Sabtu, 30 November 2013

Penjelasan di Balik Kebungkaman




“Aku tidak butuh pacar cantik, seksi, tapi tak mampu menjaga kepercayaan . Kesetiaan, ketulusan cinta, dan pengertian, itulah yang kuinginkan. Karena rumah tangga yang ‘mawadoh warohmah’, hanya bisa diwujudkan dengan itu. Harus siap menjaga janji suci pernikahan dalam kondisi apapun,”
WEJANGAN itu merupakan prinsip hidupku dalam memilih pasangan. Karena bagiku, cantik, tampan, kaya, miskin dan sebagainya, satu hal yang tak abadi. Sebuah titipan yang kapanpun bisa dicabut oleh Allah SWT sang pemilik hidup. Berangkat dari prinsip itu, terbentuklah pribadi dingin, cuek, masa bodoh, tapii,,,,,,, tak pernah mempermainkan wanita.
Yah,,, bagi sebagian orang, sikap seperti itu bukan menjadi impian banyak wanita. Karena aku paham, seorang wanita butuh kasih sayang, perhatian yang continue, serta untaian kata gombal yang telah banyak menjerumuskan wanita dalam kehancuran. Tapi,,,,, aku adalah aku,,,, tidak mudah mengubah sebuah prinsip yang telah tertanam dan mendarah daging.
Minggu (11/7) ini, sebulan lebih hubunganku dengan wanita Widia. Wanita ini sempat membuatku jatuh cinta. Bahkan rencana melanjutkan cinta ini ke jenjang pernikahan telah kusematkan di dalam hati. Dan dia tahu akan hal itu. Tepatnya, di hari-hari awal jadian kami Juni lalu. Maklum, awal jadian merupakan momen terindah dalam sebuah hubungan. Kata orang, saat itu semua yang tampak di pelupuk mata, berwarna Merah Jambu. ‘Warna yang diisyaratkan sebagai kebahagiaan dan keceriaan’.
Saat itu, baik pria maupun wanita akan mengumbar janji terindah yang bisa dikeluarkan. Sehingga menumbuhkan keyakinan pada pasangan untuk memberikan seluruh cinta, kasih dan sayang tanpa sisa. Tapi, aku lebih yakin. Perasaan itu timbul hanya karena belum tahu banyak tentang siapa sang pacar. Dan bagaimana karakter si pacar. Sehingga, yang tampak adalah kebahagiaan, kebaikan, dan masa depan.
Berbeda, ketika telah melewati ‘momen berbunga’ itu. Maka akan tampak sifat asli yang jelas tidak ditampakan di hari awal jadian pada diri sang pacar. Berbagai kekurangan, pun bermunculan, yang jelas bukan menjadi impian bagi salah satu dari keduanya. Nah, bagi mereka yang larut dalam rayuan atau masa-masa ‘berbunga’ di awal jadian, merupakan tamparan keras. Karena, apa yang dia dapatkan jauh berbeda dari yang dijanjikan. Berbeda, ketika prinsip untuk siap menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing bukan sekadar bualan, maka itu bukan hal berat untuk diterima.
Inilah yang terjadi dalam hubunganku beberapa hari terakhir. Widia adalah pacarku yang beberapa hari terakhir merusak ketenangan batin dan menghapus warna di hari-hariku. Setelah berhasil melewati satu bulan sejak memutuskan bersama Juli 2013 lalu, dia mulai berbeda. Bahkan, terkesan menghindar untuk bertemu dan menjalin komunikasi denganku. Nah, jelas saja itu menjadi beban.
Sebenarnya, beban di sini bukanlah beban yang kebanyakan dirasakan oleh orang yang saling mencinta, sehidup semati, yang telah menyerahkan sebagian jiwanya bagi sang pacar, atau yang rela mati demi pacarnya. Tapi ini lebih kepada keinginan yang sebenarnya dari Widia. Karena, aku bukan pria yang mau diambangkan dan digantungkan. Dalam hal apapun itu. Termasuk asmara.
Aku hanya menginginkan kejelasan dari dia.  Bahkan, sempat kutegaskan kepadanya, jika sudah tak sanggup menjalani hidup denganku berpisah sepertinya hal yang tepat. Tapi, itu tidak direspon. Bahkan dia malah menjawab. “Ade bukan mau pisah. Ade hanya butuh waktu untuk tidak berhubungan dengan kamu saat ini. Sampai saat Ade tenang lagi,” itulah jawaban yang kuperoleh dari dia dua hari yang lalu.
Bagi sebagian orang yang tidak pernah menganggap sebuah hubungan itu penting, jelas bukan masalah. Karena, tidak ada pengorbanan, baik materi  maupun beban pikiran.  Bahkan, kondisi seperti itu adalah momen berharga yang mesti dimanfaatkan bagi orang yang berpikirian seperti itu.
Aku sempat mengobrolkan masalahku dengan seorang kawan. Kata kawanku,  “kalau memang dia mau seperti itu, kamu selingkuh aja. Toh, aku juga yakin kalau sudah seperti itu, dia tidak mengharapkan kamu lagi. Bahkan, besar kemungkinan dia punya pacar lagi,” kata temanku dengan mimik serius.
Awalnya, aku tidak menggubris saran itu, bahkan aku menilai jika itu adalah hasutan dan cobaan yang melanda hubungan kami. “Ah, itu belum tentu benar,,, sebelum ada bukti, kita enggak boleh menuduh seperti itu,” jawabku menimpali pernyataannya.
Tapi, kecurigaan itu makin nyata. Ketika selama seminggu lebih aku tidak mendapat kabar darinya. Jangankan untuk bertemu muka, mendapat pesan singkat saja tidak terkabul. Panggilan lewat telfon seluler yang hampir tiap menit, jam bahkan saat malam sebelum aku tidur, pasti menelfon dia. Tapi, lantas terputus lantaran nomor yang kutuju sedang sibuk. Aku tidak tahu pasti, apakah sibuk sebab diriject olehnya, atau karena sedang digunakan berkomunikasi dengan orang  lain. Tapi satu hal yang pasti. Jika Widia masih punya hati dan menganggapku berarti, pasti ada upaya untuk menjawab segudang pertanyaan yang kukirimkan beberapa hari terakhir.
Sampai akhirnya puncak kesabaranku tiba. Karena tidak mau bertemu, menjawab telfon, membalas SMS, maka aku tegaskan kepadanya satu pertanyaan sekaligus pernyataan. “Wid, kalau kamu memang masih menganggap aku pacarmu, kita ketemu di tempat biasa malam ini. Tapi kalau sudah tidak lagi, abaikan pesan ini,” kataku dalam sebuah pesan yang kukirim tepat pukul 20.00 Wita dari ponselku.
Selang beberapa menit, tiba-tiba pesan singkat itu terbalas. Setelah kubuka, benar, pesan dari Widia, “Ade bukannya tidak menganggap kk itu pacar. Tapi sekarang Ade masih belum siap ketemu kakak”
“Tapi kenapa?, harus ada penjelasannya dong. Jangan seperti ini, kita bukan anak kecil yang kasmaran”
“Bukannya apa kak. Tidak ada asap kalau gak ada api. Jadi, kalau kakak belum merasa tahu salah yang bikin aku begini, lebih baik jangan hubungin aku dulu”
Mendapat jawaban itu, aku lantas makin bingung sekaligus geram. Betapa tidak, aku bukanlah manusia yang bisa membaca hati orang lain. Di sisi lain, aku juga sadar bukan manusia sempurna. Jadi kesalahan adalah lumrah terjadi. Tapi yang tidak bisa kuterima, kenapa harus seperti ini?, aku diminta mereka-reka apa yang tidak aku tahu?.
“Yaudah, kakk ini bukan pesulap yang bisa membaca pikiran orang. Jadi, begini saja, kalau memang malam ini kita tidak bisa ketemu. Lebih baik kita putus aja! tolong dijawab”
Setelah menunggu beberapa lama, pesan singkat dari Widia pun kuterima, “ iya kak, Ade memang sudah tidak sanggup dengan sifat kakak yang cuek. Bahkan, tidak pernah cemburu ke ade.  Ade ngerasa, kalau tidak disayang sama kakak. Makanya, Ade menghindar selama ini. Tapi, kalau memang itu maunya kakak untuk putus, yaudah, Ade terima ! ”
Mendapat jawaban itu, awalnya aku cukup terkejut karena begitu tenangnya dia menanggapi perpisahan ini. Selain itu, alasan yang dia limpahkan sebagai alasan perpisahan ini hanya karena sikap cuek yang sejatinya bertujuan baik. Karena, bagiku, tidak ada gunanya mengekang pacar dan melarang bahkan membatasi sang pacar untuk berhubungan dengan orang lain. Tapi, kemudian akhirnya aku mengerti, bahwa ketika dia telah menyanggupi untuk berpisah, artinya memang sudah waktunya, dan dia bukan yang terbaik untukku. Begitupula sebaliknya, mungkin aku bukan yang terbaik untuk dia.
“Yaudah, kalau kita sepakat untuk berpisah, Kakak terima. Kakak hanya pesan sama ade. Jangan pernah memillih pasangan karena sesuatu yang tidak abadi. Pilih yang bisa jadi imam, dan punya agama serta menjalankan ibadah yang diwajibkan agamanya,”
“Iya kakak, kakak juga” jawab Widia mengakhiri obrolan singkat kami malam itu.
 Sejak saat itu, kami tidak pernah lagi berhubungan. Baik secara langsung maupun lewat ponsel seperti yang biasa kami lakukan selama berpacaran.
Yahh,,,, perpisahan ini sebenarnya bukan hal yang kuharapkan. Tapi mau gimana lagi, jika itu sudah menjadi pilihan dia. Meski begitu aku  belum sepenuhnya percaya jika alasan dia putus hanya karena sikapku yang cuek. Bahkan, belakangan aku mulai mengenang kembali, pendapat yang disampaikan temanku beberapa waktu lalu. Yang mengatakan, kemungkinan Widia sudah selingkuh di belakangku. Namun tetap menerima bahwa perpisahan ini sudah tadir yang harus diterima.
Berselang beberpa minggu pasca perpisahan itu. Perlahan aku sudah mulai terbiasa hidup sendiri. Bahkan, sudah bisa melupakan dia. Hingga satu hari, saat aku pulang dari kantor, aku melihat secara langsung, Widia tampak mesra memeluk seorang pria di atas sepeda motor yang melaju kencang. Tampaknya, mereka telah lama akrab, hal itu terlihat dengan tidak adanya  jarak atara mereka. Sehingga untuk memeluk demikian erat menjadi hal wajar. Sejak saat itu, rasa penasarannku tiba-tiba kembali tumbuh untuk tahu lebih dalam tentang hubungan keduanya.
Keesokan harinya, aku memutuskan mengunjungi tempat kerja Widia. Tentunya setelah memastikan dia tidak ada di tempat itu. Lalu aku menayakan kepada salah seorang rekan kerjanya yang juga seorang wanita. Tentang pacar baru Widia. “Mbak, aku mau tanya boleh?”
“Iya mas,  tanya apa?,”
“Temannya di sini ada yang namanya Widia enggak?,”
“Iya mas, ada, ada apa yah mas dengan Widia?,”
“Enggak papa. Dia punya pacar enggak yah,”
“Hehe, ada mas namanya Rian. Emang kenapa mas, suka yah sama dia?,”
“Enggak kok mbak, mau tau aja. Mbak tahu enggak, sejak kapan mereka pacaran?,”
“Pacarannya sih belum lama mas, baru sekitar sebulan ini. Emang ada apa yah mas, kok pengen tau gitu soal Widia?,”
mendapat jawaban itu, aku lantas termenung. Jika mereka sudah bersama selama sebulan, berarti aku telah dibohongi selama ini.
“Mas,,, kok diem,, ada apa mas sama Widia?,”
“Enggak papa kok mba. Oke deh lw begitu, aku pamit dulu yaahh,,, makasih lohh,”
“Iya mas, sama-sama,” jawabnya sambil tersenyum
Setelah obrolan ini, akhirnya aku tahu jawaban sebenarnya kenapa Widia begitu mudah melepaskan diri dariku. Tentang sikapnya yang memutuskan komunikasi selama seminggu itu pun akhirnya terjawab. Bahwa, ternyata Widia sudah menjalin hubungan sejak saat kami masih bersama. Tepatnya saat masalah mulai sering menghampiri hubungan kami.
Setidaknya, dengan kejelasan ini, aku tidak lagi merasa bersalah. Karena, sebelumnya penyebab putusnya kami adalah sikapku yang cuek. Melaikan, dia telah menemukan pria lain yang mungkin menurutnya jauh lebih baik dari apa yang kumiliki.
Tapi setidaknya, kejadian itu semakin membuatku sadar. Bahwa di dunia ini tidaka ada yang abadi. Sehingga, jangan pernah terbuai terhadap satu kondisi yang menyenangkan. Sehingga terjebak untuk melakukan hal-hal yang berlebihan untuk menyenangkan sang pacar. Saya lebih yakin, bahwa kekasih sejati adalah dia yang siap menerima kelebihan terlebih kekurangan. Dan sanggup menjaga kepercayaan yang telah diberikan. Karena, kepercayaan adalah harga mati di dalam hidupku. Ketika telah terjadi penghianatan atas hal itu. Tidak akan ada kesempatan kedua, ketiga, hingga kapanpun. (*)
(Imran Ibnu, Jakarta)
  

Kamis, 28 November 2013

Berjalan Dalam Kenangan




==Imran Ibnu, Jakarta==

Sekitar dua jam aku duduk termenung di atas bangku kayu kenangan yang selalu menemanik hari-hariku di masa lalu. Hemm,,,,suasananya masih sama seperti  8 tahun lalu, sejuk dan penuh kenangan. Perlahan,,, aku teringat kembali masa kecil yang menyimpan sejuta dendam. Ketika mengenang perlakuan para tetangga yang gemar merendahkan keluargaku karena hidup dalam kesusahan ekonomi. Saat itu, bisa dikatakan keluargaku jauh berbeda dengan kehidupan orang-orang di desa ini, akibatnya selalu menjadi tumbal atau kambing hitam ketika ada pencurian. Tuduhan, hinaan, dan cacian, bahkan menggeledah isi rumahku tanpa alasan jelas menjadi hal biasa dan wajar terjadi. Anggota keluargaku pun rata-rata mendapat giliran tertuduh mencuri oleh para tetangga. Kakaku yang ke-3 misalnya, dia dituduh mencuri telur ayam oleh tetangga samping rumah dengan alasan yang tak pernah dijelaskan sampai saat ini. Sementara adik perempuanku yang terakhir pun tidak luput dari tuduhan mencuri. Kali ini dia dituduh mencuri handphone tetangga yang tinggal tepat di depan rumah. Sementara aku sendiri pernah dituduh mencuri buku silat oleh kawan yang rata-rata berumur  4 sampai 6 tahun di atas usiaku saat itu. Kebetulan mereka adalah rekan berlatih saat mengikuti perguruan silat bernama Prisai Diri (PD). Tapi, lagi-lagi, bukti bahwa tuhan maha mengetahu, tuduhan itu kembali terbukti tidak benar.
Sebenarnya, dendam itu masih ada sampai sekarang. Tapi bentuknya sudah berbeda, cara yang aku gunakan untuk balas dendam bukan seperti yang biasa ditampilkan televisi dengan membunuh atau bertindak anarkis. Tapi membuktikan kepada mereka, bahwa bumi itu berputar, kadang di bawah dan kadang ada di atas. Sementara target yang ingin kucapai saat ini dan kemudian, bagaimana agar posisi keluargaku bisa berada di atas orang-orang yang sempat merendahkan dan menghinakan keluargaku karena kondisi ekonomi yang lemah.
Terbangun dari lamunanku, tiba-tiba pandanganku terarah pada sosok wanita 50 tahun-an yang masih tampak segar dengan senyum manis terus menggantung di bibir yang mulai keriput namun tetap segar dipandang mata. Dia ibuku Nurhayati. Kebetulan dia baru saja menyelesaikan pekerjaanya menjahit kain yang belum sempat kutanyakan peruntukannya. Sekitar 5 menit dia beridiri mematung di depan pintu sambil sesekali membelai rambutnya yang mulai memutih itu. Sekilas dia seperti orang bingung, atau tepatnya linglung dan mencoba mengingat sesuatu hal penting dan mesti dikerjakan.  “Nak , mana adikmu, tadi mama suruh beli benang tapi belum datang sampai sekarang,”ujarnya menyiratkan wajah khawatir bercampur gelisah.  “Gak lihat buu, tadi memang dia memang jalan. Tapi belum kembali, yudah, nanti saya lihat ke toko di depan mungkin dia masih di sana,” jawabku guna meredam kekhawatirannya.
Dia usianya yang semakin matang, Wanita itu makin tampak perkasa. Bahkan rasa hormat setinggi-tingginya akan kuberikan atas perjuangan yang telah ditempuh hingga aku bisa menjadi manusia beridentitas seperti saat ini. Apalagi ketika teringat perjuangan yang dia tempuh sepeninggalan ayahku Ibnu Hajar beberapa tahun lalu. Jelas menuntutnya berjuang dan bekerja ekstra keras agar bisa menopang keluarga kecil untuk tetap berdiri kokoh di tengah persaingan modernisasi. Tapi, aku tahu pasti, apa yang kumaksudkan dengan penghormatan tertinggi tadi, tidak begitu dia butuhkan. Karena, sebagai seorang ibu yang telah melahirkan dan membesarkan dengan cinta dan kasih yang tulus, adalah hadiah terbesar dan penghormatan terbesar  saat anak bisa menjadi manusia bermanfaat dan minimal bisa menghidupi diri dan adik-adiknya. Itulah keistimewaan sosok ibu yang membesarkanku selama ini.
Mengakhiri lamunan, aku pun mencoba berkeliling rumah yang sampai saat ini masih jauh dari kata mewah, sambil mencari adik perempuanku yang  bungsu. Jelas sekali, sisi luar rumah itu, masih berupa tembok bata tanpa plester apalagi cat tembok seperti yang biasanya menempel di tembok rumah keluarga berada. Tak banyak berbeda, masih ada sungai, batang pisang, pohon kedondong, bahkan rerumputan tumbuh di sekitar rumah itu. Maklum, selama aku memiliki kehidupan sendiri sebagai jurnalis, terasa sangat sulit meluangkan waktu untuk sekadar membersihkan halaman atau pinggiran rumah dari pepohonan yang merusak pemadangan. Meskipun aku sadar, jika itu tetap akan ku lakukan. Karena tak ada lagi yang mau atau berkesempatan melakukan itu kecuali anak lelaki yang semasa hidupnya belum pernah terpisah lama dengan sang ibu. Yah, aku memang tidak pernah hidup terpisah dalam waktu lama dari ibu. Berbeda dengan saudara-sadariku yang rata-rata pernah mencicipi hidup terpisah hingga tahunan. Bahkan ada yang tinggal dengan kerabat hingga menikah. Sementara aku?, hanya sempat tinggal selama beberapa bulan dengan kakak perempuanku. Itu pun setelah dipaksa oleh kedua orang tua yang saat itu masih lengkap. Namun keadaan itu berubah setelah ayahku meninggal juga di rumah tempatku tinggal saat itu. Setelah kepergian sang ayah,  aku merasa sudah tidak betah lagi dengan kondisi rumah yang menurutku amat berbeda dengan rumah yang ditempati ibu. Meskipun jauh berbeda, tapi kebahagiaan tampaknya hanya bisa kuperoleh ketika aku tinggal di rumah yang di dalamnya tinggal saudara, saudari bersama jutaan kenangan masa lalu yang tercipta di dalam yang dibangun dengan peluh, darah dan air mata oleh kegigihan kedua orang tuaku.
Sampai akhirnya aku memutuskan pindah dari rumah kakak yang lebih mirip neraka. Lalu kembali ke ‘Rumahku Istanaku’ dan berkumpul dengan bidadari yang selalu siap memberikan senyum dan kebahagiaan di tangah keterbatasan. Dan sejak saat itu, aku semakin yakin, jika apa yang menurut kita baik dan indah, belum tentu menurut penilaian orang lain adalah sama. Karena, setiap pemikiran punya dasar dan alasan masing-masing. Begitupula dengan keluargaku, meskipun dengan segudang keterbatasan yang menurut orang lain kurang, tapi menurutku itu adalah hal yang paling sempurna dibanding apa yang bisa saya dapatkan dari orang lain yang dari segi fisik memiliki segalanya (*)

Minggu, 24 November 2013

Ada Jalan Rusak, Salah Siapa ?




Imran Ibnu. Jakarta 
Infrastruktur jalan yang baik, merupakan harga mati mesti diterima masyarakat dari para ‘pelayan’ yang duduk di kursi pemerintahan. Dengan kata lain, jika tidak bisa memberi pelayanan terbaik pada masyarakat, maka pemimpin itu tidak laik menjadi pegawai pemerintah yang secara real bertugas melayani masyarakat. Karena, pada dasarnya mereka dipilih masyarakat untuk membangun daerah dan mengupayakan kesejahteraan hidup masyarakat yang dipimpin.
Tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) itulah yang membuat saya tergelitik menulis catatan ini. Karena, dalam pengamatan saya selama kurang lebih 11 menjadi wartawan di Bontang Post, ternyata masih banyak jalan belum tersentuh perbaikan secara laik. Jika letaknya terpencil dan intensitas penggunanya kecil, mungkin masih ada alasan belum ditindak lanjuti. Tapi ketika jalan rusak itu merupakan akses utama yang  banyak dilalui pengguna jalan, mestinya harus mendapat perhatian khusus dari dinas terkait dan menjadikannya prioritas pembangunan.
Infrastruktur jalan memang kerap menghiasi tulisan-tulisan saya selama ini. Karena bagi saya, jalan yang bagus merupakan cerminan kepuasan masyarakat atas pelayanan pemimpinnya. Sekaligus menggambarkan keharmonisan antara pemimpin dengan warganya. Karena, dapat dipastikan, jika infrastruktur jalan di satu daerah buruk, praktis keluhan demi keluhan akan terlontar oleh warganya. Dengan begitu, bisa disimpulkam antara pemimpin dengan rakyatanya tidak harmonis.
Begitupula dengan Kota Bontang. Sampai saat ini keluhan atas jalan rusak masih kerap disuarakan warga. Baik melalui pesan singkat yang dikirim ke kolom Suara Warga media ini, atau secara sambil disampaikan warga saat media ini berkunjung di satu tempat. Mendapat keluhan seperti itu, biasanya saya lantas menjadikannya bahan liputan.
Tentunya saya harus mengkonfirmasi pihak-pihak dinilai bertanggungjawab salah satunya Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Bontang, agar berita yang ditulis berimbang dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dari sekian kasus yang pernah saya tulis, beberapa di antaranya mendapat respon positif DPU. Seperti jalan rusak Pangeran Antasari (eks Jalan Manunggal). Kini telah diperbaiki PT Jaya Konstruksi sejak 24 Mei lalu menggunakan Anggaran Perencanaan Belanja Daerah (APBD) Bontang. Selain  itu, masih ada proyek pengerjaan jalan provinsi. Namun, untuk proyek itu, sepenuhnya dibiayai Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur (Kaltim).
Di sisi lain, sejumlah keluhan jalan rusak masih belum dipenuhi DPU Bontang. Padahal berbagai upaya telah dilakukan warga setempat maupun pengguna jalan yang kerap melintasi jalan itu. Contohnya saja, di Jalan Arif Rahman Hakim, Kelurahan Belimbing, Bontang Barat. Saya tidak tahu pasti. Kenapa jalan tersebut tak kunjung mendapat perhatian Pemkot Bontang. Padahal, mustahil jika jalan itu luput dari pantauan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang menanganinya. Karena, permintaan akan hal itu, kerap kali disampaikan warga setempat atau pengguna jalan yang merasa terganggu. Baik secara langsung ke DPU, atau melalui media ini. Bahkan, saya sendiri beberapa kali menulis tentang jalan itu, berisi harapan masyarakat agar perbaikan jalan yang laik segera dilakukan. Tapi sampai saat ini belum juga mendapat angin segar.  
Memang benar, menurut pengakuan sejumlan narasumber yang saya temui, jalan itu beberapa kali diperbaiki. Entah dengan APBD Bontang atau dana swasta. Namun, karena hanya sebatas ‘tambal sulam’, dan kemungkinan kualitas material buruk, sehingga tidak bertahan lama. Terbukti, sejumlah lubang yang pernah diperbaiki kini rusak kembali.
Parahnya lagi, jalan itu kini menjadi pusat operasi sejumlah truk pengangkut tanah timbunan bermuatan berat. Ototmatis, jalan yang semula sudah rusak, kini semakin parah. Bahkan, potensi merengut nyawa pengguna jalan makin besar. Saya juga tidak tahu pasti, apakah sudah ada izin trayek bagi para supir truk itu dari Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) Bontang. Belum lagi tentang dampak lingkungan dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Bontang. Atau mungkin kedua izin tersebut tidak dibutuhkan dalam bidang seperti itu. Namun yang pasti, sebagai masyarakat awam, saya hanya berharap, tiap kebijakan yang diambil para pejabat di kursi pemerintahan, mesti mengutamakan kepentingan masyarakat dibanding kepentingan pribadi atau golongan. Karena, pada hakekatnya, pemerintahan dibentuk karena ada masyarakat. (***)

Jumat, 22 November 2013

Serap Ilmu Sambil Tertawa




Evaluasi Berita Di Taman Ayodia Jakarta—Sub
 
Proses evaluasi berita 6 media koran yang tergabung dalam Kaltim Post Group, di Jakarta terus berjalan. Lokasi yang menjadi pilihan oleh Arianto Redaktur Indopos selaku pembimbing adalah Taman Ayodia, Blok M Jakarta Pusat. Seperti biasa, materi berupa bedah tulisan dan cara mengedit berita pun berjalan mulus dan santai.

IMRAN IBNU, Jakarta

Hampir dua bulan kami (peserta magang) tinggal di Jakarta, suasana kota dan hiruk pikuk serta gaya hidup manusia di Kota Metropolitan itu sudah tidak asing dalam pandangan kami. Contohnya saja, keberadaan para pengamen, banci, hingga pasangan muda-mudi yang dengan bebas menampakkan kemesraan di tengah umum dengan gaya berpakaiannya yang seronok, pun telah akrab di mata kami. Oleh sebab itu, saya tidak akan banyak membahas mengenai hal itu dalam tulisan saya kali ini.
Malam itu, proses belajar kami mendapat dukungan penuh dari alam. Karena, di langit nan biru saat itu dihiasi jutaan bintang gemintang mengelilingi rembulan yang cantik. Seolah memberi kekuatan tersendiri bagi siapapun yang menyaksikan keindahan pemandangan alam itu.
Kondisi tidak jauh berbeda terjadi di bawah hamparan langit malam itu. Tepat pukul 01.30 WIB saya dan rombongan tiba di lokasi yang disepakati. Suasana malam di daerah itu begitu indah oleh keberadaan lampu-lampu jalan, lampu yang berasal dari rombong para Pedagang Kaki Lima (PKL) yang juga dikelilingi lampu gedung pencakar langit yang menambah keindahan lokasi angkringan itu.
Yang paling menarik dari tempat itu, lautan manusia terdiri atas muda-mudi, kaula muda, hingga para orang tua tampak mengisi sudut-sudut taman mencari tempat strategis. Paling digemari adalah titik yang minim cahaya. Sehingga potensi mereka ‘bertualang’ terhadap pasangan mereka pun kian besar. Tapi bagi saya, apapun yang mereka lakukan tidak masalah, asal tidak saling mengganggu ketntraman satu sama lain.
Seperti biasa, sebelum evaluasi berita dimulai, kami selalu memesan makanan dan minuman untuk mengisi perut yang memang sengaja kami kosongkan. Karena, kami sudah tahu jika setiap Jumat malam adalah saat evaluasi berita. Dengan begitu konsumsi akan kami dapatkan secara cuma-cuma seperti sebelumnya.
Benar saja, kali ini anggota kami yang bermurah hati menghendel semua konsumsi yang dipesan adalah Abdul Aziz wartawan senior (sekarang menjabat Redaktur Pelaksana) asal Berau Post. Sate Ayam ditemani es Teh Botol malam itu bisa kunikmati bersama peserta lain secara gratis. Kondisi itu jelas menguntungkan bagi orang-orang yang memang tengah dilanda krisis keuangan di akhir bulan seperti saya. Karena, kebetulan malam itu, saya memang tidak membawa uang sama sekali. Sehingga, jika tidak ada yang menghendel makanan malam itu, jelas saya mengalami kesulitan.
Bahkan, uang parkir sepeda motor yang harus diberikan para pemilik kendaraan ketika hendak masuk di Gedung Graha Pena (lokasi kantor media JPNN,Jawa Pos, Kaltim Post, Indopos)  dan sejumlah media lain, harus membayar Rp 2 ribu per motor. Tapi ternyata tidak demikian. karena, ketika saya datang, tidak ada juru parkir yang biasanya selalu stand by di pos pintu masuk. Dan ketika hendak keluar pelataran parkir, harus menyerahkan karcis parkir pun tidak tampak batang hidungnya. Mungkin, malam itu adalah malam keberuntungan saya. Tentunya tidak lepas dari pertolongan Allah SWT.
Kembali ke pokok pembahasan. Usai menikmati santap malam, proses belajar pun dimulai. Seperti biasa, tulisan salah seorang peserta pun menjadi objek evaluasi. Kali ini yang menjadi sasaran adalah Abdul Aziz. Dalam proses belajar itu, tidak banyak yang bisa menarik perhatian kami. Karena, pembahasan tidak banyak perubahan.
Tapi beberapa saat setelah tulisan itu habis dikupas. Mulailah suasana berubah, karena para peserta mulai mengajukan pertanyaan ataupun uneg-uneg kepada Arianto sang pembimbing. Di antara peserta yang paling menarik perhatian saya adalah ulasan pengalaman Abdul Aziz pria asal Berau Post itu.
Saat itu, dia menceritakan pengalaman kocak dirinya selama bertugas di Berau. Dia menceritakan, dalam bertugas di DPRD, dia memiliki rekan sesama wartawan namun berbeda media. Kata dia, wartawan yang juga pria itu, memiliki kebiasaan buruk. Yakni kebiasaan berpangku tangan ke pada si Aziz—sapaan akrabnya. Tepatnya, si wartawan itu gemar meminta hasil wawancara Aziz tapi enggan melakukan wawancara.
“Jadi si wartawan ini, sama-sama di DPRD liputannya. Tapi saat sidang, dia malah tidur. Sementara saya yang menunggu sidang sampai akhir, dan melakukan wawancara langsung dengan narasumber. Tapi, waktu saya sudah selesai, dan mulai mengetik berita di kantor. Wartawan ini pasti menelfon saya dan minta berita yang sudah saya tulis,” jelas Asiz mengenang masa lalunya.
Kata Asiz, kejadia itu bukan sekali dua-kali itu saja terjadi. Melainkan hampir tiap hari dia diteror dan diminta memberikan berita yang sudah dengan susah payah dia himpun dan tuliskan. Bahkan, setelah dia mengamati, apa yang terbit di koran wartawan itu, tidak berbeda sama sekali dengan apa yang dia tuliskan.
Kendati hal itu terus menerus terjadi. Dia pun mulai gerah dan mulai naik pitam. Karena, dia merasa pria itu sudah makin kelewatan. Hingga akhirnya muncul niat jahilnya untuk mengerjai pria itu.
Caranya, ketika pria tadi kembali meminta berita yang sudah dia tuliskan. Dia pun merubah tulisan yang dibuat untuk media tempat dia bekerja, dengan tulisan yang dia berikan ke wartawan itu. Bahkan, di salah satu kalimatnya, dia menambahkan kalimat yang tidak laik termuat di media cetak.
“Jadi di tulisan yang saya kasih ke wartawan itu, saya tuliskan, ‘ujarnya sambil menggaruk pantat’. Nah, belakangan saya dengar, ternyata apa yang saya tuliskan itu tidak dicek ulang. Otomatis langsung diterima Redakturnya. Makanya, dia langsung dimarahin. Bahkan saya denger hampir saja dipecat gara-gara ulahnya yang suka menjiplak berita orang lain,” kenangnya.
Sejak kejadian itu, sambung Asiz, sang wartawan tidak pernah lagi meminta berita ke pada dia. Kemungkinan takut kejadian memalukan itu terjadi lagi. “Jadi sejak saat itu, dia enggak pernah lagi hubungi saya. Mungkin  takut saya kerjai lagi kali,” ujarnya sembari tertawa lantas disambut riuh tawa peserta lain.
Yah, seperti inilah yang terjadi dalam proses belajar kami selama menjalani proses peningkatan kapasitas diri di Jakarta. Tidak berlangsung tegang dan berjalan santai. Tapi yang pasti membuka wawasan para wartawan, redaktur dan para kepala biro di media masing-masing yang menjadi peserta. Terkhusus saya yang mewakili Bontang Post, dengan usia termuda di antara 5 wartawan dari media berbeda.
Saya rasa cukup sekian yang saya bisa tuliskan kali ini. Kantuk sudah semakin beringas menyerang saya. Maklum sejak pulang dari evaluasi berita sekira pukul 3.00 WIB tadi, saya belum pernah tidur guna menyelesaikan tulisan saya, hingga jam di notebook saya menunjukkan pukul 6.40 WIB. Tapi itu semua saya lakukan demi mengabadikan momen berharga yang tidak akan pernah bisa terulang. Yah, sekian dan terima kasih, sampai jumpa di tulisan saya selanjutnya. (***)