Sabtu, 30 November 2013

Penjelasan di Balik Kebungkaman




“Aku tidak butuh pacar cantik, seksi, tapi tak mampu menjaga kepercayaan . Kesetiaan, ketulusan cinta, dan pengertian, itulah yang kuinginkan. Karena rumah tangga yang ‘mawadoh warohmah’, hanya bisa diwujudkan dengan itu. Harus siap menjaga janji suci pernikahan dalam kondisi apapun,”
WEJANGAN itu merupakan prinsip hidupku dalam memilih pasangan. Karena bagiku, cantik, tampan, kaya, miskin dan sebagainya, satu hal yang tak abadi. Sebuah titipan yang kapanpun bisa dicabut oleh Allah SWT sang pemilik hidup. Berangkat dari prinsip itu, terbentuklah pribadi dingin, cuek, masa bodoh, tapii,,,,,,, tak pernah mempermainkan wanita.
Yah,,, bagi sebagian orang, sikap seperti itu bukan menjadi impian banyak wanita. Karena aku paham, seorang wanita butuh kasih sayang, perhatian yang continue, serta untaian kata gombal yang telah banyak menjerumuskan wanita dalam kehancuran. Tapi,,,,, aku adalah aku,,,, tidak mudah mengubah sebuah prinsip yang telah tertanam dan mendarah daging.
Minggu (11/7) ini, sebulan lebih hubunganku dengan wanita Widia. Wanita ini sempat membuatku jatuh cinta. Bahkan rencana melanjutkan cinta ini ke jenjang pernikahan telah kusematkan di dalam hati. Dan dia tahu akan hal itu. Tepatnya, di hari-hari awal jadian kami Juni lalu. Maklum, awal jadian merupakan momen terindah dalam sebuah hubungan. Kata orang, saat itu semua yang tampak di pelupuk mata, berwarna Merah Jambu. ‘Warna yang diisyaratkan sebagai kebahagiaan dan keceriaan’.
Saat itu, baik pria maupun wanita akan mengumbar janji terindah yang bisa dikeluarkan. Sehingga menumbuhkan keyakinan pada pasangan untuk memberikan seluruh cinta, kasih dan sayang tanpa sisa. Tapi, aku lebih yakin. Perasaan itu timbul hanya karena belum tahu banyak tentang siapa sang pacar. Dan bagaimana karakter si pacar. Sehingga, yang tampak adalah kebahagiaan, kebaikan, dan masa depan.
Berbeda, ketika telah melewati ‘momen berbunga’ itu. Maka akan tampak sifat asli yang jelas tidak ditampakan di hari awal jadian pada diri sang pacar. Berbagai kekurangan, pun bermunculan, yang jelas bukan menjadi impian bagi salah satu dari keduanya. Nah, bagi mereka yang larut dalam rayuan atau masa-masa ‘berbunga’ di awal jadian, merupakan tamparan keras. Karena, apa yang dia dapatkan jauh berbeda dari yang dijanjikan. Berbeda, ketika prinsip untuk siap menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing bukan sekadar bualan, maka itu bukan hal berat untuk diterima.
Inilah yang terjadi dalam hubunganku beberapa hari terakhir. Widia adalah pacarku yang beberapa hari terakhir merusak ketenangan batin dan menghapus warna di hari-hariku. Setelah berhasil melewati satu bulan sejak memutuskan bersama Juli 2013 lalu, dia mulai berbeda. Bahkan, terkesan menghindar untuk bertemu dan menjalin komunikasi denganku. Nah, jelas saja itu menjadi beban.
Sebenarnya, beban di sini bukanlah beban yang kebanyakan dirasakan oleh orang yang saling mencinta, sehidup semati, yang telah menyerahkan sebagian jiwanya bagi sang pacar, atau yang rela mati demi pacarnya. Tapi ini lebih kepada keinginan yang sebenarnya dari Widia. Karena, aku bukan pria yang mau diambangkan dan digantungkan. Dalam hal apapun itu. Termasuk asmara.
Aku hanya menginginkan kejelasan dari dia.  Bahkan, sempat kutegaskan kepadanya, jika sudah tak sanggup menjalani hidup denganku berpisah sepertinya hal yang tepat. Tapi, itu tidak direspon. Bahkan dia malah menjawab. “Ade bukan mau pisah. Ade hanya butuh waktu untuk tidak berhubungan dengan kamu saat ini. Sampai saat Ade tenang lagi,” itulah jawaban yang kuperoleh dari dia dua hari yang lalu.
Bagi sebagian orang yang tidak pernah menganggap sebuah hubungan itu penting, jelas bukan masalah. Karena, tidak ada pengorbanan, baik materi  maupun beban pikiran.  Bahkan, kondisi seperti itu adalah momen berharga yang mesti dimanfaatkan bagi orang yang berpikirian seperti itu.
Aku sempat mengobrolkan masalahku dengan seorang kawan. Kata kawanku,  “kalau memang dia mau seperti itu, kamu selingkuh aja. Toh, aku juga yakin kalau sudah seperti itu, dia tidak mengharapkan kamu lagi. Bahkan, besar kemungkinan dia punya pacar lagi,” kata temanku dengan mimik serius.
Awalnya, aku tidak menggubris saran itu, bahkan aku menilai jika itu adalah hasutan dan cobaan yang melanda hubungan kami. “Ah, itu belum tentu benar,,, sebelum ada bukti, kita enggak boleh menuduh seperti itu,” jawabku menimpali pernyataannya.
Tapi, kecurigaan itu makin nyata. Ketika selama seminggu lebih aku tidak mendapat kabar darinya. Jangankan untuk bertemu muka, mendapat pesan singkat saja tidak terkabul. Panggilan lewat telfon seluler yang hampir tiap menit, jam bahkan saat malam sebelum aku tidur, pasti menelfon dia. Tapi, lantas terputus lantaran nomor yang kutuju sedang sibuk. Aku tidak tahu pasti, apakah sibuk sebab diriject olehnya, atau karena sedang digunakan berkomunikasi dengan orang  lain. Tapi satu hal yang pasti. Jika Widia masih punya hati dan menganggapku berarti, pasti ada upaya untuk menjawab segudang pertanyaan yang kukirimkan beberapa hari terakhir.
Sampai akhirnya puncak kesabaranku tiba. Karena tidak mau bertemu, menjawab telfon, membalas SMS, maka aku tegaskan kepadanya satu pertanyaan sekaligus pernyataan. “Wid, kalau kamu memang masih menganggap aku pacarmu, kita ketemu di tempat biasa malam ini. Tapi kalau sudah tidak lagi, abaikan pesan ini,” kataku dalam sebuah pesan yang kukirim tepat pukul 20.00 Wita dari ponselku.
Selang beberapa menit, tiba-tiba pesan singkat itu terbalas. Setelah kubuka, benar, pesan dari Widia, “Ade bukannya tidak menganggap kk itu pacar. Tapi sekarang Ade masih belum siap ketemu kakak”
“Tapi kenapa?, harus ada penjelasannya dong. Jangan seperti ini, kita bukan anak kecil yang kasmaran”
“Bukannya apa kak. Tidak ada asap kalau gak ada api. Jadi, kalau kakak belum merasa tahu salah yang bikin aku begini, lebih baik jangan hubungin aku dulu”
Mendapat jawaban itu, aku lantas makin bingung sekaligus geram. Betapa tidak, aku bukanlah manusia yang bisa membaca hati orang lain. Di sisi lain, aku juga sadar bukan manusia sempurna. Jadi kesalahan adalah lumrah terjadi. Tapi yang tidak bisa kuterima, kenapa harus seperti ini?, aku diminta mereka-reka apa yang tidak aku tahu?.
“Yaudah, kakk ini bukan pesulap yang bisa membaca pikiran orang. Jadi, begini saja, kalau memang malam ini kita tidak bisa ketemu. Lebih baik kita putus aja! tolong dijawab”
Setelah menunggu beberapa lama, pesan singkat dari Widia pun kuterima, “ iya kak, Ade memang sudah tidak sanggup dengan sifat kakak yang cuek. Bahkan, tidak pernah cemburu ke ade.  Ade ngerasa, kalau tidak disayang sama kakak. Makanya, Ade menghindar selama ini. Tapi, kalau memang itu maunya kakak untuk putus, yaudah, Ade terima ! ”
Mendapat jawaban itu, awalnya aku cukup terkejut karena begitu tenangnya dia menanggapi perpisahan ini. Selain itu, alasan yang dia limpahkan sebagai alasan perpisahan ini hanya karena sikap cuek yang sejatinya bertujuan baik. Karena, bagiku, tidak ada gunanya mengekang pacar dan melarang bahkan membatasi sang pacar untuk berhubungan dengan orang lain. Tapi, kemudian akhirnya aku mengerti, bahwa ketika dia telah menyanggupi untuk berpisah, artinya memang sudah waktunya, dan dia bukan yang terbaik untukku. Begitupula sebaliknya, mungkin aku bukan yang terbaik untuk dia.
“Yaudah, kalau kita sepakat untuk berpisah, Kakak terima. Kakak hanya pesan sama ade. Jangan pernah memillih pasangan karena sesuatu yang tidak abadi. Pilih yang bisa jadi imam, dan punya agama serta menjalankan ibadah yang diwajibkan agamanya,”
“Iya kakak, kakak juga” jawab Widia mengakhiri obrolan singkat kami malam itu.
 Sejak saat itu, kami tidak pernah lagi berhubungan. Baik secara langsung maupun lewat ponsel seperti yang biasa kami lakukan selama berpacaran.
Yahh,,,, perpisahan ini sebenarnya bukan hal yang kuharapkan. Tapi mau gimana lagi, jika itu sudah menjadi pilihan dia. Meski begitu aku  belum sepenuhnya percaya jika alasan dia putus hanya karena sikapku yang cuek. Bahkan, belakangan aku mulai mengenang kembali, pendapat yang disampaikan temanku beberapa waktu lalu. Yang mengatakan, kemungkinan Widia sudah selingkuh di belakangku. Namun tetap menerima bahwa perpisahan ini sudah tadir yang harus diterima.
Berselang beberpa minggu pasca perpisahan itu. Perlahan aku sudah mulai terbiasa hidup sendiri. Bahkan, sudah bisa melupakan dia. Hingga satu hari, saat aku pulang dari kantor, aku melihat secara langsung, Widia tampak mesra memeluk seorang pria di atas sepeda motor yang melaju kencang. Tampaknya, mereka telah lama akrab, hal itu terlihat dengan tidak adanya  jarak atara mereka. Sehingga untuk memeluk demikian erat menjadi hal wajar. Sejak saat itu, rasa penasarannku tiba-tiba kembali tumbuh untuk tahu lebih dalam tentang hubungan keduanya.
Keesokan harinya, aku memutuskan mengunjungi tempat kerja Widia. Tentunya setelah memastikan dia tidak ada di tempat itu. Lalu aku menayakan kepada salah seorang rekan kerjanya yang juga seorang wanita. Tentang pacar baru Widia. “Mbak, aku mau tanya boleh?”
“Iya mas,  tanya apa?,”
“Temannya di sini ada yang namanya Widia enggak?,”
“Iya mas, ada, ada apa yah mas dengan Widia?,”
“Enggak papa. Dia punya pacar enggak yah,”
“Hehe, ada mas namanya Rian. Emang kenapa mas, suka yah sama dia?,”
“Enggak kok mbak, mau tau aja. Mbak tahu enggak, sejak kapan mereka pacaran?,”
“Pacarannya sih belum lama mas, baru sekitar sebulan ini. Emang ada apa yah mas, kok pengen tau gitu soal Widia?,”
mendapat jawaban itu, aku lantas termenung. Jika mereka sudah bersama selama sebulan, berarti aku telah dibohongi selama ini.
“Mas,,, kok diem,, ada apa mas sama Widia?,”
“Enggak papa kok mba. Oke deh lw begitu, aku pamit dulu yaahh,,, makasih lohh,”
“Iya mas, sama-sama,” jawabnya sambil tersenyum
Setelah obrolan ini, akhirnya aku tahu jawaban sebenarnya kenapa Widia begitu mudah melepaskan diri dariku. Tentang sikapnya yang memutuskan komunikasi selama seminggu itu pun akhirnya terjawab. Bahwa, ternyata Widia sudah menjalin hubungan sejak saat kami masih bersama. Tepatnya saat masalah mulai sering menghampiri hubungan kami.
Setidaknya, dengan kejelasan ini, aku tidak lagi merasa bersalah. Karena, sebelumnya penyebab putusnya kami adalah sikapku yang cuek. Melaikan, dia telah menemukan pria lain yang mungkin menurutnya jauh lebih baik dari apa yang kumiliki.
Tapi setidaknya, kejadian itu semakin membuatku sadar. Bahwa di dunia ini tidaka ada yang abadi. Sehingga, jangan pernah terbuai terhadap satu kondisi yang menyenangkan. Sehingga terjebak untuk melakukan hal-hal yang berlebihan untuk menyenangkan sang pacar. Saya lebih yakin, bahwa kekasih sejati adalah dia yang siap menerima kelebihan terlebih kekurangan. Dan sanggup menjaga kepercayaan yang telah diberikan. Karena, kepercayaan adalah harga mati di dalam hidupku. Ketika telah terjadi penghianatan atas hal itu. Tidak akan ada kesempatan kedua, ketiga, hingga kapanpun. (*)
(Imran Ibnu, Jakarta)
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar