Selasa, 24 Desember 2013

Sepenggal Kisah Di Masa Lalu

Kerasnya Hidup Bekal Masa Depan

MASA lalu, merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan masa kini dan masa depan. Bahkan, tanpa masa lalu, tidak akan ada cerita, kenangan bahkan kesedihan. Bagi mereka yang pandai, akan mengantarkan pemilik masa lalu pada kehidupan yang lebih baik. Berbeda, ketika masa lalu itu dijadikan bahan meratap, biasanya akan berujung pada keterpurukan.
Begitupula sepenggal masa lalu yang sampai saat ini masih tersimpan rapat di labirin otak saya dan tetap menjadi rahasia yang dikemas dalam ‘Album Kehidupan’ saya. Yang sewaktu-waktu saya buka dan kenang kembali sebagai pedoman serta bahan pembelajaran demi menyongsong hari-hari di masa depan.
Salah satu kenangan itu, tatkala saya sekeluarga memutuskan pindah rumah dari Desa Santan Kecamatan Marangkayu, Kutai Kartanegara menuju ke Desa Perigi Kutai Kartanegara beberapa tahun silam.
Penyebabnya, pasca kebakaran yang menimpa kebun kelapa sebagai sumber kehidupan yang selama ini mengepulkan asap dapur keluarga saya.
Meski tidak tinggal lama di desa itu, kenangan berisi pahit dan manis kehidupan cukup menarik untuk dituangkan menjadi tulisan yang sewaktu-waktu bisa menjadi pelipurlara akan kenangan masa lalu.
Kisah ini dimulai ketika kami sekeluarga yang terdiri atas 4 manusia (Ibnu Hajar, Nurhayati, Imran Ibnu, Yuiatus Sholihah) memutuskan melakukan perjalanan ke Desa Perigi (kediaman baru kami). Saya tidak tahu pasti waktunya (maklum saat itu saya masih kecil). Perjalanan itu, Yuli dalam gendongan bapak saya, sementara saya dan mama tetap berjalan menyusuri tapak demi tapak menuju lokasi kediaman kami yang baru.
Hal menarik dalam perjalanan itu, kami harus menempuh perjalanan yang tidak biasa. Betapa tidak, saat itu bertepatan dengan musim penghujan. Sehingga, pada daerah tertentu dengan kontur tanah rendah, maka akan tertendam air.
Hal itulah yang kami alami dalam menempuh perjalan ke kediaman baru kami yang masih dikelilingi hutan belantara. Medan yang harus kami tempuh juga tidak bisa dianggap main-main. Karena, bisa dikatakan jalan yang kami lalui adalah jalan baru yang jarang dilalui manusia setempat. Sehingga, begitu banyak rintangan yang mewarnai perjalanan kami. Selain genangan air yang bersumber dari hujan maupun luapan air sungai yang berada beberapa meter dari jalan yang kami lalui, juga diperparah semak belukar dan pepohonan yang enggan takluk oleh genangan air yang masih betah berlama-lama mengiringi perjalanan kami siang itu.
Bahkan, tak terelak lagi luka goresan hingga hujaman kayu yang tak terlihat menyerang telapak kaki hingga betis saya yang memang sengaja kubuat telanjang. Karena, hanya dengan itu, saya bisa berjalan cepat. Sementara, alas kaki yang sebelumnya saya kenakan, justru berpindah letak bertengger di tangan kiri saya. Agar, saya tidak tertinggal jauh dari langkah bapak dan mama yang tampak biasa dengan medan yang kami lalui saat itu. Saya maklum akan hal itu, karena pahit-manis kehidupan telah matang mereka kecap jauh sebelum aku hadir di tengah-tengah mereka. Sehingga, saya yakin, penderitaan yang saya rasakan saat itu, bukan satu hal berarti bagi mereka. Oleh sebab itu, saya pun bertekat meneruskan perjalanan dan melupakan luka serta goresan yang saya yakin terus mengucurkan darah segar larut terbawa genangan air berwarna susu cokelat itu.
Rumitnya medan yang harus kami tempuh, kerap membuat kami sesekali terperosok dalam lubang tak terlihat lantaran tertutup genangan air. Bahkan, karena kesulitan itu pula, Yuli yang semula berada digendongan bapak memutuskan turun dan ikut menapakkan kaki mungilnya menyertai langkah bapak dan mama yang tampak letih menyusuri jalan yang seolah tak kunjung habis. Meskipun langkah kami lantas mulai melunak tidak secepat tadi, karena harus mempertimbangkan keselamatan Yuli yang jelas butuh bimbingan dan kewaspadaan tinggi.
Saat itu, bagi siapapun yang melihat, pasti akan dirundung kekhawatiran. Pasalnya, letak sungai berada tak jauh dengan jalur yang kami lalui, ditambah fakta jika sungai itu dihuni puluhan Predator pemakan daging jenis buaya. Bahkan, belakangan saya tahu, hewan berdarah dingin itu telah melahap beberapa korban yang mengantarkannya menemui sang pencipta. Namun, entah kenapa, tidak ada ketakutan akan hal itu pada diri saya (kalau yang lain saya tidak tahu). Mungkin karena terlalu fokus dengan medan yang haus saya lalui dan butuh konsentrasi tinggi agar tidak terperosok untuk kesekian kali.
Jarak kurang lebih 12 KM kami tempuh dengan berjalan kaki, akhirnya mengantarkan kami menuju sebuah pedesaan dengan daratan tanpa terendam banjir.
Meskipun belum tahu bagaimana kami akan memulai kehidupan baru di tempat asing ini, tapi saya merasa senang karena berhasil menempuh perjalanan melelahkan dan menyiksan itu. Yang telah berhasil mencetak luka goresan dan rasa perih menusuk-nusuk telapak kaki saya. Hal serupa pun tampak dirasakan oleh Yuli yang ikut menyusuri tapak demi tapak menuju ke Desa yang akan menjadi rumah baru kami selama beberapa bulan itu.
Meski menderita, tapi bukan itu yang tersimpan dan membekas di hati kami. Melainkan, pelajaran tentang arti kehidupan dan memahami arti sesungguhnya sebuah perjuangan. Sehingga, saat dewasa, kami akan mampu menghargai sebuah usaha dan tidak mudah mengeluh. Karena, pengalaman adalah guru terbaik dalam hidup ini. (Imran Ibnu, Jakarta) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar