Jumat, 29 Agustus 2014

Mami Eks Dolly Incar Prakla


Juga Samarinda dan Balikpapan, Harga di Atas Rp 2 Juta
BONTANG. Tempat hiburan malam (THM) Prakla di Kelurahan Berbas Pantai, Kecamatan Bontang Selatan kabarnya tengah diincar seorang mami dari eks lokalisasi Dolly.
Sejumlah pramuria (karyawati kelab malam yang bertugas melayani dan menemani tamu, Red.) dari Surabaya, rencananya akan didatangkan sebagai bentuk 'investasi'. Hal ini diakui Zahra (38) -- bukan nama sebenarnya -- salah seorang penyalur jasa tersebut yang berhasil ditemui wartawan Bontang Post (grup Samarinda Pos)
Zahra adalah salah satu mami (istilah atau panggilan dari para pramuria, Red.) yang terpaksa angkat kaki dari lokalisasi terbesar di Asia Tenggara itu pasca kebijakan penutupan yang dilakukan Pemkot Surabaya. Dengan menggunakan busana pink tanpa lengan, Zahra sempat diwawancarai media ini ketika razia yang dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Bontang, Rabu (25/6) malam lalu.
Zahra menyatakan telah belasan tahun bergelut di bisnis THM. Dia sempat menjadi manajer di salah satu THM bernama Citra Perdana, milik koleganya di lokasisasi Dolly, Surabaya. Kini, selain sesekali berkeliling Indonesia untuk menyalurkan jasa pramuria, Zahra mengaku lebih banyak menghabiskan waktu di Palu, Sulawesi Tengah.
Perempuan yang memiliki ciri rambut blonde ini mengaku memiliki ratusan pramuria yang siap disalurkan ke seluruh THM di Tanah Air. Bontang, katanya, adalah salah satu kota yang menjadi 'destinasi' rencana itu.
"Iya, mas. Saya ke Bontang mau lihat-lihat. Sekalian mempelajari pasar. Kalau memungkinkan, saya mau salurkan ladies saya ke sini (Prakla, Red.)," ujarnya kepada wartawan.
Ada alasan mengapa Kota Taman dipilih sebagai tempat investasi. Zahra mengungkapkan, di Pulau Jawa, Bontang dikenal sebagai kota kaya karena keberadaan dua perusahaan besar, Badak LNG dan Pupuk Kaltim. Makanya dia menilai, investasi apapun di kota ini pasti akan menguntungkan, termasuk bisnis dunia malam.
Tentu saja, investasi ini tidak gratis. Kata Zahra, ada harga yang harus dibayar THM-THM di Prakla untuk setiap pramuria yang ingin didatangkan. Meski enggan menjelaskan secara gamblang, Zahra menyebut per kepala harus ditebus di atas Rp 2 juta. Nominal ini diklaimnya tidak untuk keuntungan pribadi, melainkan untuk biaya transportasi. "Enggak pasti, berapa per kepala. Tapi yang jelas di atas Rp 2 juta. Itu untuk ongkos ke sini (Bontang, Red.)," jelasnya.
Dalam berbisnis, pemilik 3 THM di Kota Pahlawan ini mengaku tak begitu terpaku pada sisi kecantikan saja. Menurutnya, para pramuria ini harus menarik. Sebab baginya, secantik apapun seorang pramuria tidak bisa menjamin seorang tamu bisa datang dua kali bila tak menarik.
"Bagi saya, 'barang bagus' itu bukan dari cantiknya. Tapi dari sisi menariknya. Dan terpenting adalah 'service'-nya. Itu sudah hukum mutlak. Karena buat apa cantik tapi kaku," bebernya.
Bontang memang bukan satu-satunya incaran Zahra untuk menanamkan investasi di THM lewat jasa seorang pramuria. Di Kaltim, Zahra mengaku juga membidik lokalisasi di sejumlah kota; Samarinda, Balikpapan, hingga Sangatta.
Zahra menyebut lokalisasi Tenda Biru atau di lokalisasi Kilometer 24 di jalan poros Bontang-Samarinda sangat menggiurkan lantaran terletak di lokasi terpencil.
"Kalau di Kilo 24 kan banyak tamu, karena di wilayah lintasan. Orang dari Samarinda ke Bontang pasti mampir. Lagian enggak sulit kok menggaet tamu. Asalkan perawatan (tubuh si pramuria, Red.) bagus, pasti laris," selorohnya.
PENGHASILAN RP 50 JUTA SEBULAN
Bagi Zahra, bisnis dunia malam sangat menggiurkan.
Contohnya saja, penghasilan per bulan yang bisa mencapai Rp 50 juta per THM. Angka itu murni hanya dari pendapatan jasa para pramuria yang dipekerjakan di THM.
Soal hitung-hitungan penghasilan hingga Rp 50 juta itu, Zahra mau buka-bukaan. Katanya, untuk bisa berhubungan intim dengan seorang pramuria, rata-rata tarifnya sekira Rp 300 ribu untuk short time. Dari situ, Zahra menerima Rp 30 ribu sebagai mami. Tapi, harganya akan berbeda ketika para pramuria ini diajak kencan di luar.
Tarif lain juga sempat dibeberkan Zahra soal rupiah yang harus dibayarkan seorang tamu ketika minta ditemani seorang pramuria. "Kalau cuma temenin minum itu cukup bayar Rp 5 ribu per lagu. Tapi kalau mau 'main',  tergantung mereka. Tapi rata-rata Rp 300 ribu. Untuk sewa kamar, per jam Rp 30 ribu. Tapi kalau dibawa ke luar tambah Rp 60 ribu," urainya.
Di balik itu, Zahra menampik tudingan jika profesi yang digelutinya ini telah menjerumuskan banyak perempuan ke dalam lembah hitam. Sebab menurutnya, pekerjaan pramuria tidak untuk dilakukan seumur hidup. Bahkan Zahra mengaku selalu memberikan peringatan kepada para pramuria-pramuria yang dikoordinirnya agar menghindari narkoba. "Kalau saya tetap melarang keras anak-anak saya konsumsi obat-obatan, karena itu bisa merusak hidup mereka," tandasnya.
SATPOL PP DIJATAH RP 5 JUTA
Ada perspektif lain yang diungkapkan Zahra soal perbedaan bisnis THM di Bontang dan Palu. Menurutnya, Bontang tidak memiliki lokalisasi resmi. Itu sebabnya, 'bisnis esek-esek' ini dijalankan secara sembunyi-sembunyi. Sementara di Palu, semua bisa dilakukan secara bebas.
Namun, semua itu lagi-lagi ada harganya. Dia mencontohkan, salah satu hal yang wajib dilakukan oleh para pemilik dan pengelola THM di Kota Tadulako adalah membayar retribusi ke Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Palu. Nilainya Rp 5 juta per THM. Uang tersebut dibayarkan tiap jelang Lebaran. Tentu saja, jatah untuk aparat lain ada. Namun dia enggan membeberkan lebih jauh.
"Di Palu, kami ada jatah buat Satpol PP. Nilainya Rp 5 juta per THM. Itu kami bayarkan sebelum Lebaran. Yang lain juga ada, tapi rahasia," ujarnya.
Dikatakan Zahra, biaya tersebut diberikan sebagai uang jasa keamanan. Tujuannya agar ratusan THM di Palu tetap bisa beroperasi. "Di sana (lokalisasi di Palu, Red.) ada 4 lorong. Rata-rata per lorong 20 THM," tukasnya. (in/agi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar