Minggu, 10 November 2013

Ketika Media Telah ‘Terbeli’



Imran Ibnu
Wartawan Bontang Post (Kaltim Post Group)

Ketika Media Telah ‘Terbeli’
Masyarakat Tewas pun Tak Tercium—Sub 

Begitu banyak hal yang masih mengganjal di hati saya selaku jurnalis yang dituntut peka dengan kondisi alam sekitar. Selain hasil pengamatan saya, beragam masukan berbentuk keluhan disampaikan orang yang mengerti keberadaan sesuatu hal yang mengancam dan meresahkan warga di satu daerah atau kelompok. Namun, sangat disesalkan, Bontang Post, media koran tempat saya bernaung dan mengais rezeki lewat tulisan yang saya himpun dari warga dan pejabat Kota Taman, tidak berdaya lantaran terikat kontrak halaman. Jelas saja, ketika ada satu tulisan yang kiranya mengancam jalinan kerjasama tersebut, tidak akan termuat dan menjadi konsumsi publik lantaran disabotase internal perusahaan tempat saya bekerja.
Ada beberapa masalah yang sejatinya menjadi incaran saya selama menjadi wartawan. Seperti keberadaan perusahaan tambang yang bergerak di bidang pengelolaan batu bara. Contohnya, PT Indominco Mandiri Tbk, PT Pama Persada, PT Kitadin, PT Pupuk Kaltim serta perusahaan lain di Kota Taman. Diketahui terus memproduksi limbah industri yang mengancam kelangsungan hidup warga sekitar. Wilayah Santan, Kutai Kartanegara misalnya. Di desa tersebut, khususnya Santan Ilir, tempat saya dilahirkan 04 Juli 1992 silam, gambaran nyata desa yang menjadi bulan-bulanan pembuangan limbah perusahaan itu. Sebagai putra daerah, jelas mengetuk pintu hati saya agar bisa berbuat sesuatu agar yang bersifat positif bagi masyarakat yang juga saudara-saudara saya. Setelah belasan tahun meninggalkan tempat tersebut pasca bencana kebakaran yang melalap kebun kelapa keluarga saya hingga nyaris habis, kami sekeluarga pun memutuskan pindah tempat di Simpang Sangatta hingga kini. Beberapa bulan lalu ketika saya berkunjung, kondisi pedesaan itu lebih mirip desa mati. Pasalnya, meski lokasinya jauh dari hiruk pikuk perkotaan, cuaca pedesaan itu tetap pengap dan berdebu. Bahkan polusi udara yang ditimbulkan begitu besar. Namun, limbah pabrik yang begitu nyata, terlihat dari warna air sungai yang mengalir hampir di sepanjang pedesaan itu hingga bermuara di lautan, keseluruhan berwarna kuning tembaga. Saya tidak tahu pasti penyebab warna air tersebut. Tapi  berdasarkan pengakuan sejumlah warga dan tokoh masyarakat di desa itu, penyebab utama perubahan warna itu adalah limbah buangan perusahaan di sekitar desa tersebut. Akibatnya, bukan hanya hak mendapatkan udara segar dan sejuk yang dirampas, tapi sumber penghidupan warga berupa tanah, tambak ataupun menangkap hewan buruan yang beberapa tahun silam masih bisa menghidupi sebuah rumah tangga, tidak bisa diperoleh karena mau tidak mau harus mau menjual tanahnya ke pada pemodal asing. Ketika menolak, tidak menutup kemungkinan, akan habis terbakar oleh salah satu sebab yang belum diketahui pasti penyebabnya sampai sekarang. Apakah murni bencana alam, atau ada yang mendalangi pembakaran itu. 
Untuk diketahui, Desa Santan Kecamatan Marangkayu adalah desa kaya akan Minyak Bumi serta Batu Bara. Sehingga, keberadaannya sangat diminati pemodal asing dari luar negeri yang kini menjadi pemilik perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan seperti disebutkan di atas. Meski begitu, oleh warga setempat, keberadaannya laksana dewa penolong bagi mereka yang hidup di tengah-tengah persaingan bisnis yang ketat. Padahal, mereka mestinya tau, apa yang mereka dapatkan dari sang ‘dewa penolong’ tidak dengan kehidupan hari esok yang amat berharga untuk untuk dikorbankan. Tapi apa daya, keberadaan perusahaan tambang di daerah itu seolah menjadi sumber hidup satu-satunya khususnya bagi kaula muda.
Polusi udara yang disebabkan perusahaan tambang di atas, sudah begitu banyak menyebabkan kecacatan terhadap penduduk sekitar. Bahkan, menurut pengakuan warga yang berada di daerah itu, selain faktor usia, faktor penyebab kematian warga di sana tidak lain adalah limbah pabrik dihasilkan perusahaan di atas. Tapi kembali lagi, kehidupan warga di daerah itu bahkan menyebar di Kota Taman hingga luar daerah, bergantung pada perusahaan tersebut. Oleh sebab itu, sudah semestinya, dan merupakan kewajiban perusahaan tersebut memberi manfaat positif dalam hal pemerataan kesejahteraan hidup dengan mempekerjakan warga setempat. Sehingga, ketika ada anggapan perusahaan tersebut bermurah hati menerima warga untuk bekerja, adalah salah besar. Karena, masa depan warga di sana telah direngut perusahaan asing yang sekadar meraup untung, sementara pemilik modal tidak merasakan dampak buruknya lantaran berada di luar negeri.
Meskipun kondisinya sudah seperti itu, oknum pejabat daerah masih saja tega memanfaatkan situasi yang ada. Karena, ketika pihak perusahaan melalui Corporate Social Responsibility (CSR) telah menyisakan jatah bekerja bagi warga di desa itu, menurut infomasi yang saya dengar, oknum pejabat setempat malah menarik retribusi dalam jumlah besar bagi siapapun yang ingin bekerja di perusahaan itu. Namun yang cukup menggelitik, ketika upaya penyimpangan itu tidak lantas tercium pihak perusahaan atau yang bergerak di bidang sosial ketenagakerjaan. Tapi menurut hemat saya, kemungkinan telah terjadi kesepakatan atau deal-deal tertentu antara pejabat setempat dengan pihak perusahaan dengan catatan sama-sama mendapat keuntungan.
Fakta tersebut sangat meyesakkan batin saya, karena tidak bisa berbuat apa-apa, sementara saya tahu pasti mudharat yang disebabkan perusahaan tersebut. Sehingga, saya pun kerap bermimpi dan berdoa, agar jalinan kerja sama antara PT Indominco Mandiri salah satu perusahaan raksasa penghasil batu bara di sekitar desa saya, segara terputus. Sehingga, tidak ada lagi upaya sabotase setiap tulisan berisi kritik terhadap keberadaan perusahaan yang meresahkan warga di sana, serta menguak ulah para ‘pemain’ yang seakan tidak tersentuh hukum lantaran terlindungi oleh media yang semestinya menebar kebaikan dan manfaat kepada masyarakat.
Selain perusahaan tambang di daerah kelahiran saya (Desa Santan Ilir), di Kota Taman sendiri memiliki sumber polusi udara yang juga tak tersentuh kritik. Contohnya perusahaan penghasil pupuk urea terbesar di Indonesia yakni PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT). Perusahaan itu juga terbukti memberi dampak buruk berupa polusi udara bagi warga Bontang khususnya di Kelurahan Guntung, Lhoktuan dan daerah lain di sekitarnya. Tapi, keberadaannya tidak sedikitpun tersentuh media ini. Demikian pula, media koran seperti Tribun Kaltim yang terkenal kritis, pun dibuat tuduk. Terbukti, selama saya berada di Bontang Post, tak sekalipun termuat tulisan berisi kritik atas keberadaan perusahaan itu. Entah karena jalinan kerja sama seperti yang terjadi dengan Bontang Post, atau ada deal-deal tertentu dengan wartawan yang bertugas di Kota Taman. Semua itu hanya diketahui oleh mereka yang terlibat, serta Allah SWT yang maha mengetahui segala apa yang terjadi di langit dan di bumi.
Sudah rahasia umum, mereka yang bekerja permanen di PT PKT, menuai nilai financial yang amat memuaskan, sangat berbeda dengan penghasilan para ‘Kuli Tinta’ seperti saya yang setiap bulan hanya mendapatkan penghasilan sekitar Rp 2 Jutaan. Sementara, pekerja di PT PKT bisa beberapa kali lipat. Karena, jujur, beberapa bulan lalu, saya pun sempat mencicipi bekerja di salah sattu anak perusahan PT PKT selama kurang lebih 4 bulan yakni PT IKPT. Jadi saya tahu pasti seperti apa suasana kerja, udara, serta pendapatan per bulan yang bisa diperoleh pekerja di sana.
Tapi, lagi-lagi nilai materi yang ditawarkan perusahaan itu tidak mampu membayar masa depan dari segi kesehatan yang dikorbankan. Tapi entah kenapa, warga Bontang begitu memandang mulia CSR PT PKT yang memberikan sumbangsih kepada masyarkat sekitar. Padahal, itu sudah kewajiban perusahaan memberikan dampak positif kepada masyarakat. Tapi semua itu sekadar pemikiran saya berdasarkan pengamatan, serta masukan berbentuk keluhan disampaikan warga Bontang bahkan dari luar daerah saat berbincang diri di satu kesempatan. Saya pribadi belum tahu, apakah impian saya untuk bebas mengkritisi perusahaan yang menjalin kerjasama dengan perusahaan tempat saya bekerja bisa tercapai, atau hanya akan tertuang di dalam tulisan yang nantinya saya muat di dunia maya seperti saat ini.
Namun, ketika impian saya terwujud, hanya ada dua kemugkinan telah terjadi bagi perusahaan tempat saya bekerja. Kemungkinan pertama, tidak lagi menjalin kerjasama lantaran sudah mampu berdiri sendiri, atau perusahaan itu dengan suka rela melepaskan kontrak dengan perusahaan tempat saya bekerja. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar