Selasa, 24 September 2013

Blank Hole

Masih Tajamkah Taring Sang Idealis ?
 

Bukan hanya wartawan amplop yang ada di Indonesia, ada pula wartawan bodrex, wartawan pispot, dan wartawan kloning. Najib Ayub Yasser, anggota Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) dalam seminar bertema Tantangan Idealisme Dan Profesionalisme Jurnalis Masa Kini, menjelaskan, wartawan bodrex adalah wartawan yang tidak memiliki media dan menggunakan beritanya untuk memeras narasumber atau hanya untuk mencari jatah amplop saja.
Sementara itu, wartawan pispot adalah wartawan yang tidak bertindak secara profesional. Wartawan pispot mencari berita tapi tidak mempersiapkan bahan wawancaranya. “Wartawan yang hanya ikut-ikutan merekam pembicaraan narasumber, tinggal nodong dan mengikuti alur wartawan lain,” tambah Najib. Ada pula, wartawan kloning yaitu wartawan yang menjiplak berita orang lain.
“Dikasih atau meminta amplop itu sama saja, karena pasti akan menganggu independensi kita sebagai jurnalis. Tidak mungkin kita bersikap netral dan independen jika kita sudah menerima amplop, sekalipun dalam hati,” ujar Najib.
Ia pun mengatakan, idealisme jurnalis saat ini sedang digoyangkan oleh berbagai macam jenis amplop. Amplop yang diberikan bukan hanya dalam bentuk uang saja, tapi juga dalam bentuk tiket pulang kampung, paket liburan gratis, bingkisan, souvenir, cinderamata, uang transportasi, makan, dan sebagainya.
Berbagai macam jenis amplop ini, tambah Najib, terkadang membuat para wartawan terkecoh dan sulit membedakan mana yang murni pemberian, mana yang berupa sogokan. Namun, satu hal yang perlu dicatat, hakikat amplop sendiri merupakan segala pemberian dari pihak lain atau narasumber yang dapat mempengaruhi independensi wartawan dalam pemberitaan.
Ahmad Baidowi, wartawan SINDO, juga berbicara tentang tantangan idealisme jurnalis saat ini yang berbeda dari masa Orde Baru. “Dulu yang menghalangi idealisme wartawan adalah teror dari penguasa dan aparat, tapi sekarang yang menggoyangkannya adalah intervensi pihak lain demi kepentingan pribadi,” ungkapnya.
Konglomerasi dan Idealisme Media --
Wahyu Dhyatmika, anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menjelaskan, salah satu faktor penyebab goyahnya idealisme jurnalis adalah konglomerasi media. Ketika idealisme media tersebut mengintervensi ruang redaksi, maka hal itu juga akan membahayakan idealisme sebagai jurnalis independen.
Najib juga menimpali, jika idealisme media memangkas idealisme jurnalis, maka jurnalis akan menyensor beritanya sendiri agar sejalan dengan idealisme media tersebut. Masyarakat akan kehilangan haknya untuk menerima pemberitaan yang berdasarkan fakta. “Fakta harus diungkap secara nyata pada publik. Jika tidak, maka kitalah (wartawan) yang berkhianat pada publik,” ujar Najib tegas.
Kesejahteraan Wartawan---
Selain konglomerasi media, faktor kesejahteraan juga menjadi salah satu alasan wartawan meninggalkan idealismenya. Banyak media yang tidak menyuplai wartawannya dengan fasilitas yang layak.
Beberapa media lokal di sejumlah kota yang tidak memenuhi kesejahteraan wartawannya, sehingga banyak di antara mereka yang beralih menjadi wartawan bodrex. “Sampai-sampai para wartawan tersebut mempertanyakan kesejahteraannya sendiri,” ujar Najib.
Najib mengatakan, bagaimanapun juga, wartawan membutuhkan fasilitas seperti alat transportasi dan akomodasi saat bertugas. Jika tidak dipenuhi perusahaan, mungkin saja wartawan akan mudah menerima amplop dari pihak lain. Dengan begitu, isi pemberitaan wartawan tersebut akan mudah berubah dan hilanglah independensinya.
Kesadaran Pribadi Wartawan--
Di samping dua faktor di atas, faktor kesadaran dari wartawan juga sangat penting. “Menjaga idealisme dan independensi bukanlah hal mudah,” imbuh Najib.
Menurutnya, setiap jurnalis harus dapat membedakan antara realitas dan bersikap realistis. Jika sudah tidak dapat memegang teguh independensinya sebagai jurnalis, sebaiknya lepaskan saja profesinya.
“Pekerjaan sebagai jurnalis ini terlalu suci untuk dinodai dengan hal seperti itu, karena kita bekerja untuk rakyat,” ujar Wahyu tegas. Ia juga menambahkan, masalah mendasar ini terletak pada konsistensi jurnalis sendiri.
Bagi Wahyu, idealisme jurnalis adalah melaksanakan tugas sesuai dengan kode etik. “Prinsip dasarnya adalah menyampaikan kebenaran, bersikap independen, dan meminimalisir dampak buruk dari pemberitaan yang dibuat,” jelas Wahyu.
Untuk mempertahankan idealisme dan independensi jurnalis, Najib berpendapat, wartawan harus menjadikan profesi jurnalis menjadi pilihan utama, menjaga idealisme segigih mungkin, dan tak sekedar mencari uang , namun juga mengedepankan nilai pengabdian pada publik. Ketika seorang wartawan kehilangan independensinya, maka hancurlah nilai-nilai profesionalisme dan kebanggaannya sebagai jurnalis. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar