Pengembara itu bernama “Kak Syafril”
Pemikiran ku kembali menyelami setiap pergerakan dari kejadian-kejadian
pada waktu reuni Akbar Muallimin kemaran tanggal 2 Juli. Seperti biasa
kerinduanku akan suasana Muallimin serta paradigmaku tentang Muallimin
masih utuh seperti pada awal lulus tahun 2006. Setelah mengikuti acara
reuni yang bagiku sangat fenomenal,
karena hal ini telah kami (angkatan 80) rencanakan sejak tahun 2006.
Alhamdulillah dapat bertemu dengan teman-teman, kakak kelas, adik kelas
dan para guru. Namun, sempat muncul sedikit kekecewaan yang kutuliskan
dalam sebuah catatan dengan judul “Reuni yang dinanti (Mualliminku)”.
Catatan itu berisi kekecewaan terhadap reuni sebuah sekolah kader
Muhammadiyah, yang seharusnya selain menampilkan kesan nyaman dan santai
juga perlu perumusan kembali kiprah sekolah kader ini. Namun, hari ini
setelah aku membaca sebuah Karya Hebat sebuah novel karangan Syafril
Teha Noer, seorang alumni Muallimin yang telah mengembara mencari alam
sendiri,hingga mencapai titik kulminasi kehidupannya sebagai Wakil
Pimred Kaltim Post. Hebatnya pendidikan yang diberikan di muallimin
masih terkenang dan mempengaruhi pengembaraannya. Novel ini sedikit
mengubah pandanganku tentang apa itu Muallimin,.,
Novel ini
bertutur mengenai perjalanan hidup seorang anak minang yang tidak pernah
besar di minang, masa kecilnya dihabiskan di Jakarta, lalu masa remaja
di habiskan 6 tahun di Muallimin, selebihnya antara Jakarta-Jogja-
Samarinda, yang terakhir dia mengahabiskan lebih dari 20 tahun di
Samarinda. Syafril Teha Noer (STN) berada di sebuah keluarga Minang yang
tinggal di jakarta, layaknya orang Minang pada waktu itu, tradisi
persaudaraannya masih kental, tolong menolong antar keluarga merupakan
hal biasa, ada keluarga yang sukses membantu keluarga yang kurang
beruntung. STN termasuk dalam keluarga yang kurang beruntung itu,
keputusannya untuk sekolah di Madrasah Muallimin ini berdasarkan
keputusan kakenya seorang aktivis Muhammadiyah.
Setibanya di
Muallimin STN merasa beruntung, karena kehidupan di Muallimin lebih
nyaman daripada kehidupan berat yang dia lalui selama di Jakarta. Di
Muallimin ini dia berproses menjadi seorang remaja menuju kedewasaan
nilai-nilai yang ditanamkan di Muallimin dia serap setiap hari, terutama
oleh Guru Favoritnya, Pak Mawardi (direktur Muallimin 1972-1977an).
Kesederhanaan, ketegasan serta kharisma yang terpancar darinya akan
mewarnai kehidupan STN berikutnya. Kenakalan siswa Muallimin digambarkan
secara jelas oleh STN, bagaimana melewati pintu gerbang, mengambil
rambutan tetangga, mengambil ikan madrasah, bolos, hingga sikap
pemberontak kepada sistem. Dikisahkan bahwa STN sangat menyukai teater,
hobinya ini membawa dia bergumul dengan komunitas teater saat itu,
hingga suatu saat STN dikecewakan oleh Pak Mawardi (tokoh idolanya)
karena tidak boleh berlatih teater padahal sebelumnya sudah diizinkan.
Rasa jengkel itu dia ekspresikan dengan tidak masuk kelas alias bolos
selama beberapa hari. Hingga dipanggil oleh Pak Mawardi, namun
kesempatan itu justru digunakan STN untuk mengungkapkan isi hatinya
sambil terisak karena tangisan, dan berakhir dengan pernyataan maaf Pak
Mawardi (suatu hal yang diluar dugaan STN).
Di Muallimin STN
diajarkan untuk menjadi pemimpin yang bertanggungjawab. “Kemanapun kau
pergi jadilah pemimpin”ujar Pak Mawardi. Berbicara terus terang dan
terbuka merupakan didikan dari Pak Mawardi, selain itu sikap ksatria
ditunjukan dengan menahan amarah sewaktu disakiti, hal ini digambarkan
sewaktu Muallimin diserang oleh orang-orang yang tak dikenal hingga
banyak yang terluka. Namun begitu se-Batalyon pasukan Muallimin siap
menyerang ternyata Pak Mawardi bersikap lain, beliau menganggap ini
hanya latihan. Dicerita ini juga dikisahkan bagaimana keterbukaan
wawasan seorang Syafii Ma’arif, kebaikan Pak Zamzuri Umar, serta
guru-guru yang lain.
Jiwanya menuntun STN menapaki jalan
seniman, hal ini sempat diragukan oleh keluarga, karena sebenarnya
keluarganya mengingingkan STN menjadi seorang Guru di Bengkulu. Dengan
pendirian yang kokoh STN akhirnya dibiarkan menjadi seorang seniman.
Pergulatan menjadi seorang seniman pun dimulai, dengan bekal menjadi
anggota teater di Jogja, STN berkelana di Taman Ismail Marzuki, karena
tidak mendapat tempat sebagai seorang seniman dia hijrah kembali ke
Jogja. Setelah mendapat bekal di jogja bersama komunitas Bengkel Teater
kemudian pencarian terus berlanjut ke Jakarta. Setelah di Jakarta STN
mengembara ke samarinda menuruti undangan seorang kawan untuk mengajar
teater disana. Samarinda memberinya lahan yang sangat luas, STN mampu
mengembangkan bakat teater yang dimiliki, dia mempunyai banyak murid
serta sering mengadakan pertunjukan. Disaat ini lah dia mulai gelisah,
karena di Samarinda dia merasa tidak menemukan saingan, maka dia merasa
bodoh dan memulai pengembaraannya ke Jakarta untuk berguru kepada Teguh
Karya. Perjuangan untuk berguru kepada Teguh Karya ini dijalani selam
tiga tahun, karena setiap tahun dia berkunjung dia selalu ditolak,
akhirnya pada tahun ke tiga dia diterima oleh Teguh Karya. Pengalaman
teaternya semakin banyak dan semakin menanjak, namun kegelisahan pun
ikut menyetainya. Hingga dia menikah sekitar usia 32 Tahun, lalu
menanjaki karir di samarinda.
Setelah lama meninggalkan
muallimin, dan larut dalam kehidupan kesehariannya sebagai seniman
sekaligus wartawan STN diingatkan oleh seorang kawan untuk mengikuti
reuni akbar. Disinilah STN kembali mengingat apa yang dulu diajarkan di
Muallimin. STN merasa resah dengan kehidupannya saat ini yang telah
jauh dari aroma religiusitas yang ia peroleh di Muallimin. Kehidupannya
telah menjauh dari episentrum kehidupan, episentrum alam raya. Apa yang
diperoleh selama ini baru pada tahap sisi perjuangan seorang manusia
belum memasuki ranah transenden yang lebih mendalam. Saat ini pun STN
sedang menuju jalan akhir dan berlabuh untuk selamanya.
Novel
ini menurutku sangat menarik karena dibuat secara faktual. Novel ini
beredar pada tanggal 2 Juli 2010, padahal didalam cerita sudah
diceritakan apa yang terjadi pada tanggal 2 Juli 2010. STN mencoba
berimajinasi dengan memori-memori yang masih tersimpan tentang kegiatan
yang sangat fenomenal baginya yakni “Reuni Akbar”. Belum lagi ulasan
yang disampaikan Cak Nun begitu menggoda untuk direnungkan, pertanyaan
Cak Nun untuk STN “Mana Rimbamu mana Rumahmu?” seolah menegaskan
perjalanan pencarian yang dilakukan oleh STN dan barangkali sekaligus
menjawab pertanyaan yang sempat diutarakan STN kepada cak nun “Cak
Keinginanku sekarang hanya satu: bisa shalat dengan rutin. Bisa chatting
dengan Allah” yang pada waktu itu tidak dijawab Cak Nun.
Inilah salah satu sosok alumni yang masih bangga denga keMualliminannya
serta masih mengingat apa yang telah diberikan di Muallimin. Meskipun
STN sendiri mengakui bahwa Muallimin adalah Sekolah Kader Muhammadiyah,
dia sangat paham dengan tujuan dari sekolah ini. Namun, jiwanya berkata
lain, dirinya sangat ingin menjadi aktivis Muhammadiyah, menjadi Guru
dan mengabdi namun dalam bentuk lain, yaitu sebagai seniman. Baginya
“Tak semua ikan berenang di semua jenis air. Tak Semua burung terbang di
semua lapis langit”, bukankah memang begitu..?. Jadi kader Muallimin
tidak harus aktif di organisasi Muhammadiyah, namun kemanapun perginya
tetap membawa spirit perjuangan hidup, keberanian dan tanggungjawab. Dan
kemanapun perginya kembali juga ke Muhammadiyah (ini ditunjukan oleh
STN dengan masih berhubungan dengan persyarikatan meskipun tidak aktif).
Selain itu STN juga telah berkiprah menunjukan pertanggungjawabannya
atas pilihan sebagai seniman, yaitu memberikan kiprahnya secara maksimal
di bidang teater. Semoga Sukses selalu Kak Syafril,,,salam dari adinda
jauhmu ini…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar