Selasa, 24 September 2013

Black Hole

Pengembara itu bernama “Kak Syafril”

Pemikiran ku kembali menyelami setiap pergerakan dari kejadian-kejadian pada waktu reuni Akbar Muallimin kemaran tanggal 2 Juli. Seperti biasa kerinduanku akan suasana Muallimin serta paradigmaku tentang Muallimin masih utuh seperti pada awal lulus tahun 2006. Setelah mengikuti acara reuni yang bagiku sangat fenomenal, karena hal ini telah kami (angkatan 80) rencanakan sejak tahun 2006. Alhamdulillah dapat bertemu dengan teman-teman, kakak kelas, adik kelas dan para guru. Namun, sempat muncul sedikit kekecewaan yang kutuliskan dalam sebuah catatan dengan judul “Reuni yang dinanti (Mualliminku)”. Catatan itu berisi kekecewaan terhadap reuni sebuah sekolah kader Muhammadiyah, yang seharusnya selain menampilkan kesan nyaman dan santai juga perlu perumusan kembali kiprah sekolah kader ini. Namun, hari ini setelah aku membaca sebuah Karya Hebat sebuah novel karangan Syafril Teha Noer, seorang alumni Muallimin yang telah mengembara mencari alam sendiri,hingga mencapai titik kulminasi kehidupannya sebagai Wakil Pimred Kaltim Post. Hebatnya pendidikan yang diberikan di muallimin masih terkenang dan mempengaruhi pengembaraannya. Novel ini sedikit mengubah pandanganku tentang apa itu Muallimin,.,

Novel ini bertutur mengenai perjalanan hidup seorang anak minang yang tidak pernah besar di minang, masa kecilnya dihabiskan di Jakarta, lalu masa remaja di habiskan 6 tahun di Muallimin, selebihnya antara Jakarta-Jogja- Samarinda, yang terakhir dia mengahabiskan lebih dari 20 tahun di Samarinda. Syafril Teha Noer (STN) berada di sebuah keluarga Minang yang tinggal di jakarta, layaknya orang Minang pada waktu itu, tradisi persaudaraannya masih kental, tolong menolong antar keluarga merupakan hal biasa, ada keluarga yang sukses membantu keluarga yang kurang beruntung. STN termasuk dalam keluarga yang kurang beruntung itu, keputusannya untuk sekolah di Madrasah Muallimin ini berdasarkan keputusan kakenya seorang aktivis Muhammadiyah.

Setibanya di Muallimin STN merasa beruntung, karena kehidupan di Muallimin lebih nyaman daripada kehidupan berat yang dia lalui selama di Jakarta. Di Muallimin ini dia berproses menjadi seorang remaja menuju kedewasaan nilai-nilai yang ditanamkan di Muallimin dia serap setiap hari, terutama oleh Guru Favoritnya, Pak Mawardi (direktur Muallimin 1972-1977an). Kesederhanaan, ketegasan serta kharisma yang terpancar darinya akan mewarnai kehidupan STN berikutnya. Kenakalan siswa Muallimin digambarkan secara jelas oleh STN, bagaimana melewati pintu gerbang, mengambil rambutan tetangga, mengambil ikan madrasah, bolos, hingga sikap pemberontak kepada sistem. Dikisahkan bahwa STN sangat menyukai teater, hobinya ini membawa dia bergumul dengan komunitas teater saat itu, hingga suatu saat STN dikecewakan oleh Pak Mawardi (tokoh idolanya) karena tidak boleh berlatih teater padahal sebelumnya sudah diizinkan. Rasa jengkel itu dia ekspresikan dengan tidak masuk kelas alias bolos selama beberapa hari. Hingga dipanggil oleh Pak Mawardi, namun kesempatan itu justru digunakan STN untuk mengungkapkan isi hatinya sambil terisak karena tangisan, dan berakhir dengan pernyataan maaf Pak Mawardi (suatu hal yang diluar dugaan STN).

Di Muallimin STN diajarkan untuk menjadi pemimpin yang bertanggungjawab. “Kemanapun kau pergi jadilah pemimpin”ujar Pak Mawardi. Berbicara terus terang dan terbuka merupakan didikan dari Pak Mawardi, selain itu sikap ksatria ditunjukan dengan menahan amarah sewaktu disakiti, hal ini digambarkan sewaktu Muallimin diserang oleh orang-orang yang tak dikenal hingga banyak yang terluka. Namun begitu se-Batalyon pasukan Muallimin siap menyerang ternyata Pak Mawardi bersikap lain, beliau menganggap ini hanya latihan. Dicerita ini juga dikisahkan bagaimana keterbukaan wawasan seorang Syafii Ma’arif, kebaikan Pak Zamzuri Umar, serta guru-guru yang lain.

Jiwanya menuntun STN menapaki jalan seniman, hal ini sempat diragukan oleh keluarga, karena sebenarnya keluarganya mengingingkan STN menjadi seorang Guru di Bengkulu. Dengan pendirian yang kokoh STN akhirnya dibiarkan menjadi seorang seniman. Pergulatan menjadi seorang seniman pun dimulai, dengan bekal menjadi anggota teater di Jogja, STN berkelana di Taman Ismail Marzuki, karena tidak mendapat tempat sebagai seorang seniman dia hijrah kembali ke Jogja. Setelah mendapat bekal di jogja bersama komunitas Bengkel Teater kemudian pencarian terus berlanjut ke Jakarta. Setelah di Jakarta STN mengembara ke samarinda menuruti undangan seorang kawan untuk mengajar teater disana. Samarinda memberinya lahan yang sangat luas, STN mampu mengembangkan bakat teater yang dimiliki, dia mempunyai banyak murid serta sering mengadakan pertunjukan. Disaat ini lah dia mulai gelisah, karena di Samarinda dia merasa tidak menemukan saingan, maka dia merasa bodoh dan memulai pengembaraannya ke Jakarta untuk berguru kepada Teguh Karya. Perjuangan untuk berguru kepada Teguh Karya ini dijalani selam tiga tahun, karena setiap tahun dia berkunjung dia selalu ditolak, akhirnya pada tahun ke tiga dia diterima oleh Teguh Karya. Pengalaman teaternya semakin banyak dan semakin menanjak, namun kegelisahan pun ikut menyetainya. Hingga dia menikah sekitar usia 32 Tahun, lalu menanjaki karir di samarinda.

Setelah lama meninggalkan muallimin, dan larut dalam kehidupan kesehariannya sebagai seniman sekaligus wartawan STN diingatkan oleh seorang kawan untuk mengikuti reuni akbar. Disinilah STN kembali mengingat apa yang dulu diajarkan di Muallimin. STN merasa resah dengan kehidupannya saat ini yang telah jauh dari aroma religiusitas yang ia peroleh di Muallimin. Kehidupannya telah menjauh dari episentrum kehidupan, episentrum alam raya. Apa yang diperoleh selama ini baru pada tahap sisi perjuangan seorang manusia belum memasuki ranah transenden yang lebih mendalam. Saat ini pun STN sedang menuju jalan akhir dan berlabuh untuk selamanya.

Novel ini menurutku sangat menarik karena dibuat secara faktual. Novel ini beredar pada tanggal 2 Juli 2010, padahal didalam cerita sudah diceritakan apa yang terjadi pada tanggal 2 Juli 2010. STN mencoba berimajinasi dengan memori-memori yang masih tersimpan tentang kegiatan yang sangat fenomenal baginya yakni “Reuni Akbar”. Belum lagi ulasan yang disampaikan Cak Nun begitu menggoda untuk direnungkan, pertanyaan Cak Nun untuk STN “Mana Rimbamu mana Rumahmu?” seolah menegaskan perjalanan pencarian yang dilakukan oleh STN dan barangkali sekaligus menjawab pertanyaan yang sempat diutarakan STN kepada cak nun “Cak Keinginanku sekarang hanya satu: bisa shalat dengan rutin. Bisa chatting dengan Allah” yang pada waktu itu tidak dijawab Cak Nun.

Inilah salah satu sosok alumni yang masih bangga denga keMualliminannya serta masih mengingat apa yang telah diberikan di Muallimin. Meskipun STN sendiri mengakui bahwa Muallimin adalah Sekolah Kader Muhammadiyah, dia sangat paham dengan tujuan dari sekolah ini. Namun, jiwanya berkata lain, dirinya sangat ingin menjadi aktivis Muhammadiyah, menjadi Guru dan mengabdi namun dalam bentuk lain, yaitu sebagai seniman. Baginya “Tak semua ikan berenang di semua jenis air. Tak Semua burung terbang di semua lapis langit”, bukankah memang begitu..?. Jadi kader Muallimin tidak harus aktif di organisasi Muhammadiyah, namun kemanapun perginya tetap membawa spirit perjuangan hidup, keberanian dan tanggungjawab. Dan kemanapun perginya kembali juga ke Muhammadiyah (ini ditunjukan oleh STN dengan masih berhubungan dengan persyarikatan meskipun tidak aktif). Selain itu STN juga telah berkiprah menunjukan pertanggungjawabannya atas pilihan sebagai seniman, yaitu memberikan kiprahnya secara maksimal di bidang teater. Semoga Sukses selalu Kak Syafril,,,salam dari adinda jauhmu ini…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar