Jumat, 29 Agustus 2014

Pejabat yang Dirindukan





Oleh:

Imran Ibnu
Wartawan Bontang Post

BAGAI pungguk merindukan bulan. Itulah sepenggal kalimat yang saya kira cocok dengan tema artikel saya kali ini. Sebenarnya, tidak ada yang istimewa. Hanya sebuah luapan emosi dari sekelebat kisah nyata terjadi selama beberapa hari terakhir. Tepatnya sejak Jumat (22/8) lalu. Bertepatan dengan proses relokasi ratusan pedagang berjualan di lahan parkir pasar sementara Rawa Indah Bontang, ke pasar tambahan berkapasitas 400 lebih pedagang. Tapi menurut versi Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pasar Bontang, kapasitas pedagang di pasar tambahan tersebut, hanya sekitar 300 lebih pedagang.
Sepele, tapi berbekas, dan mampu membuat puluhan manusia menitikan air mata, meluapkan amarah tanpa rasa canggung, malu atau risih menjadi pusat perhatian manusia lain di sekitarnya. Tapi itulah realita kehidupan. Kata salah seorang artis kondang tanah air Nicky  Astria; dunia ini panggung sandiwara. Dari ratusan mimik, ekpresi, hingga lontar kalimat memekakan telinga, mungkin hanya sandiwara. Tapi mungkin juga, benar-benar luapan emosi dari lubuk hati terdalam.
Semua kemungkinan bisa terjadi. Tapi perlu saya tegaskan. Sandiwara dalam konteks ini, tak hanya mungkin dilakukan  pedagang yang ‘terusir’. Tapi bisa juga datang dari pemerintah. Semua mungkin terjadi. Apalagi ada pepatah mengatakan; banyak jalan menuju Roma. Jadi ketika jalan positif sudah tak bisa mengantarkan pada satu tujuan ingin dicapai, mungkin pihak terkait memutuskan menggunakan jalan pintas. Sekali pun dampaknya menyengsarakan orang lain.
Sebagai seorang jurnalis muda, 22 tahun, dengan jam terbang serta pengetahuan minim, saya lebih suka berinteraksi dengan ‘orang kecil’. Setidaknya itulah yang menjadi anggapan sebagian orang. Tapi bagi saya, anggapan ‘orang kecil’ itu tumbuh, jika ditilik dari sudut pandang materi dan strata sosial. Tapi sejatinya, dari para ‘orang kecil’ itulah, mereka harus belajar banyak. Bahwa kejujuran, satu-satunya hal bisa menjadi penyelamat di hari akhir nanti.
Berbeda dengan Anggota Dewan terhormat, atau pelayan masyarakat di eksekutif, juga terhormat. Terkadang, ucapan terlontar dari mulut mereka, adalah hal-hal telah dikonsep oleh pimpinan tertinggi. Sekali pun saya yakin, tak sedikit pejabat harus ‘makan hati’. Karena kebijakan dilakukan bertentangan dengan hati nurani dan sisi kemanusiaan. 
Berinteraksi dengan para ‘orang kecil’, kejujuran tanpa ada unsur kepentingan politik atau hal lain, bisa saya dapatkan.  
Judul artikel saya, memang biasa, memuat unsur romansa, tapi ‘pasaran’. Karena masyarakat, tentu kerap mendengar kalimat; ‘Pejabat yang dirindukan’ ini. Bahkan saya yakin, tak ada pemimpin yang ingin dibenci atau dimusuhi rakyat dipimpin. Tapi saat sudah duduk di kursi empuk ‘pejabat yang terhormat’, tentu akan banyak hal bisa mengubah manusia awalnya, berbudi pekerti luhur, berbalik 180 derajat.

Pada proses relokasi Jumat (22/8) lalu, saya menjadi bagian dari proses itu. Tapi dengan ‘seragam’ jurnalis. Jadi lebih banyak menonton kebijakan dan sikap para objek kebijakan.
Berbagai keluhan, harapan, bahkan cacian muncul dari mulut orang-orang di sana. Alasan standar bisa saya simpulkan, mungkin mereka begitu sebatas luapan emosi sesaat. Karena merasa tak memeroleh hak. Sementara dari versi pemerintah, mereka adalah orang-orang belum memahami atau pura-pura tidak memahami mekanisme kepemilikan hak pakai petak. Tapi soal itu saya kembalikan pada kedua pihak. Toh, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan jika terlalu jauh ikut campur, justru bisa menjadi bumerang bagi kehidupan saya pribadi.
Namun satu pernyataan menggelitik ingin saya bagikan dari proses relokasi itu, rata-rata pedagang menyayangkan kebijakan pemerintah khususnya, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) dan UMKM Bontang. Karena dianggap tidak menerapkan kebijakan merata. Dan Surat Keputusan (SK) kepala Dinas, Riza Pahlevi, dianggap hanya lembaran kertas, berisi sederet kalimat berisi formalitas, tapi semu.
Sementara yang jadi bulan-bulanan pedagang, adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) pasar Bontang. Merekalah yang jadi objek caci, maki, hingga tempat berharap pedagang menuntut keadilan. Namun ketika sebuah ketegasan sikap diharapkan, mereka hanya bisa mengatakan; semua kebijakan di tangan Kepala Dinas, Riza Pahlevi.
Sementara menurut para pedagang, sang pejabat terhormat dirindukan itu, sulit untuk digapai. Bahkan, pepatah yang menjadi pembuka artikel saya, sekira cocok; bagai pungguk merindukan bulan.
Saya maklum saja, namanya juga pejabat. Jadi banyak urusan. Agenda padat, jadwal berlapis, dan tugas bertumpuk-tumpuk, menunggu ditandatangani.
Melihat situasi itu, saya jadi teringat sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres). Di mana, salah satu kandidatnya; Jokowidodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK). 
Saya yakin, meski kerap dituding pencitraan dan lebai, kedua manusia ‘legendaris’ dan dirindukan itu, bukan lagi rahasia. Karena sepak terjangnya, kerap menyedot perhatian semua kalangan.
Tapi saya tidak melihat itu dari sisi pencitraan atau lebainya. Melainkan, hasil bisa diperbuat. Lalu, bandingkan, dengan kineja presiden atau pejabat-pejabat sebelumnya, yang kini menuding Capres-Cawapres itu. Apakah bisa lebih baik atau sebaliknya.
Lalu apa hubungan Jokowi-Jk dengan kasus relokasi pedagang ini ? yah, saya melihat, keberadaan mereka sangat dirindukan sejumlah pedagang di pasar tradisional tersebut. Bahkan, mereka membanding-bandingkan;
“Pak Jokowi saja bersedia turun ke parit dengan cara blusukan dan berinteraksi langsung dengan masyarakat, tapi kok di Bontang tidak yah ?. Padahal, kalau dilihat secara kasat mata, Pak Jokowi itu Gubernur, dan sekarang sudah Presiden. Tapi merakyat,” itulah sepenggal ucapan pedagang Rawa Indah yang terekam sempurna di kepala saya hingga kini.
Inilah alasan saya lebih suka berinteraksi dengan ‘orang kecil’. Mereka lepas, tak terkungkung oleh kepentingan politik, dan bisa menarik napas dan menghembuskan nafas tanpa batas.
Melihat kondisi di atas, saya bisa menyimpulkan, para pedagang di pasar yang sempat dilalap si jago merah pada 2013 lalu itu, merindukan kehadiran pemimpinnya. Tapi, karena merasa tak berdaya, hanya media lah, tempat mereka bisa berbagi. Dan dianggap bisa menyampaikan aspirasi ke pihak dituju. (imranbpost@gmail.com)      

      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar