Rabu, 13 November 2013

catatan




‘Mengulas’ Fakta Tentang Jakarta

Imran Ibnu, Jakarta
Sebulan lebih saya berada di Jakarta untuk menjalani proses magang selama 3 bulan terhitung sejak 27 September 2013 lalu, ternyata efektif membuka cakrawala dan pola pikir saya tentang kerasnya hidup di Kota Jakarta. Berbeda dengan Kota Bontang tempat saya tinggal dan mencari nafkah. Khususnya tentang cara mereka bertahan hidup di tengah hiruk pikuk kota metropolitan.
Sebagai seorang jurnalis, sedikit banyak saya tahu tentang masalah yang tengah terjadi di Kota Taman. Mulai dari strata sosial tinggi hingga yang terendah. Sehingga, saya bisa membandingkan seperti apa tingkat kesejahteraan warga di Jakarta dengan warga Bontang.
Tulisan saya kali ini, bersumber dari pengamatan sepintas ketika berjalan menyusuri sudut-sudut kota Jakarta. Sehingga, ditemukanlah beberapa fakta yang cukup unik dan mencengangkan.
Pertama, sudah rahasia umum, jika Jakarta adalah kota yang disesaki gedung-gedung pencakar langit. Mulai dari gedung perkantoran milik pemerintah, perusahaan swasta, hingga universitas baik negeri maupun swasta. Berbeda dengan Kota Bontang, yang hanya memiliki segelintir gedung bertingkat yang paling banter mentok di tingkat 5. Belum lagi tentang bentuk dan arsitektur bangunan Bontang yang jauh berbeda dari segi keindahan dan sentuhan seni bangunan di Jakarta.
Fakta itulah yang kemungkinan menjadi penarik pendatang untuk terus membanjiri pusat pemerintahan Tanah Air itu. Karena, mereka terpukau iming-iming menjadi kaya lantaran potensi-potensi itu begitu dekat. Apalagi, Jakarta adalah tempat pusat perfileman dan berdiri puluhan stasiun televisi yang selama ini disaksika lewat layar kaca. Berharap, bisa bertemu nasib baik sehingga diajak bergabung di salah satu stasiun TV.
Tapi faktanya, para pendatang yang berada di Jakarta, banyak yang terlantar lalu menjadi gembel dan pengemis (Gepeng). Karena, kemungkinan, mereka yang datang ke Jakarta untuk mengadu nasib, dengan modal pas-pasan. Tapi ketika tinggal beberapa bulan di Jakarta, perubahan nasib tak kunjung dialami. Sementara, biaya hidup di Jakarta sangat mencekik. Memang benar, harga bahan pokok di kota ini lebih murah dari harga barang di daerah. Tapi, bedanya, di kota itu segala sesuatunya mesti dibeli.
Sementara, di daerah seperti Bontang, meskipun harga bahan baku cenderung mahal. Tapi tidak semua harus dibayar. Contohnya saja, parkir kendaraan. Di jakarta, saya cukup tekejut. Karena, setelah saya mampir makan Bakso di salah satu warung makan yang jauh dari kata mewah. Tapi, ketika saya selesai makan dan beranjak pulang. Tiba-tiba saya dihampiri seorang juru parkir (Jukir) yang entah diberi wewenang oleh siapa. Mulanya, saya tidak menggubris karena saya tahu pasti, para jukir legal berada dalam ranah Dinas Perhubungan (Dishub), sementara pria itu sama sekali tidak mengenakan atribut Dishub. Baik berupa seragam dinas, hingga tiket parkir yang saya ketahui mesti dimiliki para jukir legal.
Tapi, pria itu malah memaksa, bahkan terkesan memalak saya. Nah, berhubung saya berada di tanah rantau, saya tidak mau terlibat cek-cok dengan jukir itu. Lagi pula, dia tidak menerapkan tarif khusus untuk saya bayar.
Keberadaan Gepeng juga menjadi perhatian saya. Di kota Jakarta, para gembel seolah tersebar di pusat kota khususnya tempat keramaian. Trafic light hingga terminal bus pun menjadi tempat paforit para gepeng itu meminta belaskasih. Keberadaan mereka juga tak banyak menarik perhatian warga di sana. Maklum, mungkin saja mereka sudah terbiasa. Bahkan, sempat saya mendengar celotehan salah seorang pengunjung mall di Jakarta Pusat, “bukan Jakarta namanya kalau enggak ada gembelnya”. Artinya, keberadaan mereka memang sudah menjadi bagian dari kota tersebut. Bahkan, di filem-filem yang selama ini saya saksikan di layar kaca, keberadaan gepeng memang memiliki nilai jual tesendiri dalam filem yang menonjolkan kota Jakarta.
Kalau di Bontang, para gepeng tidak akan punya ruang gerak. Karena, ketika ada pergerakan, lalu warga merasa terganggu, mereka (warga) pun mengadu ke Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Ketika tidak juga digubris, biasanya mereka akan menghubungi media cetak yang ada di kota itu. Dengan begitu, mau tidak mau, para penegak Peraturan Daerah atau Peraturan Walikota (Perwali), akan bergerak dan menindak para pelanggar aturan itu. Tak ayal, tidak ada lagi aksi serupa yang terjadi di Kota Jakarta.
Yah, sekilas itulah gambaran Kota Jakarta yang bisa saya tuangkan dalam tulisan saya kali ini. Sebenarnya masih ada ratusan hingga jutaan huruf yang bisa saya ukir tentang kota Jakarta. Yang bisa membuka cakrawala para pembaca yang belum berkesempatan menginjakkan kaki di kiota itu. Tapi, karena keterbatasan waktu dan kemampuan mengetik saya yang mulai terserang kantuk, maka saya akhiri sampai di sini saja, wassalam. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar