Jumat, 22 November 2013

Serap Ilmu Sambil Tertawa




Evaluasi Berita Di Taman Ayodia Jakarta—Sub
 
Proses evaluasi berita 6 media koran yang tergabung dalam Kaltim Post Group, di Jakarta terus berjalan. Lokasi yang menjadi pilihan oleh Arianto Redaktur Indopos selaku pembimbing adalah Taman Ayodia, Blok M Jakarta Pusat. Seperti biasa, materi berupa bedah tulisan dan cara mengedit berita pun berjalan mulus dan santai.

IMRAN IBNU, Jakarta

Hampir dua bulan kami (peserta magang) tinggal di Jakarta, suasana kota dan hiruk pikuk serta gaya hidup manusia di Kota Metropolitan itu sudah tidak asing dalam pandangan kami. Contohnya saja, keberadaan para pengamen, banci, hingga pasangan muda-mudi yang dengan bebas menampakkan kemesraan di tengah umum dengan gaya berpakaiannya yang seronok, pun telah akrab di mata kami. Oleh sebab itu, saya tidak akan banyak membahas mengenai hal itu dalam tulisan saya kali ini.
Malam itu, proses belajar kami mendapat dukungan penuh dari alam. Karena, di langit nan biru saat itu dihiasi jutaan bintang gemintang mengelilingi rembulan yang cantik. Seolah memberi kekuatan tersendiri bagi siapapun yang menyaksikan keindahan pemandangan alam itu.
Kondisi tidak jauh berbeda terjadi di bawah hamparan langit malam itu. Tepat pukul 01.30 WIB saya dan rombongan tiba di lokasi yang disepakati. Suasana malam di daerah itu begitu indah oleh keberadaan lampu-lampu jalan, lampu yang berasal dari rombong para Pedagang Kaki Lima (PKL) yang juga dikelilingi lampu gedung pencakar langit yang menambah keindahan lokasi angkringan itu.
Yang paling menarik dari tempat itu, lautan manusia terdiri atas muda-mudi, kaula muda, hingga para orang tua tampak mengisi sudut-sudut taman mencari tempat strategis. Paling digemari adalah titik yang minim cahaya. Sehingga potensi mereka ‘bertualang’ terhadap pasangan mereka pun kian besar. Tapi bagi saya, apapun yang mereka lakukan tidak masalah, asal tidak saling mengganggu ketntraman satu sama lain.
Seperti biasa, sebelum evaluasi berita dimulai, kami selalu memesan makanan dan minuman untuk mengisi perut yang memang sengaja kami kosongkan. Karena, kami sudah tahu jika setiap Jumat malam adalah saat evaluasi berita. Dengan begitu konsumsi akan kami dapatkan secara cuma-cuma seperti sebelumnya.
Benar saja, kali ini anggota kami yang bermurah hati menghendel semua konsumsi yang dipesan adalah Abdul Aziz wartawan senior (sekarang menjabat Redaktur Pelaksana) asal Berau Post. Sate Ayam ditemani es Teh Botol malam itu bisa kunikmati bersama peserta lain secara gratis. Kondisi itu jelas menguntungkan bagi orang-orang yang memang tengah dilanda krisis keuangan di akhir bulan seperti saya. Karena, kebetulan malam itu, saya memang tidak membawa uang sama sekali. Sehingga, jika tidak ada yang menghendel makanan malam itu, jelas saya mengalami kesulitan.
Bahkan, uang parkir sepeda motor yang harus diberikan para pemilik kendaraan ketika hendak masuk di Gedung Graha Pena (lokasi kantor media JPNN,Jawa Pos, Kaltim Post, Indopos)  dan sejumlah media lain, harus membayar Rp 2 ribu per motor. Tapi ternyata tidak demikian. karena, ketika saya datang, tidak ada juru parkir yang biasanya selalu stand by di pos pintu masuk. Dan ketika hendak keluar pelataran parkir, harus menyerahkan karcis parkir pun tidak tampak batang hidungnya. Mungkin, malam itu adalah malam keberuntungan saya. Tentunya tidak lepas dari pertolongan Allah SWT.
Kembali ke pokok pembahasan. Usai menikmati santap malam, proses belajar pun dimulai. Seperti biasa, tulisan salah seorang peserta pun menjadi objek evaluasi. Kali ini yang menjadi sasaran adalah Abdul Aziz. Dalam proses belajar itu, tidak banyak yang bisa menarik perhatian kami. Karena, pembahasan tidak banyak perubahan.
Tapi beberapa saat setelah tulisan itu habis dikupas. Mulailah suasana berubah, karena para peserta mulai mengajukan pertanyaan ataupun uneg-uneg kepada Arianto sang pembimbing. Di antara peserta yang paling menarik perhatian saya adalah ulasan pengalaman Abdul Aziz pria asal Berau Post itu.
Saat itu, dia menceritakan pengalaman kocak dirinya selama bertugas di Berau. Dia menceritakan, dalam bertugas di DPRD, dia memiliki rekan sesama wartawan namun berbeda media. Kata dia, wartawan yang juga pria itu, memiliki kebiasaan buruk. Yakni kebiasaan berpangku tangan ke pada si Aziz—sapaan akrabnya. Tepatnya, si wartawan itu gemar meminta hasil wawancara Aziz tapi enggan melakukan wawancara.
“Jadi si wartawan ini, sama-sama di DPRD liputannya. Tapi saat sidang, dia malah tidur. Sementara saya yang menunggu sidang sampai akhir, dan melakukan wawancara langsung dengan narasumber. Tapi, waktu saya sudah selesai, dan mulai mengetik berita di kantor. Wartawan ini pasti menelfon saya dan minta berita yang sudah saya tulis,” jelas Asiz mengenang masa lalunya.
Kata Asiz, kejadia itu bukan sekali dua-kali itu saja terjadi. Melainkan hampir tiap hari dia diteror dan diminta memberikan berita yang sudah dengan susah payah dia himpun dan tuliskan. Bahkan, setelah dia mengamati, apa yang terbit di koran wartawan itu, tidak berbeda sama sekali dengan apa yang dia tuliskan.
Kendati hal itu terus menerus terjadi. Dia pun mulai gerah dan mulai naik pitam. Karena, dia merasa pria itu sudah makin kelewatan. Hingga akhirnya muncul niat jahilnya untuk mengerjai pria itu.
Caranya, ketika pria tadi kembali meminta berita yang sudah dia tuliskan. Dia pun merubah tulisan yang dibuat untuk media tempat dia bekerja, dengan tulisan yang dia berikan ke wartawan itu. Bahkan, di salah satu kalimatnya, dia menambahkan kalimat yang tidak laik termuat di media cetak.
“Jadi di tulisan yang saya kasih ke wartawan itu, saya tuliskan, ‘ujarnya sambil menggaruk pantat’. Nah, belakangan saya dengar, ternyata apa yang saya tuliskan itu tidak dicek ulang. Otomatis langsung diterima Redakturnya. Makanya, dia langsung dimarahin. Bahkan saya denger hampir saja dipecat gara-gara ulahnya yang suka menjiplak berita orang lain,” kenangnya.
Sejak kejadian itu, sambung Asiz, sang wartawan tidak pernah lagi meminta berita ke pada dia. Kemungkinan takut kejadian memalukan itu terjadi lagi. “Jadi sejak saat itu, dia enggak pernah lagi hubungi saya. Mungkin  takut saya kerjai lagi kali,” ujarnya sembari tertawa lantas disambut riuh tawa peserta lain.
Yah, seperti inilah yang terjadi dalam proses belajar kami selama menjalani proses peningkatan kapasitas diri di Jakarta. Tidak berlangsung tegang dan berjalan santai. Tapi yang pasti membuka wawasan para wartawan, redaktur dan para kepala biro di media masing-masing yang menjadi peserta. Terkhusus saya yang mewakili Bontang Post, dengan usia termuda di antara 5 wartawan dari media berbeda.
Saya rasa cukup sekian yang saya bisa tuliskan kali ini. Kantuk sudah semakin beringas menyerang saya. Maklum sejak pulang dari evaluasi berita sekira pukul 3.00 WIB tadi, saya belum pernah tidur guna menyelesaikan tulisan saya, hingga jam di notebook saya menunjukkan pukul 6.40 WIB. Tapi itu semua saya lakukan demi mengabadikan momen berharga yang tidak akan pernah bisa terulang. Yah, sekian dan terima kasih, sampai jumpa di tulisan saya selanjutnya. (***)        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar