Jumat, 08 November 2013

Catatan



Kata Putus Jadi Mimpi Terburuk

Jumat (08/11) mejadi peristiwa bersejarah dalam perjalanan asmara saya dengan Ridya Fransiska. Di usia hubungan kami baru menginjak usia sebulan lebih beberapa hari, sudah beberapa kali kata putus dilontarkan sang kekasih. Tapi lontar kata putus sebelumnya tidak begitu berkesan dan berkepanjangan karena lantas terselesaikan. Berbeda dengan kata putus kali ini.

IMRAN IBNU, Jakarta

Kata putus yang terlontar malam tadi, begitu membekas. Karena dia mengucapkannya di saat saya terlelap.  Tiba-tiba dia me-miss call saya, tujuannya agar saya segera terjaga dan membaca pesan singkat yang dikirim ke handhone saya berisi permintaan putus. Seperti biasa, saya mencoba mengkalrifikasi kebenaran pernyataan itu dengan menelfon balik. Tapi, tidak pernah diangkat melainkan diriject.
Sontak saja, saya merasa ada sesuatu yang aneh. Saya lantas mempertanyakannya lewat pesan singkat, dan akhirnya mendapat balasan. Kata dia, alasan dia menyatakan kata putus itu lantaran minder oleh sifat dan karakter dirinya yang kekanak-kanakan. Yang menurutnya bertolak belakang dengan karakter saya yang dewasa. Tapi, karena rasa sayang yang teramat besar padanya, alasan itu segera terbantahkan.
Karena, kepribadian dia yang seperti diutarakan itu bukan alasan kuat bagi saya untuk melepaskan dia dari rengkuhan kasih sayang saya. Tapi, hingga saya terlelap, beberapa pesan singkat yang saya kirimkan tak kunjung terbalas, untuk sekadar mengetahui jika pesan yang dikirim itu sekadar candaan seperti biasa. Jelas saja, hal itu menjadi beban pikiran pada diri saya. Ketika terlelap, tiba-tiba saja sebuah mimpi terburuk sepanjang perjalanan hidup saya mewarnai tidur saya malam itu, dan nyaris terekam sempurna di labirin otak saya.
Betapa tidak, dalam mimpi itu, saya dihadapkan dengan situasi yang amat menyesakkan. Ketika saya dipertemukan dengan penolakan sang calon mertua pria sebagai pacar sang anak perawan satu-satunya. Lantaran, status financial yang memang jauh dari cukup untuk ukuran keluarga berada yang tinggal di lingkup keluarga yang bekerja di perusahaan raksasa Bontang yakni PT Badak NGL. Bukan tanpa perlawanan  dan upaya agar penolakan itu segera berubah. Saya telah menawarkan  berbagai solusi, di antaranya janji untuk memberi kebahagiaan dengan cara saya nantinya.
Tapi, ternyata keputusan itu sudah bulat dan tak merubah apa yang menjadi ketetapan sang ayah, saya pun diminta berpisah dari putrinya. Sialnya, Ridya—sang putri-- yang ada bersama kami, tidak menunjukan upaya pembelaan agar tidak segera terpisah. Dia sekadar manggut atas keputusan yang ditetapkan sang ayah. Hingga akhirnya saya meninggalkan rumah itu tanpa mampu berkata satu katapun. Sampai saya sadar jika itu adalah mimpi yang sangat buruk bagi saya.
Meski demikian, kendati saya menyadari jika cinta yang tulus tidak akan tumbuh di antara keterpaksaan atau tanpa persetujuan orang tua. Jika hal itu harus terjadi, saya akan menjadi pria lapang dan menjadikan dia bagian dari rentetan perjalanan cinta saya. Di sisi lain, dia tetap menjadi wanita licah, aktif dan energik yang menyenangkan. Dan berjanji menjadikan dia sebagai sahabat bersama sahabat lain.
Meski begitu, semua itu adalah kenyataan pahit yang masuk di alam bawah sadar saya. Dan kebetulan sempat terjadi di alam sadar saya. Sehingga, saya berharap hal itu tidak terjadi di alam nyata sehingga hubungan yang telah kami jalin, tanpa sempat saling memberi perhatian dan kasih sayang secara langsung, lantaran terbentang jarak dan waktu, tidak terjadi. Karena, bagi saya, itu adalah kondisi paling meyedihkan yang pernah singgah dalam hidup saya. Karena tidak mampu memberikan kebahagiaan yang cukup padanya, sehingga dia memilih pergi. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar