakil Sekjen PDIP Pramono Anung, bekas
Direktur TV7 August Parengkuan, Menteri Perindustrian dan Perdagangan
Rini Soewandi dan suaminya, Didi Soewandi, serta Kwik Kian Gie dan
Menteri BUMN Laksamana Sukardi. Ada pula Guruh Sukarno Putra dan
Sukmawati Soekarnoputri. Semua sibuk dengan telepon genggamnya
masing-masing.
Mega tak ada. Hari itu ia mengaku sedang tidak sehat. Sambil
menyeka hidungnya dengan tisu, ia sebentar menyapa Tempo. “Saya agak
meriang. Ntar kamu malah ketularan, lho,” katanya. Lalu Mega masuk ke
dalam.
Tak lama kemudian Guruh dan Sukma beranjak keluar.
“Mas Taufiq, pulang dulu,” kata Sukma. Yang disapa mengiyakan.
“Ruh, kamu mau ke mana? Di sini ajalah.”
“Pulang dulu, Mas. Ada yang harus dikerjakan.”
Taufiq hanya bisa mengangguk. Dering telepon kembali berbunyi.
Hasil penghitungan suara memang membuat Taufiq risau. Hanya
delapan jam setelah tempat-tempat pemungutan suara (TPS) resmi dibuka
untuk umum, hasil penghitungan cepat (quick count) Lembaga Penelitian,
Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) sudah memberi
kabar yang menampar kubu Megawati. Ia kalah dari Susilo Bambang
Yudhoyono dengan perbandingan 38,8 persen berbanding 61,2 persen. Hasil
serupa diperoleh dari survei astaga.com, Polling Center, Indonesia Media
Technologies (IMT), dan Forum ITB 73 (Fortuga). Lembaga yang terakhir
mengambil sampel di 4.000 TPS di seluruh Indonesia.
Taufiq menyeruput kopi instan dari cangkirnya. Ia kembali bicara
melalui ponselnya. “Jadi Lampung oke, ya?” ujarnya kepada seseorang di
ujung telepon. Sesaat kemudian, Pram, yang termenung di ujung teras,
disapanya. “Pram, ke sini dong. Berbagilah. Semua di sini juga tegang,”
katanya setengah berteriak.
Pram bangkit mendekati Kiemas.
“Gimana perkembangan? Jawa Timur dan Jawa Tengah piye?” tanya
Taufiq ke Pramono.
“Belum ada perkembangan, Mas. Masih fifty-fifty. Tapi di Blitar dan
Kediri kita dapet.”
Taufiq kembali memencet-mencet Communicator-nya.
Sebentar kemudian ia tersambung dengan Arif Wibowo, Wakil Kepala
Biro Proses Pemantauan Pemilu Mega-Hasyim. Lalu guntur itu kembali
menderu: quick count yang dibuat kubu Mega mengkonfirmasikan
kekalahan itu. Dari 2.500 sampel TPS yang mereka pantau, Mega menguasai
46,6 persen, sedangkan Susilo menang dengan 53,4 persen. Taufiq terdiam.
********
Cikeas, Bogor, 20 September 2004, 17.00 WIB. Rumah besar di
kompleks perumahan mewah itu ibarat pasar malam. Ratusan orang, malah
mungkin lebih dari seribu orang, menyemut di sekitar rumah Susilo
Bambang Yudhoyono. Bekas pejabat, aktivis LSM, politisi terkenal dan
tidak terkenal, juga rakyat jelata tumplek-blek merayakan kegembiraan
bersama calon presiden Susilo.
Di pendopo besar di dekat rumah, Susilo menyaksikan penghitungan
suara cepat melalui layar besar yang menyiarkan Metro TV. Di sebelah
Susilo, tampak Direktur Utama Metro TV, Surya Paloh. SBY--begitu Susilo
biasa disapa--mengaku tenang menunggu hasil penghitungan suara.
“Semalam Bapak tidur cepat, tidak seperti biasanya,” kata Kristiani
Herrawati, istri SBY. “Dibanding putaran pertama, saat ini saya lebih
santai,” kata Yudhoyono sambil tertawa.
Optimisme tampak membayang di wajah bekas Menteri Koordinator
Politik dan Keamanan itu. Saat jumpa pers, Yudhoyono mengaku tak berat
untuk mendapatkan 55-60 persen suara. Keyakinan itu diperolehnya dari
beberapa kali kunjungan ke daerah dan hasil beberapa jajak pendapat.
Sesaat kemudian ia bercanda dengan wartawan tentang kesamaan
dengan Megawati: sama-sama doyan cabe. “Dalam rapat kabinet, tidak ada
seorang menteri pun yang dapat menyaingi Megawati dalam makan cabe
kecuali saya,” tuturnya sembari tersenyum.
Sekitar pukul 21.40, Yudhoyono didampingi calon wakil presiden
Jusuf Kalla menggelar konferensi pers--acara yang semula dijadwalkan pagi
hari. “Pidato ini adalah bentuk pernyataan syukur,” ujarnya.
Yudhoyono menolak difoto bersama Kalla. “Wah, jangan. Nanti bisabisa
diartikan saya sudah menyatakan menang,” katanya. Kalla, yang datang
bersama istrinya, tak menyampaikan sepatah kata pun. Ia hanya tersenyum
tanpa henti.
Soal kabinet, SBY cuma berkata pendek. Menteri Luar Negeri katanya
tetap akan dipercayakan pada Hassan Wirajuda, Menteri Luar Negeri saat
ini. Yang lainnya, “Ada dua atau tiga menteri yang mungkin akan kami ajak
bergabung dalam kabinet yang baru,” katanya. Menurut Rachmat Witoelar
dari tim sukses SBY, kemungkinan beberapa nama akan dibocorkan
Yudhoyono dalam satu-dua hari ini agar ditanggapi publik. “Soal siapa
mereka, tanya langsung ke Pak Yudhoyono,” ujarnya.
Di luar, para tamu makin menyemut. Tampak di antaranya pengusaha
Hartati Murdaya, politisi PPP Aisyah Amini, mantan Direktur Utama Bank
BNI Saifuddien Hasan, juga politisi Golkar Idrus Marham. Idrus butuh
waktu lama untuk menelepon kanan-kiri supaya bisa masuk ke ruang utama
kediaman Susilo. “Biasalah, kalau lampu sedang terang, pasti banyak laron
berdatangan,” kata Ketua Umum Partai Demokrat, Subur Budi Santoso.
******
Tak sulit menduga bahwa Susilo Bambang akan unggul dalam putaran
kedua pemilu ini. Jajak pendapat yang dilakukan International Foundation
Election Systems (IFES) dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan
Megawati tak pernah mampu mengejar popularitas SBY. Susilo berkutat di
angka 60 persen dan Mega hanya bisa mendapat separuhnya (lihat
infografik).
Padahal sebelumnya Bambang nyaris gagal menjadi calon presiden. Ia
memang disebut-sebut bakal maju sebagai kandidat presiden, tapi berkalikali
ia menampik dikaitkan dengan Partai Demokrat--partai yang
mencalonkannya ke pertandingan. Bahkan, saat partai itu didirikan, SBY tak
datang. Ia sungkan: bagaimanapun, ia adalah menteri dalam kabinet Mega.
Belakangan, ketika konfliknya dengan Taufiq Kiemas memuncak,
SBY memutuskan keluar dari kabinet. Tekadnya tak sia-sia, Demokrat
meraih delapan persen suara, lebih dari cukup untuk menyorongkannya ke
pemilihan presiden.
Setelah itu, SBY melaju. Dalam pemilu putaran pertama, ia unggul
dengan 33,59 persen suara. Koalisi Kebangsaan, yang dibuat Megawati
dengan Golkar, PPP, dan beberapa partai kecil lainnya, nyaris tak mampu
membendung sang Jenderal.
Golkar agaknya kehilangan mesin politiknya. Semula Akbar
memprediksi akan menang di Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten,
Yogyakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Lampung. “Jawa Barat
agak berat karena persaingan dengan Yudhoyono akan ketat,” ujarnya. Di
Indonesia Timur, kecuali Sulawesi Selatan, Akbar pun optimistis menang.
“Di Kupang dan Sul-Ut, kami optimistis,” ujarnya. Di Papua, Sumatera
Barat, dan Aceh menurut dia masih berimbang.
Tapi, tengoklah apa yang terjadi. Hingga Selasa siang, pasangan
Yudhoyono-Kalla unggul di semua provinsi kecuali Bali, Nusa Tenggara
Timur, dan Maluku. Kawasan yang dalam putaran pertama menjadi basis
Amien Rais seperti Aceh dan Sumatera Barat juga disapu bersih oleh SBYKalla.
DKI Jakarta, yang diduga akan dipenuhi warga golput, ternyata juga
dikuasai Susilo. Jawa Timur, kawasan yang secara tradisional dikuasai
PDIP--seperti Surabaya, Batu, Kediri, Madiun, dan Malang--kini di bawah
ketiak SBY. Padahal Malang adalah tempat berdirinya Pesantren Al-Hikam
milik calon wakil presiden Hasyim Muzadi.
Koalisi Kebangsaan di Jawa Timur rupanya tidak efektif. Kebanyakan
masyarakat desa tidak tahu bahwa di tingkat elite PDIP berkoalisi dengan
Golkar. Kelemahan ini ditambah dengan retaknya hubungan anggota DPRD
Jawa Timur dari PDIP dan Golkar saat rebutan kursi Ketua DPRD provinsi
itu pekan lalu. Mengetahui elite PDIP Jawa Timur setengah hati mendukung
Ridwan Hisjam sebagai Ketua DPRD Ja-Tim dari Partai Golkar, elite Golkar
Ja-Tim pun setengah hati dalam mengarahkan dukungan kepada Mega.
Terlalu pagi memang bagi kubu Megawati untuk menyerah. Secara
resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru akan mengumumkan hasil
pemilu pada 5 Oktober nanti. "Masih terlalu prematur untuk mengklaim
kemenangan atau mengklaim ketidakmenangan padahal penghitungan baru
lima persen," kata Sutradara Ginting dari Mega Center. Ginting adalah
anggota Partai Keadilan dan Persatuan (PKPI) yang pindah ke PDI
Perjuangan. Sebelum di PKPI, ia adalah aktivis Golkar. Pidato
“kemenangan” SBY pun kabarnya dibahas dalam rapat Koalisi Kebangsaan
di rumah Megawati.
Menurut Sekjen PDI Perjuangan Sutjipto, Megawati tidak marah
ataupun kecewa dengan perolehan suara yang jauh di bawah Yudhoyono.
"Ini kan belum separuh, kok pada ribut. Kok, maunya ribut terus, sih," kata
Sutjipto menirukan ucapan Megawati.
Motor Koalisi Kebangsaan, Akbar Tandjung, mengaku belum kalah.
“Kita tunggu dua-tiga hari ini,” katanya. Tapi, seandainya hasil
penghitungan quick count ini berlangsung tetap, ia menandaskan bahwa
koalisi tidak akan bubar, dan akan terus dipertahankan di parlemen, DPR
pusat dan daerah. "Pokoknya, Koalisi Kebangsaan akan menjadi kekuatan
penyeimbang bagi pemerintah," ujarnya.
*******
Ketika matahari mulai condong ke barat, suasana di Kebagusan mulai
lengang. Televisi 21 inci di beranda masih belum berganti saluran, meski tak
lagi menayangkan soal pemilu melainkan talk show tentang ketoprak.
Megawati tetap di rumah.
Didi Soewandi bangkit dari duduknya.
“Mas Didi mau ngecek ke mana?” tanya Taufiq.
“Jawa Timur.”
Para tetamu pun pelan-pelan beranjak. Kwik berpamitan pada Taufiq.
Laksamana menyusul. Lalu Rini Soewandi.
“Laks, mau ke mana?” tanya Taufiq. “Ngapain buru-buru. Di sini saja,
nunggu hasil di sini. Kalau di rumah ntar susah tidur, lho,” kata Taufiq
bercanda. Laksamana tersenyum. Bertahan sebentar, ia kemudian
meninggalkan tempat. Putri Mega, Puan Maharani, mewakili ibunya
mengantarkan sang tamu ke mobil. Di halaman, empat cucu Mega sibuk
berlarian di halaman berumput.
Malam turun. Lampu beranda mulai dinyalakan. Para pelayan
membereskan cangkir dan piring-piring kotor serta melipat kursi dan taplak
meja. Masih dengan telepon seluler yang tak henti mengirim pesan-pesan
pendek, Taufiq bangkit dari kursinya mendekati perancang mode Samuel
Watimena dan beberapa rekan lainnya yang sedang asyik makan bakpau. Ia
bercanda kecil dengan senyum tertahan. Taufiq Kiemas berniat menyeruput
lagi kopinya. Tapi cangkir itu telah lama tandas. Di luar, malam terasa gelap.
Teramat gelap.
Hanibal W.Y. Wijayanta, Widiarsi Agustina, Y. Tomi Aryanto,
Yura Syahrul, Koresponden Daerah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar