Jakarta VS Bontang--
Cerminan Kota Padat Penduduk----
Kepadatan penduduk tak hanya berdampak
negatif. Tapi juga berdampak positif. Contohnya
saja, dialami juru angkutan kota (Angkot) di Jakarta. Mereka mampu hidup
lantaran kepadatan penduduk. Berbeda dengan Kota Bontang. Sopir angkot sibuk
mengeluhkan minimnya penumpang akibat tergerus kendaraan pribadi karena
penduduknya masih sedikit.
IMRAN IBNU, Jakarta
Di Jakarta, jelas berbeda dengan Kota Bontang
tempat media Bontang Post tinggal. Di kota tersebut, para supir tetap mampu
mengepulkan asap dapur dari penghasilan narik penumpang di kesehariannya. Meskipun
tarif per penumpang di Jakarta dengan Bontang berbeda dua kali lipat. Yakni Rp
3 ribu per penumpang, sementara di Bontang Rp 6 ribu per penumpang. Namun,
kuantitas penumpang di Jakarta lebih besar dari Bontang.
Cara mereka (angkot Jakarta) menjajakan jasa
pun terbilang unik. Besarnya jumlah penduduk di kota itu, menyebabkan profesi
sebagai tukang angkot diminati. Tak ayal, untuk memperoleh penumpang, butuh
kreatifitas tinggi dan keahlian khusus yang tidak ditemukan di Bontang.
Kreatifitas
dimaksud di antaranya, cara mereka memperoleh penumpang. Pantauan media ini,
dalam bekerja, mereka tidak bergerak sendiri.
Melainkan memanfaatkan juru parkir ketika mereka bertandang di salah
satu pusat keramaian, seperti mall. Cara kerjanya, setelah kesepakatan
pembagian laba dari bayaran penumpang diperoleh. Jukirlah yang menjajakan jasa angkot.
Sambil memarikir dan membantu kendaraan lain
keluar dari pelataran, sang jukir dengan cermat mengamati pengunjung pusat
keramaian yang melalui pelataran parkir. Lantas menawarkan menggunakan jasa
angkot tersebut. Nah, ketika sang
jukir mampu membuat angkot sang supir penuh. Bayaran pun diberikan sesuai jumlah
penumpang telah direkomendasikan jukir.
Masih mengulik perbedaan Jakarta dengan
Bontang. Hal menyolok tampak oleh media ini. Yakni keberadaan pengatur lalu
lintas oleh warga sipil. Area kerjanya pun tidak terbatas. Baik di jalan utama,
maupun di gang-gang kecil. Area kerja di jalan utama, terletak di lokasi
perputaran oleh kendaraan. Untuk petugas di gang kecil. Tepat di jalan masuk
gang, atau tikungan gang sempit yang berpotensi menyebabkan tabrakan jika tidak
diberia petunjuk waktu tepat melintas.
Sementara, saat ditanyakan apa imbalan sang
pengatur lalu lintas dadakan tersebut dari pengendara. Mereka menyebut alakadarnya alias seikhlasnya. Artinya,
kembali pada pribadi pengendara masing-masing. Jika mereka berhati mulia
memberikan pundi rupiah ke pengatur lalu lintas, akan lebih baik. Namun,
ketika dapat pengendara acuh dan berhati
batu. Hanya peluh dan keringat yang mereka dapatkan.
Padahal,
jika ditilik perjuangan dan resiko mereka ambil lewat profesi itu, jelas tidak
sesuai. Pasalnya, selain nyawa terancam suatu saat tertabrak pengendara, caci
dan maki pun kerap mereka peroleh saat bertugas. Meski demikian, cara tersebut
tetap mereka tempuh agar bisa hidup di tengah kerasnya hidup di Jakarta.
Tak sampai disitu pantauan media ini. Gembel
dan pengemis (gepeng) di kota tersebut tak terbendung. Keberadaan mereka
tersebar di seluruh sudut kota. Mulai dari jalan raya, kolong jembatan, hingga pusat
keramaian. Cara mereka mencari rupiah pun beragam. Ada yang gamen bersenjatakan alat musik seperti gitar,
krecekan, dan genderang dan alat
musik alakadar lain.
Ada pula pengamen bergerak sendiri, dan
bernyanyi penghampiri kendaraan terhenti di lampu merah atau di pusat keramaian
lain. Sementara, bagi pengemis, cara mereka mencari rupiah dengan menonjolkan
kekurangan mereka masing-masing. Pantauan media ini, kekurangan yang diobral seperti
kecacatan di salah satu organ tubuh mereka. Meskipun tragis, bagi mereka tak ada
pilihan lain bisa dilakukan agar tetap hidup.
Kondisi-kondisi di atas adalah sebagian kecil
gambaran kerasnya hidup di Jakarta. Yang belum sampai di Bontang tempat media ini
tinggal. Namun, dia yakin, beberapa tahun kemudian, pasti akan terjadi,
lantaran faktor penarik pendatang di Bontang cukup besar. Mulai dari fasilitas
pendidikan, kesehatan yang rata-rata gratis, hingga lapangan kerja masih
terbuka luas. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar