Kamis, 27 Maret 2014

Surat Edaran Dsperindagkop Diprotes




Belum Ada Solusi, Sudah Diminta Kosongkan Pasar Darurat—sub

BONTANG - Polemik seputar pasar Rawa Indah Bontang kian memanas. Kebijakan pemerintah melalui Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi (Disperindagkop) dan Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) Bontang terhadap pedagang korban kebakaran tahun lau, kembali menuai kritik keras.
Pasalnya berdasarkan data UPTD Pasar Bontang, sebanyak 157 penyewa dan 187 pengampar (PKL,Red.), bahkan masih ada sekira 20 pedagang pemilik surat hak pakai, masih belum memeroleh petak pasar.
Meski begitu, Disperindagkop dan UMKM Bontang sudah mengeluarkan edaran (lihat grafis,Red.). Salah satu pointnya, meminta agar segala aktifitas dan kegiatan berjualan para pedagang pasar darurat di Jalan Ir H Juanda dikosongkan hingga Kamis (3/4) mendatang. Padahal belum jelas, di mana mereka akan berjualan.
Hal itulah yang membuat sejumlah pedagang menolak pindah sekalipun deadline tiba. Salah satunya AR (29), wanita yang namanya enggan dikorankan ini mengaku sebagai korban kebakaran yang tidak memiliki kios di lokasi pasar sementara Rawa Indah.
Padahal tahun lalu sebelum kebakaran, dia berstatus penyewa dan aktif berjualan sejak tahun 2000. Namun dengan kebijakan baru diterapkan pemerintah, bahwa prioritas utama adalah pedagang yang memiliki izin pakai, sekalipun tidak berjualan saat kebakaran, dia pun terancam tidak berjualan.
Padahal, dibeberkannya, utang yang harus dibayarkan ke salah satu bank di Bontang untuk modal usaha, capai sekira Rp 155 juta. Sementara, kini dia harus berhenti berjualan.
“Utang saya sekarang Rp 155 juta. Pastinya, untuk bisa membayar harus ada pemasukan tiap hari. Tapi kalau saya tidak jualan lagi, mau dapat dari mana uangnya ? harusnya, pemerintah memikirkan masalah itu. Jangan mengambil keputusan sepihak,” keluh pedagang pakaian ini pada Bontang Post, Kamis (27/3) kemarin.
Menurut dia, keputusan yang diambil Disperindagkop kali ini sangat mengecewakan. Sebab keputusan yang dibuat begitu menyengsarakan pedagang. Mereka yang menjadi korban kebakaran, tapi justru banyak pemilik yang sebelumnya tidak berjualan, malah mendapat jatah kios di pasar sementara. Di lain sisi, ketika mereka ingin tetap berjualan, malah terdapat oknum pemilik yang menyewakan kiosnya dua kali lipat dari harga awal sebelum kebakaran terjadi.
“Misalnya saja, sebelum kebakaran, saya nyewa petak Rp 3 juta per bulan. Di pasar sementara malah naik Rp 5 juta per bulan. Mana bisa saya bayar ? kalaupun jualan saja, belum tentu bisa laku, malah ada pedagang memanfaatkan situasi. Ini kan tidak adil buat kami,” bebernya.
Fakta tersebut, menurut dia jauh dari harapan yang diungkapkan pedagang ketika menggelar pertemuan di Kantor Disperindagkop dan UMUM Bontang, beberapa waktu lalu. Saat itu, Kepala Dinas Disperindagkop, Riza Pahlevi menjanjikan bahwa, kalaupun penyewa harus kembali menyewa, maka tidak akan memberatkan penyewa. Melainkan disesuaikan dengan kemampuan ekonomi. Melalui kesepakatan antara pemilik dan penyewa.
“Tapi nyatanya, malah masih ada praktik penyewaan seperti ini. Kami bisa buktikan hal ini. Kalau perlu kepala Disperindagkop langsung turun ke lapangan. Melihat kondisinya. Silahkan ditanyakan ke kami, (pedagang,Red.). Pasti kami tunjukan. Jangan hanya diam dan menunggu laporan di belakang meja,” tegasnya.
HN (33) pedagang pakaian lain menambahkan, surat edaran yang diturunkan Disperindagkop melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pasar Bontang, menyebutkan bahwa, mereka harus mengosongkan pasar darurat terhitung Kamis (3/4) mendatang tidak bisa diterapkan sebelum mendapat tempat berjualan di lokasi pasar sementara.
Sebab jika tidak, roda perekonomian keluarganya yang bersumber dari usaha berdagang pakaian sejak 2001 silam itu, akan terhenti. Dengan begitu, utang yang dihasilkan saat insiden kebakaran tahun lalu, tidak tidak bisa terbayarkan.
“Sementara, bank mana mau tahu masalah yang kami alami. Pokoknya harus ada angsuran. Kalau tidak, jaminan yang saya pakai diambil alih bank,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, dia meminta Disperindagkop membuka mata. Mereka harus banyak mendengar masalah di bawah, baru kemudian menerapkan kebijakan.
“Sumber hidup kami dari berdagang. Tolong dicek juga, realisasi SK yang dibuat yang mengatur tentang kepemilikan petak itu. Karena di lapangan ada pedagang punya kios di luar kewajaran. Tapi itu bisa ditemui kalau mereka serius bekerja dengan turun ke lapangan. Kalau tidak, selamanya akan jadi rahasia,” tandasnya. 
APPSI ANGGAP DISPERINDAGKOP SALAH
Terpisah, Ketua Asosiasi Pedagang Seluruh Indonesia (APPSI) Fachruddin Ismali membenarkan adanya kesalahan dalam kebijakan yang diterapkan Disperindagkop dan UMKM Bontang. Yakni membuat edaran, tapi belum jelas solusi yang diterapkan. Sementara menurut dia, yang dibutuhkan pedagang, bukan edaran, tapi solusi. Yakni tempat berjualan. Karena dia sadari, para pedagang harus tetap berjualan.
Lanjutnya, pada dasarnya, pemerintah tidak diam. Saat ini dalam proses negosiasi penyiapan lahan. Untuk tempat jualan pedagang yang belum terakmodir. Jumlahnya, sekira 157 penyewa dan sekira 187 pengampar (PKL,Red.). Bahkan masih ada sekira 20 pedagang pemilik surat hak pakai, masih belum memeroleh petak pasar.
“Yang salah, hanya pada edaran tentang deadline itu saja. Karena belum jelas solusinya, kenapa sudah diedarkan,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Fahruddin, terkait keluhan pedagang terkait adanya dugaan praktik penyewaan petak di pasar sementara Rawa Indah, dia membenarkan pernah mendengar. Namun baru sebatas mendengar dari statemen pedagang. Sementara yang dibutuhkan saat ini berupa data real. Berupa nota transaksi, atau data pendukung lain yang bisa dipertanggungjawabkan.
“Kami minta, kalau memang ada transaksi seperti itu di lapangan, supaya berani melaporkan ke pihak terkait. Tapi harus ada data. Jangan sampai hanya memperkeruh suasana,” tegasnya. (*/in)              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar