Senin, 18 November 2013

Pejabat Korup, Jadi Tolak Ukur




"Foto ini diambil penulis saat penyerahan bingkisan oleh Walikota Bontang Ir Adi Darma pada perwakilan Universitas Indonesia (UI) dalam sebuah dialog di Gedung Fakultas Ilmu Politik universitas itu Oktober lalu. Dalam moment ini, Walikota juga memparkan tentang program Prolita serta dua poin pembangunan fisik yang sampai saat ini belum terlaksana seperti yang dipaparkan dalam tulisan kali ini" 


 Imran Ibnu, Jakarta
Pandangan masyarakat terhadap pejabat publik, baik tingkat kota ataupun kabupaten nyaris sama. Yakni korup dan gemar memakan uang rakyat. Meski begitu, anggapan seperti itu tidak bisa menjadi patokan dalam pola pikir seorang manusia yang berpikir kritis namun cerdas. Karena, segala kemajuan dalam hal pemerataan kesejahteraan hidup hingga pembangunan infrastruktur yang diwujudkan lewat pembangunan fisik, tak akan terwujud tanpa kebijakan pemerintah selaku pemegang tampuk kepemimpinan.
Tulisan saya kali ini, sedikit banyak membahas tentang geliat politik serta upaya pejabat dalam memperlancar cita-citanya. Baik mengatasnamakan pribadi atau lewat ‘motor’ partai politik yang telah mengantarkan begitu banyak manusia baik hati, menjadi dikecam masyarakat.
Krisis kepercayaan yang melanda rakyat Indonesia terhadap para pemimpin di Indonesia telah terjadi sejak lama. Bahkan, sejak pemerintahan dalam kuasa Presiden Soeharto yang sempat menobatkan diri sebagai presiden seumur hidup yang hendak mengikuti jejak Presiden Soekarno. Dari sejumlah tulisan yang baca, maupun obrolan dengan para senior (orang lebih tua), mengakui jika jaman itu, masyarakat memang telah menganggap setiap pejabat itu adalah koruptor. Bagi siapapun yang ingin menjadi pejabat, pasti di dalam benaknya ingin meraup keuntungan financial agar bisa memperkaya diri sendiri.
Maklum, untuk mencapai jabatan itu, para pejabat itu tentu mengeluarkan bajet yang tidak sedikit. Baik yang berasal dari kantong pribadi, kas partai politik yang mengusungnya, ataupun pihak swasta yang juga punya kepentingan khusus tatkala sang pejabat berhasil memperoleh ‘kursi’ yang diperebutkan.
Begitupula dengan krisis kepercayaan yang melanda warga Bontang saat ini. Menurut pengakuan sejumlah warga yang saya temui, baik saat saya menjalankan tugas sebagai wartawan dengan menghimpun berita, ataupun kesempatan lain di luar jam tugas. Kebanyakan dari mereka sepakat dengan kata ‘pejabat itu koruptor’. Karena pernyataan itu ditegaskan oleh mantan  Walikota Bontang Sofyan Hasdam, yang kini tengah terjerat kasus korupsi.
Padahal, menurut pengakuan sejumlah warga Bontang yang pernah saya temui, Sofyan Hasdam adalah sosok pemimpin hebat yang telah mengantarkan Kota Taman hingga masa sekarang. Berbeda dengan pemerintahan Wali Kota saat ini yakni Adi Darma. Yang menurut penilaian saya pribadi, lebih banyak teori dan pencitraan. Untuk mengimbangi minimnya gebrakan kebijakan yang dia terapkan. Maklum, menurut saya, Walikota sebelumnya jauh lebih cerdas ketimbang saat ini.
Meski begitu, Adi Darma diuntungkan oleh gebrakan prgram unggulannya yakni Program Rp 50 Juta Per RT (Prolita) yang kini jadi senjata utama wali kota sekaligus ketua harian Partai Golongan Karya (Golkar) itu. Karena, lewat program itulah, pembangunan di lingkup RT bisa terlaksana merata. Yang sebelumnya belum berihasil dilakukan Sofyan Hasdam lewat program Blockgraunt-nya.
Program unggulan lain yang menjadi senjata unggulan walikota Adi Darma dan belum terealisasi ada dua poin. Yakni rencana pembangunan Jalan Lingkar yang sampai saat ini belum terlaksana. Alasan terakhir, belum mendapat persetujuan anggaran dari Kementria Dalam Negeri (Kemendagri). Untuk bisa dikerjakan dalam Anggaran Perubahan Tahun 2013. Sehingga, harus menunggu realisasi anggaran di Anggaran Perencanaan Belanja Daerah (APBD) murni 2014 mendatang.
Begitupula dengan pengoprasian Pelabuhan Lhoktuan yang juga diiming-imingkan walikota kepada warga Bontang sejak lama. Tapi realisasinya terus-menerus tertunda.
Kabar terakhir tentang pelabuhan Lhoktuan, saat ini Kementrian Perhubungan (Kemenhub) Bidang Perhubungan Laut tengah menunggu Badan Usaha Pelabuhan (BUP) dari Bontang. Sementara, pihak Pemkot sendiri mengaku jika saat ini tengah dalam proses. Jadi, kesimpulannya, keterlambatan ini semata kesalahan Pemkot Bontang.
Saya sih berharap, tertundanya program-program itu bukan menjadi bagian dari strategi politik agar dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) yang sebentar lagi digelar. Karena, menurut saya, potensi terpilihnya Adi Darma sebagai Walikota sangat minim. Bahkan, jika Sofyan Hasdam kembali mencalonkan diri sebagai Walikota Bontang justru lebih besar. Sekalipun dia tengah terjerat kasus korupsi yang saat ini tengah mengajukan banding di Mahkaman Agung Agung).  (*)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar