CATATAN
Oleh:
IMRAN IBNU
WARTAWAN
BONTANG POST
Sudah
Jatuh Tertimpa Tangga. Inilah potret nasib para pedagang di Rawa Indah, Bontang
Selatan. Sudah rugi ratusan juta rupiah, mereka masih harus terbelit masalah
yang disebabkan kebijakan pemerintah namun menyulitkan pedagang. Pendapat
tersebut bukan asal jeplak, sebab berdasarkan hasil repotase terkait nasib
pedagang Rawa Indah usai kebakaran tahun lalu, ditemukan sejumlah permasalahan.
Mulai pembangunan pasar darurat , yang sempat berpolemik. Saat itu, pembangunan
lapak oleh Dinas Pekerjaan Umum (PU) Bontang tidak dirasakan merata oleh korban
kebakaran. Sebab sebagian pedagang berjualan pakaian, emas dan lainnya mendapat
petak secara cuma-cuma, namun ratusan
pedagang sayur dan lainnya harus merogoh kocek guna membangun lapak.
Permasalahan tersebut jelas mendapat tentangan pihak pedagang yang merasakan
unsure diskriminatif atas kebijakan
tersebut. Walaupun seperti diketahui, setiap kebijakan tersebut ada penjelasan
dan sebagian sudah disampaikan ke pedagang dan public pada umumnya.
Setelah
permasalahan petak di pasar darurat mampu diredam dengan pemberian dana
santunan dengan nilai nominal tertentu, tiba-tiba muncul lagi permasalahan baru
yang tak kalah menyibukan kedua pihak. Baik pihak pedagang maupun pihak
pemerintah yang bersentuhan langsung dengan pasar tradisional tersebut. Yakni
pembangunan pasar sementara Rawa Indah. Di pasar tersebut, ada sejumlah
permasalahan yang sampai saat ini masih jelas terbayang di ingatan pedagang
korban kebakaran tersebut. Pertama, saat pembangunan pasar sementara Rawa Indah
rampung, muncul aksi protes terkait struktur bangunan dinilai terlampau pendek.
Dengan perkiraan ketinggian 2 meter. Berbeda dengan pasar sementara Rawa Indah,
dan bangunan pasar sebelum kebakaran dengan ketinggian jauh di atas angka
tersebut. Hingga ukuran lebar lapak dan kios yang sukses mencetak aksi protes
pedagang. Tak heran berbagai aksi
penolakan pun disampaikan. Baik langsung ke Kantor Unit Pelaksana Teknis (UPTD)
Pasar Bontang, Kantor Dinas Perindustrian, Pedagangan, Koperasi dan Usaha
Mikro, Kecil Menengah (Disperindagkop dan UMKM) Bontang, hingga kantor DPRD
Bontang.
Setelah
melalui sejumlah proses, akhirnya para pedagang mampu ditenangkan pejabat
teknis. Entah dengan cara apa, namun yang pasti kini tuntutan pedagang tidak
lagi mempermasalahkan soal luas dan ketinggian tempat. Melainkan siapa yang
memperoleh tempat dan tidak di pasar sementara. Permasalahan ini masih hangat
di benak para pedagang dan pejabat teknis. Termasuk saya pribadi. Sebab
statemen awal Disperindagkop dan UMKM Bontang yang akan memprioritaskan
pedagang korban kebakaran dan berjualan saat kebakaran, ternyata tidak sejalan
dan realisasi yang berlangsung saat ini. Sebab, nyatanya, banyak pedagang yang
sebelumnya tidak berjualan melainkan sebatas menyewakan ke pedagang lain. Namun
tiba-tiba menuntut hak jualan dengan menunjukan surat hak pakai dikeluarkan
Disperindagkop Bontang. Lalu ke mana mereka selama ini ? Lalu bagaimana dengan
Perwali Kota Bontang yang melarang keras adanya praktik jual-beli dan
sewa-menyewa? Tapi perlahan, jawaban tersebut diperoleh. Melalui sebuah
pernyataan tak terduga Kadisperindagkop Bontang. Menyatakan bahwa, Dia sengaja menutup mata
terkait praktik tersebut”.
Seiring
berjalannya waktu, saya mulai melupakan perihal tersebut. Karena permasalahan
lain terkait pedagang korban kebakaran itu kembali mencuat. Kali ini, terkait
proses relokasi pedagang dari pasar darurat ke pasar sementara Rawa Indah. Pada
titik tersebut, tampak jelas, ketidak kompakan antara pihak Disperindagkop
dengan pihak PU Bontang sebagai penyedia infrastruktur.
Sebab
belum lama ini, Disperindagkop telah membuat kebijakan agar lokasi pasar
sementara Rawa Indah segera dikosongkan. Sementara pedagang pemilik lahan di
pasar sementara, sudah harus pindah terhitung sejak 3 April 2014 dan mulai
menempati paling lama 10 April 2014 kemarin. Namun di lain sisi, PU Bontang belum mengalirkan listrik ke pasar
tersebut. Padahal seperti diketahui, aktivitas jual beli pedagang hanya bisa
berjalan jika ada listrik. Namun belakangan jawaban kembali ditemui. Menurut PU
Bontang, pengadaan aliran listrik tidak termasuk dalam tanggungan PU. Melainkan
tanggung jawab Disperindagkop. Sementara di hadapan media, pihak Disperindagkop
melalui UPTD Pasar Bontang, listrik mutlak tanggungan PU. Pertanyaannya,
bagaimana bisa kebijakan yang berada di bawah satu pucuk kepemimpinan Adi-Isro
ini malah menerapkan kebijakan bertolak belakang dan saling lempar tanggung
jawab ? Tapi, saya tidak mau tahu lebih banyak. Ini masalah internal mereka.
Tapi
dari sudut pandang pedagang, selisih kebijakan tersebut berdampak begitu besar
terhadap pedagang Rawa Indah. Sebab setelah petak di pasar darurat dibongkar
demi mematuhi instruksi dinas, mereka (pedagang yang punya tempat di pasar
sementara, Red.) malah harus menunggu
lagi. Sementara tagihan dari lembaga keuangan yang meminjamkan modal usaha
tidak kompromi. “Apapun masalahnya, yang penting utang adalah utang” Begitu
kata sejumlah pedagang pada media ini.
Menilik
permasalahan di atas, fakta nyata tentang penderitaan pedagang korban kebakaran
tahun lalu tak bisa ditampik lagi. Namun di sisi pemerintah, saya yakin upaya
demi upaya penyelesaian terus dilakukan. Meskipun terlanjur dikaburkan oleh
kebijakan awal yang salah. Tapi pesan moral hendak penulis sampaikan dalam
catatan ini, “ jangan mencoba meraup
keuntungan di atas jeritan ratusan pedagang yang sudah menderita” (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar