Oleh: Imran Ibnu |
MENURUT
salah seorang pakar, bisnis adalah suatu kegiatan usaha individu yang
terorganisasi untuk menghasilkan dan menjual barang atau jasa guna mendapatkan
keuntungan. Atau ada pula yang berpendapat, bahwa bisnis adalah serangkaian
usaha dilakukan satu orang atau lebih. Individual atau kelompok dengan
menawarkan barang dan jasa guna mendapatkan laba.
Bisnis.
Sebuah kata sederhana, dibentuk oleh 6 rangkaian huruf. Namun mampu menopang
perekonomian seseorang, keluarga, negara bahkan dunia. Tak heran keberadaannya
begitu diminati. Melihat jaminan-jaminan kesejahteraan ditawarkan cukup
menggiurkan.
Bisnis
pulalah, yang mampu membelokan hati seorang manusia. Yang semula memiliki
prinsip kokoh untuk mempertahankan hal sejalan dengan moral. Namun melunak dan
mendukung keberadaan sesuatu yang bersifat amoral, lantaran iming-iming
keuntungan bisnis.
Idealisme
bersandar pada ide, dunia di dalam jiwa. Pikiran ini meletakkan hal-hal besifat
ide dan menempatkan pernak-pernik bersifat materi, fisik, ke dalam kasta
terendah. Idealisme menganggap semua realitas yang terdiri dari ruh, jiwa, ide,
pikiran-pikiran menjadi konstanta (ketetapan) yang agung dalam orkestra hidup
manusia. Sebagai konstanta yang tetap di dalamnya dibingkai satu nilai yang
bernama moralitas. Seluruh gerak jurnalis sebagai pewarta harusnya berpijak
pada tataran ini; moralitas.
Pikiran
ini mengandaikan bahwa jurnalis harus bertumpu pada kehendak kalbu, kehendak
yang melihat fakta sebagai berita. Maknanya, berita yang dilansir ke publik,
menyandarkan diri pada kaidah-kaidah moralitas, bukan rekayasa. Atau menutupi sesuatu hal nyata, mengganti
dengan informasi lain lebih menarik bagi segelintir orang. Namun memuakan bagi kalangan
mayoritas.
Apakah
bisnis bisa berjalan seiring dengan profesi dilakoni para jurnalis, lengkap
dengan etika serta idealisme ?
Menjawab
hal itu, saya harus kembali menakar, apakah idealisme dalam diri saya, masih
lebih dominan, atau sebaliknya. Jika masih dominan, maka tak perlu takut melenceng
dari rel telah ditetapkan oleh ‘seragam’ saya sebagai seorang jurnalis. Karena bisnis
tetap mampu berjalan seiring dengan idealisme. Namun ketika bisnis mendominasi,
maka jangan harap, idealisme bisa tetap hidup. Karena godaan menjadi seorang
idealis jauh lebih berat, ketimbang menjadi seorang bisnisman.
Kondisi
tersebut, selaras dengan perumpamaan ‘Apakah
anda hidup untuk makan, atau makan untuk hidup ?’ ketika manusia berprinsip;
‘hidup untuk makan’, maka bisnis
adalah yang utama. Namun ketika manusia berprisip; ‘makan untuk hidup’, maka keyakinan bahwa setiap manusia memiliki
rezeki masing-masing akan tetap hidup. Sehingga tak berambisi dan mengacuhkan
idealisme, dan moralitas.
Terkadang
saya merasa sanksi, apakah idealisme masih memiliki ruang di era modern saat ini.
Karena
saya melihat, ketika seseorang tengah memperjuangkan sesuatu yang benar dan
nyata, malah dianggap sok pahlawan.
Bahkan tak jarang dianggap tolol karena memperjuangkan hal lebih banyak
merugikan diri sendiri.
Bahkan
sebagai jurnalis ketika tengah memfasilitasi sesuatu yang sifatnya kritis
terhadap sebuah ketidakadilan, atau kesalahan dilakukan penguasa, tak jarang
cemooh diperoleh.
Contohnya;
‘kamu kok mau dimanfaatkan sama si A.
Karena dia bicara seperti itu untuk kepentingan mereka. Sementara kamu tidak
dapat apa-apa’
Kritik
seperti itu, memang masuk akal dan benar berpotensi mengandung kepentingan pribadi
atau kelompok. Hal itu pun bisa terbaca. Namun karena masih dengan idealisme
yang tersisa entah sampai kapan, saya memiliki pandangan tersendiri;
‘Selama apa yang mereka ucapkan, benar
dan memiliki data. Lalu siap mempertanggungjawabkan apa yang diucapkan, kenapa
tidak ?’
‘Karena, apa bedanya si A dengan
pernyataan para pejabat. Terkadang lebih jelas, mengandung kepentingan pribadi
?’
Kritik
seperti itu saya kira muncul bisa karena berbagai hal. Namun paling masuk akal,
idealisme telah luntur oleh ‘otak bisnis’ dimiliki. Sehingga, unsur
diskriminatif pun terjadi dalam menentukan sumber informasi.
Melihat
situasi ini, saya menjadi teringat pernyataan salah seorang ahli, dalam profesi
jurnalistik; ‘bahwa jurnalis tak berdiri
sendiri. Ia ditopang satu instrument bernama instuisi media. Yang erat
kaitannya dengan bisnis’.
Pada
tahapan inilah, kerap kali, menjadi kuburan massal para jurnalis. Sebab
kepentingan bisnis, selalu dominan dibanding kepentingan idealisme. Maka pada tahap itulah, keteguhan seorang
jurnalis mempertahankan idealismenya diuji. (imranibnu@bontang post.co.id)