Kamis, 28 November 2013

Berjalan Dalam Kenangan




==Imran Ibnu, Jakarta==

Sekitar dua jam aku duduk termenung di atas bangku kayu kenangan yang selalu menemanik hari-hariku di masa lalu. Hemm,,,,suasananya masih sama seperti  8 tahun lalu, sejuk dan penuh kenangan. Perlahan,,, aku teringat kembali masa kecil yang menyimpan sejuta dendam. Ketika mengenang perlakuan para tetangga yang gemar merendahkan keluargaku karena hidup dalam kesusahan ekonomi. Saat itu, bisa dikatakan keluargaku jauh berbeda dengan kehidupan orang-orang di desa ini, akibatnya selalu menjadi tumbal atau kambing hitam ketika ada pencurian. Tuduhan, hinaan, dan cacian, bahkan menggeledah isi rumahku tanpa alasan jelas menjadi hal biasa dan wajar terjadi. Anggota keluargaku pun rata-rata mendapat giliran tertuduh mencuri oleh para tetangga. Kakaku yang ke-3 misalnya, dia dituduh mencuri telur ayam oleh tetangga samping rumah dengan alasan yang tak pernah dijelaskan sampai saat ini. Sementara adik perempuanku yang terakhir pun tidak luput dari tuduhan mencuri. Kali ini dia dituduh mencuri handphone tetangga yang tinggal tepat di depan rumah. Sementara aku sendiri pernah dituduh mencuri buku silat oleh kawan yang rata-rata berumur  4 sampai 6 tahun di atas usiaku saat itu. Kebetulan mereka adalah rekan berlatih saat mengikuti perguruan silat bernama Prisai Diri (PD). Tapi, lagi-lagi, bukti bahwa tuhan maha mengetahu, tuduhan itu kembali terbukti tidak benar.
Sebenarnya, dendam itu masih ada sampai sekarang. Tapi bentuknya sudah berbeda, cara yang aku gunakan untuk balas dendam bukan seperti yang biasa ditampilkan televisi dengan membunuh atau bertindak anarkis. Tapi membuktikan kepada mereka, bahwa bumi itu berputar, kadang di bawah dan kadang ada di atas. Sementara target yang ingin kucapai saat ini dan kemudian, bagaimana agar posisi keluargaku bisa berada di atas orang-orang yang sempat merendahkan dan menghinakan keluargaku karena kondisi ekonomi yang lemah.
Terbangun dari lamunanku, tiba-tiba pandanganku terarah pada sosok wanita 50 tahun-an yang masih tampak segar dengan senyum manis terus menggantung di bibir yang mulai keriput namun tetap segar dipandang mata. Dia ibuku Nurhayati. Kebetulan dia baru saja menyelesaikan pekerjaanya menjahit kain yang belum sempat kutanyakan peruntukannya. Sekitar 5 menit dia beridiri mematung di depan pintu sambil sesekali membelai rambutnya yang mulai memutih itu. Sekilas dia seperti orang bingung, atau tepatnya linglung dan mencoba mengingat sesuatu hal penting dan mesti dikerjakan.  “Nak , mana adikmu, tadi mama suruh beli benang tapi belum datang sampai sekarang,”ujarnya menyiratkan wajah khawatir bercampur gelisah.  “Gak lihat buu, tadi memang dia memang jalan. Tapi belum kembali, yudah, nanti saya lihat ke toko di depan mungkin dia masih di sana,” jawabku guna meredam kekhawatirannya.
Dia usianya yang semakin matang, Wanita itu makin tampak perkasa. Bahkan rasa hormat setinggi-tingginya akan kuberikan atas perjuangan yang telah ditempuh hingga aku bisa menjadi manusia beridentitas seperti saat ini. Apalagi ketika teringat perjuangan yang dia tempuh sepeninggalan ayahku Ibnu Hajar beberapa tahun lalu. Jelas menuntutnya berjuang dan bekerja ekstra keras agar bisa menopang keluarga kecil untuk tetap berdiri kokoh di tengah persaingan modernisasi. Tapi, aku tahu pasti, apa yang kumaksudkan dengan penghormatan tertinggi tadi, tidak begitu dia butuhkan. Karena, sebagai seorang ibu yang telah melahirkan dan membesarkan dengan cinta dan kasih yang tulus, adalah hadiah terbesar dan penghormatan terbesar  saat anak bisa menjadi manusia bermanfaat dan minimal bisa menghidupi diri dan adik-adiknya. Itulah keistimewaan sosok ibu yang membesarkanku selama ini.
Mengakhiri lamunan, aku pun mencoba berkeliling rumah yang sampai saat ini masih jauh dari kata mewah, sambil mencari adik perempuanku yang  bungsu. Jelas sekali, sisi luar rumah itu, masih berupa tembok bata tanpa plester apalagi cat tembok seperti yang biasanya menempel di tembok rumah keluarga berada. Tak banyak berbeda, masih ada sungai, batang pisang, pohon kedondong, bahkan rerumputan tumbuh di sekitar rumah itu. Maklum, selama aku memiliki kehidupan sendiri sebagai jurnalis, terasa sangat sulit meluangkan waktu untuk sekadar membersihkan halaman atau pinggiran rumah dari pepohonan yang merusak pemadangan. Meskipun aku sadar, jika itu tetap akan ku lakukan. Karena tak ada lagi yang mau atau berkesempatan melakukan itu kecuali anak lelaki yang semasa hidupnya belum pernah terpisah lama dengan sang ibu. Yah, aku memang tidak pernah hidup terpisah dalam waktu lama dari ibu. Berbeda dengan saudara-sadariku yang rata-rata pernah mencicipi hidup terpisah hingga tahunan. Bahkan ada yang tinggal dengan kerabat hingga menikah. Sementara aku?, hanya sempat tinggal selama beberapa bulan dengan kakak perempuanku. Itu pun setelah dipaksa oleh kedua orang tua yang saat itu masih lengkap. Namun keadaan itu berubah setelah ayahku meninggal juga di rumah tempatku tinggal saat itu. Setelah kepergian sang ayah,  aku merasa sudah tidak betah lagi dengan kondisi rumah yang menurutku amat berbeda dengan rumah yang ditempati ibu. Meskipun jauh berbeda, tapi kebahagiaan tampaknya hanya bisa kuperoleh ketika aku tinggal di rumah yang di dalamnya tinggal saudara, saudari bersama jutaan kenangan masa lalu yang tercipta di dalam yang dibangun dengan peluh, darah dan air mata oleh kegigihan kedua orang tuaku.
Sampai akhirnya aku memutuskan pindah dari rumah kakak yang lebih mirip neraka. Lalu kembali ke ‘Rumahku Istanaku’ dan berkumpul dengan bidadari yang selalu siap memberikan senyum dan kebahagiaan di tangah keterbatasan. Dan sejak saat itu, aku semakin yakin, jika apa yang menurut kita baik dan indah, belum tentu menurut penilaian orang lain adalah sama. Karena, setiap pemikiran punya dasar dan alasan masing-masing. Begitupula dengan keluargaku, meskipun dengan segudang keterbatasan yang menurut orang lain kurang, tapi menurutku itu adalah hal yang paling sempurna dibanding apa yang bisa saya dapatkan dari orang lain yang dari segi fisik memiliki segalanya (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar