==Imran Ibnu, Jakarta==
Sekitar dua jam aku duduk termenung di atas bangku kayu kenangan
yang selalu menemanik hari-hariku di masa lalu. Hemm,,,,suasananya masih sama
seperti 8 tahun lalu, sejuk dan penuh
kenangan. Perlahan,,, aku teringat kembali masa kecil yang menyimpan sejuta
dendam. Ketika mengenang perlakuan para tetangga yang gemar merendahkan keluargaku
karena hidup dalam kesusahan ekonomi. Saat itu, bisa dikatakan keluargaku jauh
berbeda dengan kehidupan orang-orang di desa ini, akibatnya selalu menjadi
tumbal atau kambing hitam ketika ada pencurian. Tuduhan, hinaan, dan cacian,
bahkan menggeledah isi rumahku tanpa alasan jelas menjadi hal biasa dan wajar
terjadi. Anggota keluargaku pun rata-rata mendapat giliran tertuduh mencuri
oleh para tetangga. Kakaku yang ke-3 misalnya, dia dituduh mencuri telur ayam
oleh tetangga samping rumah dengan alasan yang tak pernah dijelaskan sampai
saat ini. Sementara adik perempuanku yang terakhir pun tidak luput dari tuduhan
mencuri. Kali ini dia dituduh mencuri handphone
tetangga yang tinggal tepat di depan rumah. Sementara aku sendiri pernah
dituduh mencuri buku silat oleh kawan
yang rata-rata berumur 4 sampai 6 tahun
di atas usiaku saat itu. Kebetulan mereka adalah rekan berlatih saat mengikuti
perguruan silat bernama Prisai Diri (PD). Tapi, lagi-lagi, bukti bahwa tuhan
maha mengetahu, tuduhan itu kembali terbukti tidak benar.
Sebenarnya, dendam itu masih ada sampai sekarang. Tapi bentuknya
sudah berbeda, cara yang aku gunakan untuk balas dendam bukan seperti yang
biasa ditampilkan televisi dengan membunuh atau bertindak anarkis. Tapi
membuktikan kepada mereka, bahwa bumi itu berputar, kadang di bawah dan kadang
ada di atas. Sementara target yang ingin kucapai saat ini dan kemudian,
bagaimana agar posisi keluargaku bisa berada di atas orang-orang yang sempat
merendahkan dan menghinakan keluargaku karena kondisi ekonomi yang lemah.
Terbangun dari lamunanku, tiba-tiba pandanganku terarah pada sosok
wanita 50 tahun-an yang masih tampak segar dengan senyum manis terus menggantung
di bibir yang mulai keriput namun tetap segar dipandang mata. Dia ibuku
Nurhayati. Kebetulan dia baru saja menyelesaikan pekerjaanya menjahit kain yang
belum sempat kutanyakan peruntukannya. Sekitar 5 menit dia beridiri mematung di
depan pintu sambil sesekali membelai rambutnya yang mulai memutih itu. Sekilas
dia seperti orang bingung, atau tepatnya linglung dan mencoba mengingat sesuatu
hal penting dan mesti dikerjakan. “Nak ,
mana adikmu, tadi mama suruh beli benang tapi belum datang sampai sekarang,”ujarnya
menyiratkan wajah khawatir bercampur gelisah. “Gak lihat buu, tadi memang dia memang jalan.
Tapi belum kembali, yudah, nanti saya lihat ke toko di depan mungkin dia masih
di sana,” jawabku guna meredam kekhawatirannya.
Dia usianya yang semakin matang, Wanita itu makin tampak perkasa.
Bahkan rasa hormat setinggi-tingginya akan kuberikan atas perjuangan yang telah
ditempuh hingga aku bisa menjadi manusia beridentitas seperti saat ini. Apalagi
ketika teringat perjuangan yang dia tempuh sepeninggalan ayahku Ibnu Hajar
beberapa tahun lalu. Jelas menuntutnya berjuang dan bekerja ekstra keras agar
bisa menopang keluarga kecil untuk tetap berdiri kokoh di tengah persaingan
modernisasi. Tapi, aku tahu pasti, apa yang kumaksudkan dengan penghormatan
tertinggi tadi, tidak begitu dia butuhkan. Karena, sebagai seorang ibu yang
telah melahirkan dan membesarkan dengan cinta dan kasih yang tulus, adalah
hadiah terbesar dan penghormatan terbesar saat anak bisa menjadi manusia bermanfaat dan
minimal bisa menghidupi diri dan adik-adiknya. Itulah keistimewaan sosok ibu
yang membesarkanku selama ini.
Mengakhiri lamunan, aku pun mencoba berkeliling rumah yang sampai
saat ini masih jauh dari kata mewah, sambil mencari adik perempuanku yang bungsu. Jelas sekali, sisi luar rumah itu,
masih berupa tembok bata tanpa plester
apalagi cat tembok seperti yang biasanya menempel di tembok rumah keluarga
berada. Tak banyak berbeda, masih ada sungai, batang pisang, pohon kedondong,
bahkan rerumputan tumbuh di sekitar rumah itu. Maklum, selama aku memiliki
kehidupan sendiri sebagai jurnalis, terasa sangat sulit meluangkan waktu untuk
sekadar membersihkan halaman atau pinggiran rumah dari pepohonan yang merusak
pemadangan. Meskipun aku sadar, jika itu tetap akan ku lakukan. Karena tak ada
lagi yang mau atau berkesempatan melakukan itu kecuali anak lelaki yang semasa
hidupnya belum pernah terpisah lama dengan sang ibu. Yah, aku memang tidak
pernah hidup terpisah dalam waktu lama dari ibu. Berbeda dengan saudara-sadariku
yang rata-rata pernah mencicipi hidup terpisah hingga tahunan. Bahkan ada yang
tinggal dengan kerabat hingga menikah. Sementara aku?, hanya sempat tinggal
selama beberapa bulan dengan kakak perempuanku. Itu pun setelah dipaksa oleh
kedua orang tua yang saat itu masih lengkap. Namun keadaan itu berubah setelah
ayahku meninggal juga di rumah tempatku tinggal saat itu. Setelah kepergian
sang ayah, aku merasa sudah tidak betah
lagi dengan kondisi rumah yang menurutku amat berbeda dengan rumah yang
ditempati ibu. Meskipun jauh berbeda, tapi kebahagiaan tampaknya hanya bisa kuperoleh
ketika aku tinggal di rumah yang di dalamnya tinggal saudara, saudari bersama
jutaan kenangan masa lalu yang tercipta di dalam yang dibangun dengan peluh,
darah dan air mata oleh kegigihan kedua orang tuaku.
Sampai akhirnya aku memutuskan pindah dari rumah kakak yang lebih
mirip neraka. Lalu kembali ke ‘Rumahku Istanaku’ dan berkumpul dengan bidadari
yang selalu siap memberikan senyum dan kebahagiaan di tangah keterbatasan. Dan
sejak saat itu, aku semakin yakin, jika apa yang menurut kita baik dan indah,
belum tentu menurut penilaian orang lain adalah sama. Karena, setiap pemikiran
punya dasar dan alasan masing-masing. Begitupula dengan keluargaku, meskipun
dengan segudang keterbatasan yang menurut orang lain kurang, tapi menurutku itu
adalah hal yang paling sempurna dibanding apa yang bisa saya dapatkan dari
orang lain yang dari segi fisik memiliki segalanya (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar