Kerasnya Hidup Bekal Masa Depan
MASA lalu, merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah
dengan masa kini dan masa depan. Bahkan, tanpa masa lalu, tidak akan ada
cerita, kenangan bahkan kesedihan. Bagi mereka yang pandai, akan mengantarkan
pemilik masa lalu pada kehidupan yang lebih baik. Berbeda, ketika masa lalu itu
dijadikan bahan meratap, biasanya akan berujung pada keterpurukan.
Begitupula sepenggal masa lalu yang sampai saat ini
masih tersimpan rapat di labirin otak saya dan tetap menjadi rahasia yang
dikemas dalam ‘Album Kehidupan’ saya. Yang sewaktu-waktu saya buka dan kenang
kembali sebagai pedoman serta bahan pembelajaran demi menyongsong hari-hari di
masa depan.
Salah satu kenangan itu, tatkala saya sekeluarga
memutuskan pindah rumah dari Desa Santan Kecamatan Marangkayu, Kutai
Kartanegara menuju ke Desa Perigi Kutai Kartanegara beberapa tahun silam.
Penyebabnya, pasca kebakaran yang menimpa kebun kelapa
sebagai sumber kehidupan yang selama ini mengepulkan asap dapur keluarga saya.
Meski tidak tinggal lama di desa itu, kenangan berisi
pahit dan manis kehidupan cukup menarik untuk dituangkan menjadi tulisan yang
sewaktu-waktu bisa menjadi pelipurlara akan kenangan masa lalu.
Kisah ini dimulai ketika kami sekeluarga yang terdiri
atas 4 manusia (Ibnu Hajar, Nurhayati, Imran Ibnu, Yuiatus Sholihah) memutuskan
melakukan perjalanan ke Desa Perigi (kediaman baru kami). Saya tidak tahu pasti
waktunya (maklum saat itu saya masih kecil). Perjalanan itu, Yuli dalam
gendongan bapak saya, sementara saya dan mama tetap berjalan menyusuri tapak
demi tapak menuju lokasi kediaman kami yang baru.
Hal menarik dalam perjalanan itu, kami harus menempuh
perjalanan yang tidak biasa. Betapa tidak, saat itu bertepatan dengan musim
penghujan. Sehingga, pada daerah tertentu dengan kontur tanah rendah, maka akan
tertendam air.
Hal itulah yang kami alami dalam menempuh perjalan ke
kediaman baru kami yang masih dikelilingi hutan belantara. Medan yang harus
kami tempuh juga tidak bisa dianggap main-main. Karena, bisa dikatakan jalan
yang kami lalui adalah jalan baru yang jarang dilalui manusia setempat.
Sehingga, begitu banyak rintangan yang mewarnai perjalanan kami. Selain
genangan air yang bersumber dari hujan maupun luapan air sungai yang berada beberapa
meter dari jalan yang kami lalui, juga diperparah semak belukar dan pepohonan
yang enggan takluk oleh genangan air yang masih betah berlama-lama mengiringi
perjalanan kami siang itu.
Bahkan, tak terelak lagi luka goresan hingga hujaman
kayu yang tak terlihat menyerang telapak kaki hingga betis saya yang memang
sengaja kubuat telanjang. Karena, hanya dengan itu, saya bisa berjalan cepat.
Sementara, alas kaki yang sebelumnya saya kenakan, justru berpindah letak
bertengger di tangan kiri saya. Agar, saya tidak tertinggal jauh dari langkah
bapak dan mama yang tampak biasa dengan medan yang kami lalui saat itu. Saya
maklum akan hal itu, karena pahit-manis kehidupan telah matang mereka kecap
jauh sebelum aku hadir di tengah-tengah mereka. Sehingga, saya yakin,
penderitaan yang saya rasakan saat itu, bukan satu hal berarti bagi mereka.
Oleh sebab itu, saya pun bertekat meneruskan perjalanan dan melupakan luka
serta goresan yang saya yakin terus mengucurkan darah segar larut terbawa
genangan air berwarna susu cokelat itu.
Rumitnya medan yang harus kami tempuh, kerap membuat
kami sesekali terperosok dalam lubang tak terlihat lantaran tertutup genangan
air. Bahkan, karena kesulitan itu pula, Yuli yang semula berada digendongan
bapak memutuskan turun dan ikut menapakkan kaki mungilnya menyertai langkah
bapak dan mama yang tampak letih menyusuri jalan yang seolah tak kunjung habis.
Meskipun langkah kami lantas mulai melunak tidak secepat tadi, karena harus
mempertimbangkan keselamatan Yuli yang jelas butuh bimbingan dan kewaspadaan
tinggi.
Saat itu, bagi siapapun yang melihat, pasti akan
dirundung kekhawatiran. Pasalnya, letak sungai berada tak jauh dengan jalur
yang kami lalui, ditambah fakta jika sungai itu dihuni puluhan Predator pemakan
daging jenis buaya. Bahkan, belakangan saya tahu, hewan berdarah dingin itu
telah melahap beberapa korban yang mengantarkannya menemui sang pencipta.
Namun, entah kenapa, tidak ada ketakutan akan hal itu pada diri saya (kalau
yang lain saya tidak tahu). Mungkin karena terlalu fokus dengan medan yang haus
saya lalui dan butuh konsentrasi tinggi agar tidak terperosok untuk kesekian
kali.
Jarak kurang lebih 12 KM kami tempuh dengan berjalan
kaki, akhirnya mengantarkan kami menuju sebuah pedesaan dengan daratan tanpa
terendam banjir.
Meskipun belum tahu bagaimana kami akan memulai
kehidupan baru di tempat asing ini, tapi saya merasa senang karena berhasil
menempuh perjalanan melelahkan dan menyiksan itu. Yang telah berhasil mencetak
luka goresan dan rasa perih menusuk-nusuk telapak kaki saya. Hal serupa pun
tampak dirasakan oleh Yuli yang ikut menyusuri tapak demi tapak menuju ke Desa
yang akan menjadi rumah baru kami selama beberapa bulan itu.
Meski menderita, tapi bukan itu yang tersimpan dan
membekas di hati kami. Melainkan, pelajaran tentang arti kehidupan dan memahami
arti sesungguhnya sebuah perjuangan. Sehingga, saat dewasa, kami akan mampu
menghargai sebuah usaha dan tidak mudah mengeluh. Karena, pengalaman adalah
guru terbaik dalam hidup ini. (Imran Ibnu, Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar