"Congkak, Bahaya Untuk
Kesehatan”
Sifat congkak kerap
menghampiri mereka yang telah mampu melakukan sesuatu lebih dari yang lain. Namun,
sifat itu jelas bukan hal terpuji lantaran dengan sengaja menonjolkan kelebihan
yang dimliki lantas mengecilkan orang lain yang belum mencapai kapasitas
seperti dimiliki si congkak. Oleh sebab itu, penulis pun selalu berupaya menghindar
dari hal yang
disebut congkak. Karena,
selain tidak disukai, juga tidak baik untuk kesehatan.
================================
Ada beberapa
alasan kuat mengapa sikap congkak mesti dijauhi. Pertama, ketika anda merasa
congkak, anda akan berpikir lebih tangguh dan mampu melakukan sesuatu lebih
dari orang lain. Padahal, tidak menutup kemungkinan, orang lain yang dikecilkan
mampu melakukan jauh lebih baik dari si congkak. Bahkan, lantaran sikap congkak itu, bisa saja timbul dendam dari salah satu pihak. Yang merasa dikecilkan dengan melakukan tindak anarkis pada diri si congkak.
Idealnya, manusia lebih
berprinsip laiknya sifat dimiliki tanaman padi. Pasalnya, buah padi semakin tua
akan semakin merunduk. Dia (padi) merunduk disebabkan beban dan ilmu
pengetahuan dimiliki semakin padat. Sehingga, menyebabkan beban dalam tubuhnya
semakin berat. Nah, kondisi itu pun bisa diimplementasikan kepada manusia
berilmu. Semakin banyak ilmu dimilki. Hendaknya dia semakin rendah hati. Agar
kelak tidak menjadi bumerang bagi dirinya.
Prinsip hidup buah padi itu
pun telah coba diimplementasikan penulis ke dalam kehidupan sehari-harinya. Meskipun
saat ini memang belum ada yang bisa dicongkakan dalam diri penulis. Lantaran dia
belum punya hal istimewa yang tidak dimiliki orang lain. Namun, dia berpegang
pada prinsip. Karakter tiap manusia itu dinamis. Antara manusia satu dengan
lain pasti punya perbedaan. Jadi, jangan heran jika ada manusia dari bentuk
fisik tampak penuh kekurangan. Tapi mampu meraih sukses lebih baik dari
seseorang dengan bentuk fisik sempurna.
Seiring berjalannya waktu. Banyak
godaan menghampiri penulis untuk bersifat congkak. Mulai dari pujian yang kerap
diberikan para petinggi di tempat kerja, pujian kerap disampaikan kawan se-profesinya,
hingga luasnya jaringan yang dimiliki penulis kemungkinan lebih luas dari
segelintir teman yang memang pemula. Untungnya, penulis sadar, jika tidak semua
pujian kerap dilontarkan adalah tulus. Melainkan sekadar upaya basa-basi demi
menyambung hubungan komunikasi antar sesama.
Dan dia juga berharap, bahkan,
berterima kasih jika ada orang lain mengingatkan ketika dia mulai bersikap ke
arah congkak tadi. Karena, sang penulis adalah manusia biasa. Tentunya rentan
lupa dan khilaf. Oleh sebab itu, dia pun berpegang teguh pada prinsip. Di atas
langit masih ada langit. Dengan begitu, penulis selau berpikir, apa yang
dimiliki saat ini, bagian terkecil dari milik orang lain. (in)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar