Imran Ibnu
Wartawan
Bontang Post
Pungli
Sekolah Negeri, Luput Dari Hukum ?
Beberapa
waktu lalu, Bontang Post beberapa kali menyoroti kasus dugaan pungutan liar
(pungli) di lingkup sekolah negeri Bontang. Bahkan, di kolom suara warga media
ini beberapa kali dihujani pengaduan dari warga Bontang yang mengetahui dan
mungkin jadi korban penyimpangan itu. Hal serupa pun kerap disampaikan warga
lewat jejaring sosial seperti Facebook,
Tweeter bahkan, mungkin juga media cetak
lain di Bontang memuat kasus serupa. Meskipun begitu, sampai saat ini saya
belum mendengar ada sangsi nyata berupa pidana tertentu bagi oknum pelaku.
Saya cukup
tergelitik dengan fakta yang menyatakan adanya dugaan pungli oleh salah satu oknum
sekolah. Karena menurut pandangan orang awam seperti saya, para pengajar adalah
figur yang bertugas mencetak generasi penerus bangsa berbudi luhur dan
berkualitas. Tentunya mereka harus
berjalan di atas rel hukum melalui UU ataupun aturan lain di bawah naungan
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Dituntut berwawasan luas khususnya
dalam bidang yang mereka geluti sebagai profesi. Kalaupun masih ada oknum yang
‘bermain’ di balik aturan itu, masih ada Dinas Pendidikan (Disdik) Bontang yang
bertanggung jawab tentang pengawalan Peraturan Pemerintah di tingkat Kabupaten/Kota.
Nah, yang
menjadi pertanyaan, ketika dalam realisasi di lapangan masih terjadi pungli
oleh salah satu oknum atau kelompok, lalu seperti apa peran Disdik yang menjadi
perpanjangan tangan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ?. Apa
benar, aturan di atas tidak memiliki sangsi tegas agar bisa memberikan efek
jera bagi oknum yang terbukti melakukan pungli?. Jika ia, bisa dipastikan upaya
pungli di Bontang tidak akan berhenti.
Untuk
diketahui, Peraturan Pemerintah (Permen) Nomor 17 Tahun 2010
tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, pemerintah telah membuat
larangan pada pasal 181, menegaskan bahwa Pendidik dan tenaga kependidikan,
baik perseorangan maupun kolektif dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar,
perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan
pendidikan serta memungut biaya dalam memberikan bimbingan belajar atau les
kepada peserta didik di satuan pendidikan. Tidak hanya itu, secara khusus
pemerintah dalam hal ini Mendikbud juga mengeluarkan Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2011
tentang larangan pungutan SD dan SMP seiring bertambahnya jumlah Bantuan
Operasional Sekolah (BOS).
Larangan tersebut, diketahui sebagai upaya positif
pemerintah menetralisir fungsi pendidikan dari campur tangan pihak ketiga, yang
ingin menjadikan sekolah sebagai agen produk mereka. Seperti penjualan bahan
pakaian seragam, buku pelajaran, LKS dan lainnya dijual melalui agen di
sekolah.
Dengan
upaya tersebut, produsen telah menggelapkan pajak penjualan yang merugikan
pemerintah dalam penerimaan pajak. Selain itu secara tidak langsung telah
merubahan fungsi kader-kader pembangunan bidang pendidikan. Yang semestinya
sebagai pendidik lantas berubah menjadi sales.
Mengacu
pada peraturan di atas, bisa disimpulkan, ketika di satu daerah terjadi pungli,
praktis telah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan pemerintah dan
masyarakat baik orangtua/wali, siswa maupun pedagang buku dan bahan pakaian
seragam.
Karena, sekecil apapun bentuk pungli yang
diterapkan pihak sekolah, tetap saja bertentangan dengan Permen di atas. Selain
itu, meskipun Kota Bontang adalah kota kaya ditunjang keberadaan sejumlah
perusahaan raksasa seperti PT Badak NGL dan PT Pupuk Kaltim (PKT), tapi
sepengetahuan saya selama bergelut dengan dunia jurnalistik yang dituntut
mengenal seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari strata sosial terendah hingga
yang tertinggi. Ternyata masih banyak keluarga yang terdaftar sebagai Rumah
Tangga Miskin (RTM), yang dalam kesehariannya kesulitan mencari sesuap nasi.
Bahkan, tindak kriminal yang kerap terjadi pun diketahui salah satu pemicunya
faktor ekonomi. Sementara, ketika RTM tersebut menjadi korban penerapan pungli
oleh salah satu sekolah, otomatis telah mencederai nilai berbudi luhur yang
sekaligus merupakan program Walikota Adi Darma yang saat ini terus
digaung-gaungkan. Lalu, seperti apa upaya Pemkot Bontang melalui Disdik Bontang
memerangi Pungli di kalangan sekolah?, itulah yang terus menjadi pertanyaan di
kalangan masyarakat saat ini.
Padahal,
untuk menghindari hal itu, Pemerintah dalam hal ini telah mengambil sikap
dengan pemberian insentif terdiri atas tunjangan dan sertifikasi. Agar para
pendidik dan tenaga kependidikan tidak lagi mencari penghasilan tambahan di
luar.
Dengan
begitu, jika ada oknum pendidik yang nekat menerobos aturan itu, jika tidak
salah, pemerintah juga telah mengatur hukuman tentang tindak pidana korupsi
(Tipikor) dalam pasal 12 Undang Undang Nomor UU No 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas UU Nomor 31Th 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Tapi,
lagi-lagi, kenapa aturan-aturan tersebut seolah tidak berfungsi di Kota Taman
tercinta?. Saya tidak tahu pasti, penjelasan seperti apa di balik semua fakta
tersebut, yang pasti, ketika Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) sebuah
pemerintahan tidak dijalankan, maka masyarakatnya pun punya alasan tidak tuduk
dengan aturan yang dibuat. Jika demikian, program kerja yang sekilas terlihat
luar biasa, akan cacat lantaran ‘mesin’ pelaksananya tidak bekerja efektif . (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar