Oleh:
Imran Ibnu
Wartawan Bontang Post
BAGAI pungguk merindukan
bulan. Itulah sepenggal
kalimat yang saya kira cocok dengan tema artikel saya kali ini. Sebenarnya,
tidak ada yang istimewa. Hanya sebuah luapan emosi dari sekelebat kisah nyata
terjadi selama beberapa hari terakhir. Tepatnya sejak Jumat (22/8) lalu.
Bertepatan dengan proses relokasi ratusan pedagang berjualan di lahan parkir
pasar sementara Rawa Indah Bontang, ke pasar tambahan berkapasitas 400 lebih
pedagang. Tapi menurut versi Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pasar Bontang,
kapasitas pedagang di pasar tambahan tersebut, hanya sekitar 300 lebih
pedagang.
Sepele, tapi berbekas, dan mampu membuat puluhan
manusia menitikan air mata, meluapkan amarah tanpa rasa canggung, malu atau
risih menjadi pusat perhatian manusia lain di sekitarnya. Tapi itulah realita
kehidupan. Kata salah seorang artis kondang tanah air Nicky Astria; dunia
ini panggung sandiwara. Dari ratusan mimik, ekpresi, hingga lontar kalimat
memekakan telinga, mungkin hanya sandiwara. Tapi mungkin juga, benar-benar
luapan emosi dari lubuk hati terdalam.
Semua kemungkinan bisa terjadi. Tapi perlu saya
tegaskan. Sandiwara dalam konteks ini, tak hanya mungkin dilakukan pedagang yang ‘terusir’. Tapi bisa juga
datang dari pemerintah. Semua mungkin terjadi. Apalagi ada pepatah mengatakan; banyak jalan menuju Roma. Jadi ketika
jalan positif sudah tak bisa mengantarkan pada satu tujuan ingin dicapai,
mungkin pihak terkait memutuskan menggunakan jalan pintas. Sekali pun dampaknya
menyengsarakan orang lain.
Sebagai seorang jurnalis muda, 22 tahun, dengan jam
terbang serta pengetahuan minim, saya lebih suka berinteraksi dengan ‘orang
kecil’. Setidaknya itulah yang menjadi anggapan sebagian orang. Tapi bagi saya,
anggapan ‘orang kecil’ itu tumbuh, jika ditilik dari sudut pandang materi dan
strata sosial. Tapi sejatinya, dari para ‘orang kecil’ itulah, mereka harus
belajar banyak. Bahwa kejujuran, satu-satunya hal bisa menjadi penyelamat di
hari akhir nanti.
Berbeda dengan Anggota Dewan terhormat, atau pelayan
masyarakat di eksekutif, juga terhormat. Terkadang, ucapan terlontar dari mulut
mereka, adalah hal-hal telah dikonsep oleh pimpinan tertinggi. Sekali pun saya
yakin, tak sedikit pejabat harus ‘makan hati’. Karena kebijakan dilakukan
bertentangan dengan hati nurani dan sisi kemanusiaan.
Berinteraksi dengan para ‘orang kecil’, kejujuran
tanpa ada unsur kepentingan politik atau hal lain, bisa saya dapatkan.
Judul artikel saya, memang biasa, memuat unsur romansa,
tapi ‘pasaran’. Karena masyarakat, tentu kerap mendengar kalimat; ‘Pejabat yang dirindukan’ ini. Bahkan
saya yakin, tak ada pemimpin yang ingin dibenci atau dimusuhi rakyat dipimpin.
Tapi saat sudah duduk di kursi empuk ‘pejabat yang terhormat’, tentu akan
banyak hal bisa mengubah manusia awalnya, berbudi pekerti luhur, berbalik 180
derajat.
Pada proses relokasi Jumat (22/8) lalu, saya menjadi
bagian dari proses itu. Tapi dengan ‘seragam’ jurnalis. Jadi lebih banyak
menonton kebijakan dan sikap para objek kebijakan.
Berbagai keluhan, harapan, bahkan cacian muncul dari
mulut orang-orang di sana. Alasan standar bisa saya simpulkan, mungkin mereka
begitu sebatas luapan emosi sesaat. Karena merasa tak memeroleh hak. Sementara
dari versi pemerintah, mereka adalah orang-orang belum memahami atau pura-pura
tidak memahami mekanisme kepemilikan hak pakai petak. Tapi soal itu saya
kembalikan pada kedua pihak. Toh,
saya tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan jika terlalu jauh ikut campur, justru
bisa menjadi bumerang bagi kehidupan saya pribadi.
Namun satu pernyataan menggelitik ingin saya bagikan
dari proses relokasi itu, rata-rata pedagang menyayangkan kebijakan pemerintah
khususnya, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) dan
UMKM Bontang. Karena dianggap tidak menerapkan kebijakan merata. Dan Surat
Keputusan (SK) kepala Dinas, Riza Pahlevi, dianggap hanya lembaran kertas,
berisi sederet kalimat berisi formalitas, tapi semu.
Sementara yang jadi bulan-bulanan pedagang, adalah
Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) pasar Bontang. Merekalah yang jadi objek
caci, maki, hingga tempat berharap pedagang menuntut keadilan. Namun ketika
sebuah ketegasan sikap diharapkan, mereka hanya bisa mengatakan; semua kebijakan di tangan Kepala Dinas, Riza
Pahlevi.
Sementara menurut para pedagang, sang pejabat
terhormat dirindukan itu, sulit untuk digapai. Bahkan, pepatah yang menjadi
pembuka artikel saya, sekira cocok; bagai
pungguk merindukan bulan.
Saya maklum saja, namanya juga pejabat. Jadi banyak
urusan. Agenda padat, jadwal berlapis, dan tugas bertumpuk-tumpuk, menunggu
ditandatangani.
Melihat situasi itu, saya jadi teringat sengketa
Pemilihan Presiden (Pilpres). Di mana, salah satu kandidatnya; Jokowidodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK).
Saya yakin, meski kerap dituding pencitraan dan lebai,
kedua manusia ‘legendaris’ dan
dirindukan itu, bukan lagi rahasia. Karena sepak terjangnya, kerap menyedot
perhatian semua kalangan.
Tapi saya tidak melihat itu dari sisi pencitraan atau
lebainya. Melainkan, hasil bisa diperbuat. Lalu, bandingkan, dengan kineja
presiden atau pejabat-pejabat sebelumnya, yang kini menuding Capres-Cawapres
itu. Apakah bisa lebih baik atau sebaliknya.
Lalu apa hubungan Jokowi-Jk dengan kasus relokasi
pedagang ini ? yah, saya melihat,
keberadaan mereka sangat dirindukan sejumlah pedagang di pasar tradisional
tersebut. Bahkan, mereka membanding-bandingkan;
“Pak Jokowi saja bersedia turun ke parit dengan cara blusukan
dan berinteraksi langsung dengan masyarakat, tapi kok di Bontang tidak yah ?.
Padahal, kalau dilihat secara kasat mata, Pak Jokowi itu Gubernur, dan sekarang
sudah Presiden. Tapi merakyat,” itulah sepenggal ucapan pedagang Rawa Indah
yang terekam sempurna di kepala saya hingga kini.
Inilah alasan saya lebih suka berinteraksi dengan
‘orang kecil’. Mereka lepas, tak terkungkung oleh kepentingan politik, dan bisa
menarik napas dan menghembuskan nafas tanpa batas.
Melihat kondisi di atas, saya bisa menyimpulkan, para
pedagang di pasar yang sempat dilalap si jago merah pada 2013 lalu itu,
merindukan kehadiran pemimpinnya. Tapi, karena merasa tak berdaya, hanya media
lah, tempat mereka bisa berbagi. Dan dianggap bisa menyampaikan aspirasi ke
pihak dituju. (imranbpost@gmail.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar