Jumat, 14 Maret 2014

Renungan Sang Hunter

Beberapa hari terakhir ini, saya kembali dibuat berpikir oleh kondisi yang saya alami. Karakter saya sebagai penulis berita kritis tampaknya mulai goyah. Sebab setelah saya introspeksi lagi lebih jauh. Keuntungan seperti apa yang bisa saya peroleh dengan karakter tersebut ? Lalu sejauh mana penghargaan tempat saya bekerja dengan karakter tersebut ? memang benar dengan karakter tersebut tersebut saya punya 'taring' di lapangan. Tapi setelah saya telaah lebih jauh lagi, sejauh mana gelar tersebut memberi keuntungan pada diri saya ? ternyata tidak banyak. Malah yang ada, kerap kali narasumber saya menghindar karena takut diwawancara. Maklum entah kenapa, ketika saya mengangkat satu berita, fokus pikiran saya selalu mengarah ke hal negatif dan menjatuhkan mereka. Sekalipun tidak pernah berbuat salah sama saya bahkan sebaliknya.
Satu hal mendasar kenapa saya mulai berpikir menjadi wartawan kritis. Yakni rezeki saya seolah hilang. Bahkan masalah kerap mengelilingi kehidupan sehari-hari saya. Entah itu diteror atau menerima sorot mata bermusuhan dari narasumber atau SKPD bersangkutan yang pernah saya 'serang' itu. Tapi kembali lagi, masalah itu harus saya tanggung sendiri. Bagaimana dengan peran kantor ? tidak ada. Bahkan akibat sifat itu, saya kerap kesulitan kembali ke tempat semula untuk mencari berita.
Di samping itu, saya menilai apapun yang saya lakukan, sekeras apapun saya bekerja agar koran ini bisa laku dengan berita-berita kritis yang saya hadirkan, tampaknya tidak ditunjang oleh sisi financial oleh kantor. Padahal, dengan gaji Rp 1,9 per bulan itu, apa yang bisa saya perbuat ? Sementara, jika saya menuruti naluri 'hunter' yang memang menjadi karakter saya selama 1 tahun mengabdi, uang tersebut hanya habis dan menguap di jalan. Entah untuk membeli pulsa dan paling banyak membeli bensin. Lalu apakah hal ini bisa menjadi alasan saya terus bekerja dengan naluri hunter tadi ? kini saya mulai berpikir. Karena itulah, sejak beberapa hari terakhir ini, berita-berita saya memang melunak. Dan hal itu jelas saja menarik perhatian redaktur saya. dan saya yakin yang lain pun demikian. Tapi itulah pilihan hidup, saya harus memilih, karena saya baru sadar, bahwa saya punya keluarga dan butuh makan dan minum. Sementara gaji begitu kecil itu, hanya menguap di jalan untuk mencari berita. Saya bahkan merasa benar-benar bekerja untuk kantor ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar