Perjalanan
menyebalkan dan Menyenangkan
Menuju
Kantor Media INDOPOS, JPNN dan Lampu Hijau
Kemacetan
di Jakarta membuat gerah. Betapa tidak, untuk menggulirkan ban angkot yang
kukendarai, waktu dibutuhkan tidak kurang dari 5 hingga 7 menit. Hal itu jelas
berbeda dengan Kota Bontang tempat penulis berasal. Hanya merasakan macet di
hari besar seperti lebaran idulfitri atau hari besar lain.
IMRAN
IBNU, Jakarta
Awal
penulis tiba di Jakarta demi mendalami dunia jurnalistik di kantor media cetak
terbesar di Indonesia Jawa Pos (JPNN) dan INDOPOS Jakarta Pusat. Tak banyak
dipikirkan kecuali bagaimana menjalankan tugas mencari berita di kota
metropolitan tersebut. Pasalnya, terlampau banyak jalan asing di mata penulis. Bahkan, meski dia tinggal selama 3 bulan
sesuai waktu tugas, penulis ragu bisa menguasai sejumlah nama dan alur jalan kota
tersebut.
Tepat pukul
17.30 WIB, penulis bersama 2 rekan masing-masing dari Kaltim Post Samarinda dan
Kaltim Post Balikpapan turun dari pesawat Batik Air di Bandara Soekarno Hatta
Jakarta. Rencananya, penulis bersama rekan menuju ke Kantor INDOPOS satu atap
dengan JPNN (pembina Bontang Post). Untuk informasi, kedua rekan penulis masing-masing pria yang matang
di dunia jurnalis. Bahkan waktu ditempuh keduanya tidak kurang dari 4 tahun sebagai
kuli tinta. Berbeda dengan penulis itu sendiri. Masa bakitnya sebagai jurnalis
baru 8 bulan. Tak ayal, rasa minder kerap menyelimuti. Namun,demi mencapai
peningkatan kapasitas diri, dia tetap berjuang. Bertekat lakukan terbaik
menjalani proses belajar itu.
Lepas dari
bandara, penulis dan rekan mulai mencari travel menuju tempat tujuan. Sebelum
ditanyakan, tawaran kendaraan pun berdatangan dari para calo maupun supir taksi
yang standby di bandara. Hanya saja,
tidak diindahkan lantaran tarif diterapkan terlalu tinggi. “Saya tidak tahu
berapa tarif taksi dan travel-nya. Karena yang ngurus rekan saya dari Kaltim
Post. Tapi menurut keduanya, harga ditawarkan terlampau mahal untuk kelas kami
bertiga,” kata penulis.
Beberapa
lama mencari kendaraan tepat. Tiba-tiba, sesorang pria berumur sekira 36 hingga
38 tahun berperawakan tenang dan menyenangkan menghampiri rombongan. Usut punya
usut, dia adalah anggota DPRD Samarinda kebetulan akrab dengan rekan penulis
asal Kaltim Post Samarinda. Nah, dari pria itulah, penulis bersama
kedua rekannya menuju tempat tujuan menggunakan travel pesananan bermerek
Avanza warna hitam.
Selama
perjalanan, pemadangan unik, menarik sekaligus mengesalkan dirasakan penulis. Betapa
tidak, arus jalan dilalui kendaraan terlampau sesak untuk ukuran penduduk
Bontang atau kota kecil lain. Yang hanya merasakan macet di hari-hari besar, seperti
lebaran.
Kondisi
jalan padat itu pula yang akhirnya menuntut sang supir mengangkut kami, beberapa
kali melanggar aturan berlalu lintas. Salah satunya, melintasi trotoar pemisah
jalan dengan ketinggian beberapa sentimeter. Akibat tidak tindakan itu, tak
terhindar lagi, beberapa kali caci dan maki dilontarkan pengendara lain nyaris
tertabrak. Namun ditanggapi tenang oleh sang supir. Bagi penulis, tindakan itu jelas salah. Namun,
bagi mereka yang lama tinggal di Jakarta. Itu hal lumrah dan dianggap wajar.
“Kalau
di Jakarta, memang harus seperti ini.
Kalau mau berkendara sesuai prosedur, siap-siap aja terjebak macet. Tak
hanya itu, siap-siap saja disalip pengendara lain,” kata sang supir pada rombongan.
Seperti
diketahui, kemacetan di Jakarta lantaran padat penduduk yang rata-rata memliki
kendaraan pribadi. Tak ayal, meskipun berbagai jalan alternatif telah dibangun
pemerintah. Macet tetap tak terhindar. Padahal, di Jakarta keberadaan angkutan
umum seperti busway, taksi, angkot hingga bajai tetap dimanfaatkan. Namun,
tidak merubah apapun. Meski demikian, bisa dibayangkan, bagaimana jika tidak
ada busway atau bajai di tengah hingar bingar kota metropolitan itu. Bisa jadi,
aktifitas penduduk kota itu macet total.
Setelah
menempuh jarak beberapa kilometer dari bandara selama kurang lebih 4 jam hingga
menunjukan pukul 21. 00 WIB. Penulis akhirnya tiba di gedung INDOPOS yang
tampak menjulang tinggi. Diperkirakan memililiki ratusan lantai. Di dalam
gedung itu, juga ada kantor media JPNN serta koran Lampu Hijau (eks Lampu
Merah). Yang masing-masing menjadi obsesi penulis membaca langsung berita
ditulis para profesional jurnalis. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar