Proses evaluasi berita 6 media koran yang tergabung dalam Kaltim Post Group, di Jakarta terus berjalan. Lokasi yang menjadi pilihan oleh Arianto Redaktur Indopos selaku pembimbing adalah Taman Ayodia, Blok M Jakarta Pusat. Seperti biasa, materi berupa bedah tulisan dan cara mengedit berita pun berjalan mulus dan santai.
IMRAN IBNU, Jakarta
Hampir dua
bulan kami (peserta magang) tinggal di Jakarta, suasana kota dan hiruk pikuk
serta gaya hidup manusia di Kota Metropolitan itu sudah tidak asing dalam
pandangan kami. Contohnya saja, keberadaan para pengamen, banci, hingga
pasangan muda-mudi yang dengan bebas menampakkan kemesraan di tengah umum
dengan gaya berpakaiannya yang seronok, pun telah akrab di mata kami. Oleh
sebab itu, saya tidak akan banyak membahas mengenai hal itu dalam tulisan saya
kali ini.
Malam itu,
proses belajar kami mendapat dukungan penuh dari alam. Karena, di langit nan
biru saat itu dihiasi jutaan bintang gemintang mengelilingi rembulan yang
cantik. Seolah memberi kekuatan tersendiri bagi siapapun yang menyaksikan keindahan
pemandangan alam itu.
Kondisi
tidak jauh berbeda terjadi di bawah hamparan langit malam itu. Tepat pukul
01.30 WIB saya dan rombongan tiba di lokasi yang disepakati. Suasana malam di
daerah itu begitu indah oleh keberadaan lampu-lampu jalan, lampu yang berasal
dari rombong para Pedagang Kaki Lima (PKL) yang juga dikelilingi lampu gedung
pencakar langit yang menambah keindahan lokasi angkringan itu.
Yang paling
menarik dari tempat itu, lautan manusia terdiri atas muda-mudi, kaula muda,
hingga para orang tua tampak mengisi sudut-sudut taman mencari tempat
strategis. Paling digemari adalah titik yang minim cahaya. Sehingga potensi
mereka ‘bertualang’ terhadap pasangan mereka pun kian besar. Tapi bagi saya,
apapun yang mereka lakukan tidak masalah, asal tidak saling mengganggu
ketntraman satu sama lain.
Seperti biasa,
sebelum evaluasi berita dimulai, kami selalu memesan makanan dan minuman untuk
mengisi perut yang memang sengaja kami kosongkan. Karena, kami sudah tahu jika
setiap Jumat malam adalah saat evaluasi berita. Dengan begitu konsumsi akan
kami dapatkan secara cuma-cuma seperti sebelumnya.
Benar saja,
kali ini anggota kami yang bermurah hati menghendel semua konsumsi yang dipesan
adalah Abdul Aziz wartawan senior (sekarang menjabat Redaktur Pelaksana) asal
Berau Post. Sate Ayam ditemani es Teh Botol malam itu bisa kunikmati bersama
peserta lain secara gratis. Kondisi itu jelas menguntungkan bagi orang-orang
yang memang tengah dilanda krisis keuangan di akhir bulan seperti saya. Karena,
kebetulan malam itu, saya memang tidak membawa uang sama sekali. Sehingga, jika
tidak ada yang menghendel makanan malam itu, jelas saya mengalami kesulitan.
Bahkan, uang
parkir sepeda motor yang harus diberikan para pemilik kendaraan ketika hendak
masuk di Gedung Graha Pena (lokasi kantor media JPNN,Jawa Pos, Kaltim Post,
Indopos) dan sejumlah media lain, harus
membayar Rp 2 ribu per motor. Tapi ternyata tidak demikian. karena, ketika saya
datang, tidak ada juru parkir yang biasanya selalu stand by di pos pintu masuk. Dan ketika hendak keluar pelataran
parkir, harus menyerahkan karcis parkir pun tidak tampak batang hidungnya.
Mungkin, malam itu adalah malam keberuntungan saya. Tentunya tidak lepas dari
pertolongan Allah SWT.
Kembali ke
pokok pembahasan. Usai menikmati santap malam, proses belajar pun dimulai.
Seperti biasa, tulisan salah seorang peserta pun menjadi objek evaluasi. Kali
ini yang menjadi sasaran adalah Abdul Aziz. Dalam proses belajar itu, tidak
banyak yang bisa menarik perhatian kami. Karena, pembahasan tidak banyak
perubahan.
Tapi
beberapa saat setelah tulisan itu habis dikupas. Mulailah suasana berubah, karena
para peserta mulai mengajukan pertanyaan ataupun uneg-uneg kepada Arianto sang
pembimbing. Di antara peserta yang paling menarik perhatian saya adalah ulasan
pengalaman Abdul Aziz pria asal Berau Post itu.
Saat itu,
dia menceritakan pengalaman kocak dirinya selama bertugas di Berau. Dia
menceritakan, dalam bertugas di DPRD, dia memiliki rekan sesama wartawan namun
berbeda media. Kata dia, wartawan yang juga pria itu, memiliki kebiasaan buruk.
Yakni kebiasaan berpangku tangan ke pada si Aziz—sapaan akrabnya. Tepatnya, si
wartawan itu gemar meminta hasil wawancara Aziz tapi enggan melakukan wawancara.
“Jadi si
wartawan ini, sama-sama di DPRD liputannya. Tapi saat sidang, dia malah tidur.
Sementara saya yang menunggu sidang sampai akhir, dan melakukan wawancara
langsung dengan narasumber. Tapi, waktu saya sudah selesai, dan mulai mengetik
berita di kantor. Wartawan ini pasti menelfon saya dan minta berita yang sudah
saya tulis,” jelas Asiz mengenang masa lalunya.
Kata Asiz,
kejadia itu bukan sekali dua-kali itu saja terjadi. Melainkan hampir tiap hari
dia diteror dan diminta memberikan berita yang sudah dengan susah payah dia
himpun dan tuliskan. Bahkan, setelah dia mengamati, apa yang terbit di koran
wartawan itu, tidak berbeda sama sekali dengan apa yang dia tuliskan.
Kendati hal
itu terus menerus terjadi. Dia pun mulai gerah dan mulai naik pitam. Karena,
dia merasa pria itu sudah makin kelewatan. Hingga akhirnya muncul niat jahilnya
untuk mengerjai pria itu.
Caranya, ketika
pria tadi kembali meminta berita yang sudah dia tuliskan. Dia pun merubah
tulisan yang dibuat untuk media tempat dia bekerja, dengan tulisan yang dia
berikan ke wartawan itu. Bahkan, di salah satu kalimatnya, dia menambahkan
kalimat yang tidak laik termuat di media cetak.
“Jadi di
tulisan yang saya kasih ke wartawan itu, saya tuliskan, ‘ujarnya sambil
menggaruk pantat’. Nah, belakangan saya dengar, ternyata apa yang saya tuliskan
itu tidak dicek ulang. Otomatis langsung diterima Redakturnya. Makanya, dia
langsung dimarahin. Bahkan saya denger hampir saja dipecat gara-gara ulahnya
yang suka menjiplak berita orang lain,” kenangnya.
Sejak kejadian
itu, sambung Asiz, sang wartawan tidak pernah lagi meminta berita ke pada dia.
Kemungkinan takut kejadian memalukan itu terjadi lagi. “Jadi sejak saat itu,
dia enggak pernah lagi hubungi saya. Mungkin
takut saya kerjai lagi kali,” ujarnya sembari tertawa lantas disambut riuh
tawa peserta lain.
Yah, seperti
inilah yang terjadi dalam proses belajar kami selama menjalani proses
peningkatan kapasitas diri di Jakarta. Tidak berlangsung tegang dan berjalan santai.
Tapi yang pasti membuka wawasan para wartawan, redaktur dan para kepala biro di
media masing-masing yang menjadi peserta. Terkhusus saya yang mewakili Bontang
Post, dengan usia termuda di antara 5 wartawan dari media berbeda.
Saya rasa
cukup sekian yang saya bisa tuliskan kali ini. Kantuk sudah semakin beringas
menyerang saya. Maklum sejak pulang dari evaluasi berita sekira pukul 3.00 WIB
tadi, saya belum pernah tidur guna menyelesaikan tulisan saya, hingga jam di
notebook saya menunjukkan pukul 6.40 WIB. Tapi itu semua saya lakukan demi
mengabadikan momen berharga yang tidak akan pernah bisa terulang. Yah, sekian
dan terima kasih, sampai jumpa di tulisan saya selanjutnya. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar