‘Mengulas’ Fakta
Tentang Jakarta
Imran Ibnu, Jakarta
Sebulan
lebih saya berada di Jakarta untuk menjalani proses magang selama 3 bulan
terhitung sejak 27 September 2013 lalu, ternyata efektif membuka cakrawala dan
pola pikir saya tentang kerasnya hidup di Kota Jakarta. Berbeda dengan Kota
Bontang tempat saya tinggal dan mencari nafkah. Khususnya tentang cara mereka
bertahan hidup di tengah hiruk pikuk kota metropolitan.
Sebagai
seorang jurnalis, sedikit banyak saya tahu tentang masalah yang tengah terjadi
di Kota Taman. Mulai dari strata sosial tinggi hingga yang terendah. Sehingga,
saya bisa membandingkan seperti apa tingkat kesejahteraan warga di Jakarta
dengan warga Bontang.
Tulisan saya
kali ini, bersumber dari pengamatan sepintas ketika berjalan menyusuri
sudut-sudut kota Jakarta. Sehingga, ditemukanlah beberapa fakta yang cukup unik
dan mencengangkan.
Pertama,
sudah rahasia umum, jika Jakarta adalah kota yang disesaki gedung-gedung
pencakar langit. Mulai dari gedung perkantoran milik pemerintah, perusahaan
swasta, hingga universitas baik negeri maupun swasta. Berbeda dengan Kota
Bontang, yang hanya memiliki segelintir gedung bertingkat yang paling banter
mentok di tingkat 5. Belum lagi tentang bentuk dan arsitektur bangunan Bontang
yang jauh berbeda dari segi keindahan dan sentuhan seni bangunan di Jakarta.
Fakta itulah
yang kemungkinan menjadi penarik pendatang untuk terus membanjiri pusat
pemerintahan Tanah Air itu. Karena, mereka terpukau iming-iming menjadi kaya
lantaran potensi-potensi itu begitu dekat. Apalagi, Jakarta adalah tempat pusat
perfileman dan berdiri puluhan stasiun televisi yang selama ini disaksika lewat
layar kaca. Berharap, bisa bertemu nasib baik sehingga diajak bergabung di
salah satu stasiun TV.
Tapi faktanya,
para pendatang yang berada di Jakarta, banyak yang terlantar lalu menjadi
gembel dan pengemis (Gepeng). Karena, kemungkinan, mereka yang datang ke
Jakarta untuk mengadu nasib, dengan modal pas-pasan. Tapi ketika tinggal
beberapa bulan di Jakarta, perubahan nasib tak kunjung dialami. Sementara,
biaya hidup di Jakarta sangat mencekik. Memang benar, harga bahan pokok di kota
ini lebih murah dari harga barang di daerah. Tapi, bedanya, di kota itu segala
sesuatunya mesti dibeli.
Sementara,
di daerah seperti Bontang, meskipun harga bahan baku cenderung mahal. Tapi
tidak semua harus dibayar. Contohnya saja, parkir kendaraan. Di jakarta, saya
cukup tekejut. Karena, setelah saya mampir makan Bakso di salah satu warung
makan yang jauh dari kata mewah. Tapi, ketika saya selesai makan dan beranjak
pulang. Tiba-tiba saya dihampiri seorang juru parkir (Jukir) yang entah diberi
wewenang oleh siapa. Mulanya, saya tidak menggubris karena saya tahu pasti,
para jukir legal berada dalam ranah Dinas Perhubungan (Dishub), sementara pria
itu sama sekali tidak mengenakan atribut Dishub. Baik berupa seragam dinas,
hingga tiket parkir yang saya ketahui mesti dimiliki para jukir legal.
Tapi, pria
itu malah memaksa, bahkan terkesan memalak saya. Nah, berhubung saya berada di
tanah rantau, saya tidak mau terlibat cek-cok dengan jukir itu. Lagi pula, dia
tidak menerapkan tarif khusus untuk saya bayar.
Keberadaan
Gepeng juga menjadi perhatian saya. Di kota Jakarta, para gembel seolah tersebar
di pusat kota khususnya tempat keramaian. Trafic
light hingga terminal bus pun menjadi tempat paforit para gepeng itu
meminta belaskasih. Keberadaan mereka juga tak banyak menarik perhatian warga
di sana. Maklum, mungkin saja mereka sudah terbiasa. Bahkan, sempat saya
mendengar celotehan salah seorang pengunjung mall di Jakarta Pusat, “bukan
Jakarta namanya kalau enggak ada gembelnya”. Artinya, keberadaan mereka memang
sudah menjadi bagian dari kota tersebut. Bahkan, di filem-filem yang selama ini
saya saksikan di layar kaca, keberadaan gepeng memang memiliki nilai jual
tesendiri dalam filem yang menonjolkan kota Jakarta.
Kalau di Bontang,
para gepeng tidak akan punya ruang gerak. Karena, ketika ada pergerakan, lalu
warga merasa terganggu, mereka (warga) pun mengadu ke Satuan Polisi Pamong
Praja (Satpol PP). Ketika tidak juga digubris, biasanya mereka akan menghubungi
media cetak yang ada di kota itu. Dengan begitu, mau tidak mau, para penegak
Peraturan Daerah atau Peraturan Walikota (Perwali), akan bergerak dan menindak
para pelanggar aturan itu. Tak ayal, tidak ada lagi aksi serupa yang terjadi di
Kota Jakarta.
Yah, sekilas
itulah gambaran Kota Jakarta yang bisa saya tuangkan dalam tulisan saya kali
ini. Sebenarnya masih ada ratusan hingga jutaan huruf yang bisa saya ukir tentang
kota Jakarta. Yang bisa membuka cakrawala para pembaca yang belum berkesempatan
menginjakkan kaki di kiota itu. Tapi, karena keterbatasan waktu dan kemampuan
mengetik saya yang mulai terserang kantuk, maka saya akhiri sampai di sini
saja, wassalam. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar