Imran Ibnu
Wartawan Bontang Post
DI keluarga saya, keberanian, bukan
mereka yang hebat, jago duel, atau disegani karena kekuasaan. Tapi, keberanian itu,
terbuka mengakui kesalahan, berani membuka diri dari kritik dan terbuka dari
evaluasi orang lain. Sebaliknya, ketika seseorang mengklaim diri benar, tapi menolak
dikritisi juga memiliki julukan tersendiri; cemen
atau lebih dikenal dengan nama pengecut.
Kata mbah google; pengalaman adalah guru terbaik dalam hidup. Nah untuk membuat pengalaman berarti,
membuat ilmu mudah melekat di memori, kritik salah satu cara efektif. Karena
ibarat pisau, ketika sering diasah ke permukaan kasar, cepat atau lambat akan
semakin tajam.
Terkait ilmu jurnalistik juga demikian.
Saya berpegang teguh pada pernyataan salah seorang senior saya di Bontang Post;
“Menulis itu ibarat belajar bersepeda. Semakin sering mengayuh dan terjatuh, maka semakin
matang pula sang pelaku”
“Berbeda dengan mereka yang selalu memilih jalur aman.
Maka pergerakan akan lamban. Sebab selalu berkutat dalam ritme yang sama setiap
harinya”
Sesuai dengan judul artikel saya; ‘Merasa
Benar, Jangan Takut !’. Sebenarnya sedikit banyak, tulisan ini untuk
memotivasi diri sendiri. Bahwa ketika merasa memperjuangkan hal benar, jangan
takut. Meski pun jelas, akan ada banyak rintangan di tengah jalan. Bahkan,
ancaman akan berdatangan ketika telah menyentuh kepentingan penguasa.
Tapi itu itulah hidup, penuh dinamika, dan tak terhindarkan. Apalagi seorang
muslim, pasti percaya hal disebut takdir. Jika sang pencipta menghendaki
terjadi, maka terjadilah. Sekali pun dihindari dengan harta atau kekuasaan
dimiliki.
Masih terkait keberanian. Saya
tergelitik membuat perumpaan atas kebijakan berlaku di Kota Taman tercinta.
Salah satunya, perihal carut-marutnya
pembagian hak pakai petak di pasar sementara Rawa Indah Bontang. Hingga kini,
sekelumit problem seolah tak
berujung, terus membayangi pasar berkapasitas seribu lebih pedagang itu.
Beberapa waktu lalu, seorang pedagang
sempat menantang pengelola pasar Bontang agar berani buka-bukaan data penerima
hak pakai. Selanjutnya, meminta agar data milik UPTD pasar Bontang itu di-print out. Lalu dipajang di pasar sementara Rawa Indah Bontang. Sehingga
akan mudah dikontrol dan tak lagi menimbulkan kecurigaan pedagang. Bahwa
kebijakan diberlakukan UPTD pasar Bontang tidak merata.
Bagi saya, usul itu sangat baik dan
brilian. Karena dengan cara itu, fakta sebenarnya bisa
terungkap. Ketika ada pedagang baru berjualan, tentu pedagang lama lain, bisa
mengoreksi. Bahwa dia tidak berhak. Begitu pula sebaliknya, ketika ada pedagang
lama tak memeroleh petak, juga bisa dikoreksi.
Kalau saya yang menjabat Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan
Koperasi (Disperidagkop) dan UMKM Bontang, saya akan datang dan menjabat tangan
pedagang mengusulkan ide tersebut. Karena itu sangat membantu.
Sebagai Kepala Dinas, saya akan instruksikan bawahan saya, agar membeber
data itu ke publik. Apalagi saya tahu ada Undang-Undang (UU) tentang
keterbukaan informasi publik. Jadi ketika telah memutuskan menjadi pejabat publik,
harus siap bersikap transparan, terhadap aset negara dikelola lembaga dipimpin.
Tak berbeda dengan para pedagang di pasar sementara Rawa Indah. Saya
sendiri belum memperoleh jawaban memuaskan mengenai tantangan membuka data
pedagang tersebut ke publik. Karena saat menulis berita tersebut, konfirmasi
bisa saya peroleh sebatas dari UPTD pasar Bontang. Namun demikian,
hingga saat ini belum ada jawaban tegas; setuju atau tidak soal tantangan itu.
Karena UPTD pasar Bontang, merupakan bagian dari Disperindagkop dan UMKM
Bontang. Sehingga setiap kebijakan, harus atas persetujuan pimpinan.
Sementara untuk memperoleh konfirmasi dari Disperindagkop, susahnya
minta ampun. Sebab hingga saat ini, Kepala Dinas (Kadis) Perindagkop tak pernah
bisa dikofirmasi. Setiap ditemui selalu menolak diwawancara. Makanya, setiap
kebijakan menggantung di tengah-tengah.
Hal itu juga begitu dirasakan para pedagang di pasar tersebut. Kepada
saya, sejumlah pedagang kerap bertutur, bahwa lebih mudah bertemu Pak
Wali-Wawali dibanding bertemu pimpinan Disperindakop.
Karena kendala itulah, banyak harapan tak sampai atau memang tak ingin
diketahui pejabat bersangkutan. Itu tetap rahasia entah sampai kapan.
Menyikapi kondisi itulah, saya kemudian tergelitik menulis artikel ini.
Bagi saya, ketika seseorang siap menjadi pejabat, tentu sadar, bahwa tujuannya
adalah menjadi ‘pelayan masyarakat’.
Sebab, semua tahu, bahwa mereka hidup dari pajak dan retribusi lain bersumber
dari rakyat Indonesia. Dan Sumber Daya Alam (SDA) di tanah air. Lalu apakah
pantas, ketika menolak memberikan pelayanan sesuai sumpah jabatan diucapkan ?
Saya kira, tidak pantas.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip pernyataan salah seorang pedagang
di pasar Rawa Indah, saat proses relokasi Minggu lalu;
“Hanya ada dua kemungkinan ketika pemerintah menolak
membeber data sebagai wujud transparansi ke publik; menutupi sebuah kebenaran,
atau tak punya data alias tidak kerja” (imranibnu@bontangpost.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar