Imran Ibnu
Wartawan Bontang Post (Kaltim Post
Group)
Ketika Media Telah ‘Terbeli’
Masyarakat Tewas pun Tak
Tercium—Sub
Begitu
banyak hal yang masih mengganjal di hati saya selaku
jurnalis yang dituntut peka dengan kondisi alam sekitar. Selain hasil
pengamatan saya, beragam masukan berbentuk keluhan disampaikan orang yang
mengerti keberadaan sesuatu hal yang mengancam dan meresahkan warga di satu
daerah atau kelompok. Namun, sangat disesalkan, Bontang Post, media koran tempat
saya bernaung dan mengais rezeki lewat tulisan yang saya himpun dari warga dan
pejabat Kota Taman, tidak berdaya lantaran terikat kontrak halaman. Jelas saja,
ketika ada satu tulisan yang kiranya mengancam jalinan kerjasama tersebut,
tidak akan termuat dan menjadi konsumsi publik lantaran disabotase internal
perusahaan tempat saya bekerja.
Ada beberapa masalah yang sejatinya menjadi
incaran saya selama menjadi wartawan. Seperti keberadaan perusahaan tambang
yang bergerak di bidang pengelolaan batu bara. Contohnya, PT Indominco Mandiri
Tbk, PT Pama Persada, PT Kitadin, PT Pupuk Kaltim serta perusahaan lain di Kota
Taman. Diketahui terus memproduksi limbah industri yang mengancam kelangsungan
hidup warga sekitar. Wilayah Santan, Kutai Kartanegara misalnya. Di desa
tersebut, khususnya Santan Ilir, tempat saya dilahirkan 04 Juli 1992 silam, gambaran
nyata desa yang menjadi bulan-bulanan pembuangan limbah perusahaan itu. Sebagai
putra daerah, jelas mengetuk pintu hati saya agar bisa berbuat sesuatu agar
yang bersifat positif bagi masyarakat yang juga saudara-saudara saya. Setelah
belasan tahun meninggalkan tempat tersebut pasca bencana kebakaran yang melalap
kebun kelapa keluarga saya hingga nyaris habis, kami sekeluarga pun memutuskan pindah
tempat di Simpang Sangatta hingga kini. Beberapa bulan lalu ketika saya
berkunjung, kondisi pedesaan itu lebih mirip desa mati. Pasalnya, meski
lokasinya jauh dari hiruk pikuk perkotaan, cuaca pedesaan itu tetap pengap dan berdebu.
Bahkan polusi udara yang ditimbulkan begitu besar. Namun, limbah pabrik yang
begitu nyata, terlihat dari warna air sungai yang mengalir hampir di sepanjang
pedesaan itu hingga bermuara di lautan, keseluruhan berwarna kuning tembaga.
Saya tidak tahu pasti penyebab warna air tersebut. Tapi berdasarkan pengakuan sejumlah warga dan
tokoh masyarakat di desa itu, penyebab utama perubahan warna itu adalah limbah
buangan perusahaan di sekitar desa tersebut. Akibatnya, bukan hanya hak
mendapatkan udara segar dan sejuk yang dirampas, tapi sumber penghidupan warga
berupa tanah, tambak ataupun menangkap hewan buruan yang beberapa tahun silam
masih bisa menghidupi sebuah rumah tangga, tidak bisa diperoleh karena mau
tidak mau harus mau menjual tanahnya ke pada pemodal asing. Ketika menolak,
tidak menutup kemungkinan, akan habis terbakar oleh salah satu sebab yang belum
diketahui pasti penyebabnya sampai sekarang. Apakah murni bencana alam, atau
ada yang mendalangi pembakaran itu.
Untuk diketahui, Desa Santan Kecamatan
Marangkayu adalah desa kaya akan Minyak Bumi serta Batu Bara. Sehingga,
keberadaannya sangat diminati pemodal asing dari luar negeri yang kini menjadi pemilik
perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan seperti disebutkan di atas.
Meski begitu, oleh warga setempat, keberadaannya laksana dewa penolong bagi
mereka yang hidup di tengah-tengah persaingan bisnis yang ketat. Padahal,
mereka mestinya tau, apa yang mereka dapatkan dari sang ‘dewa penolong’ tidak dengan
kehidupan hari esok yang amat berharga untuk untuk dikorbankan. Tapi apa daya,
keberadaan perusahaan tambang di daerah itu seolah menjadi sumber hidup
satu-satunya khususnya bagi kaula muda.
Polusi udara yang disebabkan perusahaan
tambang di atas, sudah begitu banyak menyebabkan kecacatan terhadap penduduk
sekitar. Bahkan, menurut pengakuan warga yang berada di daerah itu, selain
faktor usia, faktor penyebab kematian warga di sana tidak lain adalah limbah
pabrik dihasilkan perusahaan di atas. Tapi kembali lagi, kehidupan warga di
daerah itu bahkan menyebar di Kota Taman hingga luar daerah, bergantung pada
perusahaan tersebut. Oleh sebab itu, sudah semestinya, dan merupakan kewajiban
perusahaan tersebut memberi manfaat positif dalam hal pemerataan kesejahteraan
hidup dengan mempekerjakan warga setempat. Sehingga, ketika ada anggapan
perusahaan tersebut bermurah hati menerima warga untuk bekerja, adalah salah
besar. Karena, masa depan warga di sana telah direngut perusahaan asing yang
sekadar meraup untung, sementara pemilik modal tidak merasakan dampak buruknya
lantaran berada di luar negeri.
Meskipun kondisinya sudah seperti itu,
oknum pejabat daerah masih saja tega memanfaatkan situasi yang ada. Karena,
ketika pihak perusahaan melalui Corporate
Social Responsibility (CSR) telah menyisakan jatah bekerja bagi warga di
desa itu, menurut infomasi yang saya dengar, oknum pejabat setempat malah
menarik retribusi dalam jumlah besar bagi siapapun yang ingin bekerja di
perusahaan itu. Namun yang cukup menggelitik, ketika upaya penyimpangan itu
tidak lantas tercium pihak perusahaan atau yang bergerak di bidang sosial
ketenagakerjaan. Tapi menurut hemat saya, kemungkinan telah terjadi kesepakatan
atau deal-deal tertentu antara pejabat setempat dengan pihak perusahaan dengan
catatan sama-sama mendapat keuntungan.
Fakta tersebut sangat meyesakkan batin
saya, karena tidak bisa berbuat apa-apa, sementara saya tahu pasti mudharat yang disebabkan perusahaan
tersebut. Sehingga, saya pun kerap bermimpi dan berdoa, agar jalinan kerja sama
antara PT Indominco Mandiri salah satu perusahaan raksasa penghasil batu bara
di sekitar desa saya, segara terputus. Sehingga, tidak ada lagi upaya sabotase
setiap tulisan berisi kritik terhadap keberadaan perusahaan yang meresahkan
warga di sana, serta menguak ulah para ‘pemain’ yang seakan tidak tersentuh
hukum lantaran terlindungi oleh media yang semestinya menebar kebaikan dan
manfaat kepada masyarakat.
Selain perusahaan tambang di daerah
kelahiran saya (Desa Santan Ilir), di Kota Taman sendiri memiliki sumber polusi
udara yang juga tak tersentuh kritik. Contohnya perusahaan penghasil pupuk urea
terbesar di Indonesia yakni PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT). Perusahaan itu
juga terbukti memberi dampak buruk berupa polusi udara bagi warga Bontang
khususnya di Kelurahan Guntung, Lhoktuan dan daerah lain di sekitarnya. Tapi,
keberadaannya tidak sedikitpun tersentuh media ini. Demikian pula, media koran
seperti Tribun Kaltim yang terkenal kritis, pun dibuat tuduk. Terbukti, selama
saya berada di Bontang Post, tak sekalipun termuat tulisan berisi kritik atas
keberadaan perusahaan itu. Entah karena jalinan kerja sama seperti yang terjadi
dengan Bontang Post, atau ada deal-deal tertentu dengan wartawan yang bertugas di
Kota Taman. Semua itu hanya diketahui oleh mereka yang terlibat, serta Allah
SWT yang maha mengetahui segala apa yang terjadi di langit dan di bumi.
Sudah rahasia umum, mereka yang bekerja
permanen di PT PKT, menuai nilai financial yang amat memuaskan, sangat berbeda
dengan penghasilan para ‘Kuli Tinta’ seperti saya yang setiap bulan hanya
mendapatkan penghasilan sekitar Rp 2 Jutaan. Sementara, pekerja di PT PKT bisa beberapa
kali lipat. Karena, jujur, beberapa bulan lalu, saya pun sempat mencicipi
bekerja di salah sattu anak perusahan PT PKT selama kurang lebih 4 bulan yakni
PT IKPT. Jadi saya tahu pasti seperti apa suasana kerja, udara, serta
pendapatan per bulan yang bisa diperoleh pekerja di sana.
Tapi, lagi-lagi nilai materi yang
ditawarkan perusahaan itu tidak mampu membayar masa depan dari segi kesehatan
yang dikorbankan. Tapi entah kenapa, warga Bontang begitu memandang mulia CSR
PT PKT yang memberikan sumbangsih kepada masyarkat sekitar. Padahal, itu sudah kewajiban
perusahaan memberikan dampak positif kepada masyarakat. Tapi semua itu sekadar
pemikiran saya berdasarkan pengamatan, serta masukan berbentuk keluhan
disampaikan warga Bontang bahkan dari luar daerah saat berbincang diri di satu
kesempatan. Saya pribadi belum tahu, apakah impian saya untuk bebas mengkritisi
perusahaan yang menjalin kerjasama dengan perusahaan tempat saya bekerja bisa
tercapai, atau hanya akan tertuang di dalam tulisan yang nantinya saya muat di
dunia maya seperti saat ini.
Namun, ketika impian saya terwujud,
hanya ada dua kemugkinan telah terjadi bagi perusahaan tempat saya bekerja.
Kemungkinan pertama, tidak lagi menjalin kerjasama lantaran sudah mampu berdiri
sendiri, atau perusahaan itu dengan suka rela melepaskan kontrak dengan
perusahaan tempat saya bekerja. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar