“Aku tidak butuh pacar cantik, seksi,
tapi tak mampu menjaga kepercayaan . Kesetiaan, ketulusan cinta, dan pengertian,
itulah yang kuinginkan. Karena rumah tangga yang ‘mawadoh warohmah’, hanya bisa
diwujudkan dengan itu. Harus siap menjaga janji suci pernikahan dalam kondisi
apapun,”
WEJANGAN itu merupakan prinsip hidupku dalam memilih pasangan.
Karena bagiku, cantik, tampan, kaya, miskin dan sebagainya, satu hal yang tak
abadi. Sebuah titipan yang kapanpun bisa dicabut oleh Allah SWT sang pemilik hidup.
Berangkat dari prinsip itu, terbentuklah pribadi dingin, cuek, masa bodoh,
tapii,,,,,,, tak pernah mempermainkan wanita.
Yah,,, bagi sebagian orang, sikap seperti itu bukan menjadi impian
banyak wanita. Karena aku paham, seorang wanita butuh kasih sayang, perhatian
yang continue, serta untaian kata
gombal yang telah banyak menjerumuskan wanita dalam kehancuran. Tapi,,,,, aku
adalah aku,,,, tidak mudah mengubah sebuah prinsip yang telah tertanam dan
mendarah daging.
Minggu (11/7) ini, sebulan lebih hubunganku dengan wanita Widia.
Wanita ini sempat membuatku jatuh cinta. Bahkan rencana melanjutkan cinta ini
ke jenjang pernikahan telah kusematkan di dalam hati. Dan dia tahu akan hal
itu. Tepatnya, di hari-hari awal jadian kami Juni lalu. Maklum, awal jadian
merupakan momen terindah dalam sebuah hubungan. Kata orang, saat itu semua yang
tampak di pelupuk mata, berwarna Merah Jambu. ‘Warna yang diisyaratkan sebagai
kebahagiaan dan keceriaan’.
Saat itu, baik pria maupun wanita akan mengumbar janji terindah
yang bisa dikeluarkan. Sehingga menumbuhkan keyakinan pada pasangan untuk
memberikan seluruh cinta, kasih dan sayang tanpa sisa. Tapi, aku lebih yakin.
Perasaan itu timbul hanya karena belum tahu banyak tentang siapa sang pacar.
Dan bagaimana karakter si pacar. Sehingga, yang tampak adalah kebahagiaan,
kebaikan, dan masa depan.
Berbeda, ketika telah melewati ‘momen berbunga’ itu. Maka akan
tampak sifat asli yang jelas tidak ditampakan di hari awal jadian pada diri
sang pacar. Berbagai kekurangan, pun bermunculan, yang jelas bukan menjadi
impian bagi salah satu dari keduanya. Nah, bagi mereka yang larut dalam rayuan
atau masa-masa ‘berbunga’ di awal jadian, merupakan tamparan keras. Karena, apa
yang dia dapatkan jauh berbeda dari yang dijanjikan. Berbeda, ketika prinsip
untuk siap menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing bukan sekadar
bualan, maka itu bukan hal berat untuk diterima.
Inilah yang terjadi dalam hubunganku beberapa hari terakhir. Widia
adalah pacarku yang beberapa hari terakhir merusak ketenangan batin dan menghapus
warna di hari-hariku. Setelah berhasil melewati satu bulan sejak memutuskan
bersama Juli 2013 lalu, dia mulai berbeda. Bahkan, terkesan menghindar untuk
bertemu dan menjalin komunikasi denganku. Nah, jelas saja itu menjadi beban.
Sebenarnya, beban di sini bukanlah beban yang kebanyakan dirasakan
oleh orang yang saling mencinta, sehidup semati, yang telah menyerahkan
sebagian jiwanya bagi sang pacar, atau yang rela mati demi pacarnya. Tapi ini
lebih kepada keinginan yang sebenarnya dari Widia. Karena, aku bukan pria yang
mau diambangkan dan digantungkan. Dalam hal apapun itu. Termasuk asmara.
Aku hanya menginginkan kejelasan dari dia. Bahkan, sempat kutegaskan kepadanya, jika
sudah tak sanggup menjalani hidup denganku berpisah sepertinya hal yang tepat. Tapi,
itu tidak direspon. Bahkan dia malah menjawab. “Ade bukan mau pisah. Ade hanya
butuh waktu untuk tidak berhubungan dengan kamu saat ini. Sampai saat Ade tenang
lagi,” itulah jawaban yang kuperoleh dari dia dua hari yang lalu.
Bagi sebagian orang yang tidak pernah menganggap sebuah hubungan
itu penting, jelas bukan masalah. Karena, tidak ada pengorbanan, baik
materi maupun beban pikiran. Bahkan, kondisi seperti itu adalah momen
berharga yang mesti dimanfaatkan bagi orang yang berpikirian seperti itu.
Aku sempat mengobrolkan masalahku dengan seorang kawan. Kata kawanku,
“kalau memang dia mau seperti itu, kamu
selingkuh aja. Toh, aku juga yakin kalau sudah seperti itu, dia tidak
mengharapkan kamu lagi. Bahkan, besar kemungkinan dia punya pacar lagi,” kata
temanku dengan mimik serius.
Awalnya, aku tidak menggubris saran itu, bahkan aku menilai jika
itu adalah hasutan dan cobaan yang melanda hubungan kami. “Ah, itu belum tentu
benar,,, sebelum ada bukti, kita enggak boleh menuduh seperti itu,” jawabku
menimpali pernyataannya.
Tapi, kecurigaan itu makin nyata. Ketika selama seminggu lebih aku
tidak mendapat kabar darinya. Jangankan untuk bertemu muka, mendapat pesan
singkat saja tidak terkabul. Panggilan lewat telfon seluler yang hampir tiap
menit, jam bahkan saat malam sebelum aku tidur, pasti menelfon dia. Tapi,
lantas terputus lantaran nomor yang kutuju sedang sibuk. Aku tidak tahu pasti,
apakah sibuk sebab diriject olehnya,
atau karena sedang digunakan berkomunikasi dengan orang lain. Tapi satu hal yang pasti. Jika Widia masih
punya hati dan menganggapku berarti, pasti ada upaya untuk menjawab segudang
pertanyaan yang kukirimkan beberapa hari terakhir.
Sampai akhirnya puncak kesabaranku tiba.
Karena tidak mau bertemu, menjawab telfon, membalas SMS, maka aku tegaskan
kepadanya satu pertanyaan sekaligus pernyataan. “Wid, kalau kamu memang masih
menganggap aku pacarmu, kita ketemu di tempat biasa malam ini. Tapi kalau sudah
tidak lagi, abaikan pesan ini,” kataku dalam sebuah pesan yang kukirim tepat
pukul 20.00 Wita dari ponselku.
Selang beberapa menit, tiba-tiba pesan singkat
itu terbalas. Setelah kubuka, benar, pesan dari Widia, “Ade bukannya tidak
menganggap kk itu pacar. Tapi sekarang Ade masih belum siap ketemu kakak”
“Tapi kenapa?, harus ada penjelasannya dong. Jangan
seperti ini, kita bukan anak kecil yang kasmaran”
“Bukannya apa kak. Tidak ada asap kalau gak
ada api. Jadi, kalau kakak belum merasa tahu salah yang bikin aku begini, lebih
baik jangan hubungin aku dulu”
Mendapat jawaban itu, aku lantas makin bingung
sekaligus geram. Betapa tidak, aku bukanlah manusia yang bisa membaca hati
orang lain. Di sisi lain, aku juga sadar bukan manusia sempurna. Jadi kesalahan
adalah lumrah terjadi. Tapi yang tidak bisa kuterima, kenapa harus seperti
ini?, aku diminta mereka-reka apa yang tidak aku tahu?.
“Yaudah, kakk ini bukan pesulap yang bisa
membaca pikiran orang. Jadi, begini saja, kalau memang malam ini kita tidak
bisa ketemu. Lebih baik kita putus aja! tolong dijawab”
Setelah menunggu beberapa lama, pesan singkat
dari Widia pun kuterima, “ iya kak, Ade memang sudah tidak sanggup dengan sifat
kakak yang cuek. Bahkan, tidak pernah cemburu ke ade. Ade ngerasa, kalau tidak disayang sama kakak.
Makanya, Ade menghindar selama ini. Tapi, kalau memang itu maunya kakak untuk
putus, yaudah, Ade terima ! ”
Mendapat jawaban itu, awalnya aku cukup
terkejut karena begitu tenangnya dia menanggapi perpisahan ini. Selain itu,
alasan yang dia limpahkan sebagai alasan perpisahan ini hanya karena sikap cuek
yang sejatinya bertujuan baik. Karena, bagiku, tidak ada gunanya mengekang
pacar dan melarang bahkan membatasi sang pacar untuk berhubungan dengan orang
lain. Tapi, kemudian akhirnya aku mengerti, bahwa ketika dia telah menyanggupi
untuk berpisah, artinya memang sudah waktunya, dan dia bukan yang terbaik untukku.
Begitupula sebaliknya, mungkin aku bukan yang terbaik untuk dia.
“Yaudah, kalau kita sepakat untuk berpisah, Kakak
terima. Kakak hanya pesan sama ade. Jangan pernah memillih pasangan karena
sesuatu yang tidak abadi. Pilih yang bisa jadi imam, dan punya agama serta
menjalankan ibadah yang diwajibkan agamanya,”
“Iya kakak, kakak juga” jawab Widia mengakhiri
obrolan singkat kami malam itu.
Sejak saat
itu, kami tidak pernah lagi berhubungan. Baik secara langsung maupun lewat
ponsel seperti yang biasa kami lakukan selama berpacaran.
Yahh,,,, perpisahan ini sebenarnya bukan hal
yang kuharapkan. Tapi mau gimana lagi, jika itu sudah menjadi pilihan dia. Meski
begitu aku belum sepenuhnya percaya jika
alasan dia putus hanya karena sikapku yang cuek. Bahkan, belakangan aku mulai
mengenang kembali, pendapat yang disampaikan temanku beberapa waktu lalu. Yang
mengatakan, kemungkinan Widia sudah selingkuh di belakangku. Namun tetap
menerima bahwa perpisahan ini sudah tadir yang harus diterima.
Berselang beberpa minggu pasca perpisahan itu.
Perlahan aku sudah mulai terbiasa hidup sendiri. Bahkan, sudah bisa melupakan
dia. Hingga satu hari, saat aku pulang dari kantor, aku melihat secara
langsung, Widia tampak mesra memeluk seorang pria di atas sepeda motor yang
melaju kencang. Tampaknya, mereka telah lama akrab, hal itu terlihat dengan tidak
adanya jarak atara mereka. Sehingga
untuk memeluk demikian erat menjadi hal wajar. Sejak saat itu, rasa
penasarannku tiba-tiba kembali tumbuh untuk tahu lebih dalam tentang hubungan
keduanya.
Keesokan harinya, aku memutuskan mengunjungi
tempat kerja Widia. Tentunya setelah memastikan dia tidak ada di tempat itu.
Lalu aku menayakan kepada salah seorang rekan kerjanya yang juga seorang
wanita. Tentang pacar baru Widia. “Mbak, aku mau tanya boleh?”
“Iya mas, tanya apa?,”
“Temannya di sini ada yang namanya Widia
enggak?,”
“Iya mas, ada, ada apa yah mas dengan Widia?,”
“Enggak papa. Dia punya pacar enggak yah,”
“Hehe, ada mas namanya Rian. Emang kenapa mas,
suka yah sama dia?,”
“Enggak kok mbak, mau tau aja. Mbak tahu
enggak, sejak kapan mereka pacaran?,”
“Pacarannya sih belum lama mas, baru sekitar
sebulan ini. Emang ada apa yah mas, kok pengen tau gitu soal Widia?,”
mendapat jawaban itu, aku lantas termenung. Jika
mereka sudah bersama selama sebulan, berarti aku telah dibohongi selama ini.
“Mas,,, kok diem,, ada apa mas sama Widia?,”
“Enggak papa kok mba. Oke deh lw begitu, aku
pamit dulu yaahh,,, makasih lohh,”
“Iya mas, sama-sama,” jawabnya sambil
tersenyum
Setelah obrolan ini, akhirnya aku tahu jawaban
sebenarnya kenapa Widia begitu mudah melepaskan diri dariku. Tentang sikapnya
yang memutuskan komunikasi selama seminggu itu pun akhirnya terjawab. Bahwa,
ternyata Widia sudah menjalin hubungan sejak saat kami masih bersama. Tepatnya
saat masalah mulai sering menghampiri hubungan kami.
Setidaknya, dengan kejelasan ini, aku tidak
lagi merasa bersalah. Karena, sebelumnya penyebab putusnya kami adalah sikapku
yang cuek. Melaikan, dia telah menemukan pria lain yang mungkin menurutnya jauh
lebih baik dari apa yang kumiliki.
Tapi setidaknya, kejadian itu semakin
membuatku sadar. Bahwa di dunia ini tidaka ada yang abadi. Sehingga, jangan
pernah terbuai terhadap satu kondisi yang menyenangkan. Sehingga terjebak untuk
melakukan hal-hal yang berlebihan untuk menyenangkan sang pacar. Saya lebih
yakin, bahwa kekasih sejati adalah dia yang siap menerima kelebihan terlebih
kekurangan. Dan sanggup menjaga kepercayaan yang telah diberikan. Karena,
kepercayaan adalah harga mati di dalam hidupku. Ketika telah terjadi
penghianatan atas hal itu. Tidak akan ada kesempatan kedua, ketiga, hingga
kapanpun. (*)
(Imran
Ibnu, Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar