Minggu, 29 September 2013

Black Hole




Perjalanan menyebalkan dan Menyenangkan

Menuju Kantor Media INDOPOS, JPNN dan Lampu Hijau  

Kemacetan di Jakarta membuat gerah. Betapa tidak, untuk menggulirkan ban angkot yang kukendarai, waktu dibutuhkan tidak kurang dari 5 hingga 7 menit. Hal itu jelas berbeda dengan Kota Bontang tempat penulis berasal. Hanya merasakan macet di hari besar seperti lebaran idulfitri atau hari besar lain.

IMRAN IBNU, Jakarta

Awal penulis tiba di Jakarta demi mendalami dunia jurnalistik di kantor media cetak terbesar di Indonesia Jawa Pos (JPNN) dan INDOPOS Jakarta Pusat. Tak banyak dipikirkan kecuali bagaimana menjalankan tugas mencari berita di kota metropolitan tersebut. Pasalnya, terlampau banyak jalan asing di mata penulis.  Bahkan, meski dia tinggal selama 3 bulan sesuai waktu tugas, penulis ragu bisa menguasai sejumlah nama dan alur jalan kota tersebut.
Tepat pukul 17.30 WIB, penulis bersama 2 rekan masing-masing dari Kaltim Post Samarinda dan Kaltim Post Balikpapan turun dari pesawat Batik Air di Bandara Soekarno Hatta Jakarta. Rencananya, penulis bersama rekan menuju ke Kantor INDOPOS satu atap dengan JPNN (pembina Bontang Post). Untuk informasi,  kedua rekan penulis masing-masing pria yang matang di dunia jurnalis. Bahkan waktu ditempuh keduanya tidak kurang dari 4 tahun sebagai kuli tinta. Berbeda dengan penulis itu sendiri. Masa bakitnya sebagai jurnalis baru 8 bulan. Tak ayal, rasa minder kerap menyelimuti. Namun,demi mencapai peningkatan kapasitas diri, dia tetap berjuang. Bertekat lakukan terbaik menjalani proses belajar itu.
Lepas dari bandara, penulis dan rekan mulai mencari travel menuju tempat tujuan. Sebelum ditanyakan, tawaran kendaraan pun berdatangan dari para calo maupun supir taksi yang standby di bandara. Hanya saja, tidak diindahkan lantaran tarif diterapkan terlalu tinggi. “Saya tidak tahu berapa tarif taksi dan travel-nya. Karena yang ngurus rekan saya dari Kaltim Post. Tapi menurut keduanya, harga ditawarkan terlampau mahal untuk kelas kami bertiga,” kata penulis.
Beberapa lama mencari kendaraan tepat. Tiba-tiba, sesorang pria berumur sekira 36 hingga 38 tahun berperawakan tenang dan menyenangkan menghampiri rombongan. Usut punya usut, dia adalah anggota DPRD Samarinda kebetulan akrab dengan rekan penulis asal Kaltim Post Samarinda.  Nah, dari pria itulah, penulis bersama kedua rekannya menuju tempat tujuan menggunakan travel pesananan bermerek Avanza warna hitam.
Selama perjalanan, pemadangan unik, menarik sekaligus mengesalkan dirasakan penulis. Betapa tidak, arus jalan dilalui kendaraan terlampau sesak untuk ukuran penduduk Bontang atau kota kecil lain. Yang hanya merasakan macet di hari-hari besar, seperti lebaran.
Kondisi jalan padat itu pula yang akhirnya menuntut sang supir mengangkut kami, beberapa kali melanggar aturan berlalu lintas. Salah satunya, melintasi trotoar pemisah jalan dengan ketinggian beberapa sentimeter. Akibat tidak tindakan itu, tak terhindar lagi, beberapa kali caci dan maki dilontarkan pengendara lain nyaris tertabrak. Namun ditanggapi tenang oleh sang supir.  Bagi penulis, tindakan itu jelas salah. Namun, bagi mereka yang lama tinggal di Jakarta. Itu hal lumrah dan dianggap wajar.
“Kalau di Jakarta, memang harus seperti ini.  Kalau mau berkendara sesuai prosedur, siap-siap aja terjebak macet. Tak hanya itu, siap-siap saja disalip pengendara lain,” kata sang supir pada rombongan.
Seperti diketahui, kemacetan di Jakarta lantaran padat penduduk yang rata-rata memliki kendaraan pribadi. Tak ayal, meskipun berbagai jalan alternatif telah dibangun pemerintah. Macet tetap tak terhindar. Padahal, di Jakarta keberadaan angkutan umum seperti busway, taksi, angkot hingga bajai tetap dimanfaatkan. Namun, tidak merubah apapun. Meski demikian, bisa dibayangkan, bagaimana jika tidak ada busway atau bajai di tengah hingar bingar kota metropolitan itu. Bisa jadi, aktifitas penduduk kota itu macet total.
Setelah menempuh jarak beberapa kilometer dari bandara selama kurang lebih 4 jam hingga menunjukan pukul 21. 00 WIB. Penulis akhirnya tiba di gedung INDOPOS yang tampak menjulang tinggi. Diperkirakan memililiki ratusan lantai. Di dalam gedung itu, juga ada kantor media JPNN serta koran Lampu Hijau (eks Lampu Merah). Yang masing-masing menjadi obsesi penulis membaca langsung berita ditulis para profesional jurnalis. (***)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar