Sabtu, 09 November 2013

Catatan



Imran Ibnu
Wartawan Bontang Post

Pungli Sekolah Negeri, Luput Dari Hukum ?

Beberapa waktu lalu, Bontang Post beberapa kali menyoroti kasus dugaan pungutan liar (pungli) di lingkup sekolah negeri Bontang. Bahkan, di kolom suara warga media ini beberapa kali dihujani pengaduan dari warga Bontang yang mengetahui dan mungkin jadi korban penyimpangan itu. Hal serupa pun kerap disampaikan warga lewat jejaring sosial seperti Facebook, Tweeter bahkan, mungkin juga media cetak lain di Bontang memuat kasus serupa. Meskipun begitu, sampai saat ini saya belum mendengar ada sangsi nyata berupa pidana tertentu bagi oknum pelaku.
Saya cukup tergelitik dengan fakta yang menyatakan adanya dugaan pungli oleh salah satu oknum sekolah. Karena menurut pandangan orang awam seperti saya, para pengajar adalah figur yang bertugas mencetak generasi penerus bangsa berbudi luhur dan berkualitas. Tentunya  mereka harus berjalan di atas rel hukum melalui UU ataupun aturan lain di bawah naungan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Dituntut berwawasan luas khususnya dalam bidang yang mereka geluti sebagai profesi. Kalaupun masih ada oknum yang ‘bermain’ di balik aturan itu, masih ada Dinas Pendidikan (Disdik) Bontang yang bertanggung jawab tentang pengawalan Peraturan Pemerintah  di tingkat Kabupaten/Kota.
Nah, yang menjadi pertanyaan, ketika dalam realisasi di lapangan masih terjadi pungli oleh salah satu oknum atau kelompok, lalu seperti apa peran Disdik yang menjadi perpanjangan tangan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ?. Apa benar, aturan di atas tidak memiliki sangsi tegas agar bisa memberikan efek jera bagi oknum yang terbukti melakukan pungli?. Jika ia, bisa dipastikan upaya pungli di Bontang tidak akan berhenti.
Untuk diketahui, Peraturan Pemerintah (Permen) Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, pemerintah telah membuat larangan pada pasal 181, menegaskan bahwa Pendidik dan tenaga kependidikan, baik perseorangan maupun kolektif dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan serta memungut biaya dalam memberikan bimbingan belajar atau les kepada peserta didik di satuan pendidikan. Tidak hanya itu, secara khusus pemerintah dalam hal ini Mendikbud juga mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2011 tentang larangan pungutan SD dan SMP seiring bertambahnya jumlah Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Larangan tersebut, diketahui sebagai upaya positif pemerintah menetralisir fungsi pendidikan dari campur tangan pihak ketiga, yang ingin menjadikan sekolah sebagai agen produk mereka. Seperti penjualan bahan pakaian seragam, buku pelajaran, LKS dan lainnya dijual melalui agen di sekolah.
Dengan upaya tersebut, produsen telah menggelapkan pajak penjualan yang merugikan pemerintah dalam penerimaan pajak. Selain itu secara tidak langsung telah merubahan fungsi kader-kader pembangunan bidang pendidikan. Yang semestinya sebagai pendidik lantas berubah menjadi sales.
Mengacu pada peraturan di atas, bisa disimpulkan, ketika di satu daerah terjadi pungli, praktis telah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan pemerintah dan masyarakat baik orangtua/wali, siswa maupun pedagang buku dan bahan pakaian seragam.
 Karena, sekecil apapun bentuk pungli yang diterapkan pihak sekolah, tetap saja bertentangan dengan Permen di atas. Selain itu, meskipun Kota Bontang adalah kota kaya ditunjang keberadaan sejumlah perusahaan raksasa seperti PT Badak NGL dan PT Pupuk Kaltim (PKT), tapi sepengetahuan saya selama bergelut dengan dunia jurnalistik yang dituntut mengenal seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari strata sosial terendah hingga yang tertinggi. Ternyata masih banyak keluarga yang terdaftar sebagai Rumah Tangga Miskin (RTM), yang dalam kesehariannya kesulitan mencari sesuap nasi. Bahkan, tindak kriminal yang kerap terjadi pun diketahui salah satu pemicunya faktor ekonomi. Sementara, ketika RTM tersebut menjadi korban penerapan pungli oleh salah satu sekolah, otomatis telah mencederai nilai berbudi luhur yang sekaligus merupakan program Walikota Adi Darma yang saat ini terus digaung-gaungkan. Lalu, seperti apa upaya Pemkot Bontang melalui Disdik Bontang memerangi Pungli di kalangan sekolah?, itulah yang terus menjadi pertanyaan di kalangan masyarakat saat ini.
Padahal, untuk menghindari hal itu, Pemerintah dalam hal ini telah mengambil sikap dengan pemberian insentif terdiri atas tunjangan dan sertifikasi. Agar para pendidik dan tenaga kependidikan tidak lagi mencari penghasilan tambahan di luar.
Dengan begitu, jika ada oknum pendidik yang nekat menerobos aturan itu, jika tidak salah, pemerintah juga telah mengatur hukuman tentang tindak pidana korupsi (Tipikor) dalam pasal 12 Undang Undang Nomor UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31Th 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Tapi, lagi-lagi, kenapa aturan-aturan tersebut seolah tidak berfungsi di Kota Taman tercinta?. Saya tidak tahu pasti, penjelasan seperti apa di balik semua fakta tersebut, yang pasti, ketika Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) sebuah pemerintahan tidak dijalankan, maka masyarakatnya pun punya alasan tidak tuduk dengan aturan yang dibuat. Jika demikian, program kerja yang sekilas terlihat luar biasa, akan cacat lantaran ‘mesin’ pelaksananya tidak bekerja efektif . (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar