Belum Ada Solusi, Sudah Diminta Kosongkan Pasar Darurat—sub
BONTANG - Polemik seputar pasar Rawa Indah Bontang kian
memanas. Kebijakan pemerintah melalui Dinas Perindustrian, Perdagangan,
Koperasi (Disperindagkop) dan Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) Bontang
terhadap pedagang korban kebakaran tahun lau, kembali menuai kritik keras.
Pasalnya berdasarkan data UPTD Pasar Bontang, sebanyak 157
penyewa dan 187 pengampar (PKL,Red.),
bahkan masih ada sekira 20 pedagang pemilik surat hak pakai, masih belum
memeroleh petak pasar.
Meski begitu, Disperindagkop dan UMKM Bontang sudah
mengeluarkan edaran (lihat grafis,Red.).
Salah satu pointnya, meminta agar segala aktifitas dan kegiatan berjualan para
pedagang pasar darurat di Jalan Ir H Juanda dikosongkan hingga Kamis (3/4)
mendatang. Padahal belum jelas, di mana mereka akan berjualan.
Hal itulah yang membuat sejumlah pedagang menolak pindah
sekalipun deadline tiba. Salah
satunya AR (29), wanita yang namanya enggan dikorankan ini mengaku sebagai
korban kebakaran yang tidak memiliki kios di lokasi pasar sementara Rawa Indah.
Padahal tahun lalu sebelum kebakaran, dia berstatus penyewa
dan aktif berjualan sejak tahun 2000. Namun dengan kebijakan baru diterapkan
pemerintah, bahwa prioritas utama adalah pedagang yang memiliki izin pakai,
sekalipun tidak berjualan saat kebakaran, dia pun terancam tidak berjualan.
Padahal, dibeberkannya, utang yang harus dibayarkan ke salah
satu bank di Bontang untuk modal usaha, capai sekira Rp 155 juta. Sementara,
kini dia harus berhenti berjualan.
“Utang saya sekarang Rp 155 juta. Pastinya, untuk bisa
membayar harus ada pemasukan tiap hari. Tapi kalau saya tidak jualan lagi, mau dapat
dari mana uangnya ? harusnya, pemerintah memikirkan masalah itu. Jangan
mengambil keputusan sepihak,” keluh pedagang pakaian ini pada Bontang Post, Kamis (27/3) kemarin.
Menurut dia, keputusan yang diambil Disperindagkop kali ini
sangat mengecewakan. Sebab keputusan yang dibuat begitu menyengsarakan
pedagang. Mereka yang menjadi korban kebakaran, tapi justru banyak pemilik yang
sebelumnya tidak berjualan, malah mendapat jatah kios di pasar sementara. Di
lain sisi, ketika mereka ingin tetap berjualan, malah terdapat oknum pemilik
yang menyewakan kiosnya dua kali lipat dari harga awal sebelum kebakaran
terjadi.
“Misalnya saja, sebelum kebakaran, saya nyewa petak Rp 3 juta per bulan. Di pasar sementara malah naik Rp 5
juta per bulan. Mana bisa saya bayar ? kalaupun jualan saja, belum tentu bisa
laku, malah ada pedagang memanfaatkan situasi. Ini kan tidak adil buat kami,” bebernya.
Fakta tersebut, menurut dia jauh dari harapan yang
diungkapkan pedagang ketika menggelar pertemuan di Kantor Disperindagkop dan
UMUM Bontang, beberapa waktu lalu. Saat itu, Kepala Dinas Disperindagkop, Riza
Pahlevi menjanjikan bahwa, kalaupun penyewa harus kembali menyewa, maka tidak
akan memberatkan penyewa. Melainkan disesuaikan dengan kemampuan ekonomi.
Melalui kesepakatan antara pemilik dan penyewa.
“Tapi nyatanya, malah
masih ada praktik penyewaan seperti ini. Kami bisa buktikan hal ini. Kalau
perlu kepala Disperindagkop langsung turun ke lapangan. Melihat kondisinya.
Silahkan ditanyakan ke kami, (pedagang,Red.).
Pasti kami tunjukan. Jangan hanya diam dan menunggu laporan di belakang meja,” tegasnya.
HN (33) pedagang pakaian lain menambahkan, surat edaran yang
diturunkan Disperindagkop melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pasar
Bontang, menyebutkan bahwa, mereka harus mengosongkan pasar darurat terhitung
Kamis (3/4) mendatang tidak bisa diterapkan sebelum mendapat tempat berjualan
di lokasi pasar sementara.
Sebab jika tidak, roda perekonomian keluarganya yang
bersumber dari usaha berdagang pakaian sejak 2001 silam itu, akan terhenti.
Dengan begitu, utang yang dihasilkan saat insiden kebakaran tahun lalu, tidak
tidak bisa terbayarkan.
“Sementara, bank mana mau tahu masalah yang kami alami.
Pokoknya harus ada angsuran. Kalau tidak, jaminan yang saya pakai diambil alih bank,”
ungkapnya.
Oleh sebab itu, dia meminta Disperindagkop membuka mata.
Mereka harus banyak mendengar masalah di bawah, baru kemudian menerapkan kebijakan.
“Sumber hidup kami dari berdagang. Tolong dicek juga,
realisasi SK yang dibuat yang mengatur tentang kepemilikan petak itu. Karena di
lapangan ada pedagang punya kios di luar kewajaran. Tapi itu bisa ditemui kalau
mereka serius bekerja dengan turun ke lapangan. Kalau tidak, selamanya akan
jadi rahasia,” tandasnya.
APPSI ANGGAP DISPERINDAGKOP SALAH
Terpisah, Ketua Asosiasi Pedagang Seluruh Indonesia (APPSI)
Fachruddin Ismali membenarkan adanya kesalahan dalam kebijakan yang diterapkan
Disperindagkop dan UMKM Bontang. Yakni membuat edaran, tapi belum jelas solusi
yang diterapkan. Sementara menurut dia, yang dibutuhkan pedagang, bukan edaran,
tapi solusi. Yakni tempat berjualan. Karena dia sadari, para pedagang harus
tetap berjualan.
Lanjutnya, pada dasarnya, pemerintah tidak diam. Saat ini
dalam proses negosiasi penyiapan lahan. Untuk tempat jualan pedagang yang belum
terakmodir. Jumlahnya, sekira 157 penyewa dan sekira 187 pengampar (PKL,Red.). Bahkan masih ada sekira 20
pedagang pemilik surat hak pakai, masih belum memeroleh petak pasar.
“Yang salah, hanya pada edaran tentang deadline itu saja. Karena belum jelas solusinya, kenapa sudah
diedarkan,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Fahruddin, terkait keluhan pedagang
terkait adanya dugaan praktik penyewaan petak di pasar sementara Rawa Indah,
dia membenarkan pernah mendengar. Namun baru sebatas mendengar dari statemen
pedagang. Sementara yang dibutuhkan saat ini berupa data real. Berupa nota transaksi, atau data pendukung lain yang bisa
dipertanggungjawabkan.
“Kami minta, kalau memang ada transaksi seperti itu di
lapangan, supaya berani melaporkan ke pihak terkait. Tapi harus ada data. Jangan
sampai hanya memperkeruh suasana,” tegasnya. (*/in)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar