Kata
Putus Jadi Mimpi Terburuk
Jumat
(08/11) mejadi peristiwa bersejarah dalam perjalanan asmara saya dengan Ridya
Fransiska. Di usia hubungan kami baru menginjak usia sebulan lebih beberapa
hari, sudah beberapa kali kata putus dilontarkan sang kekasih. Tapi lontar kata
putus sebelumnya tidak begitu berkesan dan berkepanjangan karena lantas
terselesaikan. Berbeda dengan kata putus kali ini.
IMRAN
IBNU, Jakarta
Kata
putus yang terlontar malam tadi, begitu membekas. Karena dia mengucapkannya di
saat saya terlelap. Tiba-tiba dia me-miss call saya, tujuannya agar saya segera
terjaga dan membaca pesan singkat yang dikirim ke handhone saya berisi permintaan putus. Seperti biasa, saya mencoba
mengkalrifikasi kebenaran pernyataan itu dengan menelfon balik. Tapi, tidak
pernah diangkat melainkan diriject.
Sontak
saja, saya merasa ada sesuatu yang aneh. Saya lantas mempertanyakannya lewat
pesan singkat, dan akhirnya mendapat balasan. Kata dia, alasan dia menyatakan
kata putus itu lantaran minder oleh sifat dan karakter dirinya yang kekanak-kanakan.
Yang menurutnya bertolak belakang dengan karakter saya yang dewasa. Tapi,
karena rasa sayang yang teramat besar padanya, alasan itu segera terbantahkan.
Karena,
kepribadian dia yang seperti diutarakan itu bukan alasan kuat bagi saya untuk
melepaskan dia dari rengkuhan kasih sayang saya. Tapi, hingga saya terlelap, beberapa
pesan singkat yang saya kirimkan tak kunjung terbalas, untuk sekadar mengetahui
jika pesan yang dikirim itu sekadar candaan seperti biasa. Jelas saja, hal itu
menjadi beban pikiran pada diri saya. Ketika terlelap, tiba-tiba saja sebuah mimpi
terburuk sepanjang perjalanan hidup saya mewarnai tidur saya malam itu, dan nyaris
terekam sempurna di labirin otak saya.
Betapa
tidak, dalam mimpi itu, saya dihadapkan dengan situasi yang amat menyesakkan.
Ketika saya dipertemukan dengan penolakan sang calon mertua pria sebagai pacar
sang anak perawan satu-satunya. Lantaran, status financial yang memang jauh
dari cukup untuk ukuran keluarga berada yang tinggal di lingkup keluarga yang
bekerja di perusahaan raksasa Bontang yakni PT Badak NGL. Bukan tanpa
perlawanan dan upaya agar penolakan itu
segera berubah. Saya telah menawarkan
berbagai solusi, di antaranya janji untuk memberi kebahagiaan dengan cara
saya nantinya.
Tapi,
ternyata keputusan itu sudah bulat dan tak merubah apa yang menjadi ketetapan
sang ayah, saya pun diminta berpisah dari putrinya. Sialnya, Ridya—sang putri--
yang ada bersama kami, tidak menunjukan upaya pembelaan agar tidak segera
terpisah. Dia sekadar manggut atas keputusan yang ditetapkan sang ayah. Hingga
akhirnya saya meninggalkan rumah itu tanpa mampu berkata satu katapun. Sampai saya
sadar jika itu adalah mimpi yang sangat buruk bagi saya.
Meski
demikian, kendati saya menyadari jika cinta yang tulus tidak akan tumbuh di
antara keterpaksaan atau tanpa persetujuan orang tua. Jika hal itu harus
terjadi, saya akan menjadi pria lapang dan menjadikan dia bagian dari rentetan
perjalanan cinta saya. Di sisi lain, dia tetap menjadi wanita licah, aktif dan
energik yang menyenangkan. Dan berjanji menjadikan dia sebagai sahabat bersama
sahabat lain.
Meski
begitu, semua itu adalah kenyataan pahit yang masuk di alam bawah sadar saya.
Dan kebetulan sempat terjadi di alam sadar saya. Sehingga, saya berharap hal
itu tidak terjadi di alam nyata sehingga hubungan yang telah kami jalin, tanpa
sempat saling memberi perhatian dan kasih sayang secara langsung, lantaran
terbentang jarak dan waktu, tidak terjadi. Karena, bagi saya, itu adalah
kondisi paling meyedihkan yang pernah singgah dalam hidup saya. Karena tidak
mampu memberikan kebahagiaan yang cukup padanya, sehingga dia memilih pergi. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar